James berdiri di depan pintu, merasakan dadanya sesak. Ruangan di balik barikade bodyguard itu dipenuhi tokoh-tokoh penting—pemimpin dari Wang Multi Finance, Sembilan Naga Sakti, dan Serikat Dagang dan Industri. Jika Cindy masuk tanpa dirinya, masa depan keluarganya akan hancur. Dana segar yang mereka butuhkan akan lepas dari genggaman.“Demi masa lalu kita, tolong Cin…” Ucapan James tersendat, suaranya terdengar putus asa, meskipun di baliknya hanya kebohongan yang terbalut rapi.Cindy berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan tatapan dingin. “Masa lalu apa? Aku bahkan baru mengenalmu saat aku mulai kerja di Huang Corporation.” Ia berlalu begitu saja, langkahnya tegas, seakan tak peduli.Tapi James tak menyerah. “Aku sudah lama kenal kamu! Kita satu sekolah di SMA Harapan Bangsa. Saat itu, aku kurus, hitam, dan miskin. Kekayaan keluarga kami bukan hasil turun-temurun. Hidupku sulit!” Suaranya lebih putus asa, penuh pengharapan palsu.Langkah Cindy terhenti. Dia berbalik, alisnya teran
Vera Huang melangkah ke depan dengan angkuh, suaranya menggema di tengah ruangan megah. “Berani sekali kalian menghalangiku!” serunya pada para bodyguard yang menatapnya dingin. “Anakku sudah mendapatkan pinjaman dari Naga Perang. Aku ini tamu kehormatannya! Kalian semua akan dihukum mati karena berani menghinaku!”Tatapan tamu undangan yang sebelumnya jenuh, tertarik pada adegan yang berlangsung. Vera, dengan gaun mewah yang berkilau di bawah lampu-lampu kristal, tampak seperti bintang panggung dalam teater sosial yang baru saja dimulai. Para tamu berkerumun, mendekat, tertarik oleh ketegangan antara Vera dan para penjaga.Merasa aura kekuatannya semakin kuat oleh sorotan mata tamu-tamu yang haus hiburan, Vera mulai menghasut. “Masuklah ke Ruang Emas! Di sana ada anggur Wine Screaming Eagle Cabernet yang begitu mahal hingga hanya para dewa yang bisa merasakannya. Apa kita tidak pantas menikmatinya juga?” Senyum sinis terukir di bibirnya, sementara tatapannya menyapu kerumunan.“Benar
Cindy melangkah ke dalam Ruang Emas, matanya menyapu tiap sudut ruangan mewah itu. Cahaya lampu kristal yang berkilauan memantul dari permukaan meja bertaplak emas di tengah ruangan. Namun, sesuatu janggal. “Mama kok nggak ada, Ren?” tanyanya, matanya mencari sosok Vera Huang yang seharusnya ada di sana.Rendy tersenyum tipis, menatapnya dengan pandangan yang tenang. “Naga Perang cuma mengizinkan satu orang terdekat untuk masuk ke sini. Jadi, aku memilihmu.” Nada bicaranya terdengar lembut, penuh keyakinan, dan akhirnya Cindy mengangguk, menerima penjelasan itu dengan ragu yang perlahan memudar.Ia mengikuti langkah Rendy menuju meja utama. Di sana, empat wanita menunggunya—duduk dengan anggun, tersenyum manis padanya. Cindy merasa canggung. “Siapa mereka?” gumamnya pelan, bingung. Matanya tertuju pada wajah-wajah yang tak dikenalnya, kecuali satu. “Aku cuma tahu Nona Katrin, sisanya...?”Rendy menarik kursi dengan lembut, mengisyaratkan agar Cindy duduk. Setelah ia mengambil tempat,
Ketidak hadiran Naga Perang dan Klan Sembilan Naga Sakti dalam Jamuan Makan Malam Naga perang sempat membuat beberapa pengusaha dan konglomerat bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah Naga Perang masih hidup dan akan kembali menguasai dunia? Kenapa Klan Sembilan Naga Saakti tidak hadir sama sekali di Jamuan Makan Malam Naga Perang? Apa mereka sudah diberitahu kalau Naga Perang tidak akan datang? Rendy tidak ambil pusing dengan segala desas desus yang santer beredar setelah Jamuan Makan Malam yang dianggap gagal oleh kalangan bisnis dunia. Ratusan pengusaha dibuat kecewa oleh ketidak hadiran Naga Perang ini. Bahkan Naga Perang juga tidak mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan alasannya tidak datang dalam jamuan makan malam. Hanya Katrin yang meminta maaf kepada seluruh tamu undangan dengan alasan Naga Perang masih ada urusan di luar negeri yang tidak bisa ditinggalkan. Setelah jamuan makan malam selesai dengan kekecewaan semua tamu undangan karena ketidak had
Dalam perumahan mewah Nirvana Hills yang berada di perbukitan asri tak jauh dari pusat Kota Chindo, Jessy perlahan mendekatkan tubuhnya yang basah ke punggung Rendy, kulitnya yang hangat beradu dengan dinginnya marmer kamar mandi. Aroma wewangian dari sabun mahal bercampur dengan aroma sensual yang semakin memanaskan udara. Jessy semakin berani, tangannya menggesek lembut tetapi tegas ke arah yang selama ini hanya berani diimpikan. Rendy, sang Naga Perang, berdiri diam, tetapi sentuhan Jessy mulai mengusik kendali batinnya. Meskipun ia adalah pria yang terbiasa memimpin dengan ketegasan, di hadapan Jessy, semua batasan mulai kabur."Bagaimana kalau kita sudahi mandi ini?" bisik Jessy, bibirnya hampir menyentuh telinga Rendy. Nafas hangat Jessy menyusuri tengkuknya, membuat denyut gairah dalam tubuh Rendy melonjak. Hatinya teraduk antara keinginan yang semakin besar dan keraguan yang samar.Rendy mengangguk tanpa kata, lalu dengan satu gerakan kuat, dia mengangkat tubuh Jessy ke peluka
Di bawah sinar matahari yang memantul dari bodi-bodi mobil super mewah yang berderet rapi di sirkuit, sebuah GT-R Black Edition memasuki pelataran parkir dengan gemuruh mesin yang menggetarkan. Klub Super Car, tempat paling eksklusif di Kota Chindo, terkenal tidak hanya karena koleksi mobil-mobil mahalnya, tapi juga karena seleksi ketat yang diberlakukan pada setiap calon anggota. Bahkan mereka yang memiliki kekayaan luar biasa tak bisa serta-merta bergabung tanpa rekomendasi dari anggota terdahulu.Saat Jessy keluar dari Aston Valkyrie-nya, mata para anggota langsung tertuju padanya. Mobil yang langka dan berkelas, dipadukan dengan kehadiran Jessy yang dikenal sebagai primadona di kalangan klub, membuatnya menjadi pusat perhatian.Adrian Zhou, pemimpin muda Klub Super Car, menghampiri dengan senyum penuh percaya diri. “Nona Jessy... apa angin hari ini yang membawamu ke sini?” tanyanya dengan nada akrab namun penuh wibawa. Adrian, pengusaha yang telah mengangkat perusahaannya menjadi
Adrian dengan penuh percaya diri memasuki arena sirkuit, duduk di balik kemudi F 812 Superfast-nya, mobil dengan logo kuda hitam Italia yang menjadi kebanggaannya. Mesin meraung kencang, mengeluarkan suara yang menandakan kekuatannya yang tak main-main. Dengan kecepatan maksimum mencapai 454 km/jam, Adrian yakin tidak ada mobil yang mampu menandingi “Si Merah” miliknya. Dia memandang Rendy dengan tatapan meremehkan saat pria itu mengendarai G-TR Black Edition miliknya menuju garis start."Menyerah saja! Kamu tidak akan mampu mengejarku dengan mobil itu!" ejek Adrian dengan suara keras, berusaha menunjukkan dominasinya.Jessy, yang berada di sisi lintasan, hanya menggeleng dan tersenyum sinis. "Jangan terlalu sombong, Adrian. Dylan sangat mahir mengemudi Super Car. Kamu akan terkejut melihatnya nanti," ucap Jessy, matanya berkilat penuh keyakinan pada Rendy.Adrian tertawa terbahak-bahak, melirik Jessy seolah ingin mengesankan gadis itu dengan kepercayaan dirinya. "Tidak ada yang bisa
Deru mesin G-TR Black Edition yang hitam mengilap baru saja berhenti, dan Naga Perang keluar dari kokpit mobilnya dengan anggun.. Jessy, yang berdiri di dekat garis finis, menyambutnya dengan senyum penuh kekaguman, suaranya terdengar ringan namun penuh hormat. “Ketua, tadi di lintasan... luar biasa!” ucapnya, masih terpukau oleh kecepatan dan ketepatan gerakan Naga Perang di atas aspal sirkuit. Rendy menoleh dengan senyum yang sekilas, tangannya masih mengendalikan kemudi saat mobilnya melaju pelan berdampingan dengan Aston Valkyrie milik Jessy. "Kamu nggak coba balapan juga? Seru loh!" tanyanya santai, nada suaranya menantang dengan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan. Jessy mendengus ringan, matanya melirik sekilas ke arah lintasan yang mulai sepi. "Tadinya aku mau adu cepat sama Ketua... tapi tak disangka Adrian sombong banget, menantangmu kayak begitu. Bahkan nggak kasih selamat sama sekali. Tak tahu aturan!" Suaranya tertahan, tapi jelas terasa amarah yang terselubung di
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata