“Diego!” Elena tercekat, Diego berbaring tak berdaya di atas tempat tidur, di wajahnya dipasang alat bantu pernapasan. Elena segera menghambur ke dekat tempat tidur.“Mario, apa yang terjadi?” desak Elena menatap Mario.“Nyonya…” sapa Mario memberi hormat, begitu pun sang dokter. “Tuan mengalami serangan lagi, tadi tubuh tuan tiba-tiba kejang, beliau mengalami gagal pernapasan, sempat tidak bernapas beberapa saat dan kehilangan kesadaran.”Mario berkata lirih. Elena segera mendekati Diego, mata pria itu terpejam, napasnya terlihat lemah dengan bantuan alat pernapasan di tubuhnya.“Apa Diego masih belum sadar, Mario?” tanya Elena pelan, Mario mengangguk. “Benar nyonya, serangan kali ini cukup kuat, meskipun tuan sudah bisa bernapas lagi dengan bantuan alat pernapasan, tapi beliau masih belum sadar.”Elena merosot di samping tempat tidur, di genggamnya tangan Diego dengan lembut, air mata segera menyergapnya.“Diego, aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi kamu harus melawannya, kamu pas
Raul tertegun mendengar suara yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya. Pria itu menghela napas, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kursi.“Bukan siapa-siapa, Ma.” Raul menjawab acuh.Nyonya Victoria menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan putra semata wayangnya itu. “Kamu kenapa, Raul? Belakangan ini mama perhatikan kamu sangat kacau, uring-uringan gak jelas.”“Ck, gak apa-apa kok, Ma. Itu cuma perasaan Mama aja,” jawab Raul santai, ia kembali mengambil rokok di atas meja dan menyalakannya.“Cukup, Raul! Kamu biasanya nggak seperti ini. Kamu tidak bisa membohongi mama, Nak. Lihat dirimu, sudah berapa bungkus rokok yang kamu habiskan? Mama tahu, sebelum ini kamu tidak merokok. Coba cerita sama mama, sayang. Ada apa?”Alih-alih menjawab pertanyaan nyonya Victoria, Raul malah tertawa sambil menghisap rokoknya, tak ayal lelaki itu tersedak hingga terbatuk-batuk. Nyonya Victoria menjadi sangat cemas.“Mama ini terlalu lebay,” sahut Raul sambil terkekeh, “lelaki merokok hal yang bia
“Carmeeen!!” Raul berteriak dengan keras, tidak berapa lama Carmen datang dengan tergesa-gesa, ia ketakutan melihat kemarahan di wajah tuan mudanya.“I-iya, Tuan.” Wanita paruh baya itu menjawab sambil menundukan wajahnya.“Siapa yang mengacak-acak kamarku? Siapa yang sudah lancang merubah isi kamarku? Jawab!!” bentak Raul dengan wajah memerah menahan amarah.“I-iya tuan, i-itu….”“Itu apa?! Ngomong yang benar Carmen!”“I-itu nyo-nyonya ….”“Ya Raul, memang mama yang melakukannya, kenapa?” ujar nyonya Victoria yang tiba-tiba masuk. “Ma, berhentilah mengurus urusan ruangan pribadiku, aku bukan anak kecil!” sahut Raul sambil mendengus kesal.“Mama bukan ikut campur, Raul. Mama hanya memindahkan barang-barang Elena. Dia sudah tidak ada di sini, jadi buat apa barang-barangnya masih terpampang di kamar ini?”Raul menghela napas, ia mengacak-acak rambutnya dengan kesal. “Ma, aku tahu dia sudah tidak ada di sini, tapi soal isi kamarku, soal barang-barangnya, itu urusan aku, mau aku biarkan
“Nyonya, tuan pergi…” Carmen melapor dengan tergesa-gesa kepada nyonya Victoria.“Pergi ke mana? Mungkin berangkat ke kantor, Raul kan memang suka berangkat lebih awal.” Nyonya Victoria menjawab santai.“Tidak, nyonya. Kalau berangkat kerja tuan tidak akan membawa koper.”“Apa? Bawa koper?” sahut nyonya Victoria terbelalak, Carmen mengangguk. Tadi ia sempat melihat Raul pergi dengan membawa koper. Carmen hendak bertanya namun Raul keburu masuk ke dalam mobil dan langsung berangkat.“Apa barang-barang Elena sudah kamu kembalikan seperti perintah dia?” “Sudah nyonya, semalam juga setelah saya selesai membereskan barang-barang Elena tuan kembali ke kamar, tapi tidak bilang apa-apa.”Nyonya Victoria menghela napas, ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Raul, namun berkali-kali ia mencoba tetap tidak diangkat.Nyonya Victoria menjadi kesal bercampur khawatir, apa sebenarnya yang terjadi dengan Raul? Apa mungkin karena Elena dia jadi begini? Wanita itu segera menghubungi nomo
“Hola, Buenas tardes!” terdengar suara pintu diketuk dan suara seseorang menyapa dari luar. Nyonya Zavier segera bangun dan membukakan pintu.“Hola, buenas tardes, Tia,” sapa seorang pemuda sambil tersenyum ramah, “cómo estás?”“Buenas, Miguel! Bien, kalau kabarmu sendiri bagaimana?” sambut nyonya Zavier hangat.“Ah bien, tia, muy bien,” sahut pemuda yang dipanggil Miguel itu, ia adalah teman satu sekolah dengan Isabella, Miguel sudah lebih dulu tamat, bisa dikatakan kalau pemuda itu adalah senior Isabella, namun hubungan keduanya sangat dekat. “Tia, apa Chavela ada?”“Ada, tuh lagi ngobrol sama pamannya, ayo masuk,” jawab nyonya Zavier, ia mempersilahkan pemuda itu untuk masuk.“Hola Tio! Hola Vela!” sapa pemuda itu.“Hola Miguel! Wah sudah lama juga tidak melihatmu, apa kabarmu?”“Muy bien, Tio. Cuma memang sedikit sibuk dengan kuliah.”“Dengar-dengar kamu kuliah di Barcelona, Miguel. Apa itu benar?” tanya tuan Zavier antusias.“Benar, paman. Sekarang sedang liburan, makanya aku pula
“Oh Tuhan, apa aku tidak salah lihat?” gumam Raul, matanya tak berkedip melihat seorang gadis yang duduk dengan seorang pemuda.“Elena… Benarkah itu Elena? Lalu siapa pemuda itu? Keduanya sepertinya sangat mesra.”Raul memperhatikan sepasang anak muda yang sedang berbicara sambil bercanda ria. Ada kecemburuan yang mulai menjalari hati Raul. Namun sejenak ia ragu, jika diperhatikan, gadis itu masih sangat muda, lebih muda dari Elena yang biasa dilihatnya. Apa mungkin hanya dalam beberapa minggu tidak melihat, Elena berubah seperti itu? Sayangnya, kecemburuan dan rasa frustasi telah menutupi hati dan pikiran pria itu, sehingga ia tidak bisa lagi berpikir jernih.Sejenak Raul terpana, gadis itu sangat energik dan ceria. Rambutnya dikepang dua tanpa makeup, namun sangat manis, cantik alami khas gadis-gadis desa yang masih polos.Raul tertunduk, ada sesal yang menggelora sangat dalam di hati lelaki itu. ‘Elena, aku setengah mati mencari dan merindukanmu, tapi sepertinya kamu sudah berbaha
“Apa itu perlu, paman?” tanya Raul dengan linglung. Yah, tadi memang ia sempat bingung, karena gadis yang ia lihat itu terlihat masih sangat muda, lebih periang dan polos. Berbeda dengan Elena yang ia kenal saat ini, lebih dewasa, anggun dan pendiam.Pria penjaga makam itu mengangguk, “Benar tuan muda, belajar dari pengalaman saya. Saya sudah terbakar emosi, sehingga langsung memutuskan kalau istri saya selingkuh, tanpa menyelidiki atau bertanya terlebih dahulu.”Raul kembali tertegun, ia mencoba mengingat kembali kejadian siang tadi, gadis itu memang terlihat masih sangat muda dan periang, berbeda dengan Elena yang ia kenal. Bahkan saat pertama kali ia melihat Elena di butik 3 tahun lalu, Elena terlihat sebagai seorang gadis yang pemalu, berbeda dengan yang dilihatnya tadi siang. Kalau memang berbeda, lalu gadis tadi siapa? Kenapa mereka begitu mirip?“Kamu benar, paman. Sepertinya memang ada yang aneh. Gadis yang aku lihat tadi siang terlihat masih sangat muda, periang dan ceplas-cep
“Tuan, apa lagi yang bisa saya bantu?” tanya pelayan laki-laki itu, ia nampak bingung melihat sikap Raul yang tiba-tiba tersenyum sendiri.Raul terkesiap, ia segera ke sikap semula dan menanyakan rumah Miguel Hernandez.“Tentu tuan, keluarga Hernandez adalah salah satu keluarga terpandang di Penedes ini.”“Bisakah kamu antarkan aku ke rumahnya untuk bertemu Miguel Hernandez?” tanya Raul lagi, pelayan itu nampak ragu-ragu.“Kamu nggak usah khawatir, aku akan memberikanmu uang lebih diluar informasi tadi.”“Masalahnya bukan itu tuan, tapi… saya harus bekerja.” Pelayan itu menjelaskan.“Baiklah, antarkan aku pada bos kamu,” pinta Raul. Pelayan itu mengangguk lalu mengantarkan Raul ke ruang atasannya.“Saya Raul Mendez dari Barcelona, saya membutuhkan bantuan karyawan Anda untuk mengantarkan saya mencari suatu alamat, untuk itu saya minta izin agar karyawan Anda ini libur untuk hari ini. Saya akan membayar uang kompensasi untuk itu.”Semula manajer restauran itu masih terdiam, namun akhir