Home / Romansa / Kehidupan Kedua / 8. Serigala Berbulu Domba

Share

8. Serigala Berbulu Domba

Author: Blessing Night
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Nadisa mematung di posisinya, memandangi sang Mama yang masih menangis lirih di dalam kamar. Kedua tangan Nadisa mengepal erat di sisi tubuhnya. Menahan gejolak amarah di dalam dada.

"Papa jahat sekali sama keluarga kita…" lirih sang Mama. "Mama salah apa sama Papa, sampai Papa tega duain Mama…"

Sialan.

Andai saja Nadisa kembali ke masa dimana sang Papa masih hidup, Nadisa bersumpah akan menghajar dan menyadarkan Beliau. Sayangnya, ia kembali hidup justru di saat Papa Fadli sudah meninggal dunia. Ia tidak bisa mengubah apa-apa.

Nadisa mengembuskan napas panjang, berusaha untuk tenang. Gadis Sanjaya itu merogoh isi tasnya, kemudian mengeluarkan satu kemasan kertas tisu dari sana. Nadisa meletakkannya di depan pintu kamar Mama Ayu. Lalu memutuskan untuk berjalan menjauh.

Dalam langkahnya menyusuri perjalanan menuju kamar, Nadisa tanpa sengaja meneteskan air mata.

Sungguh, Nadisa tidak mengerti mengapa laki-laki selalu saja menyakiti hati perempuannya. Baik sang Papa, maupun Jevano yang merupakan suami Nadisa di kehidupan sebelumnya. Mereka berdua tanpa hati berani mendua. Mereka tidak peduli dengan perasaan wanitanya.

Mereka jahat. Mereka adalah definisi sampah yang sesungguhnya. Nadisa benci mereka. Benci sampai rasanya Nadisa tidak ingin lagi menyebut nama mereka.

Usai mengambil telepon genggamnya, Nadisa bergegas kembali ke mobil Jeffrey. Lalu duduk dengan lesu di samping sang Kakak. Tingkah Nadisa yang kontras dengan sebelumnya itu membuat Jeffrey mengernyit penuh tanya.

"Ada apa, Disa? Kamu … menangis?" tanya Jeffrey dengan hati-hati.

Nadisa mengusap kasar jejak air mata di pipinya. "Hm, karena lihat Mama," jawab Nadisa seadanya.

Jeffrey menyodorkan tisu pada Nadisa, tapi adiknya itu menggeleng pelan. Sudah berhasil menghentikan tangisannya. Jeffrey pun menghela napas.

"Mama pasti sangat terpukul karena Papa. Kamu sebaiknya menemani Mama saja di rumah, Disa. Biar Kakak yang pergi ke kantor kita," kata Jeffrey.

Nadisa menggelengkan kepala, kemudian melipat tangannya di depan dada. "Mama bukan tipe orang yang suka menangis di hadapan orang lain, Kak. Kalau ada Disa, Mama pasti akan menahan perasaannya. Akan lebih baik kalau Mama sendirian dan bisa menangis sepuasnya. Setidaknya, setelah itu Mama akan merasa lega."

Jeffrey terdiam mendengar penuturan adiknya. Ini pertama kalinya Nadisa berbicara sepanjang itu padanya. Terlebih, Nadisa terdengar begitu dewasa sekarang. Seolah Nadisa sangat memahami perasaan sang Mama, di usianya yang masih terbilang muda. Hal itu membuat Jeffrey kaget dan kehilangan kata.

"Kok diam? Ayo, jalan saja ke kantor, Kak. Sudah siang," kata Nadisa.

Jeffrey tersentak karena suara Nadisa. "Iya," jawabnya. Jeffrey pun segera menekan pedal gas di bawah sana. Mulai menjalankan kuda besinya untuk keluar dari pekarangan kediaman mewah mereka. Sementara Nadisa membuang pandangannya ke jendela.

"Disa benci Papa..." lirih Nadisa.

Pegangan tangan Jeffrey pada kemudi mengerat. Ingin sekali Jeffrey berkata hal yang sama, bahwa dirinya pun membenci sang Papa. Bahkan Jeffrey rasanya ingin mengumpat tindakan papanya. Tapi posisinya sebagai yang lebih tua membuat Jeffrey mengurungkan niatnya. Ia harus lebih menahan diri, untuk memberikan contoh pada Nadisa.

Karena seburuk apa pun juga, Fadli Tirta Sanjaya tetaplah ayah mereka.

Dari posisinya yang kini sedang menyetir, Jeffrey dapat melihat eksistensi seorang gadis yang sangat dikenalnya. Tengah berdiri di halte bus tepat di sisi mobilnya. Drrrrrrt! Jeffrey memberhentikan mobil dan menurunkan kacanya. Serta merta membuat Nadisa menolehkan kepala dengan kernyitan di dahinya.

"Karenia? Mau berangkat ke kantor bersama?"

Sebuah nama yang terlontar dari bibir Jeffrey Tirta Sanjaya membuat Nadisa berdiam kaku di tempatnya. Napasnya tercekat. Pandangan mata Nadisa yang membola tertuju pada sosok gadis yang kini tersenyum di halte bus sana. Kedua kaki jenjang berbalut sepatu hak tingginya berjalan mendekati mobil yang tengah ditumpangi oleh Nadisa.

Dia … Karenia Winata.

Si gadis licik itu. Parasit yang selalu menumpang hidup pada keluarga Sanjaya, lalu dengan tega membunuh Nadisa. Juga merebut Jevano darinya.

Serigala berbulu domba yang ada di dunia nyata.

Related chapters

  • Kehidupan Kedua   9. Jeffrey yang Peka

    Nadisa Tirta Sanjaya membisu di tempatnya. Ia sama sekali tidak berani untuk menoleh ke arah Karenia yang sudah duduk di jok tengah mobil Jeffrey. Bahkan untuk sekadar melirik Karenia Winata saja Nadisa tidak bisa. Rasa trauma ternyata telah bersarang dalam diri Nadisa.Tangan Nadisa bergetar pelan. Akan tetapi, gadis cantik berambut panjang itu berusaha menekan kedua tangannya di atas tasnya. Meredam getaran ketakutan di sana. Berharap Jeffrey tidak menyadari perilaku anehnya."Kak Jeff, terima kasih sudah memberikan tumpangan pada Karen. Karen sangat merasa terbantu. Sudah setengah jam Karen berdiri halte tadi, tapi bus yang menuju kantor belum muncul juga. Syukurlah Kak Jeff lewat dan menawari Karen untuk berangkat bersama," kata Karenia dengan suara lembutnya. Tangan lentiknya bergerak centil menyampirkan rambut bergelombangnya ke belakang telinga.Jeffrey yang fokus menyetir tersenyum kecil."Ya, tentu saja aku menawarimu ikut serta. Kamu 'kan sahabat adikk

  • Kehidupan Kedua   10. Hartono?

    Nadisa mengerjap kaget lantaran mobil yang dikendarai oleh Jeffrey langsung tancap gas meninggalkan Karenia. Karenia di belakang sana bahkan melompat-lompat dan menghentakkan kaki dengan emosi. Kesal dan kebingungan karena ditinggalkan seorang diri oleh Nadisa dan Jeffrey."Hey! Kak Jeff! Disa! Kenapa aku ditinggal?!" teriak Karenia di belakang sana, terdengar samar dari dalam mobil Jeffrey karena suaranya yang memang terbilang sangat keras. "Argh! Sialan!"Nadisa bahkan sampai memutar tubuhnya, melihat Karenia yang wajahnya tampak memerah lantaran terbakar amarah. Baru kemudian Nadisa menoleh pada sang Kakak. Mendapati Jeffrey Tirta Sanjaya yang masih saja menyetir dengan sangat tenang. Seolah tidak ada masalah."Kak? Kok kita–""Kenapa kita meninggalkan Karenia?" potong Jeffrey, menebak pertanyaan dari Nadisa."I-iya," jawab Nadisa pelan.Jeffrey menyempatkan diri melempar senyum pada Nadisa, sebelum akhirnya ia kembali fokus memandang ke jalan di depannya.

  • Kehidupan Kedua   11. Kemunculan Mereka Berdua

    Jeffrey kembali mendapati kebisuan dari adiknya. Membuat anak sulung keluarga Sanjaya itu menoleh, lalu mengelus kepala Nadisa dengan begitu lembutnya."Kenapa, Disa?" tanya Jeffrey lembut."Nggak–""Jevano Putra Hartono, ya?" tebak Jeffrey. "Kakak dengar, Mama pernah meminta kamu untuk lebih mengenal Jevan karena dia adalah putranya Tante Jessica. Kamu jadi tidak nyaman, ya?"Nadisa masih terdiam di tempatnya. Andai saja Jeffrey tahu kalau masalahnya tidak semudah itu. Di kehidupan sebelumnya, Nadisa telah dikhianati oleh Jevano. Parahnya lagi, Jevano melakukannya dengan Karenia Winata yang jelas-jelas merupakan sahabat Nadisa. Nadisa tidak bisa untuk baik-baik saja."Kalau kamu tidak mau, Kakak saja yang menemui para kolega kita, Disa. Pekerjaan Kakak bisa ditunda sebentar." Jeffrey berkata lembut.Nadisa menggigt bibir bawahnya.Benarkah Nadisa harus berdiam diri? Bukankah dirinya terlalu pengecut jika ia memilih untuk menghindar dan enggan m

  • Kehidupan Kedua   12. Tidak Bisa Dibiarkan

    Tentu saja Nadisa kaget bukan kepalang saat melihat kedatangan Jevano dan Karenia. Mereka berdua datang bersama, pula. "Nadisa? Anda dengar saya?" tanya Sean.Sean menatap bingung pada gadis cantik di hadapannya. Pasalnya, Nadisa yang awalnya terlihat ramah kini tampak mematung. Hingga Sean memutuskan untuk mengikuti arah pandang Nadisa.Lalu Sean dapat melihat kehadiran Jevano Putra Hartono dengan seorang gadis cantik di sampingnya."Jevano?" gumam Sean. "Aa, Sean, tentu saja saya mendengarkan Anda," kata Nadisa dengan suara ramahnya. Kembali mengarahkan atensi Sean padanya. Membuat Sean tersenyum pada sang gadis Sanjaya.Di saat yang sama, Jevano dan Karenia tiba di tempat mereka."Selamat pagi," Jevano menyapa seraya berjabat tangan dengan Sean. Hanya saling bertukar senyum tipis karena keduanya tidak dekat. Lalu Jevano mengulurkan tangannya pada Nadisa. "Pagi, Nadisa. Aku turut berduka atas kepergian papamu."Nadisa sempat memandangi tangan Jevano dalam diam. Menyulut tatapan ta

  • Kehidupan Kedua   13. Berhenti Menggangguku

    Karenia tanpa sadar mencekal tangan kiri Nadisa karena terbawa oleh rasa kesalnya. Jelas saja ia tersulut karena ucapan Nadisa yang seakan mencemooh dirinya. Tindakan Karenia itu membuat Nadisa meringis kesakitan."Aw, sakit! Apa yang kamu lakukan, Karen?! Apa aku salah bicara?" tanya Nadisa, berpura-pura kesakitan.Nyatanya, Karenia bahkan tidak mencengkram lengan Nadisa terlalu kencang.Melihat Nadisa yang kesakitan, Jevano dan Sean kontan menatap nyalang Karenia. Jevano bahkan nyaris beranjak, hendak menarik tangan Karenia dari lengan Nadisa. Akan tetapi, Karenia sudah bergegas melepaskan tangannya."T-tentu tidak! I-itu … jam! Lihat jam tanganmu. Sudah waktunya untuk bekerja," kata Karenia dengan panik.Nadisa tertawa dalam hati. Lihatlah, gadis licik ini terlihat mati kutu di hadapan dua lelaki kaya raya incarannya. Terlihat begitu menyedihkan."Ah, iya. Kamu benar, Karen. Sudah jam sembilan rupanya," ucap Nadisa dengan tenang. "Aku dan Karen harus

  • Kehidupan Kedua   14. Cokelat dari Sean

    Nadisa kembali melangkahkan kakinya. Hendak menuju ruangannya. Gadis Sanjaya itu tanpa ragu meninggalkan Karenia yang terdiam dan menatap nyalang pada punggung berbalut blazer hitamnya.Karenia berdecak seraya melipat tangan di depan dada."Apa-apaan, sih, dia. Cewek sialan nggak jelas." Karenia berdesis, sebelum akhirnya ia berjalan menuju area kerja departmennnya.Akan tetapi, baru saja beberapa langkah Karenia jejaki, tiba-tiba saja sebuah suara berhasil menghentikan Karenia. Suara yang tidak terlalu asing bagi Karenia."Karenia!"Suara lelaki itu membuat Karenia menolehkan kepala. Senyuman kontan menghiasi wajah cantik Karenia. Tak lupa, ia menyelipkan rambut hitam bergelombangnya ke belakang telinga. Lalu menunggu lelaki itu berjalan mengikis jarak dengannya."Sean?" panggil Karenia dengan sangat lembut. Dalam hati, Karenia bersorak kegirangan. Lihatlah, lelaki kaya ini akhirnya tertarik juga pada dirinya. Dasar sok jual mahal di awal. "Ada apa? Ken

  • Kehidupan Kedua   15. Lebih Hangat

    Nadisa saat ini sedang duduk di kursinya; dalam ruang sekretaris direktur utama. Nadisa kemudian melirik ke arah pintu bertuliskan direktur utama yang tak jauh darinya. Pintu ruangan yang biasanya diisi oleh sang Papa.Nadisa beranjak dari posisinya, kemudian memasuki ruangan papanya.Kedua kaki berlapiskan sepatu hak tinggi milik Nadisa melangkah mendekati jendela kaca di sana. Kemudian melihat banyaknya mobil pick up yang menurunkan karangan bunga berbagai warna di area kantor Sanjaya."Hah …" Nadisa menghela napas pelan.Gadis Sanjaya itu tenggelam dalam pikirannya. Pada awalnya, Nadisa memang berangkat ke kantor untuk membuat rencana guna menghindari takdir buruknya. Akan tetapi, berhadapan langsung dengan para penyebab kehancuran hidupnya ternyata sangat sulit bagi Nadisa. Rasa takut, khawatir, juga amarah seakan meledak-ledak dalam benak Nadisa.Terutama saat melihat wajah Jevano dan Karenia.Akan tetapi, satu hal yang Nadisa tahu. Nadisa haru

  • Kehidupan Kedua   16. Narendra Bagaskara

    Nadisa menenggak habis susu kocok rasa cokelatnya. Makan siangnya pun telah tandas tak bersisa. Membuat gadis itu berniat untuk membuang wadah makanannya dan kembali ke ruangannya, di depan ruangan direktur utama.Krieet.Suara pintu yang terbuka di ruangan Nadisa membuat gadis itu bergegas keluar dari ruangan sang Papa. Senyuman terpatri manis di wajah Nadisa."Kakak kok balik lag–"Ucapan Nadisa terhenti tatkala mendapati sosok Jevano Putra Hartono di dalam ruangannya sebagai sekretaris direktur utama. Dia. Bukan. Kakaknya. Senyuman di wajah Nadisa pun perlahan lenyap."Jevan…?" gumam Nadisa, dengan wajah bingungnya.Jevano tersenyum manis dengan kedua mata yang menyipit. Terlihat tampan juga menggemaskan di saat yang bersamaan. Sama sekali tidak menyadari perubahan ekspresi Nadisa tatkala menatapnya."Mau makan siang bersamaku, Nadisa?" tawar Jevano.Nadisa mengangkat kantung kertas yang sedang dibawanya. Pun ia berjalan ke arah Jevano, hendak

Latest chapter

  • Kehidupan Kedua   80. Ada yang Aneh

    Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap

  • Kehidupan Kedua   79. Ada Waktu Luang?

    Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang

  • Kehidupan Kedua   78. Lembutnya Mama

    Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin

  • Kehidupan Kedua   77. Suara Jeffrey

    Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu

  • Kehidupan Kedua   76. Pendengar yang Baik

    "Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega

  • Kehidupan Kedua   75. Lari

    Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na

  • Kehidupan Kedua   74. Perseteruan

    Nadisa masih bergeming di posisinya. Dengan satu tangan yang memegangi pipi kiri, tempat yang baru saja menjadi sasaran dari tangan Ayu Tirta Sanjaya. Pipinya memang terasa sangat sakit, tapi lebih dari itu, hati Nadisa jauh lebih perih."Mama menampar Disa....?" lirih Nadisa. "Disa salah apa, Ma? Disa salah apa sampai Mama tega menampar Disa?" cecar Nadisa dengan penuh rasa kecewa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berusaha menahan tangisannya karena tidak ingin dianggap lemah oleh sang Mama.Mama Ayu mengepalkan tangannya. Masih menatap sang putri dengan mata yang melebar, nyalang. Dipenuhi amarah dan kecewa."Kenapa Mama diam? Jawab Disa! Kenapa Mama tega menampar Disa?!" teriak Nadisa. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun."Kamu masih bertanya?! Setelah kebohongan kamu ke Mama, kamu masih bisa bertanya alasan Mama menampar kamu?! Iya?!" balas sang Mama.Jawaban dari Ayu Tirta Sanjaya membuat Nadisa membelalakkan mata dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Pupil m

  • Kehidupan Kedua   73. Tamparan

    Langit kini telah menjadi gelap. Pun jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Jeffrey Tirta Sanjaya telah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah waktunya untuk beristirahat.Akan tetapi, lelaki tampan bernama lengkap Jeffrey Tirta Sanjaya itu justru baru saja menghentikan laju mobilnya. Memarkirkan kendaraan mahal itu di depan kediamannya. Ya, kediaman Sanjaya yang berlokasi di Jakarta.Entah ada angin apa hari ini, Mama Ayu akhirnya mengizinkan Jeffrey untuk pulang ke rumah mereka, meski hanya untuk satu hari. Maklum, Jeffrey memang harus mengurus kantor cabang yang ada di Bandung. Jadi tentu saja ia tidak bisa berlama-lama di rumah yang selalu saja ia rindukan.Lelaki tampan itu mengeluarkan dua kantung besar dari bagasi mobil hitamnya. Kantung berisikan bolu cokelat yang tempo hari Nadisa pesan. Juga beberapa susu yang sekiranya sang Mama dan sang adik suka."Sini saya bantu, Tuan." Pak Asep menawarkan bantuan. Beliau memang yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Jeffrey.

  • Kehidupan Kedua   72. Ubah Rencana

    Puk. Puk. Puk.Setiap kali kaki itu melangkah, pasir pantai yang dipijaknya akan membentuk jejak kaki. Mengikuti bentuk sandal yang kedua orang itu kenakan. Satu berukuran besar, dan satu lagi lebih kecil.Jejak kaki itu terlihat di sepanjang pesisir pantai, di dekat deburan ombak yang terlihat tidak terlalu besar. Hanya sesekali membasahi kaki. Tanpa bisa menyeret dua insan yang tengah berjalan di bawah cerahnya mentari."Indah sekali, ya. Pantai di Jakarta ternyata nggak buruk juga." Nadisa membuka percakapan di antara keduanya.Narendra menipiskan bibirnya, tersenyum manis. Ia memandangi Nadisa yang kini berjalan mundur, agar bisa berbincang dengan dirinya. Embusan angin pantai menerbangkan helaian rambut hitamnya dengan sedikit kencang."Iya, indah sekali." Perkataan itu terlontar, tatkala Narendra memandangi Nadisa Tirta Sanjaya. Entah ditujukan untuk pantai yang ia kunjungi, atau untuk gadis yang ia cintai."Iya 'kan? Sudah gitu, di bagian sini tid

DMCA.com Protection Status