Share

5. Tragedi

Penulis: Blessing Night
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-06 22:56:22

Malam kini telah datang. Mengusir mentari dari singgasananya, dan menggantinya dengan rembulan.

Di tengah gelapnya malam, Nadisa Tirta Sanjaya duduk seorang diri di lobi kantor perusahaannya. Pekerjaannya, yang ia kira bisa selesai sore hari tadi, nyatanya membuat dirinya harus lembur malam ini.

Kini, tepat saat arloji di tangannya menunjukkan pukul sebelas malam, Nadisa baru bisa merampungkan seluruh pekerjaannya. Dengan keadaan kantor yang sepi karena seluruh karyawannya sudah pulang. Pun jalanan sudah tampak lengang, tidak ada sedikit pun kendaraan umum yang lalu lalang.

Nadisa menempelkan telepon genggamnya ke telinga. Menunggu seseorang yang ia hubungi mengangkat teleponnya. Tapi alih-alih menerima jawaban dari orang tersebut, Nadisa justru mendengar suara operator di seberang sana.

"Nomor yang anda tuju tidak menjawab--"

Tut! Nadisa mematikan panggilannya untuk Jevano.

Gadis Sanjaya itu menghela napas panjang, lantaran teleponnya tak kunjung diangkat oleh lelaki yang kini telah resmi menjadi suaminya. Padahal, Nadisa sudah mencoba meneleponnya untuk kali ketiga.

Merasa lelah untuk kembali menelepon Jevano, Nadisa pun beralih menuju aplikasi pesan. Ia menuliskan beberapa kata di sana, lalu langsung mengirimkannya.

Jevan, bisa jemput aku sekarang?

"Nadisa." Suara bernada rendah itu membuat Nadisa mendongak, lalu terlonjak tatkala mendapati eksistensi Narendra Bagaskara di hadapannya. Sedang menunduk melihat Nadisa.

"Narendra? Mau apa kamu ke sini?" tanya Nadisa seraya bangkit dari duduknya.

Jujur saja, Nadisa kaget melihat Narendra masih nekad menemuinya. Padahal Narendra tahu, kalau Nadisa sudah menikah. Tidak bisa sembarangan diganggu olehnya karena Jevano pasti akan murka.

Narendra menundukkan pandangannya dengan tangan yang meremas di sisi tubuhnya. Mengumpulkan keberaniannya.

"Kenapa diam saja, Narendra? Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kamu pergi."

"Nadisa," lirih Narendra. "Tolong … bercerailah dengan Jevano."

Ucapan Narendra membuat Nadisa nyaris tersedak liurnya sendiri. "Uhk! Apa maksudmu? Kamu sudah gila ya?!" tanya Nadisa dengan mata yang melotot.

"I-ini demi kebaikan kamu, Nadisa. Jevano … dia bukan lelaki yang baik. Dia–" Bug! Penjelasan Narendra terpotong karena Nadisa mendorong bahunya cukup keras.

Narendra bahkan sampai mundur dua langkah karena tindakan Nadisa.

"Hentikan omong kosongmu, Narendra." Nadisa menatap jengah pada Narendra.

Gadis itu merogoh tasnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah muda. Nadisa pun menyodorkannya pada Narendra.

"Ini, ambil. Kamu nggak usah buat drama depan aku, apalagi menjelek-jelekkan suamiku. Sekarang cepat kamu pergi dan tinggalkan aku sendiri." Nadisa berkata dengan nada kesalnya.

Narendra menggelengkan kepalanya kuat-kuat, enggan menerima uang yang disodorkan oleh Nadisa. Lelaki manis itu malah menggenggam tangan Nadisa. Belum menyerah untuk meyakinkan sang gadis Sanjaya

"Aku nggak butuh uang kamu, Nadisa. Aku mau kamu percaya sama aku! Dengarkan aku! Jevano … dia berselingkuh dengan Karenia. Dia–"

Brugh! Nadisa menghempaskan tubuh Narendra dengan sekuat tenaga, hingga lelaki manis itu jatuh terduduk di tanah. Nadisa menatap dingin Narendra.

Gluduk! Gluduk! Ctar! Suara petir tiba-tiba saja terdengar bersahutan. Disusul oleh turunnya hujan. Narendra, yang terduduk di hadapan Nadisa, menatap Nadisa dengan putus asa.

"Kumohon, percayalah padaku…" Lirih Narendra.

"Aku sudah mencoba bersabar, tapi kebohonganmu sudah keterlaluan. Perselingkuhan bukanlah candaan, Narendra," desis Nadisa.

Gadis itu melemparkan uang di tangannya, hingga uang tersebut mengenai wajah Narendra. "Orang miskin memang memuakkan."

Ucapan bernada tajam dari Nadisa membuat Narendra mematung di tempatnya. Suara Nadisa bergema di dalam otaknya. Menyakitkan.

Padahal, dirinya sangat mencintai sang dara. Padahal, dirinya hanya ingin Nadisa tidak terluka. Padahal, Narendra hanya ingin agar Nadisa bisa bahagia, sekali pun tanpa dirinya.

Melihat Narendra terdiam, Nadisa pun memanfaatkan kesempatan itu untuk merajut langkahnya menjauhi sang adam. Menerobos hujan yang kini sedang mengguyur Kota Jakarta, tanpa memedulikan air yang membasahi tubuhnya.

Ia hanya ingin menjauhi Narendra karena sudah muak dengannya.

"Nadisa, a-aku mengerti! Aku tidak akan mengganggumu lagi! Tapi setidaknya izinkan aku mengantarmu pulang malam ini!" ujar Narendra, tatkala Nadisa sudah beberapa meter di hadapannya. "Terlalu berbahaya jika kamu pulang seorang diri!"

Nadisa yang mendengar teriakan Narendra pun membalikkan tubuhnya. Memperlihatkan dirinya dengan blus dan rok selutut serba putih yang mulai menjadi basah. Tapi alih-alih mengiyakan tawaran Narendra, Nadisa justru menunjukkan jari tengahnya.

Ia benar-benar sudah membenci Narendra.

"Urusi saja urusanmu sendiri, Sialan!" balas Nadisa.

Nadisa kemudian melangkahkan kakinya lebih cepat. Meninggalkan Narendra yang hanya bisa terduduk di tanah. Seraya memandang nanar pada punggung sempit Nadisa yang perlahan mulai menjauh darinya.

***

Jevano Putra Hartono melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi, hanya dengan baju handuk berwarna putih yang membalut tubuh tegapnya. Tepat saat Jevano melihat ke arah ranjang, Jevano tersenyum senang.

Dapat dilihat olehnya Karenia Winata, yang sedang berbaring dan bersandar pada kepala ranjang. Hanya dengan selimut tebal berwarna putih miliknya.

Gadis cantik itu balas tersenyum pada Jevano, lalu memberikan isyarat agar suami dari sahabatnya itu ikut berbaring bersamanya.

Jevano berbaring di sisi Karenia dan memeluknya erat. Menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Karenia dan menghirup harum tubuhnya. Pun Karenia tidak menolak, membiarkan Jevano melakukannya karena ia juga suka.

"Tadi dia menelepon," kata Karenia tiba-tiba. Membuat Jevano menarik wajahnya dari leher Karenia. Menatapi wajah cantik Karenia yang terlihat memandanginya.

"Dia … Disa?" tanya Jevano.

Dibalas anggukan kecil dari Karenia. Jevano segera mengambil telepon genggamnya yang tergeletak di atas nakas. Kemudian Jevano bergegas memeriksa aktivitas panggilan di sana.

"Tapi nggak Karen angkat. Tenang saja," kata Karenia. Membuat Jevano sontak menghela napas lega, lalu meletakkan telepon genggamnya kembali di atas nakas. Tanpa tahu bahwa Nadisa sebenarnya mengirimkan pesan padanya.

Karenia mengubah posisinya menjadi berbaring menghadap Jevano, dengan memegangi selimut agar menutupi tubuh polosnya. Ia menatap Jevano dengan pandangan yang lembut.

"Kak Jevan takut, ya?"

Jevano tertawa kecil, mengusap lembut rambut hitam panjang bergelombang milik Karenia. "Aku tidak takut, Karen."

"Kak Jevan takut," kata Karenia. "Kakak takut Disa akan tahu tentang kita. Kakak takut karena Kakak sebenarnya cinta sama dia, 'kan?"

Jevano menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman tipis di sana. Lalu memeluk Karenia dengan cukup erat. "Sudah malam, tidur saja, ya?"

"Kak Jevan menghindar. Berarti Kakak beneran cinta sama Disa," simpul Karenia.

Gadis cantik itu berusaha meloloskan diri dari dekapan Jevano, tetapi Jevano menahannya dengan mempererat pelukannya.

"Aku cintanya sama kamu, Karen." Jevano berkata dengan suara yang lembut. Kemudian ia mengecup pipi Karenia. Berusaha menenangkan gadisnya.

"Beneran?" tanya Karenia.

"Iya, Sayang. Kalau aku tidak cinta sama kamu, aku tidak akan ada di sini. Aku akan ada di rumahku bersama dia, bukannya sama kamu di apartemen kita."

"Terus kenapa Kak Jevan malah menikahi Disa?" tanya Karenia, seolah menantang.

Jevano sempat terdiam, baru kemudian kembali memasang senyuman di wajahnya yang tampan. "Untuk mendapatkan perusahaan orang tuaku, tentu saja. Ibuku berjanji akan memberikan seluruh aset keluarga padaku, jika aku bisa menikahi Nadisa. Jadi tentu saja aku melakukannya. Aku mau kamu hidup bahagia dan kaya raya bersamaku, Karen."

Karenia tersenyum senang mendengar penuturan lelaki yang tengah berbaring di sampingnya. Gadis itu menyamankan posisinya di dalam pelukan Jevano. Menenggelamkan wajah cantiknya pada dada bidang sang lelaki tercinta.

"Kalau gitu, berarti … Kakak nggak akan sedih 'kan kalau Disa hilang?" tanya Karenia dengan suara yang manja.

"Hilang?" ulang Jevano dengan bingung. Agaknya, putra tunggal dari keluarga Hartono tersebut tidak mengerti arah pembicaraan gadisnya.

"Iya. Disa nggak ada, terus Kakak sama Karen selamanya. Kita bahagia berdua, tanpa Disa. Boleh kalau begitu?" jelas Karenia.

Gadis itu mendongak, memperhatikan wajah tampan Jevano. Jari tangannya bahkan menyentuh garis rahang Jevano yang tegas. Mengagumi mahakarya Tuhan yang tercetak dengan sangat indah di sana.

"Boleh 'kan, Kak?" tegas sang gadis Winata.

Jevano, yang sebenarnya masih belum mengerti, akhirnya memilih untuk mengangguk dan mengamini. "Iya, Karen."

Karenia tersenyum bahagia, lalu mencuri kecupan kecil di rahang Jevano. Ia benar-benar mencintai lelaki kaya di depannya. Ia ingin memilikinya, tanpa ada gangguan seperti seorang Nadisa Tirta Sanjaya.

Karenia bangkit dari ranjang, dengan tangan yang menahan selimut di tubuhnya.

"Karen mau mandi dulu. Kak Jevan tidur saja duluan, pasti Kakak lelah habis bekerja. Oh iya, ponsel Kakak, Karen pegang, ya. Biar Kakak bisa tidur tanpa gangguan."

Jevano tersenyum dan mengangguk. Membiarkan Karenia masuk ke kamar mandi bersama dengan dua telepon genggam, satu milik Jevano dan satu milik Karenia.

Sementara itu, Jevano sendiri mulai menutup mata dan berusaha mencapai alam mimpinya. Tapi sebelum Jevano benar-benar terlelap, bibirnya bergerak pelan.

"Disa, andai saja kamu benar-benar mencintai aku… Semuanya pasti tidak akan serumit ini..."

Karenia belum benar-benar menutup pintu kamar mandi, tatkala lirihan Jevano mengudara di kamar yang mereka tinggali. Gadis itu kemudian meremas selimut yang menutupi tubuh polosnya. Hatinya panas. Karenia tidak bisa menerima fakta bahwa Jevano nyatanya masih mencintai Nadisa, sahabatnya.

Hidup Nadisa Tirta Sanjaya selama ini sudah terlalu sempurna. Setidaknya, setelah ini, biarkan Karenia memiliki Jevano dan seluruh kekayaannya.

Karenia kemudian menelepon seseorang melalui telepon genggam miliknya.

Tut. Tepat saat telepon tersebut diangkat, Karenia hanya mengatakan satu kata yang teramat singkat. "Lakukan."

***

Nadisa Tirta Sanjaya melangkahkan kakinya dengan cepat. Tidak peduli dengan kakinya yang kini mulai terasa perih, lantaran berjalan jauh menggunakan sepatu haknya.

Ah, ini semua karena ulah Narendra.

Nadisa jadi gegabah meninggalkan kantornya dan berakhir luntang-lantung di jalan karena tidak menemukan kendaraan untuk pulang. Sialan.

Gadis Sanjaya itu menolehkan kepalanya ke sekitar, kembali berharap dapat menemukan kendaraan umum yang bisa mengantarnya pulang. Akan tetapi, Nadisa hanya mendapati kegelapan yang sepi dan hujan yang masih saja setia membasahi bumi.

Tin! Suara klakson itu membuat Nadisa kembali menghadap depan.

Pupil mata Nadisa melebar tatkala melihat sebuah mobil bergerak menuju dirinya. Nadisa tersenyum senang, mengira bahwa mungkin mobil itu adalah taksi online yang ingin menawarkan jasa.

"Di sini, Pak!" ujar Nadisa.

Tapi kesenangan Nadiaa segera terganti oleh rasa terkejut, lantaran mobil itu justru mempercepat lajunya. Bahkan terlihat seperti hendak menabrak Nadisa.

Tidak ingin mati konyol, Nadisa pun berlari menghindar, memasuki jalan sempit yang ada di dekatnya. Merasa lebih aman, Nadisa menoleh ke belakang. Mendapati mobil tadi berhenti tepat di depan gangnya.

Tak lama setelahnya, seseorang keluar dari kursi kemudi. Membuat Nadisa menajamkan penglihatannya, lalu melihat pantulan cahaya dari sesuatu yang dibawa oleh sang pengemudi. Pisau. Nadisa yakin itu pisau!

"Shit!" Putri bungsu keluarga Sanjaya itu pun segera mengambil langkah pergi. Semakin memasuki jalan sempit, yang entah akan membawanya ke mana.

Nadisa memberanikan diri untuk menoleh ke belakang, lalu mendapati sosok itu sedang berlari mengejarnya!

Nadisa kini dapat melihat bahwa orang itu adalah laki-laki muda, dengan postur tubuh kurus tapi masih lebih tinggi dibandingkan Nadisa. Postur tubuh tersebut membuatnya dapat dengan mudah mengejar Nadisa, bahkan sudah nyaris menjangkau sang gadis Sanjaya.

Brugh! Nadisa yang panik justru tanpa sengaja menginjak batu, membuat dirinya jatuh terduduk ke tanah dengan kaki yang memar. Kini, Nadisa terduduk dengan bahu gemetar, memandangi sosok lelaki berpakaian serba hitam yang kian mendekat di tengah guyuran hujan.

"Ka-kamu mau apa?!" Nadisa berteriak dengan panik karena sosok itu sudah berada tepat di hadapannya. Nadisa tidak bisa lari lagi karena kakinya teramat nyeri. "Kamu mau uang?! A-aku akan kasih, tapi tolong jangan sakiti aku!"

"Aku nggak minat sama uang kamu," jawab lelaki itu dengan tenang. Ia menjatuhkan satu lututnya di hadapan Nadisa. Membuat wajahnya sejajar dengan sang gadis Sanjaya.

"La-lalu kamu mau apa?! Aku bisa kasih apa aja! Mobil? Rumah? Apa pun akan aku belikan, tapi jangan sakiti aku!"

Orang itu mendekatkan wajahnya pada Nadisa. Membuat Nadisa dapat melihat wajah manisnya. Nadisa bahkan mengernyit karena sosok di depannya memiliki wajah yang sangat manis dan cantik, seperti lelaki yang masih kecil.

"J-jawab! Kamu mau apa dariku?!" desak Nadisa.

"Nyawamu." Orang itu mengangkat pisaunya tinggi-tinggi, membuat Nadisa secara refleks memejamkan matanya karena merasa takut setengah mati.

Bugh!

Beberapa detik Nadisa habiskan dengan memejamkan mata, tetapi rasa sakit belum juga mendera dirinya. Nadisa pun memberanikan diri membuka mata, lalu mendapati seseorang sedang beradu kekuatan dengan sang lelaki menyeramkan.

Itu Narendra! Narendra menyelamatkannya!

"Narendra!" panggil Nadisa.

Bugh! Narendra memberikan pukulan telak di rahang sang penjahat, hingga lelaki itu terhempas ke tanah. Narendra pun menghujaninya dengan pukulan. Meski begitu, lelaki jahat tadi masih berusaha memberikan perlawanan.

"Lepaskan aku, Sialan!" ujar lelaki bertubuh kurus itu.

"Pergilah, Nadisa! Biar aku yang mengurusnya!" kata Narendra.

"I-iya." Nadisa menganggukkan kepalanya berkali-kali.

Pun gadis itu memaksakan kakinya untuk kembali berlari, kali ini keluar dari gang kecil tadi. Nadisa mendesis perih lantaran kakinya sungguh sakit, tapi ia tidak boleh berhenti.

Nadisa merogoh tasnya, kemudian berusaha mengeluarkan telepon genggamnya dengan tangan yang sudah gemetaran. Sudah mendapatkan telepon genggamnya, Nadisa pun memberanikan diri menoleh ke belakang.

Akan tetapi, pemandangan mengerikanlah yang justru terpampang.

Nadisa dapat melihatnya. JLEBB! Sosok itu menancapkan pisaunya di dada kiri Narendra. Langsung membuat Narendra tewas seketika.

Nadisa menahan napasnya, dengan mata yang terbuka lebar karena rasa kagetnya. Tanpa sengaja, Nadisa melihat wajah pembunuh itu. Mendapati senyuman lebar nan menyeramkan di wajah tersebut. Membuat sekujur tubuh Nadisa bergetar ketakutan.

Meski begitu, Nadisa kembali memacu langkahnya, untuk berlari menjauhi pembunuh yang bahkan tidak dikenalnya.

'Narendra… Maafkan aku…'

Ucapan itu terus berputar di kepala Nadisa. Membuat gadis itu kian menangisi lelaki manis yang telah mengorbankan nyawa untuknya. Nadisa merasa bersalah karena sudah bertindak kasar pada Narendra, padahal lelaki itu mati-matian menyelamatkannya.

"Maafkan aku, Narendra." Nadisa berbisik lirih.

Brughh! Di saat yang sama, Nadisa kembali jatuh terduduk karena kakinya yang sudah tidak kuat melangkah.

Dengan napas yang memburu, Nadisa merangkak menjauh, lalu menyembunyikan dirinya di balik dinding taman. Berjongkok lalu meringkuk di sana. Berharap tidak ada satu pun orang yang dapat menemukannya.

Agar setidaknya, pengorbanan Narendra tidak sia-sia.

Dengan tangan yang masih bergetar hebat, Nadisa berusaha mencari kontak Jevano. Pun gadis itu segera meneleponnya. Berharap sang suami dapat segera datang untuk menyelamatkannya.

Tuuut. Tuuut. Tuuut. Suara dering telepon terdengar sangat lambat di telinga Nadisa. Kontras dengan detak jantung Nadisa yang kian menggila. Gadis itu membekap mulutnya sendiri, mencegah suara tangisannya terdengar oleh pembunuh tadi.

Tut. Tepat saat telepon itu diangkat, Nadisa seolah mendapatkan harapan.

"Jevan--"

"Bisakah kamu jangan mengganggu pacarku, Disa? Kami sedang menghabiskan waktu bersama."

Deg. Jantung Nadisa seakan berhenti berdetak tatkala ia mendengar suara jernih milik Karenia di seberang sana. Membuat sang gadis Sanjaya terdiam mematung di tempatnya.

"Maksud--"

"Ah, kamu belum mengerti juga ya, Disa? Aku pacaran sama suami kamu, Kak Jevan. Masa gitu aja kamu nggak ngerti. Payah banget sih, padahal lulusan terbaik di fakultas kita."

"J-jangan bercanda, Karen. A-aku sangat butuh Jevan sekarang." Nadisa berusaha menjawab dengan suara yang pelan yang bergetar.

"Oh? Iyakah? Tapi sayangnya, Kak Jevan malah lagi butuh aku--"

"Sayang, kamu ngapain? Lama banget di kamar mandinya?" Suara Karenia Winata terpotong oleh suara Jevano, yang terdengar serak karena baru saja terbangun dari tidur singkatnya.

Kedua mata Nadisa melebar tatkala mendengarnya. Karenia tidak berbohong. Karenia sedang bersama Jevano. Dan panggilan sayang tadi … menunjukkan bahwa Karenia memang bermain api dengan Jevano. Suami dari Nadisa, yang merupakan sahabat Karenia sejak masa Sekolah Menengah Atas.

Narendra … tadi tidak berbohong pada Nadisa

"Iya, Kak Jevan. Karen datang!" Karen berkata dengan suara lembutnya di seberang sana. "Sudah dulu ya, Disa. Kak Jevan sepertinya ingin main lagi denganku. Ah, iya. Hampir saja aku lupa mengatakannya ..."

Nadisa terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa karena pikirannya terasa kacau sekarang.

"... sampai jumpa di neraka, Disa."

Tepat saat Karenia mengakhiri sambungan telepon antara dirinya dan Nadisa, satu buah pisau yang teramat tajam tiba-tiba bersarang di leher sang gadis Sanjaya.

Jlebb! Membuat Nadisa jatuh tergeletak di tanah. Dengan darah yang mengalir deras dari luka di lehernya.

Nadisa terdiam, seakan menunggu ajal mendatanginya. Nadisa dengan pasrah memandangi sosok pembunuhnya, yang kini menatap Nadisa dengan senyuman menyeramkan di wajahnya. Dengan samar, Nadisa mendengar lelaki itu berbicara dengan suara lembutnya, seraya merekam tubuh Nadisa yang tergeletak tak berdaya.

“Kak Karen, ini buktinya ya. Rifan sudah menghabisi Kak Nadisa. Besok jangan lupa temui Rifan. Rifan sayang Kak Kar—“.

Nadisa perlahan mulai ditelan kegelapan. Membuatnya yakin bahwa kematian akan segera datang. Ia bahkan tidak bisa lagi mendengar suara seseorang yang menyebut dirinya sendiri sebagai Rifan.

Dalam kegelapan yang menyelimutinya, Nadisa tenggelam dalam seluruh penyesalannya.

Nadisa menyesal tidak mengindahkan peringatan Narendra.

Nadisa menyesal tidak menerima bantuan Jeffrey untuk terbebas dari suaminya.

Nadisa menyesal sudah mulai mencintai Jevano.

Nadisa menyesal … telah mengenal Karenia.

"Nadisa Tirta Sanjaya, aku berikan satu kesempatan untukmu. Perbaikilah semua kesalahanmu, agar tidak ada lagi penyesalan di hatimu." Suara yang terdengar penuh wibawa namun lembut itu seakan menenangkan Nadisa. Membuat gadis yang saat ini tengah ditelan kegelapan, perlahan melihat sebuah cahaya.

Cahaya itu kian terang, hingga seluruh tubuh Nadisa diselimuti oleh pendarannya.

Bab terkait

  • Kehidupan Kedua   6. Keajaiban

    Sakit. Tubuh Nadisa rasanya remuk redam. Membuat dirinya kesulitan untuk bergerak.Sesak. Sulit untuk bernapas. Rasanya seakan oksigen tidak mau memasuki paru-parunya, sekuat apa pun Nadisa berusaha.Gelap. Nadisa benar-benar dikelilingi kegelapan. Ini sebenarnya … di mana?"...ma? Disa? Bangunlah, sudah pagi."Suara berat itu berhasil menarik Nadisa dari kegelapan yang melingkupinya. Serta merta membuat dirinya membuka mata dan bangkit dari posisi tidurnya.Kedua mata Nadisa kontan membulat lantaran mendapati Mama Ayu sedang memeluk erat tubuhnya. Juga keberadaan sang Kakak, Jeffrey, yang saat ini berdiri di tepi ranjangnya. Nadisa mengerjapkan matanya beberapa kali.Bukankah … tadi Nadisa sudah mati?"Ungh…" suara erangan pelan dari Mama Ayu membuat Nadisa mengalihkan perhatian.Dapat dilihat oleh Nadisa, penampilan mamanya yang jauh dari kata baik-baik saja. Wajahnya pucat, dengan jejak air mata mengering di pipinya. Pun pakaiannya masih serba

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-25
  • Kehidupan Kedua   7. Tangisan Mama

    Nadisa masih menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya. Sementara itu, Jeffrey melirik pada arloji di tangan kirinya. Sudah pukul delapan, ternyata. Sudah waktunya Jeffrey pergi ke kantor Sanjaya."Ma, boleh Jeffrey pergi ke kantor? Ada beberapa urusan yang harus Jeffrey selesaikan," kata Jeffrey pelan. Ia sebenarnya masih khawatir pada keadaan mamanya, tapi ia tidak bisa berdiam diri di rumah terlalu lama."Tentu saja boleh, Jeff." Mama Ayu menjawab lemah.Mendengar hal itu, Nadisa pun turut buka suara."Aa, Disa juga izin ke kantor, Ma. Ada dokumen yang harus Disa bahas dengan para staf."Tentu saja itu bohong. Nadisa bahkan tidak ingat pekerjaan apa yang sedang ia garap di kantor saat ini. Nadisa hanya … tidak mau terpuruk seperti di kehidupan sebelumnya. Bagaimana pun juga, sang Papa tidak layak ditangisi terlalu lama. Lagi pula, Nadisa harus menjadi lebih kuat dan menyiapkan rencana untuk menangani semua masalah yang akan dihadapinya!Mama Ayu menganggu

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-26
  • Kehidupan Kedua   8. Serigala Berbulu Domba

    Nadisa mematung di posisinya, memandangi sang Mama yang masih menangis lirih di dalam kamar. Kedua tangan Nadisa mengepal erat di sisi tubuhnya. Menahan gejolak amarah di dalam dada."Papa jahat sekali sama keluarga kita…" lirih sang Mama. "Mama salah apa sama Papa, sampai Papa tega duain Mama…"Sialan.Andai saja Nadisa kembali ke masa dimana sang Papa masih hidup, Nadisa bersumpah akan menghajar dan menyadarkan Beliau. Sayangnya, ia kembali hidup justru di saat Papa Fadli sudah meninggal dunia. Ia tidak bisa mengubah apa-apa.Nadisa mengembuskan napas panjang, berusaha untuk tenang. Gadis Sanjaya itu merogoh isi tasnya, kemudian mengeluarkan satu kemasan kertas tisu dari sana. Nadisa meletakkannya di depan pintu kamar Mama Ayu. Lalu memutuskan untuk berjalan menjauh.Dalam langkahnya menyusuri perjalanan menuju kamar, Nadisa tanpa sengaja meneteskan air mata.Sungguh, Nadisa tidak mengerti mengapa laki-laki selalu saja menyakiti hati perempuannya. Baik

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-26
  • Kehidupan Kedua   9. Jeffrey yang Peka

    Nadisa Tirta Sanjaya membisu di tempatnya. Ia sama sekali tidak berani untuk menoleh ke arah Karenia yang sudah duduk di jok tengah mobil Jeffrey. Bahkan untuk sekadar melirik Karenia Winata saja Nadisa tidak bisa. Rasa trauma ternyata telah bersarang dalam diri Nadisa.Tangan Nadisa bergetar pelan. Akan tetapi, gadis cantik berambut panjang itu berusaha menekan kedua tangannya di atas tasnya. Meredam getaran ketakutan di sana. Berharap Jeffrey tidak menyadari perilaku anehnya."Kak Jeff, terima kasih sudah memberikan tumpangan pada Karen. Karen sangat merasa terbantu. Sudah setengah jam Karen berdiri halte tadi, tapi bus yang menuju kantor belum muncul juga. Syukurlah Kak Jeff lewat dan menawari Karen untuk berangkat bersama," kata Karenia dengan suara lembutnya. Tangan lentiknya bergerak centil menyampirkan rambut bergelombangnya ke belakang telinga.Jeffrey yang fokus menyetir tersenyum kecil."Ya, tentu saja aku menawarimu ikut serta. Kamu 'kan sahabat adikk

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-26
  • Kehidupan Kedua   10. Hartono?

    Nadisa mengerjap kaget lantaran mobil yang dikendarai oleh Jeffrey langsung tancap gas meninggalkan Karenia. Karenia di belakang sana bahkan melompat-lompat dan menghentakkan kaki dengan emosi. Kesal dan kebingungan karena ditinggalkan seorang diri oleh Nadisa dan Jeffrey."Hey! Kak Jeff! Disa! Kenapa aku ditinggal?!" teriak Karenia di belakang sana, terdengar samar dari dalam mobil Jeffrey karena suaranya yang memang terbilang sangat keras. "Argh! Sialan!"Nadisa bahkan sampai memutar tubuhnya, melihat Karenia yang wajahnya tampak memerah lantaran terbakar amarah. Baru kemudian Nadisa menoleh pada sang Kakak. Mendapati Jeffrey Tirta Sanjaya yang masih saja menyetir dengan sangat tenang. Seolah tidak ada masalah."Kak? Kok kita–""Kenapa kita meninggalkan Karenia?" potong Jeffrey, menebak pertanyaan dari Nadisa."I-iya," jawab Nadisa pelan.Jeffrey menyempatkan diri melempar senyum pada Nadisa, sebelum akhirnya ia kembali fokus memandang ke jalan di depannya.

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-27
  • Kehidupan Kedua   11. Kemunculan Mereka Berdua

    Jeffrey kembali mendapati kebisuan dari adiknya. Membuat anak sulung keluarga Sanjaya itu menoleh, lalu mengelus kepala Nadisa dengan begitu lembutnya."Kenapa, Disa?" tanya Jeffrey lembut."Nggak–""Jevano Putra Hartono, ya?" tebak Jeffrey. "Kakak dengar, Mama pernah meminta kamu untuk lebih mengenal Jevan karena dia adalah putranya Tante Jessica. Kamu jadi tidak nyaman, ya?"Nadisa masih terdiam di tempatnya. Andai saja Jeffrey tahu kalau masalahnya tidak semudah itu. Di kehidupan sebelumnya, Nadisa telah dikhianati oleh Jevano. Parahnya lagi, Jevano melakukannya dengan Karenia Winata yang jelas-jelas merupakan sahabat Nadisa. Nadisa tidak bisa untuk baik-baik saja."Kalau kamu tidak mau, Kakak saja yang menemui para kolega kita, Disa. Pekerjaan Kakak bisa ditunda sebentar." Jeffrey berkata lembut.Nadisa menggigt bibir bawahnya.Benarkah Nadisa harus berdiam diri? Bukankah dirinya terlalu pengecut jika ia memilih untuk menghindar dan enggan m

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-28
  • Kehidupan Kedua   12. Tidak Bisa Dibiarkan

    Tentu saja Nadisa kaget bukan kepalang saat melihat kedatangan Jevano dan Karenia. Mereka berdua datang bersama, pula. "Nadisa? Anda dengar saya?" tanya Sean.Sean menatap bingung pada gadis cantik di hadapannya. Pasalnya, Nadisa yang awalnya terlihat ramah kini tampak mematung. Hingga Sean memutuskan untuk mengikuti arah pandang Nadisa.Lalu Sean dapat melihat kehadiran Jevano Putra Hartono dengan seorang gadis cantik di sampingnya."Jevano?" gumam Sean. "Aa, Sean, tentu saja saya mendengarkan Anda," kata Nadisa dengan suara ramahnya. Kembali mengarahkan atensi Sean padanya. Membuat Sean tersenyum pada sang gadis Sanjaya.Di saat yang sama, Jevano dan Karenia tiba di tempat mereka."Selamat pagi," Jevano menyapa seraya berjabat tangan dengan Sean. Hanya saling bertukar senyum tipis karena keduanya tidak dekat. Lalu Jevano mengulurkan tangannya pada Nadisa. "Pagi, Nadisa. Aku turut berduka atas kepergian papamu."Nadisa sempat memandangi tangan Jevano dalam diam. Menyulut tatapan ta

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-29
  • Kehidupan Kedua   13. Berhenti Menggangguku

    Karenia tanpa sadar mencekal tangan kiri Nadisa karena terbawa oleh rasa kesalnya. Jelas saja ia tersulut karena ucapan Nadisa yang seakan mencemooh dirinya. Tindakan Karenia itu membuat Nadisa meringis kesakitan."Aw, sakit! Apa yang kamu lakukan, Karen?! Apa aku salah bicara?" tanya Nadisa, berpura-pura kesakitan.Nyatanya, Karenia bahkan tidak mencengkram lengan Nadisa terlalu kencang.Melihat Nadisa yang kesakitan, Jevano dan Sean kontan menatap nyalang Karenia. Jevano bahkan nyaris beranjak, hendak menarik tangan Karenia dari lengan Nadisa. Akan tetapi, Karenia sudah bergegas melepaskan tangannya."T-tentu tidak! I-itu … jam! Lihat jam tanganmu. Sudah waktunya untuk bekerja," kata Karenia dengan panik.Nadisa tertawa dalam hati. Lihatlah, gadis licik ini terlihat mati kutu di hadapan dua lelaki kaya raya incarannya. Terlihat begitu menyedihkan."Ah, iya. Kamu benar, Karen. Sudah jam sembilan rupanya," ucap Nadisa dengan tenang. "Aku dan Karen harus

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-30

Bab terbaru

  • Kehidupan Kedua   80. Ada yang Aneh

    Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap

  • Kehidupan Kedua   79. Ada Waktu Luang?

    Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang

  • Kehidupan Kedua   78. Lembutnya Mama

    Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin

  • Kehidupan Kedua   77. Suara Jeffrey

    Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu

  • Kehidupan Kedua   76. Pendengar yang Baik

    "Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega

  • Kehidupan Kedua   75. Lari

    Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na

  • Kehidupan Kedua   74. Perseteruan

    Nadisa masih bergeming di posisinya. Dengan satu tangan yang memegangi pipi kiri, tempat yang baru saja menjadi sasaran dari tangan Ayu Tirta Sanjaya. Pipinya memang terasa sangat sakit, tapi lebih dari itu, hati Nadisa jauh lebih perih."Mama menampar Disa....?" lirih Nadisa. "Disa salah apa, Ma? Disa salah apa sampai Mama tega menampar Disa?" cecar Nadisa dengan penuh rasa kecewa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berusaha menahan tangisannya karena tidak ingin dianggap lemah oleh sang Mama.Mama Ayu mengepalkan tangannya. Masih menatap sang putri dengan mata yang melebar, nyalang. Dipenuhi amarah dan kecewa."Kenapa Mama diam? Jawab Disa! Kenapa Mama tega menampar Disa?!" teriak Nadisa. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun."Kamu masih bertanya?! Setelah kebohongan kamu ke Mama, kamu masih bisa bertanya alasan Mama menampar kamu?! Iya?!" balas sang Mama.Jawaban dari Ayu Tirta Sanjaya membuat Nadisa membelalakkan mata dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Pupil m

  • Kehidupan Kedua   73. Tamparan

    Langit kini telah menjadi gelap. Pun jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Jeffrey Tirta Sanjaya telah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah waktunya untuk beristirahat.Akan tetapi, lelaki tampan bernama lengkap Jeffrey Tirta Sanjaya itu justru baru saja menghentikan laju mobilnya. Memarkirkan kendaraan mahal itu di depan kediamannya. Ya, kediaman Sanjaya yang berlokasi di Jakarta.Entah ada angin apa hari ini, Mama Ayu akhirnya mengizinkan Jeffrey untuk pulang ke rumah mereka, meski hanya untuk satu hari. Maklum, Jeffrey memang harus mengurus kantor cabang yang ada di Bandung. Jadi tentu saja ia tidak bisa berlama-lama di rumah yang selalu saja ia rindukan.Lelaki tampan itu mengeluarkan dua kantung besar dari bagasi mobil hitamnya. Kantung berisikan bolu cokelat yang tempo hari Nadisa pesan. Juga beberapa susu yang sekiranya sang Mama dan sang adik suka."Sini saya bantu, Tuan." Pak Asep menawarkan bantuan. Beliau memang yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Jeffrey.

  • Kehidupan Kedua   72. Ubah Rencana

    Puk. Puk. Puk.Setiap kali kaki itu melangkah, pasir pantai yang dipijaknya akan membentuk jejak kaki. Mengikuti bentuk sandal yang kedua orang itu kenakan. Satu berukuran besar, dan satu lagi lebih kecil.Jejak kaki itu terlihat di sepanjang pesisir pantai, di dekat deburan ombak yang terlihat tidak terlalu besar. Hanya sesekali membasahi kaki. Tanpa bisa menyeret dua insan yang tengah berjalan di bawah cerahnya mentari."Indah sekali, ya. Pantai di Jakarta ternyata nggak buruk juga." Nadisa membuka percakapan di antara keduanya.Narendra menipiskan bibirnya, tersenyum manis. Ia memandangi Nadisa yang kini berjalan mundur, agar bisa berbincang dengan dirinya. Embusan angin pantai menerbangkan helaian rambut hitamnya dengan sedikit kencang."Iya, indah sekali." Perkataan itu terlontar, tatkala Narendra memandangi Nadisa Tirta Sanjaya. Entah ditujukan untuk pantai yang ia kunjungi, atau untuk gadis yang ia cintai."Iya 'kan? Sudah gitu, di bagian sini tid

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status