Home / Romansa / Kehidupan Kedua / 4. Pengkhianatan

Share

4. Pengkhianatan

last update Last Updated: 2022-04-06 22:47:53

Resepsi pernikahan Nadisa telah resmi berakhir beberapa saat lalu. Kini, mentari telah benar-benar kehilangan sinarnya dan digantikan oleh rembulan di langit yang kelam. Pun jam dinding di kamar hotel Nadisa sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Nadisa kini sedang berbaring di ranjang hotelnya. Dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga perut.

Nadisa kini mengenakan piyama lengan panjang dan celana pendek selututnya. Sama sekali bukan pakaian yang cocok untuk malam pertama, karena memang itu bukan tujuannya.

Sreeeeg! Suara pintu yang digeser dari arah kamar mandi di sudut kamar hotel itu membuat Nadisa memiringkan tubuhnya. Membelakangi Jevano yang baru saja keluar dari sana setelah membersihkan dirinya.

Nadisa sama sekali tidak tertarik untuk melihat sosok suaminya.

Nadisa berusaha memejamkan mata, ingin memasuki alam mimpinya. Akan tetapi, sebuah sentuhan di lengan atasnya membuat Nadisa secara refleks menghempas tangan yang menyentuhnya.

Nadisa menoleh, lalu mendapati Jevano yang sedang memandangnya dengan kaget.

"Apa aku terlalu mengagetkanmu?" tanya Jevano pelan. Lelaki tampan itu terlihat hanya mengenakan baju handuk putihnya. Membuat Nadisa sadar, apa yang Jevano ingin lakukan.

Nadisa bangkit untuk duduk. "Maaf, Jevan. Aku yang salah, aku nggak sengaja menepis tangan kamu. Maaf juga, aku … sepertinya belum bisa melakukannya." Nadisa berkata dengan suara lemahnya.

Gadis Sanjaya itu bangkit dari ranjang, lalu berjalan menuju balkon kamarnya. Lalu menyandarkan lengannya pada pembatas balkon yang ada. Membiarkan Jevano seorang diri di ranjang besar mereka.

Mata kelam milik Nadisa memandangi rembulan yang terlihat sendirian di tengah pekatnya malam. Tanpa sedikit pun bintang. Ah, bulan itu ... nggak ada bedanya dengan Nadisa sekarang. Sendirian.

Kling! Tiba-tiba saja, telepon genggam yang memang ada di saku celana piyama Nadisa berbunyi. Membuat gadis itu memeriksanya, lalu berakhir memandang gamang pada layar benda elektronik tersebut.

Itu pesan dari mamanya.

Disa, mama harap Disa dapat segera memberikan cucu untuk mama. Semangat ya, sayang. Disa pasti bisa.

Rentetan kata itu membuat Nadisa menghela napas panjang. Pun kedua kaki jenjangnya kembali melangkah memasuki kamar hotelnya. Di mana Jevano sedang berbaring di ranjang mereka. Memandang Nadisa dengan penuh tanya, tapi masih mengulas senyum lembutnya.

Nadisa meremas telepon genggam di tangan kanannya. Ia berusaha keras melawan ketakutannya.

Hingga akhirnya Nadisa melangkah maju dan meletakkan telepon genggamnya di atas nakas, di samping ranjangnya. Lalu Nadisa memasuki selimutnya bersama Jevano.

Sang gadis Sanjaya memeluk lengan kekar Jevano dengan tubuh mungilnya. Membuat Jevano tersenyum senang dan balas mendekap tubuh Nadisa.

"Aku akan hati-hati, Nadisa."

***

Arloji milik Jevano yang tergeletak di atas nakas kini telah menunjukkan pukul dua belas malam. Ya, kini sudah tepat tengah malam.

Lelaki tampan berkulit seputih porselen itu baru saja melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi, untuk kali kedua malam ini. Kini, Jevano sudah mengenakan hoodie hitamnya. Dengan celana denim panjang berwarna senada.

Jevano mendekati Nadisa, lalu mengusap lembut rambut hitam milik istrinya. Membuat Nadisa yang awalnya terlelap jadi kembali terjaga.

"Mau ke mana, Jevan?" tanya Nadisa dengan suara seraknya. Ia mengeratkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Merasa udara di kamar hotel tersebut sangat dingin di kulitnya.

Jevano tersenyum lembut hingga kedua matanya menyipit. "Ada pekerjaan sedikit. Aku akan kembali sebelum pagi nanti. Kamu istirahat saja ya, Nadisa?"

Nadisa Tirta Sanjaya hanya bisa mengangguk kecil. Toh tubuhnya sangat sakit saat ini. Jadi dia tidak akan bisa jika harus menemani Jevano pergi.

"Terima kasih banyak, Nadisa. Aku pergi."

Maka dengan ucapan salam tersebut, Jevano mengambil langkahnya meninggalkan Nadisa.

Ia sempat memperhatikan sosok Nadisa yang masih bergelung di dalam selimut tatkala dirinya mencapai pintu kamarnya. Terdiam sejenak di sana.

Hingga perlahan, Jevano menutup objek berbahan dasar kayu tersebut. Benar-benar meninggalkan istrinya seorang diri di dalam sana. Menuju destinasi Jevano berikutnya.

***

Jevano Putra Hartono melangkahkan kaki, keluar dari mobil mewah berwarna hitamnya. Lalu memasuki minimarket yang merupakan tempat pertemuannya dengan seseorang. Pun seorang gadis cantik berpakaian tanktop hitam dan celana pendek putih langsung melambaikan tangan, menyambut kedatangan Jevano di sana.

Ya, itu Karenia Winata.

Jevano bergegas mendekati gadis cantik itu, lalu mengecup singkat bibirnya.

Karenia juga balas merangkul leher Jevano dan dengan senang hati membalas ciumannya. Barulah keduanya saling bertukar senyuman bahagia.

"Kak Jevan lama datangnya," keluh Karenia.

"Maaf," sahut Jevano seadanya.

"Kak Jevan sudah melakukannya dengan Disa juga?" Karenia menekankan kata juga, karena dirinya pun telah melakukannya dengan Jevano. Bahkan sebelum Nadisa.

"Haruskah aku menjawabnya?" Jevano bertanya balik, merasa risih dengan pertanyaan gadisnya.

Karenia sempat terdiam, baru kemudian mengangguk dengan wajahnya yang menggemaskan. "Kak Jevan benar, tidak perlu dijawab. Nanti Karen sakit hati sendiri. Ya sudah, ayo kita pergi? Eh, beli itu dulu tapi!"

Jevano yang mengerti pun langsung menggenggam tangan Karenia dan melangkah menuju kasir, tetapi Karenia menahan pergelangan tangan Jevano.

"Karen mau ke toilet dulu sebentar, Kak. Kakak beli aja dulu itunya. Karen nggak akan lama," kata Karenia, kemudian langsung merajut langkahnya menjauhi Jevano. Menuju toilet yang ada di sudut dalam minimarket.

Tidak ada pilihan lain, Jevano pun langsung menuju kasir. Mengambil pengaman yang ada di sana, lalu meletakkannya di meja.

Penjaga kasir di sana langsung melakukan scan pada benda yang dibeli Jevano, lalu menerima uang yang disodorkan sebagai bayaran.

"Ini kembaliannya," kata penjaga kasir tersebut dengan suara rendahnya.

Jevano menyentuh beberapa lembar uang kembalian tersebut, tetapi sang penjaga kasir tak kunjung melepas uang di tangannya. Membuat Jevano tidak dapat mengambilnya.

Tepat saat Jevano mendongak, barulah ia sadar mengapa orang di hadapannya tidak mau melepaskan kembaliannya.

"Pecundang, ternyata." Jevano berkata santai. Pun ia melepas kembalian yang masih ditahan oleh Narendra Bagaskara. "Kamu boleh ambil kembaliannya kalau kamu memang membutuhkannya, Narendra."

Narendra menatap sengit pada Jevano. Kalau tatapan seseorang bisa membunuh, Jevano pasti sudah mati karena Narendra benar-benar menatapnya dengan tajam. Seakan Narendra siap untuk merobek tubuh Jevano hingga terbagi dua, lalu berakhir mati di tangannya.

"Jangan pernah mempermainkan Nadisa," kata Narendra.

Jevano menarik satu sudut bibirnya. "Kamu tidak berhak mengaturku, Narendra." Telunjuk kanannya ia gunakan untuk mendorong bahu Narendra. "Kalau kamu punya waktu, jangan lagi mengurusiku. Lebih baik cari uang yang banyak untuk memperbaiki hidupmu yang menyedihkan itu."

Grep! Narendra menahan lengan Jevano. Mencengkramnya erat. "Kubilang jangan pernah mempermainkan Nadisa!" ujarnya.

"Kamu tidak mengerti apa-apa. Jadi tutup saja mulut sampahmu, Narendra. Atau aku bisa buat kamu dipecat dari sini sekarang juga." Jevano berkata dengan dingin. Balik menatap tajam pada Narendra Bagaskara, lalu menghempas tangan Narendra.

"Ada apa ini, Kak Jevan?" Karenia yang kembali dari toilet dibuat bingung dengan atmosfer dingin antara Jevano dan penjaga kasir minimarket.

Sedetik kemudian, Karenia baru sadar siapa penjaga kasir tersebut. Membuat Karenia tersenyum miring. "Ah, ada Narendra si miskin rupanya."

Narendra menatap tajam Karenia. Gadis ini ... padahal dia adalah sahabat Nadisa, tapi dia malah mengkhianati Nadisa dengan teganya.

"Kamu dari dulu memang menyedihkan, ya, Narendra? Mengejar-ngejar Nadisa tanpa pernah sadar diri. Bahkan cewek sombong itu sama sekali nggak pernah memandangmu sampai saat ini. Benar-benar pecundang sejati."

Narendra bergeming di tempatnya. Meremas kepalan tangannya di bawah sana. Kalau saja Karenia bukan perempuan, Narendra pasti sudah menghadiahkan bogeman mentah di wajahnya.

Karenia menarik kerah seragam Narendra untuk menunduk, lalu mendekatkan wajahnya pada Narendra. Mengabaikan meja kasir yang ada sebagai pemisah mereka.

Gadis seksi itu membisikkan sesuatu di telinga sang adam yang masih menatap sengit padanya. "Kamu sangat cocok dengan Disa, Narendra. Menyedihkan. Menyebalkan. Memuakkan. Kamu harusnya sedikit lebih berusaha, agar Kak Jevan berakhir denganku, bukannya dengan cewek sombong pujaanmu."

Karenia mendorong bahu Narendra hingga lelaki itu mundur. Pun Karenia segera merangkul lengan Jevano. "Ayo kita pergi, Kak Jevan. Orang kayak dia nggak perlu didengarkan. Nggak berguna."

Jevano pun pergi bersama Karenia. Lelaki tampan itu menyempatkan diri untuk tersenyum mengejek pada Narendra. Yang kini tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal gadis yang ia cintai tengah disakiti oleh lelaki brengsek di depannya.

***

Nadisa membuka matanya di pagi hari, lalu mendapati bahwa dirinya masih saja sendiri. Sepertinya, Jevano belum kembali sejak malam tadi. Padahal, dia sudah berjanji pada Nadisa bahwa akan pulang sebelum pagi.

"Pekerjaannya pasti sangat banyak," lirih Nadisa.

Setelahnya, gadis cantik itu bangkit dari ranjangnya. Berniat untuk bersiap, karena Nadisa akan pergi ke kantornya. Ia tidak ingin membuang waktunya dengan bermalas-malasan meski sudah menjadi istri orang. Nadisa harus fokus memajukan perusahaannya. Agar tidak harus bersandar pada Jevano terlalu lama.

Setelah membersihkan diri, Nadisa pun keluar dari kamar hotelnya. Memesan sebuah taksi di luar sana, lalu menaikinya dan tiba di kantor perusahaan milik keluarga Sanjaya.

Tepat saat Nadisa tiba di persimpangan dekat kantor Sanjaya, sebuah pesan ia terima di telepon genggamnya. Ting! Pesan dari Jevano, ternyata.

Nadisa, maaf aku tidak bisa pulang pagi ini. Pekerjaanku sangat banyak dan belum selesai sampai saat ini. Nanti siang akan aku jemput di hotel, kita pindah rumah baru kita.

Nadisa mematri sebuah senyum di bibir tipisnya. Benar, 'kan. Jevano ternyata lembur karena pekerjaannya. Maka Nadisa dengan tenang mengetikkan balasan.

Tidak apa-apa, Jevan. Aku mengerti. Tapi aku harus bekerja hari ini, sore nanti akan aku hubungi jika aku sudah selesai. Kamu bisa menjemputku di kantor nanti.

Tak menunggu lama, balasan dari Jevano kembali Nadisa terima. Kali ini, Jevano menjawabnya dengan emotikon jempol dan hati. Membuat Nadisa tersenyum lembut melihatnya.

Mungkin, mamanya benar. Jevan memang orang yang tepat untuknya.

"Kita sudah sampai di kantor Sanjaya's Group, Nona." Sopir taksi yang ditumpangi Nadisa berkata dengan sopan. Nadisa pun memberikan satu lembar uang berwarna merah muda. "Nona, saya tidak punya uang kembaliannya. Apa tidak ada uang pas?"

"Untuk Bapak saja. Terima kasih." Setelah mengatakannya, Nadisa pun keluar dari taksi yang ditumpanginya.

Tibanya Nadisa di kantor Sanjaya terjadi bersamaan dengan kedatangan Jeffrey Tirta Sanjaya; kakaknya. Lelaki tinggi itu tersenyum melihat adiknya, hingga lesung di kedua pipinya nampak. Membuat karyawan wanita di sana terpesona dan menahan pekikan histeris mereka.

"Disa?" panggil Jeffrey seraya mendekati Nadisa. "Kenapa datang hari ini? Kamu seharusnya beristirahat saja."

"Disa nggak punya waktu untuk istirahat," jawab Nadisa singkat.

Jeffrey sedikit menunduk karena ucapan tajam Nadisa. Adiknya itu … terlihat sangat membencinya.

"Kalau nggak ada yang mau dibicarain lagi, Disa pergi."

"Tunggu," kata Jeffrey. Sulung Sanjaya itu mengulurkan tangannya yang memegang roti dan kopi. Sarapan yang sebenarnya ia beli untuk dirinya sendiri. "Kamu sering lupa sarapan. Mulai sekarang, jangan begitu lagi."

Nadisa yang malas untuk memulai pertengkaran jika menolak, terpaksa menerima pemberian Jeffrey. "Terima kasih."

"Kakak minta maaf, Disa. Kakak akan berusaha membuat perusahaan kita stabil lagi. Dengan begitu, kamu bisa memutus ikatanmu dengan Jevan. Kakak akan bantu kamu untuk bisa bebas lagi. Kakak janji."

Helaan napas dari Nadisa menjadi sahutan dari ucapan Jeffrey. Nadisa mendongak, menatap kakaknya tepat di mata. Mendapati tatapan bersalah di wajah Jeffrey. Mata Jeffrey bahkan sudah berair, seolah siap untuk menangis di hadapan adik kesayangannya.

Hal itu membuat Nadisa sadar.

Mungkin ... selama ini Nadisa sudah keterlaluan pada kakaknya?

"Kakak nggak perlu melakukannya. Disa bahagia dengan Jevan. Kakak lakukan saja seperti sebelumnya. Buat Mama bangga. Disa juga akan bantu Kakak." Nadisa berkata dengan senyuman manisnya.

Benar, Nadisa pikir, inilah yang terbaik. Lagi pula, memang tidak ada yang bisa Nadisa lakukan, kecuali berdamai dengan keadaan. Dia pasti bisa melakukannya.

Related chapters

  • Kehidupan Kedua   5. Tragedi

    Malam kini telah datang. Mengusir mentari dari singgasananya, dan menggantinya dengan rembulan.Di tengah gelapnya malam, Nadisa Tirta Sanjaya duduk seorang diri di lobi kantor perusahaannya. Pekerjaannya, yang ia kira bisa selesai sore hari tadi, nyatanya membuat dirinya harus lembur malam ini.Kini, tepat saat arloji di tangannya menunjukkan pukul sebelas malam, Nadisa baru bisa merampungkan seluruh pekerjaannya. Dengan keadaan kantor yang sepi karena seluruh karyawannya sudah pulang. Pun jalanan sudah tampak lengang, tidak ada sedikit pun kendaraan umum yang lalu lalang.Nadisa menempelkan telepon genggamnya ke telinga. Menunggu seseorang yang ia hubungi mengangkat teleponnya. Tapi alih-alih menerima jawaban dari orang tersebut, Nadisa justru mendengar suara operator di seberang sana."Nomor yang anda tuju tidak menjawab--"Tut! Nadisa mematikan panggilannya untuk Jevano.Gadis Sanjaya itu menghela napas panjang, lantaran teleponnya tak kunjung diangk

    Last Updated : 2022-04-06
  • Kehidupan Kedua   6. Keajaiban

    Sakit. Tubuh Nadisa rasanya remuk redam. Membuat dirinya kesulitan untuk bergerak.Sesak. Sulit untuk bernapas. Rasanya seakan oksigen tidak mau memasuki paru-parunya, sekuat apa pun Nadisa berusaha.Gelap. Nadisa benar-benar dikelilingi kegelapan. Ini sebenarnya … di mana?"...ma? Disa? Bangunlah, sudah pagi."Suara berat itu berhasil menarik Nadisa dari kegelapan yang melingkupinya. Serta merta membuat dirinya membuka mata dan bangkit dari posisi tidurnya.Kedua mata Nadisa kontan membulat lantaran mendapati Mama Ayu sedang memeluk erat tubuhnya. Juga keberadaan sang Kakak, Jeffrey, yang saat ini berdiri di tepi ranjangnya. Nadisa mengerjapkan matanya beberapa kali.Bukankah … tadi Nadisa sudah mati?"Ungh…" suara erangan pelan dari Mama Ayu membuat Nadisa mengalihkan perhatian.Dapat dilihat oleh Nadisa, penampilan mamanya yang jauh dari kata baik-baik saja. Wajahnya pucat, dengan jejak air mata mengering di pipinya. Pun pakaiannya masih serba

    Last Updated : 2022-04-25
  • Kehidupan Kedua   7. Tangisan Mama

    Nadisa masih menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya. Sementara itu, Jeffrey melirik pada arloji di tangan kirinya. Sudah pukul delapan, ternyata. Sudah waktunya Jeffrey pergi ke kantor Sanjaya."Ma, boleh Jeffrey pergi ke kantor? Ada beberapa urusan yang harus Jeffrey selesaikan," kata Jeffrey pelan. Ia sebenarnya masih khawatir pada keadaan mamanya, tapi ia tidak bisa berdiam diri di rumah terlalu lama."Tentu saja boleh, Jeff." Mama Ayu menjawab lemah.Mendengar hal itu, Nadisa pun turut buka suara."Aa, Disa juga izin ke kantor, Ma. Ada dokumen yang harus Disa bahas dengan para staf."Tentu saja itu bohong. Nadisa bahkan tidak ingat pekerjaan apa yang sedang ia garap di kantor saat ini. Nadisa hanya … tidak mau terpuruk seperti di kehidupan sebelumnya. Bagaimana pun juga, sang Papa tidak layak ditangisi terlalu lama. Lagi pula, Nadisa harus menjadi lebih kuat dan menyiapkan rencana untuk menangani semua masalah yang akan dihadapinya!Mama Ayu menganggu

    Last Updated : 2022-04-26
  • Kehidupan Kedua   8. Serigala Berbulu Domba

    Nadisa mematung di posisinya, memandangi sang Mama yang masih menangis lirih di dalam kamar. Kedua tangan Nadisa mengepal erat di sisi tubuhnya. Menahan gejolak amarah di dalam dada."Papa jahat sekali sama keluarga kita…" lirih sang Mama. "Mama salah apa sama Papa, sampai Papa tega duain Mama…"Sialan.Andai saja Nadisa kembali ke masa dimana sang Papa masih hidup, Nadisa bersumpah akan menghajar dan menyadarkan Beliau. Sayangnya, ia kembali hidup justru di saat Papa Fadli sudah meninggal dunia. Ia tidak bisa mengubah apa-apa.Nadisa mengembuskan napas panjang, berusaha untuk tenang. Gadis Sanjaya itu merogoh isi tasnya, kemudian mengeluarkan satu kemasan kertas tisu dari sana. Nadisa meletakkannya di depan pintu kamar Mama Ayu. Lalu memutuskan untuk berjalan menjauh.Dalam langkahnya menyusuri perjalanan menuju kamar, Nadisa tanpa sengaja meneteskan air mata.Sungguh, Nadisa tidak mengerti mengapa laki-laki selalu saja menyakiti hati perempuannya. Baik

    Last Updated : 2022-04-26
  • Kehidupan Kedua   9. Jeffrey yang Peka

    Nadisa Tirta Sanjaya membisu di tempatnya. Ia sama sekali tidak berani untuk menoleh ke arah Karenia yang sudah duduk di jok tengah mobil Jeffrey. Bahkan untuk sekadar melirik Karenia Winata saja Nadisa tidak bisa. Rasa trauma ternyata telah bersarang dalam diri Nadisa.Tangan Nadisa bergetar pelan. Akan tetapi, gadis cantik berambut panjang itu berusaha menekan kedua tangannya di atas tasnya. Meredam getaran ketakutan di sana. Berharap Jeffrey tidak menyadari perilaku anehnya."Kak Jeff, terima kasih sudah memberikan tumpangan pada Karen. Karen sangat merasa terbantu. Sudah setengah jam Karen berdiri halte tadi, tapi bus yang menuju kantor belum muncul juga. Syukurlah Kak Jeff lewat dan menawari Karen untuk berangkat bersama," kata Karenia dengan suara lembutnya. Tangan lentiknya bergerak centil menyampirkan rambut bergelombangnya ke belakang telinga.Jeffrey yang fokus menyetir tersenyum kecil."Ya, tentu saja aku menawarimu ikut serta. Kamu 'kan sahabat adikk

    Last Updated : 2022-04-26
  • Kehidupan Kedua   10. Hartono?

    Nadisa mengerjap kaget lantaran mobil yang dikendarai oleh Jeffrey langsung tancap gas meninggalkan Karenia. Karenia di belakang sana bahkan melompat-lompat dan menghentakkan kaki dengan emosi. Kesal dan kebingungan karena ditinggalkan seorang diri oleh Nadisa dan Jeffrey."Hey! Kak Jeff! Disa! Kenapa aku ditinggal?!" teriak Karenia di belakang sana, terdengar samar dari dalam mobil Jeffrey karena suaranya yang memang terbilang sangat keras. "Argh! Sialan!"Nadisa bahkan sampai memutar tubuhnya, melihat Karenia yang wajahnya tampak memerah lantaran terbakar amarah. Baru kemudian Nadisa menoleh pada sang Kakak. Mendapati Jeffrey Tirta Sanjaya yang masih saja menyetir dengan sangat tenang. Seolah tidak ada masalah."Kak? Kok kita–""Kenapa kita meninggalkan Karenia?" potong Jeffrey, menebak pertanyaan dari Nadisa."I-iya," jawab Nadisa pelan.Jeffrey menyempatkan diri melempar senyum pada Nadisa, sebelum akhirnya ia kembali fokus memandang ke jalan di depannya.

    Last Updated : 2022-04-27
  • Kehidupan Kedua   11. Kemunculan Mereka Berdua

    Jeffrey kembali mendapati kebisuan dari adiknya. Membuat anak sulung keluarga Sanjaya itu menoleh, lalu mengelus kepala Nadisa dengan begitu lembutnya."Kenapa, Disa?" tanya Jeffrey lembut."Nggak–""Jevano Putra Hartono, ya?" tebak Jeffrey. "Kakak dengar, Mama pernah meminta kamu untuk lebih mengenal Jevan karena dia adalah putranya Tante Jessica. Kamu jadi tidak nyaman, ya?"Nadisa masih terdiam di tempatnya. Andai saja Jeffrey tahu kalau masalahnya tidak semudah itu. Di kehidupan sebelumnya, Nadisa telah dikhianati oleh Jevano. Parahnya lagi, Jevano melakukannya dengan Karenia Winata yang jelas-jelas merupakan sahabat Nadisa. Nadisa tidak bisa untuk baik-baik saja."Kalau kamu tidak mau, Kakak saja yang menemui para kolega kita, Disa. Pekerjaan Kakak bisa ditunda sebentar." Jeffrey berkata lembut.Nadisa menggigt bibir bawahnya.Benarkah Nadisa harus berdiam diri? Bukankah dirinya terlalu pengecut jika ia memilih untuk menghindar dan enggan m

    Last Updated : 2022-04-28
  • Kehidupan Kedua   12. Tidak Bisa Dibiarkan

    Tentu saja Nadisa kaget bukan kepalang saat melihat kedatangan Jevano dan Karenia. Mereka berdua datang bersama, pula. "Nadisa? Anda dengar saya?" tanya Sean.Sean menatap bingung pada gadis cantik di hadapannya. Pasalnya, Nadisa yang awalnya terlihat ramah kini tampak mematung. Hingga Sean memutuskan untuk mengikuti arah pandang Nadisa.Lalu Sean dapat melihat kehadiran Jevano Putra Hartono dengan seorang gadis cantik di sampingnya."Jevano?" gumam Sean. "Aa, Sean, tentu saja saya mendengarkan Anda," kata Nadisa dengan suara ramahnya. Kembali mengarahkan atensi Sean padanya. Membuat Sean tersenyum pada sang gadis Sanjaya.Di saat yang sama, Jevano dan Karenia tiba di tempat mereka."Selamat pagi," Jevano menyapa seraya berjabat tangan dengan Sean. Hanya saling bertukar senyum tipis karena keduanya tidak dekat. Lalu Jevano mengulurkan tangannya pada Nadisa. "Pagi, Nadisa. Aku turut berduka atas kepergian papamu."Nadisa sempat memandangi tangan Jevano dalam diam. Menyulut tatapan ta

    Last Updated : 2022-04-29

Latest chapter

  • Kehidupan Kedua   80. Ada yang Aneh

    Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap

  • Kehidupan Kedua   79. Ada Waktu Luang?

    Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang

  • Kehidupan Kedua   78. Lembutnya Mama

    Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin

  • Kehidupan Kedua   77. Suara Jeffrey

    Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu

  • Kehidupan Kedua   76. Pendengar yang Baik

    "Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega

  • Kehidupan Kedua   75. Lari

    Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na

  • Kehidupan Kedua   74. Perseteruan

    Nadisa masih bergeming di posisinya. Dengan satu tangan yang memegangi pipi kiri, tempat yang baru saja menjadi sasaran dari tangan Ayu Tirta Sanjaya. Pipinya memang terasa sangat sakit, tapi lebih dari itu, hati Nadisa jauh lebih perih."Mama menampar Disa....?" lirih Nadisa. "Disa salah apa, Ma? Disa salah apa sampai Mama tega menampar Disa?" cecar Nadisa dengan penuh rasa kecewa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berusaha menahan tangisannya karena tidak ingin dianggap lemah oleh sang Mama.Mama Ayu mengepalkan tangannya. Masih menatap sang putri dengan mata yang melebar, nyalang. Dipenuhi amarah dan kecewa."Kenapa Mama diam? Jawab Disa! Kenapa Mama tega menampar Disa?!" teriak Nadisa. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun."Kamu masih bertanya?! Setelah kebohongan kamu ke Mama, kamu masih bisa bertanya alasan Mama menampar kamu?! Iya?!" balas sang Mama.Jawaban dari Ayu Tirta Sanjaya membuat Nadisa membelalakkan mata dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Pupil m

  • Kehidupan Kedua   73. Tamparan

    Langit kini telah menjadi gelap. Pun jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Jeffrey Tirta Sanjaya telah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah waktunya untuk beristirahat.Akan tetapi, lelaki tampan bernama lengkap Jeffrey Tirta Sanjaya itu justru baru saja menghentikan laju mobilnya. Memarkirkan kendaraan mahal itu di depan kediamannya. Ya, kediaman Sanjaya yang berlokasi di Jakarta.Entah ada angin apa hari ini, Mama Ayu akhirnya mengizinkan Jeffrey untuk pulang ke rumah mereka, meski hanya untuk satu hari. Maklum, Jeffrey memang harus mengurus kantor cabang yang ada di Bandung. Jadi tentu saja ia tidak bisa berlama-lama di rumah yang selalu saja ia rindukan.Lelaki tampan itu mengeluarkan dua kantung besar dari bagasi mobil hitamnya. Kantung berisikan bolu cokelat yang tempo hari Nadisa pesan. Juga beberapa susu yang sekiranya sang Mama dan sang adik suka."Sini saya bantu, Tuan." Pak Asep menawarkan bantuan. Beliau memang yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Jeffrey.

  • Kehidupan Kedua   72. Ubah Rencana

    Puk. Puk. Puk.Setiap kali kaki itu melangkah, pasir pantai yang dipijaknya akan membentuk jejak kaki. Mengikuti bentuk sandal yang kedua orang itu kenakan. Satu berukuran besar, dan satu lagi lebih kecil.Jejak kaki itu terlihat di sepanjang pesisir pantai, di dekat deburan ombak yang terlihat tidak terlalu besar. Hanya sesekali membasahi kaki. Tanpa bisa menyeret dua insan yang tengah berjalan di bawah cerahnya mentari."Indah sekali, ya. Pantai di Jakarta ternyata nggak buruk juga." Nadisa membuka percakapan di antara keduanya.Narendra menipiskan bibirnya, tersenyum manis. Ia memandangi Nadisa yang kini berjalan mundur, agar bisa berbincang dengan dirinya. Embusan angin pantai menerbangkan helaian rambut hitamnya dengan sedikit kencang."Iya, indah sekali." Perkataan itu terlontar, tatkala Narendra memandangi Nadisa Tirta Sanjaya. Entah ditujukan untuk pantai yang ia kunjungi, atau untuk gadis yang ia cintai."Iya 'kan? Sudah gitu, di bagian sini tid

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status