"Ma ... maafkan aku, Pak Rizki. Saat itu aku nggak berpikir jauh karena Nona Alya tiba-tiba menanyakan kondisimu. Aku pikir dia mengkhawatirkanmu, jadi aku memberitahunya situasimu. Aku nggak memiliki maksud lain."Napas Rizki tidak stabil, amarah di matanya amat dalam. Dia hampir ingin membanting Cahya ke lantai, tetapi dia menahan dirinya.Dia takut akan membuat terlalu banyak suara dan mengganggu Alya yang masih belum sadarkan diri.Dia melepaskan Cahya, lalu berkata sambil menahan amarahnya, "Keluar dari sini."Cahya memang ingin keluar, tetapi dia tidak bisa. Dia hanya bisa dengan sedih berkata, "Infus ini ...."Tepat pada saat itu, Rizki hendak mencabut jarumnya.Melihat hal ini, Cahya segera menghalangi Rizki yang mencoba untuk mencabut jarum. "Pak Rizki, apa kamu pikir Nona Alya yang telah ketakutan masih akan mengkhawatirkanmu setelah dia bangun nanti?"Mendengar ini, gerakan tangan Rizki terhenti."Tadinya Nona Alya nggak mau memedulikanmu, tapi kenapa dia segera datang begit
Karena sudah bercerai, jadi Alya tidak menganggap Nenek sebagai keluarganya lagi?Kalau memang begitu, baguslah.Dengan tidak peduli maka dia tidak akan terluka.Namun, kemudian, di hotel Alya bertanya tentang Nenek. Sejak saat itulah Rizki tahu, bahwa meskipun Alya memiliki penampilan yang keras, tetapi hatinya lembut terhadap sang nenek.Sekarang, Alya langsung pingsan begitu mendengar berita mengenai Nenek.Rizki tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi setelah Alya bangun. Untung saja sekarang wanita ini masih belum bangun dan tidak tahu apa-apa, tetapi bagaimana dengan nanti?Memikirkan ini, Rizki refleks mengulurkan tangannya dan memegang pergelangan tangan Alya dengan lembut.Detik demi detik pun berlalu.Rizki dan Cahya terus tinggal di dalam kamar seperti ini.Entah berapa lama waktu telah berlalu, ponsel Alya yang berada di dalam tas tiba-tiba berbunyi.Cahya segera berdiri dan mengambil tas Alya untuk Rizki. Melihat bahwa tangan atasannya sedang sibuk, dia pun dengan h
Melihatnya tidak menjawab, Alya bertanya lagi, "Tiga tahun yang lalu?"Mata Alya langsung menatap wajah Rizki, seolah-olah dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawabannya.Namun, mata dan sikapnya tampak tenang.Bahkan tidak ada sedikit pun warna kemerahan pada matanya.Jelas dia tadi sangat terkejut hingga pingsan, tetapi sekarang dia sama sekali tidak menunjukkan reaksi.Apakah ini normal?Ini tidak normal.Rizki merapatkan bibir, menatap Alya dengan sungguh-sungguh dan berkata, "Kamu nggak istirahat sedikit lagi?""Rizki."Alya memanggil nama pria itu dan berkata, "Aku bertanya padamu."Setelah beberapa waktu, barulah Rizki mengangguk."Kurang lebih begitu.""Kurang lebih?" Jawaban ini membuat Alya terkekeh. "Kamu nggak tahu kapan nenekmu meninggal? Apanya yang kurang lebih?"Rizki mengerutkan kening.Suasana di dalam kamar pun menegang.Cahya yang duduk di samping merasa seolah-olah tubuhnya telah diakupunktur, dia bahkan tidak berani bernapas.Sesuai dugaannya.Alya sangat m
"Sebelum meninggal, Nenek membicarakanmu."Ucapan Rizki membuat Alya tiba-tiba mendongak dan melihat ke arahnya."Benarkah?"Rizki menatapnya."Dia sangat merindukanmu."Satu kalimat ini dalam sekejap membuat air mata Alya jatuh, kemudian air matanya pun tidak dapat dihentikan. Air matanya mengalir bagaikan bendungan yang hancur dan tidak berhenti.Pemandangan ini akhirnya mengakibatkan Rizki tidak dapat menahan dirinya lagi, dia segera memeluk Alya dengan erat.Alya menangis tanpa bersuara.Dia tidak mendorong Rizki, seakan-akan dia telah kehilangan semua tenaganya. Dia bersandar di sana dan tidak bergerak, dengan air mata yang mengucur deras.Tak lama kemudian, Rizki dapat merasakan bahunya menjadi basah. Sambil menggertakkan gigi, wajahnya tampak muram. Dia merasa Alya akan terus menangis sampai air matanya habis.Setelah beberapa waktu, Rizki menepuk-nepuk pundak Alya dengan lembut."Sudahlah, semuanya sudah berlalu."Sementara itu.Irfan menjemput anak-anak. Setelah Maya dan Satya
Begitu membuka pintu, Alya melihat Rizki yang berdiri di depan pintu toilet.Pria itu memegang kantong infusnya sendiri.Ketika melihatnya keluar dari toilet, rasa lega muncul menggantikan ketegangan di mata Rizki.Alya melirik wajah pucat pria itu.Beberapa saat kemudian, dia berinisiatif bertanya, "Masih ada berapa kantong lagi?""Kurang tahu. Kalau kamu ingin tahu, aku bisa mengeceknya."Mendengar ini, Alya tidak menjawab dan langsung berjalan untuk mengecek tabelnya.Setelah mengecek, dia berkata pada Rizki, "Ini kantong yang terakhir.""Hm," balas Rizki. Tatapannya terpaku pada Alya yang baru saja selesai menangis, dia merasa emosi Alya sekarang terlalu tenang."Oh ya, bajumu ...."Sambil berbicara, Alya membuka lemari dan mengeluarkan sebuah gaun pasien yang baru. "Tadi aku nggak sengaja membuat bajumu basah, maaf. Apakah kamu mau ganti baju yang baru?"Mendengar ucapannya, Rizki pun menunduk dan melihat bagian bajunya yang basah karena air mata, lalu melihat Alya yang menyodorka
Alya menghentikan langkahnya dan menoleh."Ada apa?""Kamu besok akan ke sini?"Alya tertegun. "Tentu saja, kalau aku sudah mengatakannya maka aku akan melakukannya.""Apa masih ada pertanyaan lagi?"Rizki mengatupkan bibirnya dan tidak berbicara lagi."Kalau begitu aku pergi dulu."Melihatnya tidak berbicara lagi, Alya pun membuka pintu dan pergi.Kamar rawat itu pun kembali sunyi.Rizki menurunkan kelopak matanya, matanya tampak muram.Begitu keluar dari kamar, Alya melihat Cahya yang sedang menunggu di luar.Cahya telah salah bicara dan berbuat salah, sehingga setelah diusir, dia pun bersandar di dinding dengan perasaan yang rumit.Ketika mendengar suara, dia segera menegakkan tubuhnya dan menunjukkan ekspresi bersalah ketika melihat Alya. Kemudian dia dengan ragu-ragu berkata, "Nona Alya ...."Alya menghampirinya dan berbicara padanya seolah-olah tidak ada yang terjadi.Cahya mendengarkannya dengan sungguh-sungguh sambil mengangguk."Oke, apa malam ini aku bisa membelikan makanan u
"Nggak."Ucapannya membuat Alya refleks membantah."Irfan, ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Lebih tepatnya, aku merasa kalau aku nggak pantas untukmu. Jangan buang waktumu untukku lagi."Kata-kata Alya tentu saja tulus, ini bukan sekadar kata-kata sopan untuk menolak Irfan.Dia sungguh merasa bahwa Irfan adalah orang yang baik, dari latar belakang, penampilan, karakter, juga fakta bahwa dia berbudi luhur dan tidak pernah memanfaatkan statusnya untuk bermain-main dengan wanita."Kamu merasa nggak pantas untukku?" Irfan terkekeh dan mendekatinya. "Tapi Alya, kalau kamu benar-benar berpikir begitu, bukankah seharusnya kamu menanyakan pendapatku? Menurutku kamu pantas. Dengan begini pun, apakah masih ada hal yang kamu khawatirkan?"Melihatnya tidak menjawab, Irfan berkata lagi, "Atau, yang kamu khawatirkan adalah dia? Kalau kita nggak kembali ke negara ini, kamu ....""Lima tahun."Mendengar ini, Irfan seketika terdiam."Sudah 5 tahun. Aku tahu kamu memperlakukanku dengan baik, aku ju
Dari segala aspek, Irfan memang pasangan yang baik.Sayangnya, perasaan semacam ini adalah hal yang sensitif bagi Alya.Alya menoleh untuk menatapnya. "Maafkan aku."Irfan terus memandangnya. Setelah beberapa waktu, sebuah senyum hangat kembali muncul di wajahnya. "Apa hari ini kamu lelah? Naiklah dulu ke atas, kalau ada sesuatu kita bisa membicarakannya lagi nanti.""Irfan ....""Anak-anak pasti sudah menunggumu dengan gelisah, cepatlah naik."Sambil berbicara, Irfan bahkan memegang bahu Alya dan mendorongnya untuk pergi. Kemudian dia mengantarnya masuk ke lift, menekankan tombol lantai untuknya, lalu pergi setelah berkata, "Setelah kamu naik, mintalah Pak Hasan untuk segera turun."Alya mengerutkan keningnya dan tidak menjawab.Begitu pintu lift perlahan tertutup, sebelum benar-benar tertutup, Alya melihat Irfan tersenyum padanya."Selamat malam, semoga kamu mimpi indah."Saat ini, pintu lift akhirnya tertutup.Alya pun sampai di rumahnya, Hasan dan seorang pengasuh lainnya sedang me