"Apa maksudmu, Elena?" tanya Diego bingung, ia belum menyadari maksud ucapan istrinya.Elena tersenyum lembut, lalu menurunkan tubuhnya sehingga posisinya sejajar dengan Diego, ia mendekatkan tubuhnya sehingga berada di dekat lelaki itu. Diraihnya kedua tangan Diego lalu didekatkan ke dadanya.“Mi querido marido, berjanjilah padaku, kalau kamu akan berjuang melawan penyakitmu,” ujar Elena lembut, ia menatap Diego dengan segenap harapan, kesungguhan dan permohonan.“Elena ...” gumam Diego dengan suara rendah.“Aku sudah tahu penyakitmu, Diego, juga tentang vonis dokter. Tapi percayalah, kalau kamu akan bisa melalui semuanya. Kamu akan bisa melewati bulan ini dan juga bulan-bulan berikutnya.”Elena terdiam sesaat, tatapannya yang penuh dengan keyakinan mengobarkan api semangat.“Ingatlah ikan tadi, Diego. Dia seorang diri melawan jerat yang bisa membawanya pada kematian, tapi dengan harapan dan tekad yang kuat untuk hidup, dia bisa melewati semua kesulitan.Sedangkan kamu, suamiku. Aku t
“Apa?” Diego tersentak, ia menatap Elena lekat-lekat. “Apa maksudmu, Elena? Apa yang sebenarnya terjadi?”Elena mengusap-usap lengan suaminya.“Tenang, mi marido.” Elena tersenyum, ia memang harus menceritakannya pada Diego, ia tidak mau menyembunyikan apapun dari suaminya.“Sesungguhnya, aku sudah tahu semua tentang masalah di keluarga Rodriguez ini, aku juga tahu dan mengerti mengapa kamu begitu membenci Emma.”“Apa Mario sudah menceritakan semuanya?” tanya Diego, Elena mengangguk.“Aku yang memaksa Mario untuk menceritakan semuanya. Bukankah memang sudah seharusnya aku tahu? Supaya aku bisa mempersiapkan diri bagaimana bersikap dan bagaimana menghadapi Emma.”Diego menghela napas, “Perempuan itu sangat licik Elena, suka memanipulasi dan bermuka dua.”“Aku tahu, Diego. Dan aku tahu bagaimana caranya menghadapi orang seperti itu?”“Apa kamu yakin Elena?” tanya Diego memastikan, Elena mengangguk, “lalu mengapa ketika kamu teraniaya di kediaman Mendez kamu diam saja dan hanya pasrah men
Elena tertegun, seorang wanita masuk dengan dandanan full serta pakaian mewah dan aksesories serba glamour. Elena tersenyum ke arah wanita yang terkesan agung dan mendominasi itu.“Oh, kamu sudah datang, Emma.” Elena berkata dengan santai, Emma tidak menjawab, ia menatap Elena dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Ada apa, Emma? Apa ada yang salah dengan outfitku ini?” tanya Elena masih dengan senyumnya yang menawan.Emma terkesima melihat ketenangan sikap Elena, berbeda saat pertama kali wanita itu melihatnya yang terlihat takut dan segan, kemarin pun Elena masih terlihat gugup padanya. Tapi hari ini, Elena sangat tenang seolah tidak mempedulikan Emma, bahkan cendrung menantang.“Baru aja sehari menjadi istri Diego, gayamu sudah seperti nyonya besar Rodriguez.” Emma mendengus kesal.“Hahaha, memangnya gaya nyonya besar Rodriguez itu seperti apa? Aku hanya mengenakan outfit yang memang disiapkan untukku, dari mulai pakaian, tas, sepatu dan semua aksesories ini. Apakah aku salah?”Waj
“Ya, atas namamu, Elena.” Emma tersenyum, kamu adalah istri sah Diego walaupun hanya sebentar, jadi sangat wajar kalau kamu meminta itu.Elena terdiam, ia menatap Emma yang terlihat sangat yakin kalau Diego akan segera meninggal. Tapi mengapa dia menyuruh Elena meminta Diego memberikan salah satu aset keluarga Rodriguez ini atas nama Elena? Bukankah kalau Diego mati nanti Emma yang akan menguasai semua harta Rodriguez? Setidaknya itu adalah klaim Emma.“Lalu, apa kaitannya dengan kesepakatan kita yang kamu maksudkan?” tanya Elena penasaran dengan rencana Emma.Emma menghela napas, dia meraih gelas dan menyesap isinya. Wanita itu tersenyum kepada Elena.“Ya, setelah kamu mendapatkan kepemilikan resmi tempat ini, selanjutnya adalah tinggal urusan kita berdua.”“Maksudnya bagaimana, Emma? Aku belum mengerti yang kamu maksud urusan kita,” sela Elena.“Kita buat kesepakatan, setelah kamu dapatkan kepemilikan tempat ini, kamu serahkan padaku, maka nanti saat Diego meninggal aku akan berika
“Diego!” Elena tercekat, Diego berbaring tak berdaya di atas tempat tidur, di wajahnya dipasang alat bantu pernapasan. Elena segera menghambur ke dekat tempat tidur.“Mario, apa yang terjadi?” desak Elena menatap Mario.“Nyonya…” sapa Mario memberi hormat, begitu pun sang dokter. “Tuan mengalami serangan lagi, tadi tubuh tuan tiba-tiba kejang, beliau mengalami gagal pernapasan, sempat tidak bernapas beberapa saat dan kehilangan kesadaran.”Mario berkata lirih. Elena segera mendekati Diego, mata pria itu terpejam, napasnya terlihat lemah dengan bantuan alat pernapasan di tubuhnya.“Apa Diego masih belum sadar, Mario?” tanya Elena pelan, Mario mengangguk. “Benar nyonya, serangan kali ini cukup kuat, meskipun tuan sudah bisa bernapas lagi dengan bantuan alat pernapasan, tapi beliau masih belum sadar.”Elena merosot di samping tempat tidur, di genggamnya tangan Diego dengan lembut, air mata segera menyergapnya.“Diego, aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi kamu harus melawannya, kamu pas
Raul tertegun mendengar suara yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya. Pria itu menghela napas, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kursi.“Bukan siapa-siapa, Ma.” Raul menjawab acuh.Nyonya Victoria menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan putra semata wayangnya itu. “Kamu kenapa, Raul? Belakangan ini mama perhatikan kamu sangat kacau, uring-uringan gak jelas.”“Ck, gak apa-apa kok, Ma. Itu cuma perasaan Mama aja,” jawab Raul santai, ia kembali mengambil rokok di atas meja dan menyalakannya.“Cukup, Raul! Kamu biasanya nggak seperti ini. Kamu tidak bisa membohongi mama, Nak. Lihat dirimu, sudah berapa bungkus rokok yang kamu habiskan? Mama tahu, sebelum ini kamu tidak merokok. Coba cerita sama mama, sayang. Ada apa?”Alih-alih menjawab pertanyaan nyonya Victoria, Raul malah tertawa sambil menghisap rokoknya, tak ayal lelaki itu tersedak hingga terbatuk-batuk. Nyonya Victoria menjadi sangat cemas.“Mama ini terlalu lebay,” sahut Raul sambil terkekeh, “lelaki merokok hal yang bia
“Carmeeen!!” Raul berteriak dengan keras, tidak berapa lama Carmen datang dengan tergesa-gesa, ia ketakutan melihat kemarahan di wajah tuan mudanya.“I-iya, Tuan.” Wanita paruh baya itu menjawab sambil menundukan wajahnya.“Siapa yang mengacak-acak kamarku? Siapa yang sudah lancang merubah isi kamarku? Jawab!!” bentak Raul dengan wajah memerah menahan amarah.“I-iya tuan, i-itu….”“Itu apa?! Ngomong yang benar Carmen!”“I-itu nyo-nyonya ….”“Ya Raul, memang mama yang melakukannya, kenapa?” ujar nyonya Victoria yang tiba-tiba masuk. “Ma, berhentilah mengurus urusan ruangan pribadiku, aku bukan anak kecil!” sahut Raul sambil mendengus kesal.“Mama bukan ikut campur, Raul. Mama hanya memindahkan barang-barang Elena. Dia sudah tidak ada di sini, jadi buat apa barang-barangnya masih terpampang di kamar ini?”Raul menghela napas, ia mengacak-acak rambutnya dengan kesal. “Ma, aku tahu dia sudah tidak ada di sini, tapi soal isi kamarku, soal barang-barangnya, itu urusan aku, mau aku biarkan
“Nyonya, tuan pergi…” Carmen melapor dengan tergesa-gesa kepada nyonya Victoria.“Pergi ke mana? Mungkin berangkat ke kantor, Raul kan memang suka berangkat lebih awal.” Nyonya Victoria menjawab santai.“Tidak, nyonya. Kalau berangkat kerja tuan tidak akan membawa koper.”“Apa? Bawa koper?” sahut nyonya Victoria terbelalak, Carmen mengangguk. Tadi ia sempat melihat Raul pergi dengan membawa koper. Carmen hendak bertanya namun Raul keburu masuk ke dalam mobil dan langsung berangkat.“Apa barang-barang Elena sudah kamu kembalikan seperti perintah dia?” “Sudah nyonya, semalam juga setelah saya selesai membereskan barang-barang Elena tuan kembali ke kamar, tapi tidak bilang apa-apa.”Nyonya Victoria menghela napas, ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Raul, namun berkali-kali ia mencoba tetap tidak diangkat.Nyonya Victoria menjadi kesal bercampur khawatir, apa sebenarnya yang terjadi dengan Raul? Apa mungkin karena Elena dia jadi begini? Wanita itu segera menghubungi nomo