Solomon mengabaikan teguran Vincen yang penuh kekhawatiran. Ia tetap fokus mengumpulkan energi spiritualnya dengan maksimal. Terlihat sinar mistis yang berkumpul di telapak tangannya, seolah menyatakan kegigihan dan keteguhan hatinya. Di sisi lain, Vincen berusaha keras menahan serangan demi serangan siluet pukulan energi spiritual raksasa yang menerjangnya. Namun, dalam kondisi seperti itu, ia hanya bisa melihat ke arah Solomon dengan tatapan nanar dan tak berdaya. "Master, jangan lakukan ini!" teriak Vincen, wajahnya penuh kecemasan dan marah. Ia khawatir akan keselamatan sang guru. Namun, Solomon yang sudah mengumpulkan seluruh energi spiritualnya tersenyum enigmatis. Tanpa ragu, ia melompat ke udara dan melakukan serangan terkuatnya ke arah Haey. "Tinju penghancur!" seru Solomon dengan suara menggelegar, melesatkan pukulan gelombang angin sangat besar. Siluet gelombang angin yang seperti ombak besar tercipta, memukul semua pukulan energi spiritual Harley hingga hancur be
Vincen mengangkat kedua tangannya, telapaknya terbuka lebar sambil matanya terpejam fokus. Aura merah pekat mulai terkumpul, berputar dan mengalir ke kedua telapak tangannya.Sebuah desis pelan terdengar saat energi itu semakin menguat. Dengan tekad yang membara, dia membuka mata, memandang tajam ke arah Harley yang masih berusaha menstabilkan diri."Berakhir sudah!" seru Vincen dengan suara lantang. Dengan gerakan yang cepat dan tegas, dia menghempaskan kedua tangannya ke depan. Sebuah gelombang angin berwarna merah, berbentuk naga raksasa, melesat keluar dengan dahsyat. Suara angin itu mendesing keras, menggetarkan udara di sekitar.Harley yang belum sepenuhnya pulih, hanya bisa membelalak melihat gelombang energi yang menyerangnya. Dia mencoba mengangkat tangannya untuk bertahan, tapi terlambat. Booom!Gelombang naga merah itu menghantamnya dengan kekuatan penuh, mendorongnya beberapa meter ke belakang sebelum terjatuh ke ta
Keesokan harinya, sinar matahari pagi menyusup lembut melalui jendela kaca besar di ruang VIP rumah sakit, menaburkan cahaya hangat ke ruangan itu. Vincen, yang telah menghabiskan malam tanpa tidur sambil menjaga, akhirnya terlelap di sofa panjang yang ada. Tubuhnya terkulai tidak berdaya, kepala terdorong ke samping, sementara napasnya beraturan dan tenang, menandakan bahwa dia tengah berada dalam tidur yang sangat dibutuhkannya.Pintu ruangan itu perlahan terbuka, menyebabkan sedikit suara yang cukup untuk membuat Lotar dan Elma, yang sedang duduk di ranjang mereka, mengalihkan pandangan. Veronica, dengan semangat membawa kotak sarapan yang wangi, segera masuk. "Selamat pagi, Kakek, Nenek, aku membawa sarapan...." ucapnya ceria.Lotar dan Elma segera mengangkat tangan mereka, membuat gerakan untuk menyuruh Veronica diam. "Ssst...." bisik mereka hampir bersamaan, mata mereka penuh kelembutan sambil menunjuk ke arah Vincen yang masih terlelap.
Sebelum Veronica sempat menyelesaikan kata-katanya, wanita yang duduk lemah di atas kursi roda itu menyahut dengan senyuman tipis di bibirnya. "Ya, benar. Aku adalah mantan istri Vincen."Veronica mengangguk mengerti, lalu menoleh ke arah Vincen yang tampak serius. Pria itu masih terus menatap wajah mantan istrinya dengan tatapan yang sulit diterka.Di kursi roda, Lidia tersenyum dengan wajah pucat yang menampakkan kelelahan, namun ada kebahagiaan yang terpancar dari matanya. Setelah sekian lama berpisah, akhirnya ia bisa bertemu dengan Vincen lagi."Apa kau hanya berpura-pura agar bisa mendapatkan perhatianku, Lidia?" tanya Vincen dengan nada dingin, menembus kesenyapan tempat tersebut."Vin...." Veronica segera mengusap lengan Vincen, merasa prianya sudah terlalu keras terhadap Lidia.Lidia menatap mereka berdua, lalu berkata dengan nada lembut, "Tidak apa, Nona Shancez. Aku memang tidak pantas mendapatkan maaf dari Vincen, atas segala
Vincen tampak duduk termenung di depan ruang perawatan kakek dan neneknya, menyandarkan tubuhnya yang letih pada dinding. Matanya mendongak, menatap langit-langit sambil meresapi kesalahannya.Perasaan bersalah mulai merayapi hati Vincen. Bukan karena masih ada cinta untuk Lidia di hatinya, tetapi karena dia baru mengetahui bahwa penyakit Lidia sudah ada sejak setahun lalu, saat mereka masih hidup bersama."Kenapa aku tidak mengetahuinya?" bisik Vincen dalam hati, menahan rasa bersalah yang mendalam.Tiba-tiba, suara seseorang memecahkan keheningan, membuat Vincen tersentak kaget. "Tuan Clark," sapa orang itu dengan lembut.Vincen segera berdiri tegap dan menatap sosok pria di hadapannya dengan seksama. Dia belum pernah melihat pria ini sebelumnya."Apakah kita pernah berjumpa?" tanya Vincen dengan sopan.Pria itu tersenyum hangat, kemudian memperkenalkan diri. "Saya Aleron Shancez, ayah Veronica," ucapnya dengan nada ramah.Ketika mendengar nama tersebut, Vincen langsung terkejut dan
Face menatap Harley dengan tatapan penuh kesedihan, seolah menyesal akan apa yang akan ia ungkapkan. Ia kemudian teringat kembali pada saat ia akan menyuntikan obat bius pada Elma. Wanita tua itu, dengan nada berat, mengatakan bahwa Harley tidak akan pernah mampu memiliki kekuatan Giok darah yang legendaris.Alasannya adalah Harley merupakan keturunan keluarga pelayan Klan Ritsu, yang sudah ditakdirkan untuk menjadi pelayan dan tak akan mampu menguasai kekuatan tersebut.Dengan langkah ragu, Face mendekati Harley sambil membawa gulungan yang berisikan foto sebuah keluarga dan seorang pelayan menggendong dua bayi laki-laki. Foto itu merupakan pemberian dari Elma sebelum kejadian itu."Apa ini, Face?" tanya Harley dengan suara lembut, saat ia menerima gulungan itu dan melihat foto yang ada di dalamnya."Lihatlah baik-baik, tuan," jawab Face dengan nada serius, namun penuh kegentaran.Perlahan, Harley mengerutkan keningnya, menatap foto itu
Untuk beberapa saat, Vincen dan Lidia terhenti dalam diam, saling menatap satu sama lain. Hati Lidia terasa berdenyut, hingga akhirnya wanita itu mengambil origami yang ada di tangan Vincen dengan lembut."Terima kasih," ucap Lidia dengan lirih, sambil memaksakan sebuah senyum yang pahit. Dengan berat hati, ia mencoba menggerakkan kursi roda untuk menjauh dari Vincen. Lidia sadar betul pernah melukai pria itu, dan ingin menjauh agar tak membuat masalah lagi baginya.Namun, tiba-tiba saja Vincen menggenggam pegangan kursi roda Lidia, membuat wanita itu tersentak dan mendongak, menatap pria yang pernah menjadi suaminya itu dengan sorot mata yang bingung dan kaget."Setidaknya aku tidak ingin terlihat buruk di saat terakhirmu," ucap Vincen dengan nada serius, sambil mendorong kursi roda tanpa menatap Lidia.Lidia merasa terharu, dan ia mengulas sebuah senyum. "Kau tidak pernah berbuat buruk padaku, Vincen. Tapi aku yang telah menyia-nyiakan pria baik sepertimu," ucapnya dengan mata berk
Vincen masih berdiri di samping tempat tidur kakek dan neneknya, menggenggam tangan Veronica dengan penuh kasih sayang. "Kakek, Nenek, aku harus pergi sebentar, masalah ini harus segera aku urus," ucapnya lembut. Kakek dan neneknya mengangguk pelan, mereka berdua menatap cucunya itu dengan rasa bangga.Vincen menggenggam kedua tangan Veronica. "Kamu pulanglah istirahat, biar bawahanku yang menjaga mereka," ucapnya lembut.Veronica menggelengkan kepalanya pelan. "Nanti saja, aku juga sedang menunggu Ayah yang sedang menemui seseorang, nanti aku pulang bersamanya."Vincen mengangguk mengerti. "Kalau begitu aku pergi dulu," ucapnya lembut, mengecup kening Veronica lantas meninggalkan ruangan itu.Setelah memastikan kedua orang tua itu mendapatkan penjagaan ketat dari bawahannya. Vincen segera meninggalkan rumah sakit dengan langkah cepat. Di luar, ia berbicara pada teleponnya, memberi instruksi tegas kepada orang-orangnya. "Aku ingin kalian menemukan Harley secepatnya. Segera temukan d