Note: *Mi Querido Marido : Suamiku sayang *Gracias : Terima kasih *Eres el mejor marido del mundo : Kamu adalah suami terbaik di dunia
“Apa?” Diego tersentak, ia menatap Elena lekat-lekat. “Apa maksudmu, Elena? Apa yang sebenarnya terjadi?”Elena mengusap-usap lengan suaminya.“Tenang, mi marido.” Elena tersenyum, ia memang harus menceritakannya pada Diego, ia tidak mau menyembunyikan apapun dari suaminya.“Sesungguhnya, aku sudah tahu semua tentang masalah di keluarga Rodriguez ini, aku juga tahu dan mengerti mengapa kamu begitu membenci Emma.”“Apa Mario sudah menceritakan semuanya?” tanya Diego, Elena mengangguk.“Aku yang memaksa Mario untuk menceritakan semuanya. Bukankah memang sudah seharusnya aku tahu? Supaya aku bisa mempersiapkan diri bagaimana bersikap dan bagaimana menghadapi Emma.”Diego menghela napas, “Perempuan itu sangat licik Elena, suka memanipulasi dan bermuka dua.”“Aku tahu, Diego. Dan aku tahu bagaimana caranya menghadapi orang seperti itu?”“Apa kamu yakin Elena?” tanya Diego memastikan, Elena mengangguk, “lalu mengapa ketika kamu teraniaya di kediaman Mendez kamu diam saja dan hanya pasrah men
Elena tertegun, seorang wanita masuk dengan dandanan full serta pakaian mewah dan aksesories serba glamour. Elena tersenyum ke arah wanita yang terkesan agung dan mendominasi itu.“Oh, kamu sudah datang, Emma.” Elena berkata dengan santai, Emma tidak menjawab, ia menatap Elena dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Ada apa, Emma? Apa ada yang salah dengan outfitku ini?” tanya Elena masih dengan senyumnya yang menawan.Emma terkesima melihat ketenangan sikap Elena, berbeda saat pertama kali wanita itu melihatnya yang terlihat takut dan segan, kemarin pun Elena masih terlihat gugup padanya. Tapi hari ini, Elena sangat tenang seolah tidak mempedulikan Emma, bahkan cendrung menantang.“Baru aja sehari menjadi istri Diego, gayamu sudah seperti nyonya besar Rodriguez.” Emma mendengus kesal.“Hahaha, memangnya gaya nyonya besar Rodriguez itu seperti apa? Aku hanya mengenakan outfit yang memang disiapkan untukku, dari mulai pakaian, tas, sepatu dan semua aksesories ini. Apakah aku salah?”Waj
“Ya, atas namamu, Elena.” Emma tersenyum, kamu adalah istri sah Diego walaupun hanya sebentar, jadi sangat wajar kalau kamu meminta itu.Elena terdiam, ia menatap Emma yang terlihat sangat yakin kalau Diego akan segera meninggal. Tapi mengapa dia menyuruh Elena meminta Diego memberikan salah satu aset keluarga Rodriguez ini atas nama Elena? Bukankah kalau Diego mati nanti Emma yang akan menguasai semua harta Rodriguez? Setidaknya itu adalah klaim Emma.“Lalu, apa kaitannya dengan kesepakatan kita yang kamu maksudkan?” tanya Elena penasaran dengan rencana Emma.Emma menghela napas, dia meraih gelas dan menyesap isinya. Wanita itu tersenyum kepada Elena.“Ya, setelah kamu mendapatkan kepemilikan resmi tempat ini, selanjutnya adalah tinggal urusan kita berdua.”“Maksudnya bagaimana, Emma? Aku belum mengerti yang kamu maksud urusan kita,” sela Elena.“Kita buat kesepakatan, setelah kamu dapatkan kepemilikan tempat ini, kamu serahkan padaku, maka nanti saat Diego meninggal aku akan berika
“Diego!” Elena tercekat, Diego berbaring tak berdaya di atas tempat tidur, di wajahnya dipasang alat bantu pernapasan. Elena segera menghambur ke dekat tempat tidur.“Mario, apa yang terjadi?” desak Elena menatap Mario.“Nyonya…” sapa Mario memberi hormat, begitu pun sang dokter. “Tuan mengalami serangan lagi, tadi tubuh tuan tiba-tiba kejang, beliau mengalami gagal pernapasan, sempat tidak bernapas beberapa saat dan kehilangan kesadaran.”Mario berkata lirih. Elena segera mendekati Diego, mata pria itu terpejam, napasnya terlihat lemah dengan bantuan alat pernapasan di tubuhnya.“Apa Diego masih belum sadar, Mario?” tanya Elena pelan, Mario mengangguk. “Benar nyonya, serangan kali ini cukup kuat, meskipun tuan sudah bisa bernapas lagi dengan bantuan alat pernapasan, tapi beliau masih belum sadar.”Elena merosot di samping tempat tidur, di genggamnya tangan Diego dengan lembut, air mata segera menyergapnya.“Diego, aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi kamu harus melawannya, kamu pas
Raul tertegun mendengar suara yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya. Pria itu menghela napas, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kursi.“Bukan siapa-siapa, Ma.” Raul menjawab acuh.Nyonya Victoria menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan putra semata wayangnya itu. “Kamu kenapa, Raul? Belakangan ini mama perhatikan kamu sangat kacau, uring-uringan gak jelas.”“Ck, gak apa-apa kok, Ma. Itu cuma perasaan Mama aja,” jawab Raul santai, ia kembali mengambil rokok di atas meja dan menyalakannya.“Cukup, Raul! Kamu biasanya nggak seperti ini. Kamu tidak bisa membohongi mama, Nak. Lihat dirimu, sudah berapa bungkus rokok yang kamu habiskan? Mama tahu, sebelum ini kamu tidak merokok. Coba cerita sama mama, sayang. Ada apa?”Alih-alih menjawab pertanyaan nyonya Victoria, Raul malah tertawa sambil menghisap rokoknya, tak ayal lelaki itu tersedak hingga terbatuk-batuk. Nyonya Victoria menjadi sangat cemas.“Mama ini terlalu lebay,” sahut Raul sambil terkekeh, “lelaki merokok hal yang bia
“Carmeeen!!” Raul berteriak dengan keras, tidak berapa lama Carmen datang dengan tergesa-gesa, ia ketakutan melihat kemarahan di wajah tuan mudanya.“I-iya, Tuan.” Wanita paruh baya itu menjawab sambil menundukan wajahnya.“Siapa yang mengacak-acak kamarku? Siapa yang sudah lancang merubah isi kamarku? Jawab!!” bentak Raul dengan wajah memerah menahan amarah.“I-iya tuan, i-itu….”“Itu apa?! Ngomong yang benar Carmen!”“I-itu nyo-nyonya ….”“Ya Raul, memang mama yang melakukannya, kenapa?” ujar nyonya Victoria yang tiba-tiba masuk. “Ma, berhentilah mengurus urusan ruangan pribadiku, aku bukan anak kecil!” sahut Raul sambil mendengus kesal.“Mama bukan ikut campur, Raul. Mama hanya memindahkan barang-barang Elena. Dia sudah tidak ada di sini, jadi buat apa barang-barangnya masih terpampang di kamar ini?”Raul menghela napas, ia mengacak-acak rambutnya dengan kesal. “Ma, aku tahu dia sudah tidak ada di sini, tapi soal isi kamarku, soal barang-barangnya, itu urusan aku, mau aku biarkan
“Nyonya, tuan pergi…” Carmen melapor dengan tergesa-gesa kepada nyonya Victoria.“Pergi ke mana? Mungkin berangkat ke kantor, Raul kan memang suka berangkat lebih awal.” Nyonya Victoria menjawab santai.“Tidak, nyonya. Kalau berangkat kerja tuan tidak akan membawa koper.”“Apa? Bawa koper?” sahut nyonya Victoria terbelalak, Carmen mengangguk. Tadi ia sempat melihat Raul pergi dengan membawa koper. Carmen hendak bertanya namun Raul keburu masuk ke dalam mobil dan langsung berangkat.“Apa barang-barang Elena sudah kamu kembalikan seperti perintah dia?” “Sudah nyonya, semalam juga setelah saya selesai membereskan barang-barang Elena tuan kembali ke kamar, tapi tidak bilang apa-apa.”Nyonya Victoria menghela napas, ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Raul, namun berkali-kali ia mencoba tetap tidak diangkat.Nyonya Victoria menjadi kesal bercampur khawatir, apa sebenarnya yang terjadi dengan Raul? Apa mungkin karena Elena dia jadi begini? Wanita itu segera menghubungi nomo
“Hola, Buenas tardes!” terdengar suara pintu diketuk dan suara seseorang menyapa dari luar. Nyonya Zavier segera bangun dan membukakan pintu.“Hola, buenas tardes, Tia,” sapa seorang pemuda sambil tersenyum ramah, “cómo estás?”“Buenas, Miguel! Bien, kalau kabarmu sendiri bagaimana?” sambut nyonya Zavier hangat.“Ah bien, tia, muy bien,” sahut pemuda yang dipanggil Miguel itu, ia adalah teman satu sekolah dengan Isabella, Miguel sudah lebih dulu tamat, bisa dikatakan kalau pemuda itu adalah senior Isabella, namun hubungan keduanya sangat dekat. “Tia, apa Chavela ada?”“Ada, tuh lagi ngobrol sama pamannya, ayo masuk,” jawab nyonya Zavier, ia mempersilahkan pemuda itu untuk masuk.“Hola Tio! Hola Vela!” sapa pemuda itu.“Hola Miguel! Wah sudah lama juga tidak melihatmu, apa kabarmu?”“Muy bien, Tio. Cuma memang sedikit sibuk dengan kuliah.”“Dengar-dengar kamu kuliah di Barcelona, Miguel. Apa itu benar?” tanya tuan Zavier antusias.“Benar, paman. Sekarang sedang liburan, makanya aku pula
“Tuan, saya menemukan sesuatu di sini,” ujar Julio sambil menunjukan sebuah camera kepada Raul.“Apa itu, Julio?” tanya Raul sambil memperhatikan sebuah kamera yang dipegang asistennya, “Kamera? Apa itu kamera si pelaku?”“Benar, tuan. Saya berhasil merebut kamera si fotografer, namun dia berhasil kabur karena fokus kami adalah menyelamatkan Anda.”Julio segera menyerahkan kamera itu pada Raul, “Sepertinya mereka biasa mengambil foto-foto tidak senonoh, mungkin untuk diperjual belikan,” imbuhnya.Raul segera memeriksa foto-foto yang tersimpan di kamera itu, yang sebagian besar adalah foto-foto vulgar. Sudah bisa ditebak, fotografer itu adalah spesialisasi pengambil gambar-gambar porno.“Fokus pada scene terakhir, mereka belum banyak mengambil gambar tuan, baru ada beberapa gambar, dan di sana Anda bisa melihat sosok yang tadi Anda tanyakan. Sayangnya… Saya sangat panik melihat kondisi tuan sehingga tidak sempat menggeledah tempat itu. Padahal, perempuan itu bersembunyi di sana.”Julio
“Raul, bangun Raul…” panggil Elena pelan, “jangan membuat aku takut….”Suara Elena begitu lirih, nyaris tak terdengar. Air matanya mengalir tak terbendung, ia menempelkan kepalanya di atas dahi Raul, dan tanpa di sadarinya, air mata itu membasahi wajah Raul.Perlahan, bulu mata lelaki itu bergetar. Ia mendengar jelas isakan lirih di telinganya, dan juga merasakan wajahnya basah. Elena masih belum menyadari jika Raul telah sadar, hingga terdengar suara lelaki itu memanggilnya.“Elena…” panggil Raul dengan suara yang lemah. Elena segera mengangkat wajahnya dan menatap Raul.“Kamu sudah bangun, Raul.” Elena berkata sambil tersenyum.Raul menatap wajah cantik yang basah dengan air mata itu, perlahan ia mengangkat tangannya lalu menghapus sisa-sisa air mata di wajah Elena.“Jangan menangis, sayang. Aku sudah bersumpah tidak akan pernah meninggalkan kamu dan Juan.”“Apa yang sebenarnya terjadi, Raul. Kata Julio kamu dibius.”Raul menghela napas, ia menatap langit-langit kamar, dan berusaha
Dua orang pria memapah Raul yang sudah tidak sadarkan diri ke sebuah kamar, Raul di letakan di atas tempat tidur, seorang wanita sudah menunggu dengan senyum mengembang, di sampingnya berdiri pria lainnya dengan kamera menggantung di lehernya.“Kalian boleh ke luar,” perintah wanita itu. Kedua lelaki yang tadi membawa Raul pun meninggalkan kamar itu.Wanita berpakaian seksi itu mendekati Raul, perlahan ia duduk di sisi tempat tidur, mengusap wajah tampan yang tidak berdaya itu, lalu menciumnya.“Raul, akhirnya kamu jatuh ke pelukanku lagi… Sayang kali ini kamu tidak ingat apa-apa.” Beatriz memeluk tubuh Raul, “Kamu gak tahu Raul, aku sangat merindukanmu.”Perempuan itu terus menciumi Raul, namun sang fotografer menyadarkannya. “Nona, bisa dimulai sekarang?”Beatriz menghela napas, ia mengangguk, lalu mulai melepas jas Raul, kemudian perlahan-lahan membuka kancing kemejanya. Beatriz tertegun, ia menelan ludah melihat dada atletis pria di hadapannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia me
"Klien, baru?" tanya nyonya Victoria menimpali, Raul hanya mengangguk.“Kenapa malam-malam begini?”“Sebenarnya dari tadi sore, aku sudah minta Julio membatalkan pertemuan hari ini, tapi kata Julio ternyata mereka masih menunggu.” Raul menjelaskan sambil memeluk ibunya, “ya sudah mama sekarang tidur, ya. Aku juga mau istirahat.”Raul mencium pipi ibunya, lalu ibu dan anak itu pun masuk ke kamar masing-masing.Keesokan harinya, Raul beraktifitas seperti biasa. Sebelum ke kantor, ia singgah ke kediaman Rodriguez untuk melihat bayi kecilnya dan juga Elena tentunya. Bagi Raul keduanya sangat penting.“Buenos días Raul,” sapa Elena masuk ke ruang bayi, Raul sedang asik bercengkrama dengan Juan.“Buenos días, cariño.” Raul membalas dengan mesra, ia tersenyum manis yang membuat wajah tampannya semakin mempesona.“Ck, bisa gak sih nggak pake embel-embel sayang, lebay sekali.” Elena menggerutu sendiri, namun Raul terkekeh mendengarnya.“Sayang, mama puya-puya tuh…” goda Raul sambil berbicara d
“Oh, lalu apa yang harus saya lakukan, nyonya?” tanya perempuan itu merasa gugup, bagaimanapun dia tahu, Raul Mendez bukanlah pria yang mudah dihadapi. Meskipun dia sangat menginginkan lelaki tampan itu, dan tergila-gila padanya, namun sedapat mungkin dia ingin berlari menjauhinya, karena dia tidak ingin lagi berurusan dengan lelaki yang tak mengenal ampun padanya.“Hmm, kamu harus mendekati tuan Mendez lagi, rayu dia, bila perlu tidur dengannya, buat dia melupakan perempuan kampung itu. Aku akan memberikanmu bayaran yang tinggi.” Emma berkata sambil menghisap rokok dan mengepulkan asapnya.“Tidak, nyonya. Itu sulit dan tidak mungkin. Raul sangat membenci saya, rayuan apapun tidak akan mempan buatnya.”“Bodoh! Kalau cara biasa tidak bisa, pakai cara licik sedikit.” Emma mendengus kesal, kenapa perempuan-perempuan itu bodoh semua, sebelumnya Clara, sekarang Beatriz.“Nyonya, saya pernah memakai cara licik itu dulu, tapi Raul sangat marah, bukan hanya membalas saya dengan perlakuan yang
“Raul Mendez, semua ini gara-gara dia. Aku harus membuat perhitungan dengan lelaki itu!” Suara Emma bergetar menahan amarah, wajahnya merah padam. Ia mencengkram gelas dengan kuat sebelum meneguk isinya.“Lalu apa yang harus kita lakaukan, Emma?” tanya Clara sambil terisak.“Diamlah, Clara! Kenapa kamu terus menangis,” bentak Emma geram.“Kamu tidak akan mengerti, Emma. Karena kamu tidak pernah menjadi seorang ibu, kamu tidak akan pernah tahu bagaimana sedihnya berpisah dengan putranya sendiri.”“Ya, aku memang belum pernah jadi seorang ibu, lalu dengan tangisanmu itu, apa anakmu akan kembali?” sungut Emma kesal. “Pergi saja sana ke Paris, anakmu ada di sana!”“Bagaimana mungkin pergi ke sana? Aku sekarang sedang diburu polisi. Baru sampai bandara atau statsiun kereta saja pasti akan diringkus,” bantah Clara kesal. Ia menjadi menyesal karena mengikuti skenario Emma.“Ya makanya diam, bantu aku berpikir untuk membalas Elena dan Raul.”“Memangnya dengan kamu membalas dendam, masalahny
“Raul, apaan sih?” tanya Elena kesal, “Ya sudah kalau begitu aku akan siapkan hadiah dulu sebagai ucapan terima kasih." Elena hendak beridiri, namun Raul menekan tangannya.“Sayang, mama mau kasih papa hadiah tuh,” ucap Raul sambil menatap Juan.“Mama-mama... Kalau mau kacih papa hadiah, cekalang aja ya mama…” Raul kembali berkata menirukan suara anak kecil.“Hmmh, oke. Hadiah apa?” tanya Elena menimpali.“Hadiah apa dong, sayang?” tanya Raul kepada Juan.“Kiss papa, mama…”“Apa?!” teriak Elena terbelalak.“Hiks, ya sudah nggak dikasih juga gak apa-apa…” Raul menatap Juan dengan wajah sedih, “Sayang, papa sedih….”“Ck, apaan sih? Iya-iya…”“Asiik, sayang. Papa mau siap-siap nerima hadiah dari mama dulu ya,” ujar Raul sambil memejamkan mata.“Huh, ge-er,” gerutu Elena, ia terdiam sejenak sambil menghela napas. Wanita itu mendekatkan wajahnya lalu dengan cepat mencium pipi Raul.“Iih mama, maca kiss nya di pipi…” Raul kembali menirukan suara anak kecil.“Uuh, Raul. Nyebelin!” Elena men
“Itu dia!” teriak salah seorang anak buah Luis yang mengikuti Clara, mereka melihat Clara masuk ke sebuah gang, lalu mengejar. Gang itu cukup panjang, dan ada beberapa belokan, dari kejauhan mereka mendengar suara tangisan anak kecil yang menangis dengan keras.Akhirnya, setelah melewati beberapa kelokan, mereka menemukan Hugo menangis sendirian. Tidak lama berselang, Luis pun tiba, ia sangat marah melihat anaknya diperlakukan seperti itu.“Cepat kejar dan tangkap perempuan gila itu, jangan sampai lolos!” perintah Luis sambil mendekap putranya.“Bagaimana, Luis?” tanya Raul yang tiba tidak lama setelahnya.“Dia meninggalkan anakku sendirian di sini, lalu kabur.” Luis berkata dengan kesal, Raul mengamati lokasi sektitar.“Kalau tidak salah, gang ini menuju ke sebuah jalan raya, jadi biasa digunakan orang-orang sebagai jalan pintas, kalau menggunakan mobil harus berputar untuk sampai di jalan raya depan.”Raul menjelaskan, sedangkan Luis berusaha menenangkan putranya. “Orang-orangku se
“Tutup mulutmu perempuan jalang! Dasar sampah! Tidak tahu malu!” Terdengar teriakan keras dari arah luar yang memotong kata-kata Clara, sehingga wanita itu menggantung kalimatnya. Seketika perhatian semua orang tertuju ke arah pintu di mana sumber suara itu berasal.Tidak lama berselang seorang pria berpostur tinggi masuk dengan langkah panjang, diikuti beberapa lelaki lain yang mengiringinya. Terlihat kemarahan di wajahnya. Tatapannya tajam ke arah Clara yang tercengang, wajah perempuan itu memucat, tubuhnya bergetar ketakutan.“Ka-kamu…” Suara Clara terbata-bata, namun lelaki itu langsung menarik Clara dan menamparnya dengan keras.“Aku tidak masalah kalau kau menjual dirimu, perempuan sampah. Tapi aku tidak akan membiarkan kau menjual putraku!”Luis segera menoleh kepada Elena dan Mario, lalu mengatupkan kedua tangannya.“Saya mohon maaf nyonya dan tuan-tuan semua, saya ingin mengonfirmasi bahwa Hugo adalah putra kandung saya, Luis Gonjalez. Hasil DNA yang ditunjukan perempuan sampa