"Tidak ada yang boleh meninggalkanku begitu saja!" James menggeram, harga dirinya hancur oleh sikap dingin Renata yang seolah mengabaikannya sepenuhnya. Dalam sekejap, tanpa berpikir panjang, ia meraih tangan Renata, mencoba menghentikannya.BUGH!Sebuah tendangan keras menghantam tubuh James, membuatnya terlempar mundur beberapa meter. Napasnya tersengal ketika ia menyadari bahwa sosok tegap Loksa, penjaga Renata, telah berdiri di hadapannya dengan ekspresi beringas."Beraninya kau menyentuh Tuan Putri! Ingin mati, hah?!" suara Loksa menggema, penuh amarah.Renata hanya menoleh sebentar, tatapannya tak lebih dari sekilas, sebelum melanjutkan langkahnya masuk ke Restoran Equator Sunrise, tak memperdulikan James yang meringis kesakitan di tanah.“Tunggu! Kenapa kau memukulku?” teriak James, kedua tangannya memegang erat perut yang baru saja dihantam tendangan Loksa.Loksa mendekat, mengangkat tangan seakan bersiap menyerang lagi. "Aku bukan cuma akan memukulmu, tapi aku akan membunuhmu
"Ketua yakin masih ingin menyamar?" tanya Katrin Chow, tatapannya tajam, suaranya terukur namun tegas. Di sebelahnya, Jessy dan Kristin mengangguk setuju, menyuarakan kecemasan yang sama. Pertanyaan yang tidak berani ditanyakan sebelumnya telah terwakili oleh keberanian Katrin menanyakannya.Jika Naga Perang tetap bersembunyi di balik penyamarannya, tamu-tamu yang memegang Undangan Perak, Merah, dan Putih akan merasa dikecewakan. Tidak seperti pemegang Undangan Emas yang dapat berinteraksi langsung dengan Naga Perang, mereka hanya bisa menatap dari kejauhan. Kehadiran Ketua sangat dinantikan, namun ketiadaannya hanya akan menggores kekecewaan yang mendalam. Terasa sia-sia kedatangan mereka dengan harapan bisa mengenal lebih dekat sosok Naga Perang yang melegenda di seantero Khatulistiwa itu.Wajah asli Naga Perang hanya dikenal oleh segelintir orang – Klan Sembilan Naga Sakti, Empat Elemental Naga, beberapa konglomerat kelas atas, dan para Ketua Serikat Dagang. Sisanya hanya tahu nama
Rendy sama sekali tidak menduga kalau ingatan Renata bisa pulih kembali setelah dia menghapus ingatan jangka pendek mengenai janjinya terhadap gadis itu. Tujuan awalnya agar Renata semangat dan bisa pulih kembali seperti semula tapi gadis ini terlalu menganggap serius ucapannya sehingga pekerjaannya terganggu dan kesehatannya semakin terganggu. Setelah melalui pertimbangan yang matang, akhirnya Rendy memutuskan untuk melupakan cintanya terhadap Renata. Berkat kemampuan medisnya, Rendy berhasil menghapus ingatan Renata hingga saat kemunculannya, ingatan gadis ini kembali lagi. "Aku tidak pernah lupa dengan janjiku, tapi mempertimbangkan situasimu saat itu maka aku terpaksa melakukannya atas persetujuan orangtuamu." "Hah! Orangtuaku menyetujuinya? Bagaimana mungkin mereka bisa menyetujuinya?" tanya Renata dengan rasa penasaran. "Aku tetap akan menepati janjiku padamu. Hanya saja aku butuh waktu, jadi untuk sementara ingatanmu tentang hubungan kita dihapus!" "Sudahlah! Semua itu
“Bangsat kau, Rendy!” teriak James, suaranya menggelegar memenuhi ruangan. Wajahnya memerah, seperti babi yang tersudut. “Dasar menantu tak berguna! Beraninya kau mempermainkanku? Kau nggak suka kalau Cindy pergi denganku? Aku yang akan tidur dengannya pertama kali, bukan kau!”Setiap kata yang keluar dari mulut James terasa semakin kotor, seperti racun yang merembes dari bibirnya, membuat darah Rendy mendidih. Awalnya, ia masih mencoba menjaga ketenangan, berusaha meredakan amarah James dengan senyum yang kaku. Tapi saat Cindy dilecehkan, sesuatu dalam diri Rendy meledak.PLAK!Tamparan itu mendarat begitu keras di wajah James, tanpa ada peringatan. Udara seakan membeku sejenak, dan gema suara tamparan itu masih terasa di telinga mereka berdua. James terpaku, matanya terbelalak. Wajahnya yang memerah semakin panas, bekas telapak tangan Rendy langsung terlihat jelas di pipinya."Jaga bicaramu atau kurobek mulutmu!" suara Rendy terdengar tajam, berdesir di udara. Matanya merah, bukan h
"Ternyata benar kalau kamu yang duduk di Ruang Jamuan Makan Emas! Apa Katrin memintamu untuk menyamar jadi Naga Perang? Kemana Naga Perang yang sebenarnya?" tanya Cindy. Bahkan Cindy sendiri juga tidak percaya kalau Rendy adalah Naga Perang yang sebenarnya.Rendy yang terkenal sebagai Naga Perang, ternyata memiliki kesulitan untuk menghadapi Cindy bahkan dia tidak mampu bicara untuk menjawab dengan lugas pertanyaan sederhana yang diajukan oleh Cindy."Aku yang memintanya untuk menyamar sebagai Naga Perang! Kebetulan wajah Rendy mirip dengan Naga Perang yang berhalangan datang untuk Jamuan Makan Malam di Equator Sunrise malam ini!"Suara Katrin memecah ketegangan antara Rendy dan Cindy.Cindy terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Katrin yang begitu mengejutkan. “Jadi, Rendy menyamar sebagai Naga Perang atas persetujuanmu, dan Naga Perang yang asli setuju dengan rencana ini?” tanyanya dengan nada tidak percaya. “Bagaimana mungkin?”Rendy tetap diam, matanya tak sanggup menatap Cin
Rendy melangkah mantap menuju area eksklusif Jamuan Makan Malam Emas di Restoran Equator Sunrise. Cahaya lampu kristal berkilauan di atas kepala, menciptakan bayangan dramatis di lantai marmer hitam yang seolah memantulkan aura kemewahan setiap langkahnya. Di depannya, barisan bodyguard berbadan besar berdiri kaku, menciptakan barikade tak tertembus, membedakan ruang jamuan eksklusif itu dari pengunjung restoran lainnya. Mereka menjaga ketat akses hanya untuk tamu-tamu khusus, menggarisbawahi betapa mewahnya acara malam ini.Namun sebelum Rendy mencapai barisan penjaga itu, suara tajam yang tak asing lagi menggema dari belakangnya, menghentikan langkahnya seketika."Rendy!"Suara Vera Huang, ibu mertuanya, mengoyak suasana tenang malam. Penuh amarah dan ketegangan, seakan setiap kata meluncur dengan niat menusuk. Punggung Rendy terasa kaku sejenak, namun ia tetap menjaga ekspresi tenangnya. Perlahan, dia berbalik, menatap Vera dengan senyum tipis yang sudah terlatih untuk menenangkan
Rendy berhenti sejenak, memandang dingin ke arah James yang berlutut di lantai, sementara di belakangnya, Vera Huang masih terbaring kesakitan, dengan raut wajah yang dipenuhi amarah dan kepahitan. Apa yang telah terjadi? Kenapa dua pengusaha Khatulistiwa ini bisa berada di atas lantai dengan situasi yang cukup mengenaskan? Ada baiknya kita kembali ke beberapa jam sebelumnya ...."CINDY!" teriakan Vera kembali bergema, kali ini lebih nyaring, mencoba menarik perhatian putrinya sekali lagi. Namun, tatapan tamu undangan kini hanya menyiratkan rasa sinis dan ketidakpedulian. Mereka datang malam ini untuk melihat wujud Naga Perang yang sesungguhnya, sosok yang selama ini hanya beroperasi di balik layar. Tapi, apa yang telah dilakukan oleh Vera? Ia telah merusak kesempatan ini dengan dramanya yang tak berujung.Cindy mendesah pelan, wajahnya tak lagi menyembunyikan kekesalan yang lama terpendam. "Ma, sudah cukup!" katanya tegas. "Aku harap Mama sudah siap kehilangan posisimu sebagai Presi
James berdiri di depan pintu, merasakan dadanya sesak. Ruangan di balik barikade bodyguard itu dipenuhi tokoh-tokoh penting—pemimpin dari Wang Multi Finance, Sembilan Naga Sakti, dan Serikat Dagang dan Industri. Jika Cindy masuk tanpa dirinya, masa depan keluarganya akan hancur. Dana segar yang mereka butuhkan akan lepas dari genggaman.“Demi masa lalu kita, tolong Cin…” Ucapan James tersendat, suaranya terdengar putus asa, meskipun di baliknya hanya kebohongan yang terbalut rapi.Cindy berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan tatapan dingin. “Masa lalu apa? Aku bahkan baru mengenalmu saat aku mulai kerja di Huang Corporation.” Ia berlalu begitu saja, langkahnya tegas, seakan tak peduli.Tapi James tak menyerah. “Aku sudah lama kenal kamu! Kita satu sekolah di SMA Harapan Bangsa. Saat itu, aku kurus, hitam, dan miskin. Kekayaan keluarga kami bukan hasil turun-temurun. Hidupku sulit!” Suaranya lebih putus asa, penuh pengharapan palsu.Langkah Cindy terhenti. Dia berbalik, alisnya teran
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi