"Lo harus masukin bolanya ke ring supaya dapet poin." saran Gio. Gio tertawa melihat Ana yang terlihat kaku saat memasukkan bola basket ke dalam ring. Lihat saja tidak ada satupun bola yang dilempar berhasil masuk ke dalam ring. Sepertinya Ana belum pernah menyentuh bola basket sebelumnya, setelah dilihat bagaimana Ana yang dengan asal-asalan memasukkan bola basket ke dalam ring. Gio berjalan mendekat ke arah Ana. Ia berdiri di belakang Ana dan tangannya menyentuh kedua tangan Ana mengajari gadis itu memasukkan bola basket dengan benar. Satu poin tercetak di monitor membuat mata Ana berbinar. Tapi tak lama kemudian senyumnya pudar melihat jika waktunya bermain sudah habis dan Ana hanya bisa mencetak satu poin."Lo mau coba lagi?" tawar Gio sambil menunjukkan kartu timezone nya. Ya benar, Gio membawa Ama ke mall untuk mengajak Ana pergi ke timezone. Laki-laki itu langsung mengisi kartu timezone nya dengan jumlah yang banyak. Dan ini pertama kalinya Ana masuk ke dalam timezone dan me
Bugh!Gerald terus menerus memukuli Gio tanpa ampun. Gerald bahkan menutup telinganya rapat-rapat seolah tidak ingin mendengar suara rintihan kesakitan Gio. Baru setelah Gio tidak bisa melawan, Gerald melepaskan cengkramannya pada leher Gio."Pergi! Menjauhlah dari Ana!" mata Gerald tidak berkedip sama sekali saat mengatakan itu. Aura gelap seakan keluar dari tubuh Gerald. Sudah sangat lama Gerald tidak mengotori tangannya dengan darah seseorang. Dan kali ini Gerald benar-benar mengeluarkan rasa kesalnya dan menjadikan Gio sebagai samsak tinjunya."Kevin antarkan dia ke rumahnya. Langsung tinggalkan dia begitu sampai di depan rumahnya." perintah Gerald dengan tatapan yang masih belum lepas menatap Gio yang sudah terkapar lemah diatas tanah."Baik tuan." Kevin mengangkat tubuh Gio dan membawanya masuk ke dalam mobil.Seperti yang Gerald perintahkan, Kevin menurunkan Gio didepan rumah laki-laki itu dan lalu meninggalkannya begitu saja. Seorang wanita paruh baya yang melihat itu langsun
Ana duduk terdiam di balkon kamarnya sambil memandangi langit yang terlihat sedikit mendung. Kakinya ditekuk dan ia peluk dengan kedua tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan sudah hampir lima jam Ana duduk termenung disana. Perempuan itu bahkan sampai melupakan sarapan paginya. Perutnya yang berbunyi meminta diisi pun Ana abaikan. Seakan ia tidak merasakan rasa laparnya. "Aku merindukan kalian." lirih Ana hampir tak terdengar. Satu tetes air matanya jatuh membasahi rok yang ia pakai.Ana kembali terdiam, ia merasakan jika ia tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Ibunya pergi meninggalkannya sejak kecil, lalu ayahnya masuk ke dalam penjara, dan sekarang nenek yang menjadi satu-satunya alasan Ana untuk bertahan hidup telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.Sedangkan di luar kamar Ana terlihat bi Asri dan Asti sedang bertengkar kecil."Kamu ketuk pintunya." suruh bi Asri pada Asti."Nggak mau ah bi, bibi aja yang ketuk pintunya." Asti bersedekap dan
Arsen menatap langit-langit kamar Ana. Ya malam ini ia memutuskan untuk tidur di kamar Ana. Setelah kejadian di kantor tadi pagi membuat Gerald merasa khawatir. Gerald menengokkan kepalanya menatap Ana yang sudah tertidur lelap. Gerald harus memaksa Ana agar perempuan itu mau memakan makan malamnya. Ana juga masih belum mau berbicara. Tapi paling tidak perempuan itu masih bisa diajak berbicara walaupun hanya diam.Gerald mendekatkan tubuhnya pada tubuh Ana. Gerald menenggelamkan kepalanya ke ceruk leher Ana. Mata Gerald terpejam. "Aku tidak akan pernah melepaskanmu." gumam Gerald.Crittrittt…..crriirriitt Suara burung memenuhi kamar Ana. Ana mengerjapkan matanya beberapa kali. Mata Ana melebar mendapati Gerald yang sedang memeluknya. Jarak mereka bahkan kurang dari sejengkal. Ana menggerakkan badannya dengan perlahan. "Hmmm." Ana menahan nafasnya saat Gerald hampir saja membuka matanya. Ana melepaskan pelukan Gerald dengan susah payah. Setelah berhasil terlepas dari pelukan Gerald
"Hari ini kau harus ikut papa ke kantor." ujar Peter di sela sarapan.Gi berdecak kesal, "Hari ini aku sibuk." Rachel langsung menyikut lengan putranya."Mas tenang saja, Gio akan pergi ke kantor hari ini." ucap Rachel dengan suara lembutnya.Gio memutar bola matanya malas mendengar ucapan mamanya. Mamanya yang selalu memujinya di depan papanya. "Papa tunggu di kantor." Peter bangun dari duduknya dan beranjak pergi dari ruang makan. "Dengarkan mama, mulai sekarang kamu harus membantu papamu di kantor atau mama akan merusak galeri seni mu!" ancam Rachel dengan nada seriusnya. Gio mengepalkan tangannya, mamanya selalu mengancamnya dengan menghancurkan galeri seni miliknya jika ia tidak menuruti perintah mamanya. Tidak ada keluarga bahagia sejak ia kecil. Walaupun mamanya berhasil merebut papanya dari mama Gerald, tapi tidak akan ada yang bisa merebut papanya dari Gerald. Setiap waktu papanya selalu memperhatikan perkembangan perusahaan milik Gerald. Bahkan tak segan-segan papanya mem
Gerald termangu tidak percaya jika Ana akan menamparnya. Gerald memegang pipinya yang masih terasa panas. Matanya menatap punggung Ana yang menghilang di balik pintu. Huh! Apa baru saja Ana menolaknya? "Ada apa dengannya?" gumam Gerald. Tingkah Ana semakin hari semakin dingin kepadanya. Jika saja perempuan itu bukan Ana, maka Gerald sudah melenyapkannya karena sudah berani menamparnya. Sial! Biasanya orang akan marah dan kesal saat mendapat tamparan. Tapi Gerald malah terdiam seperti orang bodoh. Tangannya mengepal dengan kuat dan menghentakkannya ke tempat tidur Ana hingga menimbulkan suara dentuman. Gerald beranjak pergi dari kamar Ana. ***Disisi lain Ana memilih pergi dari rumah Gerald. Ia memilih menenangkan dirinya di taman kota. Setidaknya disini ia merasa aman dan tenang dari gangguan Gerald. Hari ini taman tidak seramai biasanya, mungkin karena ini hari kerja. Ana menatap danau kecil yang terlihat tenang, itu membuat perasaannya menjadi tenang. Ana ingat dulu sewaktu ia k
Ana berjengit terkejut melihat Gerald yang sudah berdiri di belakang pintu sambil melipat kedua tangannya didepan dada. Ana memundurkan langkahnya. Saat ini ia benar-benar merasa takut dengan tatapan Gerald padanya. Sepertinya jiwa singa Gerald sudah kembali ke tubuh laki-laki itu. "Apa kau senang seharian berkencan dengannya?" tanya Gerald dengan smirk di bibirnya. Gerald berjalan perlahan mendekati Ana. Ia bisa melihat dari mata Ana jika perempuan itu kini sedang merasa takut. Gerald memang ingin Ana merasa takut kepada nya agar perempuan itu tidak pernah berani untuk bisa lari darinya. Bahkan Ana tidak akan pernah berani memikirkan untuk bisa pergi dari jangkauannya. Tubuh Ana menabrak dinding di belakangnya. Kedua tangan Gerald langsung mengunci setiap sisi tubuhnya. Tidak ada lagi kesempatan bagi Ana melarikan diri. Ana menundukkan kepalanya saat wajah Gerald hanya berjarak sejengkal dari wajahnya. Ana menggenggam boneka di tangannya dengan erat seakan menyalurkan ketakutan ya
Ana terkejut karena Gerald mencium bibirnya dengan tiba-tiba. Entah dorongan dari mana, Ana melingkarkan tangannya ke leher Gerald. Matanya terpejam menikmati ciuman yang Gerald berikan.Sedangkan Gerald tersenyum tipis melihat Ana yang hanya diam dengan ciuman yang dia berikan. Hati Gerald merasa senang melihat Ana menikmati ciumannya. Tentu saja momen langka ini tidak Gerald sia-siakan. Ia melesakkan lidahnya masuk ke dalam mulut Ana. Ia mengabsen satu persatu deretan gigi Ana."Balas ciumanku Ana." gumam Gerald di sela ciumannya.Gerald menggeram merasakan lidah Ana yang ikut membelit lidahnya. Ciuman Ana memang sedikit terkesan kaku, tapi Gerald sangat menikmatinya. Tangan Gerald merengkuh pinggang Ana agar semakin dekat dengan tubuhnya. Gerald mendorong tubuh Ana perlahan hingga kaki Ana terantuk sisi tempat tidurnya. Gerald melepaskan bibirnya dari bibir Ana. Gerald tersenyum miring ke arah Ana yang terlihat tidak ingin melepaskan ciuman mereka. Tubuh Ana menghantam tempat tidur