Home / Romansa / Kehidupan Kedua / 1. Kekalahan

Share

Kehidupan Kedua
Kehidupan Kedua
Author: Blessing Night

1. Kekalahan

Author: Blessing Night
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Mentari di langit Kota Jakarta mulai kembali ke peraduan, tatkala seorang gadis cantik bernama lengkap Nadisa Tirta Sanjaya berjalan menuju lobi kantor perusahaan milik keluarganya.

Nadisa tersenyum sembari membungkuk dengan sopan, bermaksud menyapa beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Hanya formalitas tentunya, karena sebenarnya Nadisa tidak mengenal mereka. Nadisa hanya tidak ingin dicap sebagai atasan yang buruk oleh karyawan yang bekerja pada keluarganya.

"Selamat sore, Nona Nadisa." Beberapa dari karyawan itu menyapa Nadisa dengan ceria.

"Iya, sore." Nadisa menjawab sapaan mereka seadanya.

Setelah beberapa karyawan itu berlalu, Nadisa kembali memasang wajah dinginnya. Gadis Sanjaya itu kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Akan tetapi, pandangannya yang terkunci pada pintu utama kantor Sanjaya membuat Nadisa melihat sesuatu di sana. Mengundang decakan kesal dari sang gadis Sanjaya.

'Dia lagi,' keluh Nadisa dalam hati.

Dari posisinya kini, Nadisa dapat melihat seorang lelaki yang sedang berdiri di luar sana. Lelaki berwajah manis, yang langsung mengembangkan senyumannya tatkala melihat eksistensi Nadisa.

Lelaki itu mengenakan pakaian seadanya, hanya kemeja putih yang sedikit menguning dengan celana denim yang mulai pudar. Dia Narendra Bagaskara. Lelaki yang selama empat tahun ke belakang selalu berusaha mendekati Nadisa, meski tidak pernah diindahkan oleh sang dara.

Narendra mengangkat tangan kirinya yang memegang satu kantung plastik, ingin memperlihatkannya pada Nadisa. Sementara tangan kanannya ia lambaikan untuk menyapa Nadisa yang masih berada di dalam gedung kantor Sanjaya.

"Nadisa!" panggil Narendra dengan senyuman di bibirnya.

Nadisa menghela napas.

Kalau sudah begini, mau tidak mau, ia harus menemui Narendra. Maka gadis dengan setelan blus putih dan rok selutut berwarna hitam itu melangkah maju. Mengikis jarak antara dirinya dengan Narendra.

Tepat saat Nadisa mencapai setengah perjalanan, seseorang menarik lengannya. Lalu mencuri sebuah ciuman di bibir Nadisa. Nadisa yang kaget pun mendorong dada lelaki itu dengan keras. Bugh!

Tapi bukannya melepaskan Nadisa, dia malah menahan kedua tangan Nadisa. Memaksa Nadisa menerima ciumannya. Setelah gadis itu tidak kuat melawan, barulah ia melepaskan tautan bibir mereka.

Lelaki itu, Jevano Putra Hartono, menatap lurus pada netra jelaga milik Nadisa yang menatapnya marah. Jevano berkata dengan suara rendahnya, "Cepat singkirkan dia, Nadisa. Aku tidak mau calon istriku diganggu oleh sampah seperti dia."

Nadisa menghempas tangan Jevano dari pergelangan tangannya. Merasakan tangannya sangatlah sakit, bahkan ada memar di sana. "Aku memang akan melakukannya. Kamu nggak perlu memerintahku. Apalagi sampai menyentuhku."

Nadisa menjauhi Jevano, tetapi lelaki dengan setelan jas itu kembali menahan lengan Nadisa. Memaksa gadis itu untuk berhadapan lagi dengannya.

"Jangan seenaknya denganku. Nasib keluargamu ada di tanganku."

Ucapan bernada ancaman itu sukses membuat Nadisa terdiam.

Ya, Jevano benar. Nadisa tidak boleh bertindak semena-mena padanya. Bagaimana pun juga, Jevano sudah membantu perusahaan Sanjaya selama setahun ke belakang. Jevano bahkan berhasil memajukan perusahaan Sanjaya, jauh lebih baik dibanding almarhum papanya. Tak hanya itu, Jevano juga akan segera menjadi suaminya, atas dasar perjanjian keluarga mereka.

Maka sudah sewajarnya Nadisa menghargainya.

"Maafkan aku, Jevan. Aku salah." Nadisa berkata pelan.

Jevano mengembangkan senyumnya. Lelaki itu kemudian mengelus surai hitam milik Nadisa, lalu menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Bagus. Sekarang kamu urus si miskin itu. Aku akan menunggu di mobilku."

Jevano Putra Hartono menyempatkan diri mengecup singkat pelipis Nadisa yang memang lebih pendek darinya. Lalu berjalan meninggalkan Nadisa.

Jevano menuju pintu utama, di mana Narendra Bagaskara berdiri di sana. Narendra memandangi Jevano dengan tidak percaya, membuat Jevano memamerkan seringai padanya.

Pun tepat saat Jevano berada di samping Narendra, Jevano bergumam pelan. "Menyedihkan."

Narendra meremas kedua tangan di sisi tubuhnya. Melihat bagaimana Jevano mencium Nadisa tepat di hadapannya, membuat Narendra merasa kecewa. Tentu saja Narendra marah, tapi ia masih sadar diri bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa bagi Nadisa Tirta Sanjaya.

"Narendra?" Suara Nadisa membuat Narendra tersentak dan menoleh. "Bisa kita bicara?"

"Ya, Nadisa. Bisa," jawab Narendra dengan antusias.

Ini bagaikan salah satu mimpinya. Setelah sekian lama, ia bisa berbincang dengan gadis yang ia suka. Tanpa ditolak atau parahnya diusir seperti hari-hari sebelumnya. Kejadian Jevano dan Nadisa tadi bahkan seakan sirna dari ingatan Narendra, terganti oleh luapan rasa bahagia di hatinya.

***

Nadisa Tirta Sanjaya duduk berhadapan dengan Narendra Bagaskara di salah satu restoran bintang lima di dekat kantornya. Nadisa memandang Narendra, yang kini sibuk memperhatikan sekitar. Sepertinya sedang mengagumi interior restoran yang kelewat mewahnya. Mengundang helaan napas dari Nadisa.

"Pesanlah sesuatu, Narendra," kata Nadisa seraya membuka buku menu di hadapannya.

"Aku tidak lapar, Nadisa."

Gruuuuttttt! Bagaikan tidak mendukung suasana, perut Narendra berbunyi dengan kerasnya. Membuat rona merah menjalari pipi tirus milik Narendra.

"Pesan saja," kata Nadisa dengan malas.

"A-aku sungguhan tidak ingin makan, Nadisa." Narendra berkeras pada pendiriannya.

Pasalnya, ia tidak memiliki banyak uang. Ia takut tidak akan bisa membayarkan makanan Nadisa jika dirinya ikut memesan. Ah, tidak, Narendra bahkan sangsi jika dirinya bisa membayar pesanan Nadisa.

Nadisa yang gerah dengan penolakan pun segera menyodorkan buku menunya di hadapan Narendra. "Cepat pilih saja yang kamu mau. Aku yang bay–"

"Belum sembuh juga, ya?" lirih Narendra.

Suara Narendra membuat Nadisa menaikkan satu alisnya. "Apanya?"

Narendra memusatkan atensinya pada pergelangan tangan kiri Nadisa. "Luka di tangan kamu. Sejak kita kuliah, ternyata masih belum sembuh juga."

Nadisa terdiam beberapa saat. Narendra mengetahui luka di pergelangan tangannya? Bahkan sahabat Nadisa saja tidak pernah menyadarinya. Tapi Narendra, dia begitu memperhatikannya.

Nadisa berdehem kecil sembari menarik tangannya yang sejak tadi memegang buku menu. Tepat saat itu, seorang pelayan datang ke meja mereka. "Bisa saya catat pesanan Anda, Tuan dan Nona?"

"Aglio olio dua, air mineral dua." Nadisa langsung mengucapkannya tanpa meminta pendapat Narendra.

"Baik, aglio olio dua dan air mineral dua. Mohon ditunggu, Tuan dan Nona." Pelayan wanita itu membungkukkan tubuhnya penuh hormat, lalu menarik dirinya menjauhi meja Nadisa dan Narendra.

"Nadisa, aku tidak memesannya. Aku–"

"Aku memesannya untukku sendiri, dan aku yang akan membayarnya. Kamu nggak usah banyak protes." Nadisa memotong ucapan Narendra.

Pribadinya yang ceplas-ceplos dan terkesan tidak sopan memang sangat menyebalkan. Akan tetapi, Narendra justru tersenyum mendengar perkataan Nadisa. Entahlah, Narendra mungkin sudah dibutakan oleh rasa cintanya.

Lelaki manis itu kemudian meletakkan satu plastik yang tadi ia bawa. Mendorongnya pelan ke hadapan Nadisa. "Ini, Nadisa. Aku beli ini untuk kamu. Kue kesukaan kamu."

Nadisa memandangi plastik bening berisi sekotak pencuci mulut bertuliskan Sean's Sweet di atasnya. Kue cokelat yang akhir-akhir sedang naik daun di Indonesia, juga merupakan salah satu makanan kesukaan Nadisa. Bagi Nadisa, satu kotak kue itu mungkin terbilang murah untuk didapatkan. Tapi bagi Narendra, ia harus menghemat selama beberapa hari untuk bisa membelinya. Dan setelah semua usahanya, Narendra malah memberikan kue itu pada Nadisa?

Nadisa mendorong kue itu untuk kembali pada Narendra. "Untuk kamu saja."

"Ah, ini halal kok, Nadisa. Aku membelinya dari hasil aku bekerja." Narendra berusaha menjelaskan. Merasa kalau Nadisa menolaknya karena mengira makanan yang ia berikan tidak halal.

"Aku tetap nggak bisa menerimanya. Bukan hanya sekarang, tapi juga untuk seterusnya. Kamu ... jangan pernah membelikan apa pun untukku lagi, Narendra," ucap Nadisa, membuat Narendra menatapnya penuh tanya. "Dan lagi, aku mengajakmu bicara bukan untuk menerima makanan ini."

Nadisa membuka tas putih mahalnya, kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana. Membuat Narendra memandangnya dengan bingung, tapi tidak berani bertanya. Hingga Nadisa akhirnya meletakkan satu lembar undangan tepat di atas kotak kue milik Narendra.

Narendra memandangi undangan itu dan wajah Nadisa secara bergantian. Sebelum bibir tipisnya berkata pelan, "Surat undangan?"

"Iya, undangan pernikahanku dengan Jevan akhir pekan ini. Datanglah kalau kamu sempat, Narendra." Perkataan Nadisa sukses membuat Narendra membatu di posisinya. Kedua matanya menatap nanar pada undangan mewah di hadapannya. Dengan tinta emas yang menuliskan nama Jevano di samping nama Nadisa.

"Ini … sungguhan?" lirih Narendra.

"Pesanan datang, Tuan dan Nona. Silakan menikmati." Pelayan wanita tadi kembali datang dengan meja yang didorong menuju meja Nadisa dan Narendra. Pun pelayan tersebut meletakkan dua piring pasta beserta air mineral dalam gelas tinggi di hadapan kedua insan di sana. Pergerakan pelayan itu seakan memberi jeda pada Narendra untuk mencerna segalanya. Ia terdiam dan terjebak dalam riuh pikirannya.

Tepat saat sang pelayan melangkah pergi, Nadisa pun beranjak berdiri. "Hanya itu yang ingin aku katakan. Kamu bisa makan dulu, Narendra. Aku tahu kamu lapar. Aku akan meninggalkan uangku di sini, jadi kamu nggak perlu khawatir."

Nadisa meletakkan lima lembar uang berwarna merah muda di atas mejanya. Kemudian hendak pergi dari sana. Akan tetapi, suara lirih Narendra berhasil menghentikannya.

"Selamat, Nadisa. Aku turut bahagia."

Kalimat bernada lemah yang meluncur dari mulut Narendra itu membuat Nadisa menoleh. Memandangi Narendra yang kini terlihat menundukkan kepala. Tidak mampu lagi menatap Nadisa. Pun Nadisa tidak terlalu mengindahkannya, lebih memilih untuk merajut langkah menjauhi Narendra.

Hari ini, Narendra Bagaskara akhirnya kalah dari kejamnya semesta.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wildaningsih TWFood
bahasanya terlalu kaku , alur ceritanya terkesan dipaksakan.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Kehidupan Kedua   2. Sayang?

    Jevano Putra Hartono duduk di balik kemudinya. Di dalam sebuah mobil mewah berwarna hitam yang terparkir di depan restoran bintang lima, yang sejak beberapa saat lalu dikunjungi oleh Nadisa Tirta Sanjaya dan Narendra Bagaskara.Mata setajam elang milik Jevano langsung terfokus pada sosok Nadisa yang berjalan keluar dari restoran di depannya. Senyuman di bibir Jevano juga melebar tatkala sang gadis Sanjaya merajut langkah untuk mendekati mobilnya. Ya, Nadisa akhirnya patuh padanya.Jevano berinisiatif keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Nadisa yang merupakan calon istrinya.Nadisa sempat memandang risih pada Jevano, tetapi akhirnya tetap memasuki mobil milik lelaki itu. Pun Nadisa bergumam pelan, "Terima kasih.""Sama-sama, Nadisa." Jevano kemudian memutari mobilnya, untuk tiba di kursi kemudi. Lalu duduk dan memusatkan perhatiannya pada Nadisa. Seakan menunggu gadis cantik itu bicara.Sadar akan hal tersebut, Nadisa membuang napasnya pelan. "Aku s

  • Kehidupan Kedua   3. Pernikahan

    Hari yang sakral itu akhirnya datang. Pada hari ini, Nadisa Tirta Sanjaya akan secara resmi melepas masa lajangnya. Lantaran dipersunting oleh Jevano Putra Hartono; lelaki tampan yang merupakan putra dari sahabat mamanya.Sang bungsu keluarga Sanjaya duduk di ruang rias pengantin. Membiarkan seorang wanita paruh baya merampungkan riasan di wajah cantiknya. Pun kini Nadisa sudah mengenakan gaun pernikahannya. Gaun putih panjang yang terlihat sangat cocok di tubuh mungil nan rampingnya."Riasannya sudah selesai, Nona Nadisa. Anda terlihat sangat cantik sekarang," puji perias pengantin tersebut. Nadisa hanya tersenyum kecil sebagai balasannya. "Saya akan segera memanggil penata rambut Nona. Tolong tunggu sebentar ya, Nona Nadisa."Maka wanita cantik itu pergi meninggalkan ruang rias pengantin. Membiarkan Nadisa hanya berdua dengan sang sahabat satu-satunya; Karenia Winata. Nadisa menolehkan kepala menuju Karenia. Memperlihatkan matanya yang sudah berkaca-kaca karena me

  • Kehidupan Kedua   4. Pengkhianatan

    Resepsi pernikahan Nadisa telah resmi berakhir beberapa saat lalu. Kini, mentari telah benar-benar kehilangan sinarnya dan digantikan oleh rembulan di langit yang kelam. Pun jam dinding di kamar hotel Nadisa sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Nadisa kini sedang berbaring di ranjang hotelnya. Dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga perut.Nadisa kini mengenakan piyama lengan panjang dan celana pendek selututnya. Sama sekali bukan pakaian yang cocok untuk malam pertama, karena memang itu bukan tujuannya.Sreeeeg! Suara pintu yang digeser dari arah kamar mandi di sudut kamar hotel itu membuat Nadisa memiringkan tubuhnya. Membelakangi Jevano yang baru saja keluar dari sana setelah membersihkan dirinya.Nadisa sama sekali tidak tertarik untuk melihat sosok suaminya.Nadisa berusaha memejamkan mata, ingin memasuki alam mimpinya. Akan tetapi, sebuah sentuhan di lengan atasnya membuat Nadisa secara refleks menghempas tangan yang menyentuhnya.Nadisa men

  • Kehidupan Kedua   5. Tragedi

    Malam kini telah datang. Mengusir mentari dari singgasananya, dan menggantinya dengan rembulan.Di tengah gelapnya malam, Nadisa Tirta Sanjaya duduk seorang diri di lobi kantor perusahaannya. Pekerjaannya, yang ia kira bisa selesai sore hari tadi, nyatanya membuat dirinya harus lembur malam ini.Kini, tepat saat arloji di tangannya menunjukkan pukul sebelas malam, Nadisa baru bisa merampungkan seluruh pekerjaannya. Dengan keadaan kantor yang sepi karena seluruh karyawannya sudah pulang. Pun jalanan sudah tampak lengang, tidak ada sedikit pun kendaraan umum yang lalu lalang.Nadisa menempelkan telepon genggamnya ke telinga. Menunggu seseorang yang ia hubungi mengangkat teleponnya. Tapi alih-alih menerima jawaban dari orang tersebut, Nadisa justru mendengar suara operator di seberang sana."Nomor yang anda tuju tidak menjawab--"Tut! Nadisa mematikan panggilannya untuk Jevano.Gadis Sanjaya itu menghela napas panjang, lantaran teleponnya tak kunjung diangk

  • Kehidupan Kedua   6. Keajaiban

    Sakit. Tubuh Nadisa rasanya remuk redam. Membuat dirinya kesulitan untuk bergerak.Sesak. Sulit untuk bernapas. Rasanya seakan oksigen tidak mau memasuki paru-parunya, sekuat apa pun Nadisa berusaha.Gelap. Nadisa benar-benar dikelilingi kegelapan. Ini sebenarnya … di mana?"...ma? Disa? Bangunlah, sudah pagi."Suara berat itu berhasil menarik Nadisa dari kegelapan yang melingkupinya. Serta merta membuat dirinya membuka mata dan bangkit dari posisi tidurnya.Kedua mata Nadisa kontan membulat lantaran mendapati Mama Ayu sedang memeluk erat tubuhnya. Juga keberadaan sang Kakak, Jeffrey, yang saat ini berdiri di tepi ranjangnya. Nadisa mengerjapkan matanya beberapa kali.Bukankah … tadi Nadisa sudah mati?"Ungh…" suara erangan pelan dari Mama Ayu membuat Nadisa mengalihkan perhatian.Dapat dilihat oleh Nadisa, penampilan mamanya yang jauh dari kata baik-baik saja. Wajahnya pucat, dengan jejak air mata mengering di pipinya. Pun pakaiannya masih serba

  • Kehidupan Kedua   7. Tangisan Mama

    Nadisa masih menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya. Sementara itu, Jeffrey melirik pada arloji di tangan kirinya. Sudah pukul delapan, ternyata. Sudah waktunya Jeffrey pergi ke kantor Sanjaya."Ma, boleh Jeffrey pergi ke kantor? Ada beberapa urusan yang harus Jeffrey selesaikan," kata Jeffrey pelan. Ia sebenarnya masih khawatir pada keadaan mamanya, tapi ia tidak bisa berdiam diri di rumah terlalu lama."Tentu saja boleh, Jeff." Mama Ayu menjawab lemah.Mendengar hal itu, Nadisa pun turut buka suara."Aa, Disa juga izin ke kantor, Ma. Ada dokumen yang harus Disa bahas dengan para staf."Tentu saja itu bohong. Nadisa bahkan tidak ingat pekerjaan apa yang sedang ia garap di kantor saat ini. Nadisa hanya … tidak mau terpuruk seperti di kehidupan sebelumnya. Bagaimana pun juga, sang Papa tidak layak ditangisi terlalu lama. Lagi pula, Nadisa harus menjadi lebih kuat dan menyiapkan rencana untuk menangani semua masalah yang akan dihadapinya!Mama Ayu menganggu

  • Kehidupan Kedua   8. Serigala Berbulu Domba

    Nadisa mematung di posisinya, memandangi sang Mama yang masih menangis lirih di dalam kamar. Kedua tangan Nadisa mengepal erat di sisi tubuhnya. Menahan gejolak amarah di dalam dada."Papa jahat sekali sama keluarga kita…" lirih sang Mama. "Mama salah apa sama Papa, sampai Papa tega duain Mama…"Sialan.Andai saja Nadisa kembali ke masa dimana sang Papa masih hidup, Nadisa bersumpah akan menghajar dan menyadarkan Beliau. Sayangnya, ia kembali hidup justru di saat Papa Fadli sudah meninggal dunia. Ia tidak bisa mengubah apa-apa.Nadisa mengembuskan napas panjang, berusaha untuk tenang. Gadis Sanjaya itu merogoh isi tasnya, kemudian mengeluarkan satu kemasan kertas tisu dari sana. Nadisa meletakkannya di depan pintu kamar Mama Ayu. Lalu memutuskan untuk berjalan menjauh.Dalam langkahnya menyusuri perjalanan menuju kamar, Nadisa tanpa sengaja meneteskan air mata.Sungguh, Nadisa tidak mengerti mengapa laki-laki selalu saja menyakiti hati perempuannya. Baik

  • Kehidupan Kedua   9. Jeffrey yang Peka

    Nadisa Tirta Sanjaya membisu di tempatnya. Ia sama sekali tidak berani untuk menoleh ke arah Karenia yang sudah duduk di jok tengah mobil Jeffrey. Bahkan untuk sekadar melirik Karenia Winata saja Nadisa tidak bisa. Rasa trauma ternyata telah bersarang dalam diri Nadisa.Tangan Nadisa bergetar pelan. Akan tetapi, gadis cantik berambut panjang itu berusaha menekan kedua tangannya di atas tasnya. Meredam getaran ketakutan di sana. Berharap Jeffrey tidak menyadari perilaku anehnya."Kak Jeff, terima kasih sudah memberikan tumpangan pada Karen. Karen sangat merasa terbantu. Sudah setengah jam Karen berdiri halte tadi, tapi bus yang menuju kantor belum muncul juga. Syukurlah Kak Jeff lewat dan menawari Karen untuk berangkat bersama," kata Karenia dengan suara lembutnya. Tangan lentiknya bergerak centil menyampirkan rambut bergelombangnya ke belakang telinga.Jeffrey yang fokus menyetir tersenyum kecil."Ya, tentu saja aku menawarimu ikut serta. Kamu 'kan sahabat adikk

Latest chapter

  • Kehidupan Kedua   80. Ada yang Aneh

    Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap

  • Kehidupan Kedua   79. Ada Waktu Luang?

    Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang

  • Kehidupan Kedua   78. Lembutnya Mama

    Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin

  • Kehidupan Kedua   77. Suara Jeffrey

    Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu

  • Kehidupan Kedua   76. Pendengar yang Baik

    "Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega

  • Kehidupan Kedua   75. Lari

    Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na

  • Kehidupan Kedua   74. Perseteruan

    Nadisa masih bergeming di posisinya. Dengan satu tangan yang memegangi pipi kiri, tempat yang baru saja menjadi sasaran dari tangan Ayu Tirta Sanjaya. Pipinya memang terasa sangat sakit, tapi lebih dari itu, hati Nadisa jauh lebih perih."Mama menampar Disa....?" lirih Nadisa. "Disa salah apa, Ma? Disa salah apa sampai Mama tega menampar Disa?" cecar Nadisa dengan penuh rasa kecewa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berusaha menahan tangisannya karena tidak ingin dianggap lemah oleh sang Mama.Mama Ayu mengepalkan tangannya. Masih menatap sang putri dengan mata yang melebar, nyalang. Dipenuhi amarah dan kecewa."Kenapa Mama diam? Jawab Disa! Kenapa Mama tega menampar Disa?!" teriak Nadisa. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun."Kamu masih bertanya?! Setelah kebohongan kamu ke Mama, kamu masih bisa bertanya alasan Mama menampar kamu?! Iya?!" balas sang Mama.Jawaban dari Ayu Tirta Sanjaya membuat Nadisa membelalakkan mata dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Pupil m

  • Kehidupan Kedua   73. Tamparan

    Langit kini telah menjadi gelap. Pun jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Jeffrey Tirta Sanjaya telah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah waktunya untuk beristirahat.Akan tetapi, lelaki tampan bernama lengkap Jeffrey Tirta Sanjaya itu justru baru saja menghentikan laju mobilnya. Memarkirkan kendaraan mahal itu di depan kediamannya. Ya, kediaman Sanjaya yang berlokasi di Jakarta.Entah ada angin apa hari ini, Mama Ayu akhirnya mengizinkan Jeffrey untuk pulang ke rumah mereka, meski hanya untuk satu hari. Maklum, Jeffrey memang harus mengurus kantor cabang yang ada di Bandung. Jadi tentu saja ia tidak bisa berlama-lama di rumah yang selalu saja ia rindukan.Lelaki tampan itu mengeluarkan dua kantung besar dari bagasi mobil hitamnya. Kantung berisikan bolu cokelat yang tempo hari Nadisa pesan. Juga beberapa susu yang sekiranya sang Mama dan sang adik suka."Sini saya bantu, Tuan." Pak Asep menawarkan bantuan. Beliau memang yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Jeffrey.

  • Kehidupan Kedua   72. Ubah Rencana

    Puk. Puk. Puk.Setiap kali kaki itu melangkah, pasir pantai yang dipijaknya akan membentuk jejak kaki. Mengikuti bentuk sandal yang kedua orang itu kenakan. Satu berukuran besar, dan satu lagi lebih kecil.Jejak kaki itu terlihat di sepanjang pesisir pantai, di dekat deburan ombak yang terlihat tidak terlalu besar. Hanya sesekali membasahi kaki. Tanpa bisa menyeret dua insan yang tengah berjalan di bawah cerahnya mentari."Indah sekali, ya. Pantai di Jakarta ternyata nggak buruk juga." Nadisa membuka percakapan di antara keduanya.Narendra menipiskan bibirnya, tersenyum manis. Ia memandangi Nadisa yang kini berjalan mundur, agar bisa berbincang dengan dirinya. Embusan angin pantai menerbangkan helaian rambut hitamnya dengan sedikit kencang."Iya, indah sekali." Perkataan itu terlontar, tatkala Narendra memandangi Nadisa Tirta Sanjaya. Entah ditujukan untuk pantai yang ia kunjungi, atau untuk gadis yang ia cintai."Iya 'kan? Sudah gitu, di bagian sini tid

DMCA.com Protection Status