Rendy melangkah mantap menuju area eksklusif Jamuan Makan Malam Emas di Restoran Equator Sunrise. Cahaya lampu kristal berkilauan di atas kepala, menciptakan bayangan dramatis di lantai marmer hitam yang seolah memantulkan aura kemewahan setiap langkahnya. Di depannya, barisan bodyguard berbadan besar berdiri kaku, menciptakan barikade tak tertembus, membedakan ruang jamuan eksklusif itu dari pengunjung restoran lainnya. Mereka menjaga ketat akses hanya untuk tamu-tamu khusus, menggarisbawahi betapa mewahnya acara malam ini.Namun sebelum Rendy mencapai barisan penjaga itu, suara tajam yang tak asing lagi menggema dari belakangnya, menghentikan langkahnya seketika."Rendy!"Suara Vera Huang, ibu mertuanya, mengoyak suasana tenang malam. Penuh amarah dan ketegangan, seakan setiap kata meluncur dengan niat menusuk. Punggung Rendy terasa kaku sejenak, namun ia tetap menjaga ekspresi tenangnya. Perlahan, dia berbalik, menatap Vera dengan senyum tipis yang sudah terlatih untuk menenangkan
Rendy berhenti sejenak, memandang dingin ke arah James yang berlutut di lantai, sementara di belakangnya, Vera Huang masih terbaring kesakitan, dengan raut wajah yang dipenuhi amarah dan kepahitan. Apa yang telah terjadi? Kenapa dua pengusaha Khatulistiwa ini bisa berada di atas lantai dengan situasi yang cukup mengenaskan? Ada baiknya kita kembali ke beberapa jam sebelumnya ...."CINDY!" teriakan Vera kembali bergema, kali ini lebih nyaring, mencoba menarik perhatian putrinya sekali lagi. Namun, tatapan tamu undangan kini hanya menyiratkan rasa sinis dan ketidakpedulian. Mereka datang malam ini untuk melihat wujud Naga Perang yang sesungguhnya, sosok yang selama ini hanya beroperasi di balik layar. Tapi, apa yang telah dilakukan oleh Vera? Ia telah merusak kesempatan ini dengan dramanya yang tak berujung.Cindy mendesah pelan, wajahnya tak lagi menyembunyikan kekesalan yang lama terpendam. "Ma, sudah cukup!" katanya tegas. "Aku harap Mama sudah siap kehilangan posisimu sebagai Presi
James berdiri di depan pintu, merasakan dadanya sesak. Ruangan di balik barikade bodyguard itu dipenuhi tokoh-tokoh penting—pemimpin dari Wang Multi Finance, Sembilan Naga Sakti, dan Serikat Dagang dan Industri. Jika Cindy masuk tanpa dirinya, masa depan keluarganya akan hancur. Dana segar yang mereka butuhkan akan lepas dari genggaman.“Demi masa lalu kita, tolong Cin…” Ucapan James tersendat, suaranya terdengar putus asa, meskipun di baliknya hanya kebohongan yang terbalut rapi.Cindy berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan tatapan dingin. “Masa lalu apa? Aku bahkan baru mengenalmu saat aku mulai kerja di Huang Corporation.” Ia berlalu begitu saja, langkahnya tegas, seakan tak peduli.Tapi James tak menyerah. “Aku sudah lama kenal kamu! Kita satu sekolah di SMA Harapan Bangsa. Saat itu, aku kurus, hitam, dan miskin. Kekayaan keluarga kami bukan hasil turun-temurun. Hidupku sulit!” Suaranya lebih putus asa, penuh pengharapan palsu.Langkah Cindy terhenti. Dia berbalik, alisnya teran
