Tembakan machine gun dilepaskan Julian dari atas mobil anti peluru.
Para pemberontak terdesak dan lari tunggang langgang menuju ke pedalaman hutan. Pasukan pemberontak yang berada di hutan sebelah barat melakukan penembakan brutal terhadap pasukan. Letnan David kewalahan membendung jumlah pemberontak yang menyerang. lantas ia menelepon Julian melalui HT. "Sersan Julian, serangan musuh terkonsentrasi di sisi barat. Tolong perbantuan pasukan. Tentara pemberontak melebihi kapasitas pasukan kami!" "Baik, laporan saya terima. Pasukan cadangan segera kesana!" Jawab Julian. Julian seketika membawa beberapa pasukan menggunakan mobil lapis baja menuju ke arah barat. Suara tembakan terdengar semakin nyaring di telinga. Tiba-tiba di pertengahan jalan, di saat Julian dan beberapa pasukan hampir sampai. Tiba-tiba saja peluru dari sniper musuh hampir mengenai kepala. Mereka memang sudah mengincar Julian hidup atau mati. Karena nama Julian sudah menjadi daftar hitam para pemberontak. "Tiarap!" teriak Julian saat menyadari pasukan musuh menembakinya. Kaca Jendela mobil Jeep Wrangler retak terkena peluru panas. Tepat di atas kepala Julian yang berada di dalamnya. Dari sebuah celah bebatuan. Seorang sniper dari pasukan pemberontak terus membidiknya. Namun pasukan Republik belum mengetahui keberadaan Sniper yang menyaru di antara bebatuan. Insting Julian begitu kuat. Bahkan hingga sesuatu yang tersembunyi sekalipun. Ia memandang ke arah sebuah tebing berbatu. Perasaannya seperti berbicara. Bahwa di sanalah para musuh tengah melakukan penyamaran yang mana mereka semua adalah sniper. Suasana seketika hening. Seakan tak terjadi apapun. Itu semua adalah kamuflase yang mereka lakukan. Beberapa pasukan republik masih bersembunyi di balik pepohonan, batu besar dan mobil lapis baja. "Lakukan tembakan ke arah tebing, para sniper musuh bersembunyi di sana!" Julian memerintahkan melalui HT. "Siap Komandan!" seru para prajuritnya. Pasukan langsung melepaskan tembakan menggunakan Machine gun ke arah tebing bebatuan. Rentetan tembakan mengenai tebing dan beberapa sniper pemberontak berjatuhan dengan luka tembak di sekujur tubuhnya. Balasan tembakan seketika dilepaskan dari para sniper musuh. Namun, mereka tak dapat membendung kekuatan pasukan republik yang menembak mereka secara membabi buta. Satu persatu sniper musuh terkena tembakan. Dan sebagian mereka lari tunggang langgang. Julian keluar dari mobil lapis baja. "Sisir area itu. Pastikan mereka semua telah habis!" seru Julian, memerintahkan. Para pasukan menuruti perintah sang komandan. Mereka melakukan operasi ke arah tebing berbatu. Secara tak sengaja Julian menginjak kaki seorang sniper yang terkena tembak. Namun ia masih hidup. "Berhenti!" Julian jongkok dan memperhatikan seorang pemberontak yang tengah terbaring berlumuran darah terkena tembakan di pahanya itu. "Ampun Pak! Jangan habisi saya pak!" seru seorang pemberontak, ketakutan. Julian menjenggut kepalanya dan menariknya hingga terangkat tubuhnya. "Sekarang saya tanya, dimana para warga yang kalian sandra?!" tanya dengan tegas Julian. "Mereka sedang kami tawan di markas kami," jawab seorang pemberontak itu seraya menahan sakitnya. "Kenapa kalian membunuh warga yang tak bersalah lalu menyisakan wanita-wanita muda untuk dijadikan tahanan?!" tanya Julian, membentaknya. "Karena mereka akan dijual kepada seorang mafia perdagangan manusia untuk dijadikan pelacur. Sedangkan kami tidak membutuhkan sisanya," jawab seorang pemberontak itu. "Jadi karena alasan itu kalian melakukan hal sekeji itu?! Tindakan kalian tidak bisa dimaafkan! " Tiba-tiba Julian melepaskan genggaman tangannya dari rambut kepala sang pemberontak. Tubuh pemberontak itu rubuh seketika karena kondisinya yang lemah. Julian tampak melangkah menuju ke mobil militer. Pemberontak itu tampak bertanya-tanya tentang apa yang akan dilakukan kepadanya. Tiba-tiba seorang prajurit menendangnya. "Berlutut!" seru seorang prajurit membentaknya. Walau tubuhnya terasa lemah karena luka tembakan yang menganga. Seorang Pemberontak itu memaksakan diri untuk berlutut di hadapan para pasukan. Tiba-tiba saja Julian menghampirinya dan tanpa berbasa-basi ia seketika menyabetkan pedang katana ke kepalanya. Syuttt... Potongan kepala melayang bersamaan dengan darah yang keluar mengucur deras dari kerongkongan. Tubuh sang pemberontak rubuh seketika tanpa kepala. Burung-burung pemakan bangkai beterbangan dan hinggap di atas dahan. Memperhatikan sepotong daging segar, bersiap untuk menyantap makanan. "Sekarang kita lanjutkan perjalanan!" perintah Julian, lalu ia berbalik badan dan melangkah kembali ke mobil militer. Lantas iringan mobil para pasukan kembali berjalan menuju ke sisi barat. Sebagian rombongan pasukan republik merangsek melalui semak belukar. *** Sesampainya di titik pertempuran, Julian mendapati banyaknya pasukan Republik yang tergeletak tak bernyawa dengan luka tembak di sekujur tubuhnya. Dan tak ada lagi suara tembakan. Yang tersisa hanyalah suara tonggeret di pepohonan. Sontak saja Julian terkejut, lantas ia menghubungi Letnan David. "Letnan, dimana kamu?!" Namun, tidak ada jawaban dari Letnan David. Julian sedikit panik dengan keadaan ini. Lalu ia pun keluar dari mobil dengan menenteng senjata M16 di tangan. Begitu pun Para pasukan yang berada di dalam mobil turut keluar untuk mengawal sang komandan. Saat Julian memandangi jasad para pasukannya. Tiba-tiba sebuah kekuatan muncul dari dalam tubuhnya. Darah yang menggenang di atas tanah seakan berbicara. Kekuatan yang berasal dari alam bawah sadarnya seketika memberikan sebuah petunjuk. Tiba-tiba saja Ia melihat dengan jelas segala kejadian saat pertempuran itu terjadi. Para pasukannya melihat Julian yang terus memegangi kepalanya dan meringkuk seperti orang yang tengah tertekan. "Komandan. Anda kenapa?!" seru para pasukan mencoba menyadarkan. Namun, Julian tanpa sadar telah memasuki sebuah imaji tentang kejadian beberapa saat yang lalu. Julian langsung tersadar kembali dengan nafas yang terengah-engah. Lalu sejenak ia terdiam. Seorang prajurit menghampirinya dan bertanya, "Apa yang terjadi dengan anda Komandan?" Julian memandang lurus ke sebuah titik yang berupa hutan belantara. Ia menunjuknya dan berkata, "Mereka telah menculik Letnan David ke arah sana. Sekarang kita ikuti langkah mereka sebelum pasukan itu membunuhnya, cepat!" ucap Julian memerintahkan. Para pasukan langsung merangsek menyusuri semak belukar untuk mengejar pasukan pemberontak. Karena medan yang dilalui sungguh terjal. Lantas mobil militer harus mereka tinggalkan di tengah hutan. Dan mereka harus berjalan kaki menuju ke sebuah titik yang dituju. Namun di tengah perjalanan, tiba-tiba firasat Julian memberikan isyarat. Sebuah gundukan tanah di hadapannya sangatlah mencurigakan karena seperti tanah yang baru saja diuruk lalu ditumpuk. Ia tau di dalamnya ada sebuah ranjau yang ditanam. "Berhenti!" Julian memerintahkan. "Ada apa komandan?" tanya seorang pasukannya. "Jangan melewati gundukan itu! Lewati saja pinggirannya!" Tanpa bertanya, pasukan telah mengerti dengan apa yang Julian ucapkan. Lantas para pasukan melewati sisi gundukan itu walaupun medannya berupa sebuah sungai yang mengalir deras. Di saat pasukan melangkahkan kaki menyusuri sungai. Tiba-tiba Julian berseru. "Tiarap!" Sontak saja pasukan menjatuhkan diri ke dalam sungai. Dan seketika suara tembakan menggelegar memecah keheningan hutan. Beribu peluru melesat. Beningnya air sungai seketika berubah menjadi berwarna merah darah. Bersamaan dengan hanyutnya puluhan tubuh yang bersimbah darah. Julian sungguh geram. Ia langsung mengarahkan senjata semi otomatis dan menembak secara membabi buta. Tak perduli apa yang akan terjadi pada dirinya. Bahkan hujan peluru tak dapat membuyarkan konsentrasi. Nyatanya, tembakan balasan dari senjata semi otomatisnya. Telah berhasil membunuh para pasukan musuh yang tengah bersembunyi di balik semak belukar. *** Di markas pasukan pemberontak yang berada di pedalaman hutan. Seorang pria dengan jaket hitam tengah berdiskusi dengan seorang petinggi tentara Pemberontak. Dengan raut wajah yang memerah, Mr. Jacky yang merupakan seorang pemimpin mafia perdagangan manusia, menggebrak meja dengan kerasnya di hadapan seorang jendral pemberontak. "Bedebah! Prajurit ingusan itu mencoba menggagalkan rencana kita!" Lalu Jendral pemberontak menoleh ke arah pria berjaket hitam itu. "Tak bisakah kau sopan sedikit?! Karena ambisimu itu, markas ini akan diluluh lantakkan!" "Kau juga yang menginginkan semua ini! Dari awal kita sudah sepakat untuk menjual wanita-wanita itu ke luar negeri lalu aku akan membantu pendanaan untuk menjadikan kota Arkadia menjadi sebuah negara," ucapnya, dengan mata terbelalak. "Tapi jika kau tak membujuk kami. Tidak akan kami lakukan sampai sejauh ini. sekarang silahkan tuan bersiap-siap. Karena kami akan menyerahkan tuan kepada mereka!" Tiba-tiba Mr. Jacky naik darah. "Kalau Anda menyerahkan saya kepada mereka. Maka kalian harus mengembalikan semua dana yang saya kucurkan kepada kalian!" seru Mr. Jacky, murka. Sontak saja Dedy, sang penglima pemberontak naik pitam. Ia mengeluarkan sepucuk pistol revolver, lalu mengarahkan pucuk senjatanya ke kepala Mr. jacky. "Anda yakin dengan yang anda ucapkan?!" seru Dedy, bersiap menekan pelatuk pistolnya.Di sebuah bangunan bambu yang sangat terpencil di pedalaman hutan. Di sebuah ruangan yang gelap dan minim pencahayaan. Letnan David dalam keadaan terbelenggu dengan kedua tangan yang terikat. Mereka didudukkan di sebuah bangku kayu. Dengan dihadapkan oleh para pemuda bertubuh tegap lengkap dengan persenjataan. Tampak tak ada harapan dari raut wajah Letnan David. Ia hanya bisa tertunduk lesu dan berserah diri. Tiba-tiba saja sebuah tongkat Baseball mengayun dengan cepat ke arah wajahnya. Dengan kerasnya tongkat itu menghantam wajah Sang Letnan hingga menimbulkan luka lebam. "Tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kalian di sini! Karena sekeliling area ini telah tertanam ranjau dan mereka tak akan bisa melewatinya kecuali mati!" ucap seorang pria berpakaian loreng. Dengan sebuah simbol di lengannya. David hanya bisa merintih kesakitan, menahan perihnya luka di wajahnya. Lalu Pemuda itu menunjuk wajah Sang Letnan seraya berteriak, "Akan ku penggal kepalamu untuk membuat per
Para pemberontak pun tersentak. Tak menyangka dengan kehadiran mereka. Padahal pertahanan sudah dibuat sedemikian rupa. Namun bisa ditembus begitu saja. Keadaan mereka kini terdesak. Lantas Mereka mengangkat kedua tangannya. Saat puluhan pasukan merangsek masuk dan menodongkan senjata. Dan siap melepaskan tembakan kapan saja. Jika sedikit saja Pasukan pemberontak melakukan gerakan. Maka puluhan pasukan itu akan sangat cepat melakukan tindakan hanya dengan menarik pelatuknya. "Letakkan senjata kalian!" seru seorang prajurit, membentak dan menodongkan senjata semi otomatis ke arah mereka. Para pasukan pemberontak hanya bisa bergeming lalu berlutut dan meletakkan senjatanya di lantai. Julian melangkah santai memasuki ruangan. Tiba-tiba tatapannya berubah menjadi sangat menakutkan. Terbelalak matanya dengan urat di lehernya yang menyembul keluar memandang para pemberontak. "Kalian tidak bisa dimaafkan!" "Pasukan, ikat kedua tangan mereka! jangan sampai mereka melepaskan d
Pembunuhan seorang komandan regu serta pembantaian pasukannya. Telah menyulutkan api kemarahan Sang pemimpin pemberontakan. Sebanyak 50 Prajurit bersenjata lengkap seketika dikerahkan untuk melakukan penyisiran di sekitar Markas dan seluruh pos keamanan. Lebatnya hujan yang tak berhenti mengguyur hutan. Begitu menyulitkan langkah prajurit dalam melakukan gerakan. Karena tanah yang dilalui menjadi semakin licin. Setelah berjam-jam mereka menyusuri hutan. Tampaknya tak juga membuahkan hasil. Lalu Salah seorang prajurit langsung melaporkan kepada Jendal Dedy melalui HT. "Lapor Jendral! Kami tidak menemukan tanda-tanda keberadaan pasukan Republik di area!" ucap seorang prajuritnya. "Tidak ada cerita! Kalian harus menemukannya sampai dapat! Terus lakukan penyisiran! Aku yakin keberadaan mereka masih tak jauh dari area ini," Jendral Dedy, memerintahkan. "Siap Jendral!" jawab para Pasukannya. Para pasukan pun kembali melakukan penyisiran di tengah guyuran hujan. Tak terasa,
Di sebuah lokasi konstruksi gedung. tampak seorang pria tengah mengangkut berkarung-karung pasir dari atas bak truk kemudian diletakkan ke sebuah titik lokasi konstruksi. Julian tampak begitu atletis dengan otot-ototnya yang menyembul keluar. Dengan pakaiannya yang hanya berupa kaos dengan lengannya yang terbuka lebar. Namun kegagahannya hanya dimanfaatkan saja oleh sang mandor. Semua perintah dengan kata-kata kasar harus ditelannya setiap hari. Tak ada pilihan lain. Julian yang hanya menempuh pendidikan menengah hanya bisa bersyukur dengan apa yang dia dapatkan. Truk berikutnya pun tiba. Kali ini truk membawa puluhan sak semen. Mandor kemudian mengarahkan pandangan ke arah Julian lalu menunjuk tepat arah truk tersebut. "Julian, setelah ini kau harus angkat semua semen itu. Sekarang ku beri waktu kau 30 menit untuk menyelesaikan pekerjaan mengangkut pasir!" seru Sang mandor seraya bertolak pinggang. Julian hanya menundukkan kepala dan sedikit mengangguk. Karena wa
Melihat Sang Komandan, security itu pun tersentak. Seketika ia melakukan penghormatan militer dengan mengangkat telapak tangannya di atas kening. "Selamat siang Komandan, mari silahkan masuk. Kopral Joni memang orang yang baik hati dan tidak mudah marah, " ucap sang Security, dengan wajah yang memerah namun berusaha untuk tersenyum. Sang kopral menghampiri security itu lalu tiba-tiba. Prakk... "Akh... Apa salah saya komandan?!" Kaki sang kopral dengan Sepatu PDLnya menekan ujung kaki sang security dengan keras. "Jadi seperti itu perlakuanmu kepada pekerja?!" bentak sang kopral joni. "Ma-maaf saya salah komandan!" seru sang security, seraya terus menahan sakit di kakinya. "Sekarang kau push up 100 kali!" "Siap komandan!" Sang security langsung menjatuhkan badannya dan melalukan push up di hadapan Kopral Joni dan Julian. Lantas kopral Joni menghampiri Julian seraya menyodorkan tangannya. Kita bertemu lagi anak muda. Bagaimana? Kau sudah ambil keputusan?"
Wajah Letnan David tampak memerah membendung amarahnya. ia kembali berdiri dan melakukan ancang-ancang serangan. "Tidak mungkin aku dikalahkan oleh seorang kuli bangunan. Akan ku kalahkan dia. Kau tak akan lolos!" ucap Letnan David dalam benaknya. Letnan David kembali melakukan serangan. Kali ini ia mengerahkan seluruh kekuatannya. Satu pukulan mengarah ke wajah Julian. Wuss... Tapp... Julian secepat kilat menangkap pukulan itu. Dua kekuatan kini saling beradu. Letnan David terus menekan tinjunya dan Julian menahannya dengan segenap kekuatan. "Hiyaah!" Letnan David berteriak seraya terus mendorong tinjunya. Dan tiba-tiba. Buamm! Sebuah kekuatan yang besar menghantam letnan David hingga ia terpental sejauh 3 meter. Letnan David pun terkapar tak berdaya. Kekuatan pukulan Letnan David yang telah terkumpul kekuatannya itu pun tak dapat meruntuhkan pertahanan Julian. Julian dengan mudahnya menjatuhkan lawan hanya dalam satu hentakan tangan. "Bagaimana Letnan A
Pembunuhan seorang komandan regu serta pembantaian pasukannya. Telah menyulutkan api kemarahan Sang pemimpin pemberontakan. Sebanyak 50 Prajurit bersenjata lengkap seketika dikerahkan untuk melakukan penyisiran di sekitar Markas dan seluruh pos keamanan. Lebatnya hujan yang tak berhenti mengguyur hutan. Begitu menyulitkan langkah prajurit dalam melakukan gerakan. Karena tanah yang dilalui menjadi semakin licin. Setelah berjam-jam mereka menyusuri hutan. Tampaknya tak juga membuahkan hasil. Lalu Salah seorang prajurit langsung melaporkan kepada Jendal Dedy melalui HT. "Lapor Jendral! Kami tidak menemukan tanda-tanda keberadaan pasukan Republik di area!" ucap seorang prajuritnya. "Tidak ada cerita! Kalian harus menemukannya sampai dapat! Terus lakukan penyisiran! Aku yakin keberadaan mereka masih tak jauh dari area ini," Jendral Dedy, memerintahkan. "Siap Jendral!" jawab para Pasukannya. Para pasukan pun kembali melakukan penyisiran di tengah guyuran hujan. Tak terasa,
Para pemberontak pun tersentak. Tak menyangka dengan kehadiran mereka. Padahal pertahanan sudah dibuat sedemikian rupa. Namun bisa ditembus begitu saja. Keadaan mereka kini terdesak. Lantas Mereka mengangkat kedua tangannya. Saat puluhan pasukan merangsek masuk dan menodongkan senjata. Dan siap melepaskan tembakan kapan saja. Jika sedikit saja Pasukan pemberontak melakukan gerakan. Maka puluhan pasukan itu akan sangat cepat melakukan tindakan hanya dengan menarik pelatuknya. "Letakkan senjata kalian!" seru seorang prajurit, membentak dan menodongkan senjata semi otomatis ke arah mereka. Para pasukan pemberontak hanya bisa bergeming lalu berlutut dan meletakkan senjatanya di lantai. Julian melangkah santai memasuki ruangan. Tiba-tiba tatapannya berubah menjadi sangat menakutkan. Terbelalak matanya dengan urat di lehernya yang menyembul keluar memandang para pemberontak. "Kalian tidak bisa dimaafkan!" "Pasukan, ikat kedua tangan mereka! jangan sampai mereka melepaskan d
Di sebuah bangunan bambu yang sangat terpencil di pedalaman hutan. Di sebuah ruangan yang gelap dan minim pencahayaan. Letnan David dalam keadaan terbelenggu dengan kedua tangan yang terikat. Mereka didudukkan di sebuah bangku kayu. Dengan dihadapkan oleh para pemuda bertubuh tegap lengkap dengan persenjataan. Tampak tak ada harapan dari raut wajah Letnan David. Ia hanya bisa tertunduk lesu dan berserah diri. Tiba-tiba saja sebuah tongkat Baseball mengayun dengan cepat ke arah wajahnya. Dengan kerasnya tongkat itu menghantam wajah Sang Letnan hingga menimbulkan luka lebam. "Tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kalian di sini! Karena sekeliling area ini telah tertanam ranjau dan mereka tak akan bisa melewatinya kecuali mati!" ucap seorang pria berpakaian loreng. Dengan sebuah simbol di lengannya. David hanya bisa merintih kesakitan, menahan perihnya luka di wajahnya. Lalu Pemuda itu menunjuk wajah Sang Letnan seraya berteriak, "Akan ku penggal kepalamu untuk membuat per
Tembakan machine gun dilepaskan Julian dari atas mobil anti peluru. Para pemberontak terdesak dan lari tunggang langgang menuju ke pedalaman hutan. Pasukan pemberontak yang berada di hutan sebelah barat melakukan penembakan brutal terhadap pasukan. Letnan David kewalahan membendung jumlah pemberontak yang menyerang. lantas ia menelepon Julian melalui HT. "Sersan Julian, serangan musuh terkonsentrasi di sisi barat. Tolong perbantuan pasukan. Tentara pemberontak melebihi kapasitas pasukan kami!" "Baik, laporan saya terima. Pasukan cadangan segera kesana!" Jawab Julian. Julian seketika membawa beberapa pasukan menggunakan mobil lapis baja menuju ke arah barat. Suara tembakan terdengar semakin nyaring di telinga. Tiba-tiba di pertengahan jalan, di saat Julian dan beberapa pasukan hampir sampai. Tiba-tiba saja peluru dari sniper musuh hampir mengenai kepala. Mereka memang sudah mengincar Julian hidup atau mati. Karena nama Julian sudah menjadi daftar hitam para pemberontak.
Wajah Letnan David tampak memerah membendung amarahnya. ia kembali berdiri dan melakukan ancang-ancang serangan. "Tidak mungkin aku dikalahkan oleh seorang kuli bangunan. Akan ku kalahkan dia. Kau tak akan lolos!" ucap Letnan David dalam benaknya. Letnan David kembali melakukan serangan. Kali ini ia mengerahkan seluruh kekuatannya. Satu pukulan mengarah ke wajah Julian. Wuss... Tapp... Julian secepat kilat menangkap pukulan itu. Dua kekuatan kini saling beradu. Letnan David terus menekan tinjunya dan Julian menahannya dengan segenap kekuatan. "Hiyaah!" Letnan David berteriak seraya terus mendorong tinjunya. Dan tiba-tiba. Buamm! Sebuah kekuatan yang besar menghantam letnan David hingga ia terpental sejauh 3 meter. Letnan David pun terkapar tak berdaya. Kekuatan pukulan Letnan David yang telah terkumpul kekuatannya itu pun tak dapat meruntuhkan pertahanan Julian. Julian dengan mudahnya menjatuhkan lawan hanya dalam satu hentakan tangan. "Bagaimana Letnan A
Melihat Sang Komandan, security itu pun tersentak. Seketika ia melakukan penghormatan militer dengan mengangkat telapak tangannya di atas kening. "Selamat siang Komandan, mari silahkan masuk. Kopral Joni memang orang yang baik hati dan tidak mudah marah, " ucap sang Security, dengan wajah yang memerah namun berusaha untuk tersenyum. Sang kopral menghampiri security itu lalu tiba-tiba. Prakk... "Akh... Apa salah saya komandan?!" Kaki sang kopral dengan Sepatu PDLnya menekan ujung kaki sang security dengan keras. "Jadi seperti itu perlakuanmu kepada pekerja?!" bentak sang kopral joni. "Ma-maaf saya salah komandan!" seru sang security, seraya terus menahan sakit di kakinya. "Sekarang kau push up 100 kali!" "Siap komandan!" Sang security langsung menjatuhkan badannya dan melalukan push up di hadapan Kopral Joni dan Julian. Lantas kopral Joni menghampiri Julian seraya menyodorkan tangannya. Kita bertemu lagi anak muda. Bagaimana? Kau sudah ambil keputusan?"
Di sebuah lokasi konstruksi gedung. tampak seorang pria tengah mengangkut berkarung-karung pasir dari atas bak truk kemudian diletakkan ke sebuah titik lokasi konstruksi. Julian tampak begitu atletis dengan otot-ototnya yang menyembul keluar. Dengan pakaiannya yang hanya berupa kaos dengan lengannya yang terbuka lebar. Namun kegagahannya hanya dimanfaatkan saja oleh sang mandor. Semua perintah dengan kata-kata kasar harus ditelannya setiap hari. Tak ada pilihan lain. Julian yang hanya menempuh pendidikan menengah hanya bisa bersyukur dengan apa yang dia dapatkan. Truk berikutnya pun tiba. Kali ini truk membawa puluhan sak semen. Mandor kemudian mengarahkan pandangan ke arah Julian lalu menunjuk tepat arah truk tersebut. "Julian, setelah ini kau harus angkat semua semen itu. Sekarang ku beri waktu kau 30 menit untuk menyelesaikan pekerjaan mengangkut pasir!" seru Sang mandor seraya bertolak pinggang. Julian hanya menundukkan kepala dan sedikit mengangguk. Karena wa