Di puncak altar hitam Kuburan Pedang Spiritual, Zhang Wei berdiri dengan tatapan penuh ambisi. Aura hitam di sekelilingnya semakin pekat, membentuk siluet-siluet pedang yang melayang dan berputar cepat seperti topan. Setiap hembusan angin dari pusaran itu membawa rasa dingin menusuk, seolah-olah mengisyaratkan kehancuran yang akan segera datang.“Rendy Wang,” gumam Zhang Wei dengan senyuman tipis. “Kau bisa menyembunyikan dirimu, tetapi aku akan menemukannya. Dan saat itu terjadi, kau tidak akan punya jalan keluar.”Tiba-tiba, dari kejauhan, seorang utusan dari Sekte Pedang Dewa berlutut di hadapan Zhang Wei. “Tuan Zhang Wei, kami telah menemukan jejak Rendy Wang di Negeri Fana. Ia terlihat terakhir kali di Paradise Hill.”Zhang Wei menyeringai lebar. “Bagus. Kirim para kultivator elit kita untuk mengepungnya. Aku ingin dia terkepung tanpa celah.”Utusan itu mengangguk, lalu menghilang dalam sekejap, membawa pesan kehancuran bagi Rendy Wang.Di Paradise Hill, Rendy berdiri di depan te
Aura hitam pekat menyelimuti Rendy saat ia berdiri tegak di tengah medan pertempuran. Energi Nascent Soul-nya menyatu dengan kekuatan dari Pedang Kabut Darah, menciptakan tekanan yang membuat udara di sekitarnya terasa berat. Di sekelilingnya, kultivator-kultivator lawan yang berada di ranah Spirit Ascension dan bahkan Heavenly Core menatapnya dengan kewaspadaan.Rendy di saat terakhir memutuskan tidak menggunakan pertolongan dari Shin Kang karena merasakan aura jahat dalam diri roh kultivator ini. Ia mengandalkan kemampuannya yang telah menerobos ranah Nascent Soul untuk menghadapi kelompok kultivator ini.Pria berjanggut putih, Jian Cheng, maju dengan tatapan dingin. “Nascent Soul? Kau memang berbakat, Rendy Wang. Tapi itu tidak cukup. Dunia kultivasi tidak hanya tentang kekuatan, tapi tentang pengalaman dan strategi.”Rendy mengayunkan pedangnya perlahan, memancarkan aura tajam yang membuat tanah di sekitarnya retak. “Kalau begitu, mari kita lihat apakah pengalamanmu cukup untuk me
Rendy melompat ke belakang untuk menciptakan jarak, napasnya memburu. Jian Cheng, dengan senyum tipis di wajahnya, menatapnya seperti pemburu yang baru saja menemukan mangsa terbaik. Di sekeliling mereka, tanah yang dulunya subur kini berubah menjadi medan perang penuh retakan dan kawah akibat benturan energi Qi yang dahsyat."Tampaknya kau masih punya tenaga," Jian Cheng mengejek. "Tapi aku belum menunjukkan kekuatanku yang sebenarnya."Jian Cheng mengangkat tangannya ke udara. Energi biru mulai berkumpul, menciptakan pusaran angin yang mengelilinginya. Suara angin berdesing, bercampur dengan suara gemuruh petir yang tiba-tiba muncul di langit."Heavenly Storm Domain!" serunya.Di sekeliling Jian Cheng, medan energi berbentuk kubah mulai terbentuk. Di dalamnya, bilah-bilah energi berbentuk petir melayang-layang, siap menghujam siapa saja yang berani mendekat. Medan ini tidak hanya melindungi Jian Cheng, tetapi juga memperkuat kekuatannya, membuat udara di sekitar terasa seperti dihan
Rendy berdiri di tengah medan yang hancur, napasnya masih berat. Darah mengalir dari luka di bahunya, tetapi sorot matanya tetap tajam. Jian Cheng mungkin telah mundur, tetapi ancaman ini jauh dari selesai. Hembusan angin malam membawa aroma tanah yang hangus dan energi Qi yang tersisa di udara. Pedang Kabut Darah di tangannya bergetar pelan, seolah mengingatkan Rendy akan bahayanya."Pertarungan tadi hanyalah permulaan," gumamnya, menggenggam pedang itu lebih erat. Ia memandang jauh ke depan, ke arah hutan gelap tempat Jian Cheng menghilang. Dalam hatinya, ia tahu musuhnya tidak akan menyerah begitu saja.Saat Rendy mencoba mengatur napas, sebuah aura dingin tiba-tiba menyelimuti sekitarnya. Udara berubah menjadi lebih berat, seolah-olah waktu itu sendiri melambat. Dari bayang-bayang pepohonan, seorang pria muncul, mengenakan jubah hitam panjang dengan pola naga perak yang bersinar samar di bawah cahaya bulan."Hebat sekali," pria itu berkata dengan suara rendah dan penuh ironi. "Kau