Vera Huang melangkah ke depan dengan angkuh, suaranya menggema di tengah ruangan megah. “Berani sekali kalian menghalangiku!” serunya pada para bodyguard yang menatapnya dingin. “Anakku sudah mendapatkan pinjaman dari Naga Perang. Aku ini tamu kehormatannya! Kalian semua akan dihukum mati karena berani menghinaku!”Tatapan tamu undangan yang sebelumnya jenuh, tertarik pada adegan yang berlangsung. Vera, dengan gaun mewah yang berkilau di bawah lampu-lampu kristal, tampak seperti bintang panggung dalam teater sosial yang baru saja dimulai. Para tamu berkerumun, mendekat, tertarik oleh ketegangan antara Vera dan para penjaga.Merasa aura kekuatannya semakin kuat oleh sorotan mata tamu-tamu yang haus hiburan, Vera mulai menghasut. “Masuklah ke Ruang Emas! Di sana ada anggur Wine Screaming Eagle Cabernet yang begitu mahal hingga hanya para dewa yang bisa merasakannya. Apa kita tidak pantas menikmatinya juga?” Senyum sinis terukir di bibirnya, sementara tatapannya menyapu kerumunan.“Benar
Cindy melangkah ke dalam Ruang Emas, matanya menyapu tiap sudut ruangan mewah itu. Cahaya lampu kristal yang berkilauan memantul dari permukaan meja bertaplak emas di tengah ruangan. Namun, sesuatu janggal. “Mama kok nggak ada, Ren?” tanyanya, matanya mencari sosok Vera Huang yang seharusnya ada di sana.Rendy tersenyum tipis, menatapnya dengan pandangan yang tenang. “Naga Perang cuma mengizinkan satu orang terdekat untuk masuk ke sini. Jadi, aku memilihmu.” Nada bicaranya terdengar lembut, penuh keyakinan, dan akhirnya Cindy mengangguk, menerima penjelasan itu dengan ragu yang perlahan memudar.Ia mengikuti langkah Rendy menuju meja utama. Di sana, empat wanita menunggunya—duduk dengan anggun, tersenyum manis padanya. Cindy merasa canggung. “Siapa mereka?” gumamnya pelan, bingung. Matanya tertuju pada wajah-wajah yang tak dikenalnya, kecuali satu. “Aku cuma tahu Nona Katrin, sisanya...?”Rendy menarik kursi dengan lembut, mengisyaratkan agar Cindy duduk. Setelah ia mengambil tempat,
Ketidak hadiran Naga Perang dan Klan Sembilan Naga Sakti dalam Jamuan Makan Malam Naga perang sempat membuat beberapa pengusaha dan konglomerat bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah Naga Perang masih hidup dan akan kembali menguasai dunia? Kenapa Klan Sembilan Naga Saakti tidak hadir sama sekali di Jamuan Makan Malam Naga Perang? Apa mereka sudah diberitahu kalau Naga Perang tidak akan datang? Rendy tidak ambil pusing dengan segala desas desus yang santer beredar setelah Jamuan Makan Malam yang dianggap gagal oleh kalangan bisnis dunia. Ratusan pengusaha dibuat kecewa oleh ketidak hadiran Naga Perang ini. Bahkan Naga Perang juga tidak mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan alasannya tidak datang dalam jamuan makan malam. Hanya Katrin yang meminta maaf kepada seluruh tamu undangan dengan alasan Naga Perang masih ada urusan di luar negeri yang tidak bisa ditinggalkan. Setelah jamuan makan malam selesai dengan kekecewaan semua tamu undangan karena ketidak had
Dalam perumahan mewah Nirvana Hills yang berada di perbukitan asri tak jauh dari pusat Kota Chindo, Jessy perlahan mendekatkan tubuhnya yang basah ke punggung Rendy, kulitnya yang hangat beradu dengan dinginnya marmer kamar mandi. Aroma wewangian dari sabun mahal bercampur dengan aroma sensual yang semakin memanaskan udara. Jessy semakin berani, tangannya menggesek lembut tetapi tegas ke arah yang selama ini hanya berani diimpikan. Rendy, sang Naga Perang, berdiri diam, tetapi sentuhan Jessy mulai mengusik kendali batinnya. Meskipun ia adalah pria yang terbiasa memimpin dengan ketegasan, di hadapan Jessy, semua batasan mulai kabur."Bagaimana kalau kita sudahi mandi ini?" bisik Jessy, bibirnya hampir menyentuh telinga Rendy. Nafas hangat Jessy menyusuri tengkuknya, membuat denyut gairah dalam tubuh Rendy melonjak. Hatinya teraduk antara keinginan yang semakin besar dan keraguan yang samar.Rendy mengangguk tanpa kata, lalu dengan satu gerakan kuat, dia mengangkat tubuh Jessy ke peluka
Di bawah sinar matahari yang memantul dari bodi-bodi mobil super mewah yang berderet rapi di sirkuit, sebuah GT-R Black Edition memasuki pelataran parkir dengan gemuruh mesin yang menggetarkan. Klub Super Car, tempat paling eksklusif di Kota Chindo, terkenal tidak hanya karena koleksi mobil-mobil mahalnya, tapi juga karena seleksi ketat yang diberlakukan pada setiap calon anggota. Bahkan mereka yang memiliki kekayaan luar biasa tak bisa serta-merta bergabung tanpa rekomendasi dari anggota terdahulu.Saat Jessy keluar dari Aston Valkyrie-nya, mata para anggota langsung tertuju padanya. Mobil yang langka dan berkelas, dipadukan dengan kehadiran Jessy yang dikenal sebagai primadona di kalangan klub, membuatnya menjadi pusat perhatian.Adrian Zhou, pemimpin muda Klub Super Car, menghampiri dengan senyum penuh percaya diri. “Nona Jessy... apa angin hari ini yang membawamu ke sini?” tanyanya dengan nada akrab namun penuh wibawa. Adrian, pengusaha yang telah mengangkat perusahaannya menjadi
Rendy menggertakkan giginya, rahangnya mengeras saat api di telapak tangannya berkobar semakin besar. Panasnya menusuk kulitnya sendiri, tetapi ia tidak peduli. Matanya terpaku pada dua zombie es yang semakin mendekat. Mata biru mereka bersinar tajam seperti kristal, menyiratkan kehampaan yang menakutkan.Tanpa menunggu lebih lama, Rendy melemparkan bola api itu dengan gerakan cepat dan penuh tenaga. Suara mendesis terdengar ketika api meluncur menembus udara yang dingin. Namun, harapannya hancur seketika. Salah satu zombie mengangkat pedangnya, membelah bola api itu menjadi dua. Api yang terpisah berkedip sejenak sebelum lenyap dalam pusaran hawa dingin yang membungkus mereka."Sial! Mereka menyerap panas!" Rendy mengumpat, rahangnya semakin mengencang.Tiba-tiba, keduanya bergerak serentak, menerjang dengan kecepatan yang tidak seharusnya dimiliki oleh makhluk mati. Rendy melompat ke belakang, nyaris tergelincir di atas es yang licin. Sebuah hembusan napas tajam lolos dari bibirnya
Rendy melangkah ke dalam Formasi Kutub Es Kelima, dan seketika hawa dingin yang brutal menerpa kulitnya seperti ribuan jarum tajam menembus daging. Napasnya berubah menjadi kabut tebal yang bergelayut di udara, membentuk awan putih setiap kali ia menghembuskan napas. Kakinya hampir terpeleset di atas lapisan es licin yang berkilauan redup di bawah cahaya remang.Kabut putih pekat menggantung di sekelilingnya, menggulung seperti tirai yang menyembunyikan ancaman tak kasat mata. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena dingin yang menggigit, tetapi juga ketegangan yang mengendap di dadanya. Instingnya berteriak, menuntut kewaspadaan."Ini lebih buruk dari yang kuduga," gumamnya, merapatkan mantel bulunya lebih erat. Tubuhnya menggigil, tetapi ia memaksakan diri untuk tetap bergerak.Tiba-tiba, suara mendesing membelah kesunyian seperti pisau mengiris udara. Mata Rendy membelalak, tubuhnya bereaksi lebih cepat dari pikirannya. Ia melompat ke samping, berguling di atas permukaan es
Rendy melangkah mantap ke dalam wilayah beku Formasi Kutub Es Keempat. Saat ia melintasi ambang batas, udara pun berubah drastis. Dulu, dingin hanya terasa menusuk kulit; kini, suhu menggigit hingga menembus tulang, seolah setiap partikel udara menghantam sumsumnya. Setiap butir salju yang jatuh bukan lagi sekadar kelembutan yang menenangkan, melainkan pecahan es tajam yang berkilauan di bawah cahaya redup, menari liar seolah menantang keberaniannya.Langkah demi langkah, Rendy mendengar deru gemuruh yang semakin mendekat. Matanya menyapu cakrawala, dan di balik tirai kabut es, dinding-dinding beku mulai bergerak perlahan, seolah hidup dan ingin menuntut nyawanya. “Ini bukan lagi pertarungan biasa,” gumamnya dalam hati, “ini adalah medan perang yang bernyawa.”Tak lama kemudian, tanah di depannya bergejolak. Pilar-pilar es mencuat tiba-tiba, menyerang dengan kejam dan hampir meremukkan kakinya. "Bangsat!” teriak Rendy sambil melompat ke samping. Namun, tak hanya itu yang menunggunya—
Angin berputar makin kencang, menciptakan pusaran es yang berputar liar di sekeliling mereka. Rendy tetap berdiri tegap, matanya tajam menatap sosok terakhir yang kini berdiri di hadapannya. Pria tanpa senjata itu mengangkat tangannya, dan dengan satu gerakan halus, formasi es di sekitarnya mulai bergerak, membentuk tombak-tombak runcing yang melayang di udara, siap menghujam ke arah Rendy kapan saja."Kau memang berbeda dari yang lain," ucapnya, nada suaranya masih setenang sebelumnya. "Tapi apakah bara kecil itu cukup untuk menghadapi kehampaan ini?"Rendy tidak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam, merasakan aliran panas yang mengalir dalam tubuhnya. Tidak ada lagi nyala api yang membakar, tidak ada semburan liar yang menghanguskan. Yang ada hanyalah kehangatan yang menyatu dengan dirinya, mengalir dalam setiap gerakan dan nafasnya.Dalam sekejap, tombak-tombak es itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang mengerikan. Rendy melompat ke samping, tubuhnya berputar di udara, meng
Alih-alih melepaskan semburan api besar seperti yang biasa ia lakukan, Rendy memejamkan mata. Napasnya tertarik dalam-dalam, dada naik dan turun seirama dengan denyut nadi yang semakin membara. Di dalam pikirannya, nyala api bukan lagi letusan liar yang menghanguskan segalanya, melainkan bara yang mengendap tenang, meresap ke dalam otot-ototnya, menjalar ke tulang dan mengisi setiap pori-pori kulitnya dengan panas yang tak tertahankan. Saat kelopak matanya terbuka kembali, pandangannya jernih dan tajam. Udara di sekelilingnya bergetar, tidak lagi karena kobaran api, tetapi karena gelombang panas yang keluar dari tubuhnya sendiri. Tanah di bawah kakinya menghangat, udara di sekitarnya beriak seperti fatamorgana di atas gurun pasir. Rendy merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah kekuatan yang lebih terkendali, lebih dalam, dan lebih dahsyat dari sebelumnya. Tanpa ragu, ia menerjang ke depan. Gerakannya nyaris tak terlihat, seperti bayangan yang melesat dalam sekejap. Kecepatan itu bukan
Rendy melangkah mantap ke dalam pusaran badai es yang berputar liar di belakangnya. Setiap pijakan kakinya menghasilkan bunyi berderak, merambat ke seluruh permukaan es yang retak seperti suara tulang yang patah. Angin dingin menampar wajahnya dengan kasar, membekukan tiap tarikan napas yang keluar dari bibirnya. Butiran salju yang tajam seperti pecahan kaca menari di udara, menyayat kulitnya hingga perih. Namun, di balik semua itu, tekadnya tetap membara.Di hadapannya, Formasi Kutub Es Ketiga berdiri menjulang, dinding-dindingnya yang runcing seolah hendak menusuk langit kelam. Bayangannya yang megah dan menyeramkan menebarkan aura dingin yang membuat dada Rendy terasa sesak. Setiap langkah yang ia ambil semakin menegaskan keberadaannya di tempat terlarang ini. Suara samar bergema di udara, entah dari mana asalnya, seolah ada sesuatu yang mengamati setiap gerak-geriknya dengan mata tak terlihat.Saat ujung kakinya melewati batas wilayah beku itu, tanah di bawahnya mendadak memancark
Rendy menarik napas dalam-dalam, udara dingin menusuk paru-parunya, sementara matanya yang tajam menyapu badai salju yang mengamuk di sekelilingnya. Setiap butir salju yang beterbangan seakan menceritakan ancaman, namun tekadnya tak tergoyahkan. Setelah berhasil menaklukkan prajurit es pertama yang menyerang dengan keberanian setara badai itu, ia melangkah ke dalam kegelapan beku Formasi Kutub Es Tujuh Langkah. Angin mengaum lebih liar, menyembunyikan jebakan mematikan di balik tirai putih yang terus berputar.Saat langkah pertamanya menuju formasi kedua, tanah di bawahnya tiba-tiba bergetar hebat, mengirimkan getaran menakutkan ke seluruh tubuhnya. Tanah itu runtuh, menciptakan celah besar seakan ingin menelannya hidup-hidup. Dengan refleks instan, Rendy melompat ke samping, namun matanya menangkap gerakan kilat ... dinding es raksasa melesat dari bawah dan atas, berusaha menjepitnya dalam pelukan maut."Sial!" teriak Rendy, suara yang tertiup angin seolah menyatu dengan rintihan bad
Angin menderu tanpa ampun, menerjang wajah Rendy dengan suhu yang menusuk, seakan ribuan jarum es menyusup ke dalam kulitnya. Di sekelilingnya, salju menari liar, berputar-putar membentuk pusaran putih yang seakan ingin menelan segala sesuatu yang berada di lintasan badai. Di tengah kekacauan itu, dua sosok prajurit es meluncur bak bayangan, melangkah tanpa jejak di atas permukaan salju yang telah membeku kaku.Rendy, yang tengah berlari menyusuri medan yang terselimuti badai, tiba-tiba mengayunkan tubuhnya ke samping. Tepat di saat itulah, sebuah pedang es berkilauan meluncur mendekat, hampir saja menyapu bahunya dengan kecepatan yang mematikan. Udara di sekitar pedang itu bergetar, menampakkan efek membekukan yang menyeramkan pada setiap hal yang disentuhnya."Dekat sekali!" seru Rendy dengan nada terkejut, namun ia tak sempat mengeluh. Dalam satu gerakan refleks, ia memutar badannya dan melayangkan tendangan ke arah bayang-bayang prajurit itu. Namun, tendangannya hanya menyentuh ke
Di balik tirai salju tebal yang menutupi setiap sudut Pegunungan Es Abadi, dunia terlihat seperti lukisan sunyi yang menyimpan keindahan dan kematian sekaligus. Namun, Rendy, dengan tatapan waspada dan langkah yang terukur, tahu bahwa di balik pesona dingin itu tersimpan jebakan mematikan yang dirancang oleh Keluarga Besar Bai. Setiap langkah yang diambilnya terasa bagai melangkah di atas kristal pecah; dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang, diiringi oleh ketidakpastian medan yang licin dan berbahaya. Angin kencang menyusup lewat celah-celah antara puncak gunung, mendesis seperti bisikan kematian. Butiran es kecil yang tersapu angin menghantam wajahnya, meninggalkan rasa perih yang membakar, sementara jubah hitamnya menari liar di tengah pusaran salju, kontras dengan hamparan putih yang tak berujung. Rendy menatap sekeliling dengan mata tajam, menyusuri setiap bayangan dan jejak samar yang tertutup salju. Tiba-tiba, ia berhenti. Di bawah langkahnya, ada sebuah bekas jejak yang