Alma berjalan tanpa arah di kota Onyx. Dia hanya ingin menghilangkan rasa sedih dalam hatinya. Berjalan tanpa tujuan sekadar menghalau pikirannya dari Rafael. "Eh, pembukaan toko baru!?" Alma tertarik dengan sebuah toko yang baru saja dibuka. Keramaian akibat pembukaan toko pun belum terurai. Para pembeli mendapatkan voucher untuk pembelian pertama dengan harga khusus. Alma yang juga berdiri di depan toko ikut mendapatkan voucher tersebut. "Toko perhiasan," ucap Alma membaca bagian atas dari voucher tersebut kemudian dia meraba sakunya. "Sial aku bahkan tidak membawa dompet, gara-gara Rafael aku jadi setengah linglung," gerutu Alma. Alma sama seperti para wanita lainnya, dia menyukai perhiasan. Kakinya melangkah meskipun dia tahu tidak akan bisa membeli satupun barang di toko itu."Kenapa tidak gratis saja!" teriak Alma dalam hati. Matanya dimanjakan dengan perhiasan berbagai bentuk yang berkilau. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?" sapa seorang pria dengan setelan rapi dan senyum m
Rafael pulang ke rumahnya dengan kotak yang dia bawa dari tempat Alma. Dia langsung berjalan menuju ke kamar Yuasa tanpa peduli kedua anak kembar yang memperhatikan langkahnya. Keduanya mengikutinya dari belakang.“Benda apa itu?” Rasa penasaran Yui muncul saat melihat sebuah benda yang digantung dekat dengan tempat tidur kakaknya.“Ini penangkap mimpi, katanya kau tidak akan bermimpi buruk jika meletakkan penangkap mimpi di dekat tempat tidurmu,” jawab Rafael menjelaskan dan tersenyum melihat penangkap mimpi yang sudah terpasang dengan baik.“Aku mau satu, Paman!” rengek Yui. Dia sering bermimpi dan hal itu mengganggu tidurnya.“Nanti saja, tidak mudah mendapatkan benda ini,” balas Rafael dan gadis kecil itu menggembungkan pipinya lalu merajuk. Rafael hanya bisa menghela napas melihat tingkah Yui.“Light, di mana Yuasa?” tanya Rafael menoleh ke arah pemuda yang sedang memperhatikan penangkap mimpi yang dipasang Rafael.“Ada di balkon, dia bersama Fury,” jawab Light menyentuh penangka
Yuasa ditemani Rafael dan kedua adik kembarnya sudah berada di kaki pegunungan Jade. "Dengar Yuasa, yang ku lihat dan yang kau lihat akan berbeda. Di depan mataku hanya ada jalan setapak tanpa hambatan. Dan taman bunga mawar itu tidak pernah mau muncul saat aku ke sana. Akan tetapi, pasti berbeda denganmu. Semakin kuat cintamu semakin sulit ujian yang akan kau lalui, jangan menyerah hingga bunga itu muncul." Rafael memberikan penjelasan sebelum Yuasa melangkahkan kakinya di pegunungan Jade."Tenang saja, Paman, kami akan menemani kakak!" seru si kembar dengan percaya diri mereka berada di sebelah Yuasa."Taman mawar tidak akan muncul di hadapan kalian, bocah!" seru Rafael menyentil dahi kedua bocah yang ikut-ikutan ingin membantu."Yui mau mawarnya!" seru Yui."Mana ada pangeran yang mau bertaruh nyawa di sini demi dirimu," kelakar Light yang terlihat tertawa ringan. Yui cemberut melihat Light menertawakannya."Paman! Apa Yui tidak cukup berharga untuk dicin
Yuasa merasa naga merah yang bertarung dengannya tak kunjung menggigitnya hingga perlahan dia membuka matanya. Sebuah barrier transparan berwarna merah menyelubungi dirinya dan menghalangi naga itu mencabiknya dengan gigi-gigi tajam yang terlihat jelas saat mulutnya terbuka lebar-lebar.“Barier Rosaline!”Yuasa teringat hari itu saat blood moon belum terjadi, malam itu Rosaline menggambar dua rune di kedua lengan tangannya. Barrier pertama sudah hancur untuk melindunginya dari Xavier. Dan saat ini barrier kedua Rosaline melindunginya dari gigi-gigi tajam sang naga merah.Tak ingin membuang kesempatan, Yuasa segera memanggil pedangnya. “Golden lightning!”Pedang keemasan dengan kilatan-kilatan petir yang menyelubunginya. Yuasa mengarahk
Matahari sudah condong ke barat saat Yuasa mencapai puncak pegunungan Jade. Dia mengatur napasnya dan beristirahat sejenak. Puncak pegunungan Jade tidak seperti bayangannya. Tempat ini tidak lebih dari reruntuhan tua yang dipenuhi rumput liar dan tanaman merambat."Aurum, di mana telurmu?" tanya Yuasa. Mustahil sebutir telur masih utuh di tengah reruntuhan seperti ini."Ada di bawah," jawab Aurum."Bawah?"Yuasa melihat lagi sekitarnya. Tidak ada apapun kecuali reruntuhan. Dia berjalan perlahan mencari keberadaan telur sang naga. Seluruh tempat itu sudah diputari oleh Yuasa. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan telur tersebut.Yuasa memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya karena rasa dingin yang mulai merayap.
Yuasa masuk ke sebuah ruangan penetasan, seperti namanya tempat ini terasa hangat. Rasa senang terpancar dari wajah Yuasa yang terlihat tersenyum. Pria di sebelahnya pun ikut tersenyum.“Kau pasti menantikan hari ini, hari dimana nagamu akan memiliki tubuhnya sendiri.” Pria itu menunjukkan tempat khusus untuk menetaskan telur. Sebuah tempat yang mirip seperti inkubator. Yuasa merasakan tempat khusus itu lebih hangat dari ruangan penetasan.“Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menetaskan telur naga?” tanya Yuasa yang antusias akan segera melihat Aurum menetas.Pria dengan pakaian serba perak itu menatap Yuasa, “Tidak akan lama,” jawabnya kemudian dia mendekati Yuasa dan menyentuhnya. “Sepertinya tidak bisa hari ini, tubuhmu terlalu lemah. Istirahatlah dulu,” lanjutnya.“Aku masih kuat,” sanggah Yuasa yang tidak ingin menunda proses penetasan Aurum.“Tidak, tubuhmu tidak akan kuat saat ini,” tolak pria berambut perak dan berta
Rafael sudah menunggu di kaki pegunungan Jade saat Yuasa turun. Dia sudah menyambut kedatangan Yuasa dengan senyuman. Sementara Yuasa menunjukkan bunga mawar merah delima kepada mereka. Yui terlihat begitu menyukai bunga dan meminjam bunga itu untuk diamati.“Kapan ya, ada yang mau memberiku bunga secantik ini,” ucap sang putri yang terlihat begitu menginginkan bunga mawar seperti yang saat ini dipegangnya.“Sudah kubilang kan, itu mustahil,” balas Light. Mereka memang selalu berselisih paham. Setelah memberikan kembali bunga mawar itu, Yui mengejar Light, sementara pria muda dengan rambut keperakan itu berlari kencang dan melompat-lompat ke arah hutan.“Jangan lari!” teriak Yui yang tidak serta merta berteriak saja, dia menyerang Light dengan kekuatannya.“Paman, apa itu tidak berbahaya?” Yuasa yang melihat kedua adik kembarnya berkelahi tidak hanya dengan tangan kosong merasa khawatir.“Biarkan saja, mereka sudah biasa seperti itu,” jawab Rafael ringan seakan hal itu memang hal bias
Rosaline seketika terbangun. Dia seperti orang yang baru saja sadar dari tenggelam, rasanya paru-parunya kekurangan oksigen dan dia menghirup udara banyak-banyak. “Rupanya sudah siuman.” Suara seorang pria yang datang menyalakan lampu kamar Rosaline yang awalnya gelap. “Mimpi, apa aku bermimpi.” Rosaline memegang dadanya merasakan jantungnya masih berdetak, lalu dia menyentuh pipinya dengan kedua tangan seakan ingin memastikan dirinya benar-benar asli. “Apakah aku masih hidup?” tanya Rosaline kepada pria yang baru saja masuk ke kamarnya. Dia mengerutkan alisnya mungkin juga setengah mengira gadis yang saat ini bangun sedang kurang waras. “Tentu saja kau masih hidup, Nona,” jawab pria itu mengecek denyut nadi di pergelangan tangan kemudian retina matanya. “Sangat hidup,” lanjutnya. Pria itu berbalik lalu kembali menutup pintu kamar Rosaline. Tak lama kemudian dia kembali. “Jangan kemana-mana, kalau kau butuh sesuatu panggil saja pelayan