Rendy melangkah keluar dari ruang kerja Katrin dengan pikiran yang berkecamuk. Informasi yang baru saja ia terima mengguncang dirinya. Ancaman yang ia pikir datang dari lingkup kecil, kini meluas ke level yang lebih berbahaya. Bukan hanya Sekte Pedang Dewa atau musuh lokal yang mengincar Jade Dragon, tetapi juga seorang figur legendaris dari belahan dunia barat: Alan Smith, keluarga kultivator tertinggi yang sudah lama menjadi mitos bagi sebagian besar kultivator di timur.Rendy berhenti sejenak di tempat parkir, menatap skuter tuanya yang terlihat lusuh di tengah-tengah kerumitan dunia kultivasi yang kini ia hadapi. Sebuah aura berat menghantui langkahnya. Bagaimana bisa seorang seperti Alan Smith, yang dikabarkan telah mencapai ranah Half Immortal, tertarik pada Jade Dragon? Apa yang sebenarnya tersembunyi dalam patung giok itu selain Nisan Pedang Spiritual, hingga sang pemilik Excalibur, pedang legendaris Raja Arthur, ikut turun tangan?Saat ia memasang helmnya, suara langkah cepat
Malam merayap perlahan di Kota Buitenzorg, membalut jalanan sepi dengan kabut tipis yang menggantung di udara. Rendy Wang mengendarai skuternya melewati gang-gang yang gelap, matanya terus awas, menelisik setiap sudut kota yang terasa terlalu sunyi. Angin malam menyelinap di balik kerah jaketnya, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan samar-samar bau logam. Langit yang muram seperti menahan hujan, memberi firasat buruk yang semakin mencengkeram batinnya.Pikirannya penuh dengan suara Katrin yang terus terngiang.“Alan Smith… Half Immortal… Excalibur…”Tiga kata itu terpatri dalam benaknya seperti mantra. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Katrin, Rendy tahu bahwa ia sedang menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perburuan Jade Dragon.Saat skuter berhenti di tikungan yang remang-remang, hawa dingin tiba-tiba merayap di kulitnya—bukan sekadar dingin malam biasa, melainkan tekanan yang mengerikan, menekan dadanya hingga napasnya terasa berat. Jantungnya berdetak c
Kabut merah pekat berputar di sekitar tubuh Rendy Wang, membentuk pusaran energi yang seakan memiliki nyawa sendiri. Pedang Kabut Darah dalam genggamannya berdenyut, pancaran aura merahnya menari liar, menciptakan ilusi duri-duri tajam yang mengelilinginya. Hawa panas menyebar dari bilah pedangnya, menghanguskan rerumputan yang ia pijak, meninggalkan jejak hangus di tanah yang retak.Darah segar masih menetes dari sudut bibirnya, mengalir perlahan melewati dagunya, tetapi ia tidak peduli. Sorot matanya membara, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Lawannya, Alan Smith, berdiri tegap di kejauhan, tubuhnya dibalut sinar emas dari Excalibur yang ia genggam dengan kepercayaan mutlak. Cahaya pedang legendaris itu begitu terang hingga menghapus bayang-bayang di sekitarnya, seperti manifestasi kehendak ilahi yang menolak keberadaan kegelapan.Alan menyipitkan matanya, suaranya rendah tetapi penuh tekanan. “Rendy Wang,” ujarnya, nada bicaranya seolah memancarkan kewibawaan seorang dewa pe
Langit di atas arena pertempuran bergetar hebat. Riak energi menyebar seperti gelombang pasang, memancarkan cahaya keemasan yang membakar udara di sekitarnya. Suatu kejadian yang tak biasa telah terjadi—kekuatan Qi Alan Smith yang sangat tinggi meresap ke dalam tanah yang telah menyaksikan ratusan duel dahsyat. Namun, kali ini, sesuatu yang lebih besar bangkit dari kedalaman pertempuran.Tiba-tiba, medan energi berdenyut keras. Jade Dragon, patung giok naga milik Rendy, mulai bergetar hebat seolah-olah merespons kekuatan yang tak kasat mata.Di Lembah Roh Kultivator yang terdapat di dalam Jade Dragon juga bergetar hebat. Beberapa batu mistik tampak melayang dengan warna-warni yang indah. Satu per satu, batu-batu mistik yang mengelilingi Nisan Pedang Spiritual ikut terguncang, hingga akhirnya—BOOM!Ledakan besar mengguncang tanah. Salah satu Nisan Pedang Spiritual, yang kesembilan, bergemuruh hebat sebelum meledak berkeping-keping. Pecahan-pecahan batu beterbangan, berkilauan di bawah
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi