Terima kasih sudah membaca dan mengikuti novel ini... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3
‘Masa kecil, ya…?’ Anna menghela napas panjang, mengarahkan tatapan ke luar jendela bus yang akan membawanya pergi ke tempat kerja sambilannya, sebuah gudang persinggahan barang yang berada dekat pelabuhan. Apa yang Elvin katakan tadi membuatnya terkenang akan masa kecil yang mereka jalani bersama, masa-masa indah saat keduanya masih sangat akrab dan selalu main bersama. Sayangnya masa-masa indah itu berakhir dengan hubungan saling membenci di antara mereka setelah Elvin tahu alasan keluarga Wright mengadopsinya dan diperparah dengan sebuah insiden yang menyebabkan tewasnya kedua orang tua Jessica dalam kecelakaan. Mengingat kembali bagaimana cara Elvin menatapnya, Anna mulai merasa agak meragukan tentang perasaan seperti apa yang selama ini Elvin pendam padanya. ‘Apa kami memang saling membenci? Atau cuma aku saja yang benci padanya karena kejadian itu?’ Sebelum menaiki bus, Anna menyempatkan diri memperhatikan Elvin, melihat sorot matanya yang tampak sedih setelah mengucapkan k
“Sudah cukup mengintimidasiku, ok? Kau sudah melakukannya selama satu tahun ini dan aku sudah cukup bersabar. Andai kau mencoba melakukannya lagi, aku tidak akan sungkan meninju wajahmu,” ancam Anna. Loisa kehilangan kata-kata. Bahkan setelah Anna dan Florence pergi dari ruangan itu, ia masih diam membeku di tempatnya. “Aku benar-benar akan memukulnya kalau dia mencoba mencari masalah denganku lagi. Aku tidak peduli kalau kau mau menyetrum ku sampai pingsan lagi,” ucap Anna pada sang Dewa, yang langsung dilihatnya begitu membuka pintu ruang ganti. “Kalau begitu kapan kau bisa menyelesaikan misi dariku?” sang Dewa bertanya sambil berjalan mengikuti Anna. “Bukankah kau pernah mengatakan kalau aku tidak perlu buru-buru menyelesaikannya?” “Untuk impian ‘Anna’. Bukan untuk perbaikan sikapmu. Kau harus segera melakukannya.” “Tsk… terserah. Aku mau bekerja.” Dewa menghentikan langkah dan menggeleng pelan menyesali sikap Anna. “Ingat, aku masih akan mengawasimu,” ucapnya kemudian. Anna
Melihat kemarahan menggebu Loisa yang terpancar jelas di wajahnya, Bernard Lowe —sang mandor— buru-buru mengangkat salah satu tangan yang kemudian direntangkannya di antara Anna dan Loisa, mencegah wanita itu mendekati Anna. Anna sebenarnya tidak mengharapkan Bernard mencegah Loisa menyerangnya. Ia justru baru saja berpikiran untuk memanfaatkan kemarahan Loisa agar dapat memukulnya dengan dalih membela diri. ‘Tsk… sayang sekali,’ umpat Anna dalam hati sembari mengendurkan kepalan tangannya yang sudah siap digunakan untuk meninju wajah Loisa. Ia berpikir, jika apa yang Dewa katakan tadi benar, maka kekerasan adalah salah satu cara untuk bisa menunjukkan tajinya —padahal bukan itu juga yang Dewa inginkan darinya. “Kau tidak ingat kalau ayahku sudah berbaik hati menerimamu bekerja di sini?! Kenapa kau membalas perbuatan baik ayahku dengan memfitnahku seperti itu?!” Umpat Loisa kesal karena usahanya untuk menyerang Anna telah dicegah Bernard. Padahal baru beberapa menit lalu ia masih m
Andai dirinya —sebagai Jessica— ada di ruangan itu, Anna pasti akan memarahi siapa pun yang berani membuat keributan hingga mengganggu aktor dan aktris baru yang sedang melakukan audisi. Anna cukup terkejut saat melihat tidak ada seorangpun yang memarahinya selain hanya memberikan tatapan tidak suka sebelum kembali pada aktivitas masing-masing. Bisa dikatakan bahwa ini adalah penghinaan terbesar yang pernah diterimanya bahkan jauh melebihi apa yang telah diterimanya dari Silvia dan Loisa. ‘Mereka mengabaikanku sampai seperti ini? Apa ‘Anna’ memang tidak pernah dianggap ada sama sekali oleh mereka ini?’ Anna memalingkan wajahnya lagi saat wanita yang tadi diajaknya berbicara meraih pergelangan tangannya dan memintanya untuk duduk kembali, dan ia pun mengambil kursinya dan duduk di sana sambil masih memperhatikan wajah orang-orang yang sudah kembali fokus pada pekerjaan mereka tanpa peduli pada apa yang dilakukannya setelah mengagetkan mereka. Tidak seperti saat berada dalam ruang li
Thomas Wong, salah satu juri yang biasanya selalu tegas dalam memberikan penilaian, menyandarkan tubuhnya di kursi sambil menghela napas panjang setelah melihat apa yang baru saja Anna tampilkan dalam audisinya. Ia yang selalu menyuarakan ketidaksetujuannya pada Jessica dan selalu menyarankan jika mereka sebaiknya memutus kontrak percobaan ‘Anna’, merasa serba salah setelah melihat apa yang baru saja Anna tampilkan. Thomas merasa sangat menyesal kenapa tidak memaksa Jessica memutus kontrak Anna pada audisi terakhir yang Jessica hadiri. Kini, setelah Jessica terbaring koma, ia malah merasa pemutusan kontrak itu mustahil dilakukannya. Tidak mungkin kan dia berbuat semaunya saat Jessica tidak ada? Itulah yang membuat Thomas tampak frustrasi. “Aku tidak tahu kenapa Jessica sampai meloloskanmu masuk ke agensi kami,” ucap Thomas sebagai pembuka. Sebenarnya ia hanya ingin menyuarakan apa yang selama ini menjadi beban pikirannya tentang kenapa Jessica masih mempertahankan ‘Anna’. Pria beru
Anna buru-buru menegakkan tubuh dan berbalik dengan cepat saat mendengar seseorang memanggil namanya —terutama karena merasa familiar dengan suaranya. “Orin!” Kebetulan tempat parkir para staf penting dari Wright Entertainment ada di belakangnya. Sebenarnya karena itu juga lah ia memilih duduk di situ, di depan mobil Orin, yang biasanya sengaja diparkirkan di tempat yang sama setiap hari. Anna langsung berdiri saat melihat Orin memanggilnya dan buru-buru pergi menghampiri wanita itu. Namun langkahnya langsung terhenti saat melihat wanita lain muncul dari balik sebuah SUV yang terparkir tepat di samping sedan putih milik Orin. ‘Sial, kenapa harus bertemu dia juga?’ Jeany Wright menghentikan langkahnya tepat di samping Orin, juga ikut menatap padanya. “Jadi dia aktris muda yang bernama Anna itu?” ucap Jeany di antara senyum merendahkan saat beradu pandang dengan Anna. “Y-ya, Nona Jeany,” sahut Orin dengan kepala tertunduk. Anna bisa melihat sebuah peringatan dari gerakan kedua bo
Silvia yang biasanya baru akan pulang ke rumahnya —kediaman keluarga Treqilla— di tengah malam, hari ini sudah berada di kamarnya sejak sore. Tentu saja hal tidak biasa ini membuat ibunya heran namun tidak tahu penyebabnya karena gadis itu tidak ingin membukakan pintu kamar untuk ibunya saat ibunya ingin mengajaknya bicara. Awalnya, Silvia tentu ingin mengadukan apa yang sudah Anna perbuat itu pada ayahnya. Namun karena ancaman yang Anna berikan yang membuatnya merasa sangat takut, juga karena tidak memiliki bukti rekaman CCTV yang menghilang secara ajaib sebagai bukti untuk diserahkan pada ayahnya, ia pun hanya bisa mendekam dalam kamarnya sambil berkhayal andai ia memiliki kekuatan super untuk bisa membalas dendam —mirip seperti cerita yang Anna sampaikan padanya tadi. Merasa malu dengan apa yang sudah terjadi pada dirinya, Silvia hanya melihat dan mengabaikan puluhan pesan yang sudah dikirimkan oleh anggota gengnya, padahal mereka ingin berdiskusi padanya tentang rencana membalas
“Oh ini…” Anna menarik pelan tangannya yang memang terasa sakit karena sedikit lecet dan bengkak setelah digunakannya untuk meninju loker di ruang ganti tadi. “Apa kakak habis memukul seseorang?” tanya Sherly tidak sabar. “Hah? Tidak, bukan begitu.” Anna memang sudah memukuli Silvia dan anggota gengnya, namun pukulan-pukulan yang ia lakukan di tubuh mereka yang ‘lembek’ itu tidak mungkin akan meninggalkan jejak luka di tangannya. “Ini… tadi kakak ketindihan peti di gudang.” “Kakak pergi bekerja? Bukankah kakak sedang tidak sehat?” Pertanyaan dipenuhi rasa khawatir itu membuat Anna menatap dalam pada kedua mata Sherly. Entah kenapa perasaan haru tiba-tiba muncul di hatinya. Dari antara banyak orang yang ditemuinya hari ini, hanya Sherly saja yang jelas sangat memperhatikannya. Bahkan hanya adik ‘Anna’ ini sajalah yang menyadari jika tangannya terluka. Sudah lama ia tidak pernah mendapatkan perhatian seperti ini, semenjak kedua orang tuanya meninggal. Perhatian dari orang yang seper