Makhluk itu mendarat di hadapan mereka, sayapnya mengembang seperti jaring hitam yang menghalangi jalan keluar. Tingginya hampir tiga meter, tubuhnya dipenuhi sisik-sisik keras yang mengilap di bawah cahaya redup. Mata merahnya bersinar ganas, dan taring panjangnya menyeringai, memperlihatkan niat pembunuhan yang jelas.“Kalian datang ke tempat yang salah, manusia!” raungnya, suaranya bergemuruh di seluruh lorong.Rendy tidak menunggu lebih lama. Dia menarik pelatuk, peluru melesat menembus udara dan mengenai sayap makhluk itu, tetapi seperti sebelumnya, tidak banyak efek. Bayonetnya bersiap di tangan, senjata itu kini menjadi pilihan terbaik untuk bertarung jarak dekat.Makhluk itu melompat ke depan dengan kecepatan yang tak terduga. Rendy berlari ke samping, menghindari cengkeraman besar yang mencoba menghantamnya. Dia menyerang balik dengan bayonet, memotong sisi tubuh makhluk itu, tetapi seperti batu, sisik-sisiknya begitu keras hingga hanya menimbulkan percikan.“Kita butuh cara
Sosoknya begitu tinggi dan ramping, kulitnya pucat hampir transparan, dengan mata merah menyala yang berkilat tajam di bawah tudung hitamnya. Taring-taring panjang yang menjulang dari bibirnya membuatnya tampak seperti monster dari legenda gelap, tapi ada sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar penampilan fisiknya: auranya. Kegelapan yang menyelubungi ruangan terasa hidup, mengalir dari dirinya, menekan setiap sudut."Rendy Wang... akhirnya kau tiba," suara Drakuleton terdengar berat dan bergaung, seolah keluar dari kedalaman neraka itu sendiri. “Sudah lama aku menunggumu.”Rendy menatapnya dengan tatapan tajam, tangan masih erat menggenggam senapannya. “Tahu dari mana Kau namaku? Kau tahu kenapa aku di sini. Perang ini harus diakhiri.”Drakuleton tertawa pelan, suaranya seperti suara ribuan jiwa yang menjerit. “Aku selalu mengamati manusia yang berbakat. Manusia lemah selalu berpikir bisa mengakhiri kegelapan. Tapi kegelapan... selalu ada di mana-mana, bahkan di dalam hatimu sendi
Wanita itu melangkah mendekat, setiap langkahnya nyaris tak bersuara di lantai batu yang dingin. "Aku berbeda dari dia, Rendy Wang. Aku tidak haus darah seperti yang kau kira. Namun, aku tahu kekuatan manusia sepertimu. Kau tidak akan bisa bertahan lama di negeri ini." Rendy berdiri dengan susah payah, berusaha menjaga postur tubuhnya meskipun rasa sakit menjalari punggung dan lengan. "Katakan saja apa yang sebenarnya kau inginkan. Sepertinya Kau banyak tahu tentang diriku!" "Aku menawarkan perjanjian," ujarnya sambil berhenti beberapa langkah darinya. "Kau bisa meninggalkan Negeri Malam dengan aman, membawa pasukanmu keluar. Tapi kau harus berjanji tidak akan kembali." Rendy tertawa kecil, meski rasanya membuat dadanya seperti ditusuk. "Aku tidak pernah negosiasi dengan musuh. Bagaimana kalau aku menolak?" Senyum wanita itu menghilang. "Jika kau menolak, aku akan memastikan setiap prajurit yang tersisa di kastil ini tidak akan pernah melihat matahari lagi. Aku bisa membuat ka
Di bawah sinar lampu neon yang memantul di gedung-gedung tinggi Khatulistiwa, nama Rendy Wang tidak sekadar muncul—ia meledak seperti kembang api di malam tahun baru. Setiap halaman utama surat kabar, setiap layar kaca, dan setiap video streaming membicarakannya. Keberaniannya menerobos barikade Negeri Malam, yang selama ini dianggap tak tertembus, membuatnya menjadi lebih terkenal daripada Presiden Sebastian Zhu sendiri. Setiap kali namanya disebut, denyut kehidupan di Khatulistiwa terasa melambat, seperti seluruh kota berbisik tentang dia.Di balik senyum politik yang dipoles sempurna, kegelisahan Presiden semakin menumpuk. Popularitas Rendy terus membumbung, lebih cepat daripada yang pernah ia bayangkan. Setiap langkah yang diambil Rendy seolah-olah meruntuhkan kredibilitas presiden, membuat kekuasaannya terlihat rapuh. Tanpa banyak berpikir, Presiden memutuskan untuk bertindak. Satu-satunya solusi adalah melenyapkan ancaman ini. Dan untuk itu, ia memanggil The Killer—pembunuh baya
Malam semakin larut, angin dingin yang membawa debu gurun menyusup di antara tenda-tenda perkemahan. Di sekitar mereka, para prajurit bergerak dalam hening, menjaga garis pertahanan dengan kewaspadaan tinggi, meskipun sepi, namun ketegangan terasa menekan udara.The Killer, yang masih menyamar sebagai dokter, melangkah perlahan mendekati tenda utama. Setiap gerakannya tampak natural, namun di balik kacamata tebal itu, pikirannya bekerja cepat, menganalisis segala hal yang ada di sekitarnya—posisi prajurit, pola pergerakan mereka, dan terutama, di mana Rendy berada. Ia telah mempelajari targetnya dengan sangat teliti, memahami bahwa Rendy bukanlah musuh biasa. Dan misi ini tidak hanya tentang membunuhnya. Ini tentang menghancurkan seluruh eksistensi sang Dewa Perang.Tadi, Dewa Perang ini mulai mencurigai dirinya jadi dia harus hati-hati dalam bertindak agar bisa melenyapkan sasarannya ini hanya dalam satu serangan saja.Rendy berdiri di dekat peta strategi yang tergelar di atas meja k
Suasana semakin mencekam ketika malam semakin dalam. Udara dingin menyelusup di antara celah-celah tenda, membungkus semuanya dalam kesunyian yang menegangkan. Di sekitar perkemahan, para prajurit mulai bersiap-siap untuk hari esok, namun Rendy tahu, ancaman tidak menunggu pagi tiba. Ancaman itu sudah ada di sini—berada begitu dekat, bernafas di punggungnya. The Killer, sang pembunuh bayaran yang terkenal dengan kemampuan menghilangkan setiap jejak korbannya, berdiri di hadapannya, menyamar sebagai dokter lapangan.Rendy melangkah keluar dari tenda, menghirup dalam-dalam udara yang berbau pasir dan darah yang tertunda. Langit malam di atas Khatulistiwa terasa begitu berat, seolah-olah menekan punggungnya dengan beban yang tidak terlihat. Ia merasakan kehadiran musuh, bukan hanya di luar garis perbatasan, tapi juga di dalam, bersembunyi di antara orang-orang yang ia percayai.Clara Li, yang selama ini bersikap santai, mulai merasa sesuatu yang berbeda. Matanya mengikuti langkah Rendy d
Fajar mulai menyingsing di balik pegunungan, menerangi medan pertempuran yang tampak damai. Namun, ketegangan yang tak kasatmata menggantung di udara, berat, seperti tanda-tanda sebelum badai datang. Rendy Wang dan pasukannya bergerak menuju perbatasan, derap kaki mereka berbaris rapi, menggema di atas tanah keras yang berdebu. Suara peralatan tempur dan derit ransel semakin jelas terdengar, menyatu dengan desiran angin yang dingin di pagi hari. Di tengah keheningan yang begitu mencekam, ketenangan ini terasa seperti ilusi, seakan-akan bahaya sedang menunggu di sudut berikutnya.Di barisan belakang, The Killer yang masih menyamar sebagai dokter lapangan, terus memperhatikan Rendy dengan mata elangnya di balik kacamata tebal. Setiap langkah yang diambil Rendy seperti dihitung, diukur, dan diincar. The Killer tahu, saat ini adalah kesempatan yang sempurna—di mana tak ada jalan keluar bagi targetnya. Jarak antara mereka semakin dekat, dan inilah saatnya. Rendy Wang harus dihabisi, bukan
Rendy mundur beberapa langkah, masih menggenggam pisau yang berlumuran darah di tangannya. Tubuhnya terasa baik-baik saja untuk saat ini, tapi kata-kata The Killer menggema dalam pikirannya—racun sudah menyebar. Apa itu benar? Di mana dan kapan ia terkena racun? Apa ini semacam siasat dari pembunuh bayaran ini untuk membuatnya lemah dan hilang kewaspadaan?Senyum tipis di wajah The Killer perlahan menghilang. Luka di rusuknya serius, tapi dia tetap berdiri tegak, seolah tidak merasakan sakit sedikit pun. Ada keheningan yang menyeramkan saat mereka berdua saling menatap, seolah-olah medan pertempuran di sekitar mereka lenyap, hanya menyisakan pertarungan mental di antara mereka. Aura pembunuh yang sangat kuat di antara keduanya bahkan bisa membuat orang biasa kesakitan apabila berada di sekitar mereka.Beberapa prajurit langsung terjatuh dan tewas seketika sehingga Rendy memerintahkan mereka untuk menjauh dari area pertarungan mereka agar tidak terkena imbas yang serupa.Clara, yang be
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi