Nadisa menenggak habis susu kocok rasa cokelatnya. Makan siangnya pun telah tandas tak bersisa. Membuat gadis itu berniat untuk membuang wadah makanannya dan kembali ke ruangannya, di depan ruangan direktur utama.Krieet.Suara pintu yang terbuka di ruangan Nadisa membuat gadis itu bergegas keluar dari ruangan sang Papa. Senyuman terpatri manis di wajah Nadisa."Kakak kok balik lag–"Ucapan Nadisa terhenti tatkala mendapati sosok Jevano Putra Hartono di dalam ruangannya sebagai sekretaris direktur utama. Dia. Bukan. Kakaknya. Senyuman di wajah Nadisa pun perlahan lenyap."Jevan…?" gumam Nadisa, dengan wajah bingungnya.Jevano tersenyum manis dengan kedua mata yang menyipit. Terlihat tampan juga menggemaskan di saat yang bersamaan. Sama sekali tidak menyadari perubahan ekspresi Nadisa tatkala menatapnya."Mau makan siang bersamaku, Nadisa?" tawar Jevano.Nadisa mengangkat kantung kertas yang sedang dibawanya. Pun ia berjalan ke arah Jevano, hendak
Nadisa berlari menyusuri kantornya. Dengan napas yang tersengal dan rambut kelam yang diterpa angin, selaras dengan betapa cepat langkahnya. Beberapa karyawan yang kebetulan sedang melintas pun menoleh dan memandangi Nadisa dengan keheranan. Tapi sama sekali tidak Nadisa indahkan.Suara karyawan perempuan tadi kembali mengalun di telinga Nadisa."Ha-harusnya masih ada, Nona. Tadi saat kami lihat, lelaki bernama Narendra Bagaskara itu ada di ruangan HRD."TAK! TAK! TAK!Nadisa kian mempercepat laju langkahnya. Mengabaikan kebisingan yang tercipta akibat hentakan sepatu hak tingginya dengan lantai kantor Sanjaya. Dirinya ... sangat ingin bertemu dengan Narendra Bagaskara. Penyelamatnya.***Karenia Winata beserta seluruh staf Human Resource Development sudah duduk berjejer di ruangannya. Berhadapan dengan dua kandidat karyawan baru di kantor Sanjaya."Jujur saja. Kalian berdua memiliki potensi yang sangat baik untuk menjadi staf human resource di perus
Mendengar ucapan bernada pedas dari Nadisa Tirta Sanjaya, Karenia Winata pun sukses bungkam di tempatnya. Gadis dengan rambut bergelombang itu hanya bisa menggertakkan giginya, menyalurkan emosinya.Nadisa tersenyum miring."Tunggu apa lagi? Pak Kepala departemen, tolong umumkan hasilnya." Nadisa berkata dengan nada tegasnya."B-baik, Nona," pria paruh baya berbadan gempal dengan kepala botak itu langsung beranjak dari posisi duduknya. "Dengan adanya instruksi langsung dari Nona Nadisa, maka kedua kandidat dinyatakan lolos menjadi staf di perusahaan Sanjaya. Saudari Winda Anastasia diterima sebagai staf Human Resource Development, sementara saudara Narendra Bagaskara akan menjadi asisten Nona Nadisa. Selamat atas keberhasilan kalian."Pria itu segera menjabat tangan Winda dan Narendra secara bergantian. "Selamat, ya.""Terima kasih, Pak." Narendra dan Winda menjawab dengan sopan disertai senyuman di wajah mereka.Nadisa yang awalnya berdiri di amban
Secara perlahan, Narendra Bagaskara berniat melepaskan tangannya dari Nadisa. GRET! Akan tetapi, Nadisa justru mengeratkan genggamannya. Tidak membiarkan Narendra melepasnya."Lepaskan tanganku, Jevan." Nadisa berkata pelan."Pergi bersamaku, maka tanganmu aku lepaskan," kata Jevano. Masih bersikeras mencengkram lengan Nadisa."Bukankah aku sudah bilang, aku nggak suka dipegang sembarangan." Kedua mata kelam milik Nadisa tertuju pada Jevano yang lebih tinggi darinya. Menatap lurus pada netra sang lelaki."Aku juga sudah bilang, aku akan melepas tanganmu kalau kamu mau ikut denganku," tantang Jevano. Ekor matanya melirik ke arah tautan tangan Nadisa dengan Narendra.Tanpa aba-aba, Jevano menggunakan tangannya yang bebas untuk menarik tangan Narendra. Memaksa tautan itu untuk terlepas."Nadisa tidak suka dipegang sembarangan, Gembel." Jevano berkata sinis pada Narendra. Membuat sang lelaki Bagaskara hanya bisa mengepalkan tangan, menahan emosinya.Nadi
Sean Dewa Atmoko masih duduk di lobi kantor Sanjaya. Sean memang sengaja bertahan di sana untuk bisa bertemu kembali dengan Nadisa Tirta Sanjaya. Syukur-syukur, bisa mengajak gadis itu makan siang atau sekadar mengobrol bersama. Ah, juga menanyakan apakah Nadisa menyukai cokelat pemberiannya."Nanti aku minta nomor ponselnya juga kali, ya…" gumam Sean. Lelaki berkulit putih dan bertubuh kurus tinggi itu senyam-senyum sendiri. Membayangkan bagaimana jika nanti dirinya kembali berbincang dengan sang gadis Sanjaya.Sean menyugar rambut hitamnya ke belakang. Membuat para karyawan perempuan di sana menahan napas lantaran terpesona. Wajah Sean yang khas Asia, lebih terkesan seperti orang Jepang, mampu membuat gadis-gadis memusatkan atensi padanya. Bahkan langsung jatuh cinta."Gila, dia tampan sekali.""Gayanya juga trendy. Sepertinya anak bos, ya?"Bisikan itu terus saja berkeliaran di sekitar Sean, tetapi sama sekali tidak didengar oleh sang empunya na
Tanpa menunggu waktu lama, Nadisa segera menerima sambungan telepon dari mamanya. "Halo, Mama? Ada apa, Ma? Mama butuh sesuatu ya di rumah?" cecar Nadisa. Khawatir kalau sang Mama sedang tidak baik-baik saja di kediamannya."Mama baik-baik saja, Disa. Tenanglah dulu ya, Sayang." Mama Ayu di seberang sana berkata dengan suara seraknya.Nadisa kontan menghela napas lega. Kini, ia menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya. Sudah lebih santai dibandingkan sebelumnya."Kalau begitu, ada apa, Ma?" tanya Nadisa."Begini, Disa. Nanti malam, kamu pulang bersama Jevan anaknya Tante Jessica saja ya, Sayang?" tanya Mama Ayu.Nadisa menggembungkan pipinya. Biar ia tebak, Jevano pasti habis menghubungi mamanya. Makanya Mama Ayu sampai menelepon Nadisa."Disa naik taksi saja, Ma.""Taksi? Memangnya kakakmy ke mana, Sayang?" tanya Mama Ayu.PLUK! Tangan kiri Nadisa secara refleks menepuk dahinya. Dia keceplosan. Ah, benar-benar makin runyam!"Sayang? Jawa
Jam dinding di sudut ruangan direktur utama sudah menunjukkan pukul lima sore. Meski begitu, Nadisa Tirta Sanjaya masih saja mengobrak-abrik lemari di ruangan almarhum sang Papa untuk menemukan pakaian lain milik Jeffrey, kakaknya."Seingatku Kak Jeff masih menyimpan beberapa baju lagi di sini." Nadisa bergumam pelan, seraya berjinjit hendak memeriksa pakaian yang ada di laci atas lemari papanya."Kamu sudah memberiku tiga pakaian, Nadisa. Aku sudah sangat cukup dengan itu semua." Narendra berkata dengan hati yang tidak nyaman.Awalnya, Narendra merasa senang dengan pemberian Nadisa padanya. Akan tetapi, lama kelamaan Narendra jadi tidak enak hati untuk menerimanya. Dan lagi, Narendra baru menyadari kalau sikap Nadisa sangat berbeda dibandingkan saat kuliah dulu.Nadisa … jadi jauh lebih baik padanya. Padahal saat kuliah, Narendra seringkali mendapatkan tatapan tajam dari Nadisa tatkala tanpa sengaja Narendra mencuri pandang padanya.Narendra jadi bingung me
Nadisa mulai berjalan cepat untuk menjauh. Meski sesekali Nadisa menoleh ke belakang, guna memastikan keberadaan pria misterius berhoodie hitam itu.Tepat saat Nadisa menoleh, kedua matanya dapat melihat kilauan sesuatu di tangan orang itu. Tidak asing bagi Nadisa. Itu … sebilah pisau.Tanpa aba-aba, pria itu berlari ke arah Nadisa.Ini seperti de javu. Peristiwa itu terjadi lagi pada Nadisa!"TOLONG!" teriak Nadisa, tepat ketika lelaki itu menahan lengannya. Dengan satu tangan lainnya mengangkat pisau ke udara.BRUK! Tiba-tiba saja, pria misterius itu ditendang oleh seseorang dari belakang. Hingga jatuh tersungkur ke aspal dan pisau yang sebenarnya hanyalah mainan pun terpental."Ah, sialan!"Pria itu segera memperbaiki letak tudung hoodie di kepalanya, lalu mengambil langkah untuk pergi secepatnya.Peristiwa tadi berlalu dengan sangat cepat. Hingga Nadisa hanya bisa terbelalak tatkala melihat orang yang baru saja menyelamatkannya. Itu … Na
Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap
Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang
Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin
Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu
"Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega
Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na
Nadisa masih bergeming di posisinya. Dengan satu tangan yang memegangi pipi kiri, tempat yang baru saja menjadi sasaran dari tangan Ayu Tirta Sanjaya. Pipinya memang terasa sangat sakit, tapi lebih dari itu, hati Nadisa jauh lebih perih."Mama menampar Disa....?" lirih Nadisa. "Disa salah apa, Ma? Disa salah apa sampai Mama tega menampar Disa?" cecar Nadisa dengan penuh rasa kecewa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berusaha menahan tangisannya karena tidak ingin dianggap lemah oleh sang Mama.Mama Ayu mengepalkan tangannya. Masih menatap sang putri dengan mata yang melebar, nyalang. Dipenuhi amarah dan kecewa."Kenapa Mama diam? Jawab Disa! Kenapa Mama tega menampar Disa?!" teriak Nadisa. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun."Kamu masih bertanya?! Setelah kebohongan kamu ke Mama, kamu masih bisa bertanya alasan Mama menampar kamu?! Iya?!" balas sang Mama.Jawaban dari Ayu Tirta Sanjaya membuat Nadisa membelalakkan mata dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Pupil m
Langit kini telah menjadi gelap. Pun jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Jeffrey Tirta Sanjaya telah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah waktunya untuk beristirahat.Akan tetapi, lelaki tampan bernama lengkap Jeffrey Tirta Sanjaya itu justru baru saja menghentikan laju mobilnya. Memarkirkan kendaraan mahal itu di depan kediamannya. Ya, kediaman Sanjaya yang berlokasi di Jakarta.Entah ada angin apa hari ini, Mama Ayu akhirnya mengizinkan Jeffrey untuk pulang ke rumah mereka, meski hanya untuk satu hari. Maklum, Jeffrey memang harus mengurus kantor cabang yang ada di Bandung. Jadi tentu saja ia tidak bisa berlama-lama di rumah yang selalu saja ia rindukan.Lelaki tampan itu mengeluarkan dua kantung besar dari bagasi mobil hitamnya. Kantung berisikan bolu cokelat yang tempo hari Nadisa pesan. Juga beberapa susu yang sekiranya sang Mama dan sang adik suka."Sini saya bantu, Tuan." Pak Asep menawarkan bantuan. Beliau memang yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Jeffrey.
Puk. Puk. Puk.Setiap kali kaki itu melangkah, pasir pantai yang dipijaknya akan membentuk jejak kaki. Mengikuti bentuk sandal yang kedua orang itu kenakan. Satu berukuran besar, dan satu lagi lebih kecil.Jejak kaki itu terlihat di sepanjang pesisir pantai, di dekat deburan ombak yang terlihat tidak terlalu besar. Hanya sesekali membasahi kaki. Tanpa bisa menyeret dua insan yang tengah berjalan di bawah cerahnya mentari."Indah sekali, ya. Pantai di Jakarta ternyata nggak buruk juga." Nadisa membuka percakapan di antara keduanya.Narendra menipiskan bibirnya, tersenyum manis. Ia memandangi Nadisa yang kini berjalan mundur, agar bisa berbincang dengan dirinya. Embusan angin pantai menerbangkan helaian rambut hitamnya dengan sedikit kencang."Iya, indah sekali." Perkataan itu terlontar, tatkala Narendra memandangi Nadisa Tirta Sanjaya. Entah ditujukan untuk pantai yang ia kunjungi, atau untuk gadis yang ia cintai."Iya 'kan? Sudah gitu, di bagian sini tid