Rendy menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang masih menggila setelah pertempuran tadi. Kegelapan di sekelilingnya masih terasa padat, seperti kabut hitam yang menyesakkan. Namun, mereka tidak bisa berhenti. Di depan, jauh di tengah Negeri Malam, masih banyak yang menunggu—bahaya yang bahkan lebih besar dari makhluk yang baru saja mereka hadapi."Kita bergerak sekarang," ujarnya datar, suara tegas itu menggelegar di antara pasukannya yang sudah kelelahan. "Kita belum keluar dari neraka ini."Prajurit yang masih tersisa berdiri, meski terlihat ringkih, mereka tidak punya pilihan selain mengikuti Rendy. Langkah demi langkah, mereka memasuki bagian terdalam Negeri Malam. Udara di sini lebih dingin, begitu menusuk hingga terasa seperti tangan-tangan es yang mencengkeram kulit mereka."Sesuatu mengawasi kita," gumam salah seorang prajurit di belakang. Matanya terus melirik ke arah bayang-bayang yang tampaknya bergerak dalam kegelapan.Rendy mengangkat tangan, menghent
Rendy tidak menjawab, tetapi isyaratkan agar mereka tetap waspada. Di kejauhan, samar-samar terlihat bangunan besar, seperti kastil tua yang menjulang di tengah-tengah Negeri Malam. Dinding-dindingnya retak, dihiasi lumut hitam dan tanaman merambat yang menyerupai urat nadi yang berdenyut. Seolah kastil itu hidup, menanti tamu tak diundang dengan tawa jahat."Kita harus cari jalan masuk," gumam Rendy lebih pada dirinya sendiri. Senapan bayonetnya terasa lebih berat dari biasanya, tetapi dia tetap menggenggamnya erat. "Ayo, kita maju."Mereka merapat ke kastil, langkah mereka pelan dan berhati-hati. Di sekeliling, suara erangan samar-samar terdengar, seperti angin yang berbisik atau makhluk yang menggeram dari sudut-sudut gelap.“Berhenti!” suara tajam terdengar dari samping, membuat Rendy dan pasukannya berhenti mendadak.Dari kegelapan, muncul sosok tinggi, kurus dengan jubah hitam lusuh yang menyeret di tanah. Matanya merah menyala seperti bara api, wajahnya pucat seperti mayat hidu
Makhluk itu mendarat di hadapan mereka, sayapnya mengembang seperti jaring hitam yang menghalangi jalan keluar. Tingginya hampir tiga meter, tubuhnya dipenuhi sisik-sisik keras yang mengilap di bawah cahaya redup. Mata merahnya bersinar ganas, dan taring panjangnya menyeringai, memperlihatkan niat pembunuhan yang jelas.“Kalian datang ke tempat yang salah, manusia!” raungnya, suaranya bergemuruh di seluruh lorong.Rendy tidak menunggu lebih lama. Dia menarik pelatuk, peluru melesat menembus udara dan mengenai sayap makhluk itu, tetapi seperti sebelumnya, tidak banyak efek. Bayonetnya bersiap di tangan, senjata itu kini menjadi pilihan terbaik untuk bertarung jarak dekat.Makhluk itu melompat ke depan dengan kecepatan yang tak terduga. Rendy berlari ke samping, menghindari cengkeraman besar yang mencoba menghantamnya. Dia menyerang balik dengan bayonet, memotong sisi tubuh makhluk itu, tetapi seperti batu, sisik-sisiknya begitu keras hingga hanya menimbulkan percikan.“Kita butuh cara
Sosoknya begitu tinggi dan ramping, kulitnya pucat hampir transparan, dengan mata merah menyala yang berkilat tajam di bawah tudung hitamnya. Taring-taring panjang yang menjulang dari bibirnya membuatnya tampak seperti monster dari legenda gelap, tapi ada sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar penampilan fisiknya: auranya. Kegelapan yang menyelubungi ruangan terasa hidup, mengalir dari dirinya, menekan setiap sudut."Rendy Wang... akhirnya kau tiba," suara Drakuleton terdengar berat dan bergaung, seolah keluar dari kedalaman neraka itu sendiri. “Sudah lama aku menunggumu.”Rendy menatapnya dengan tatapan tajam, tangan masih erat menggenggam senapannya. “Tahu dari mana Kau namaku? Kau tahu kenapa aku di sini. Perang ini harus diakhiri.”Drakuleton tertawa pelan, suaranya seperti suara ribuan jiwa yang menjerit. “Aku selalu mengamati manusia yang berbakat. Manusia lemah selalu berpikir bisa mengakhiri kegelapan. Tapi kegelapan... selalu ada di mana-mana, bahkan di dalam hatimu sendi
Wanita itu melangkah mendekat, setiap langkahnya nyaris tak bersuara di lantai batu yang dingin. "Aku berbeda dari dia, Rendy Wang. Aku tidak haus darah seperti yang kau kira. Namun, aku tahu kekuatan manusia sepertimu. Kau tidak akan bisa bertahan lama di negeri ini." Rendy berdiri dengan susah payah, berusaha menjaga postur tubuhnya meskipun rasa sakit menjalari punggung dan lengan. "Katakan saja apa yang sebenarnya kau inginkan. Sepertinya Kau banyak tahu tentang diriku!" "Aku menawarkan perjanjian," ujarnya sambil berhenti beberapa langkah darinya. "Kau bisa meninggalkan Negeri Malam dengan aman, membawa pasukanmu keluar. Tapi kau harus berjanji tidak akan kembali." Rendy tertawa kecil, meski rasanya membuat dadanya seperti ditusuk. "Aku tidak pernah negosiasi dengan musuh. Bagaimana kalau aku menolak?" Senyum wanita itu menghilang. "Jika kau menolak, aku akan memastikan setiap prajurit yang tersisa di kastil ini tidak akan pernah melihat matahari lagi. Aku bisa membuat ka
Di bawah sinar lampu neon yang memantul di gedung-gedung tinggi Khatulistiwa, nama Rendy Wang tidak sekadar muncul—ia meledak seperti kembang api di malam tahun baru. Setiap halaman utama surat kabar, setiap layar kaca, dan setiap video streaming membicarakannya. Keberaniannya menerobos barikade Negeri Malam, yang selama ini dianggap tak tertembus, membuatnya menjadi lebih terkenal daripada Presiden Sebastian Zhu sendiri. Setiap kali namanya disebut, denyut kehidupan di Khatulistiwa terasa melambat, seperti seluruh kota berbisik tentang dia.Di balik senyum politik yang dipoles sempurna, kegelisahan Presiden semakin menumpuk. Popularitas Rendy terus membumbung, lebih cepat daripada yang pernah ia bayangkan. Setiap langkah yang diambil Rendy seolah-olah meruntuhkan kredibilitas presiden, membuat kekuasaannya terlihat rapuh. Tanpa banyak berpikir, Presiden memutuskan untuk bertindak. Satu-satunya solusi adalah melenyapkan ancaman ini. Dan untuk itu, ia memanggil The Killer—pembunuh baya
Malam semakin larut, angin dingin yang membawa debu gurun menyusup di antara tenda-tenda perkemahan. Di sekitar mereka, para prajurit bergerak dalam hening, menjaga garis pertahanan dengan kewaspadaan tinggi, meskipun sepi, namun ketegangan terasa menekan udara.The Killer, yang masih menyamar sebagai dokter, melangkah perlahan mendekati tenda utama. Setiap gerakannya tampak natural, namun di balik kacamata tebal itu, pikirannya bekerja cepat, menganalisis segala hal yang ada di sekitarnya—posisi prajurit, pola pergerakan mereka, dan terutama, di mana Rendy berada. Ia telah mempelajari targetnya dengan sangat teliti, memahami bahwa Rendy bukanlah musuh biasa. Dan misi ini tidak hanya tentang membunuhnya. Ini tentang menghancurkan seluruh eksistensi sang Dewa Perang.Tadi, Dewa Perang ini mulai mencurigai dirinya jadi dia harus hati-hati dalam bertindak agar bisa melenyapkan sasarannya ini hanya dalam satu serangan saja.Rendy berdiri di dekat peta strategi yang tergelar di atas meja k
Suasana semakin mencekam ketika malam semakin dalam. Udara dingin menyelusup di antara celah-celah tenda, membungkus semuanya dalam kesunyian yang menegangkan. Di sekitar perkemahan, para prajurit mulai bersiap-siap untuk hari esok, namun Rendy tahu, ancaman tidak menunggu pagi tiba. Ancaman itu sudah ada di sini—berada begitu dekat, bernafas di punggungnya. The Killer, sang pembunuh bayaran yang terkenal dengan kemampuan menghilangkan setiap jejak korbannya, berdiri di hadapannya, menyamar sebagai dokter lapangan.Rendy melangkah keluar dari tenda, menghirup dalam-dalam udara yang berbau pasir dan darah yang tertunda. Langit malam di atas Khatulistiwa terasa begitu berat, seolah-olah menekan punggungnya dengan beban yang tidak terlihat. Ia merasakan kehadiran musuh, bukan hanya di luar garis perbatasan, tapi juga di dalam, bersembunyi di antara orang-orang yang ia percayai.Clara Li, yang selama ini bersikap santai, mulai merasa sesuatu yang berbeda. Matanya mengikuti langkah Rendy d
Rendy menggertakkan giginya, rahangnya mengeras saat api di telapak tangannya berkobar semakin besar. Panasnya menusuk kulitnya sendiri, tetapi ia tidak peduli. Matanya terpaku pada dua zombie es yang semakin mendekat. Mata biru mereka bersinar tajam seperti kristal, menyiratkan kehampaan yang menakutkan.Tanpa menunggu lebih lama, Rendy melemparkan bola api itu dengan gerakan cepat dan penuh tenaga. Suara mendesis terdengar ketika api meluncur menembus udara yang dingin. Namun, harapannya hancur seketika. Salah satu zombie mengangkat pedangnya, membelah bola api itu menjadi dua. Api yang terpisah berkedip sejenak sebelum lenyap dalam pusaran hawa dingin yang membungkus mereka."Sial! Mereka menyerap panas!" Rendy mengumpat, rahangnya semakin mengencang.Tiba-tiba, keduanya bergerak serentak, menerjang dengan kecepatan yang tidak seharusnya dimiliki oleh makhluk mati. Rendy melompat ke belakang, nyaris tergelincir di atas es yang licin. Sebuah hembusan napas tajam lolos dari bibirnya
Rendy melangkah ke dalam Formasi Kutub Es Kelima, dan seketika hawa dingin yang brutal menerpa kulitnya seperti ribuan jarum tajam menembus daging. Napasnya berubah menjadi kabut tebal yang bergelayut di udara, membentuk awan putih setiap kali ia menghembuskan napas. Kakinya hampir terpeleset di atas lapisan es licin yang berkilauan redup di bawah cahaya remang.Kabut putih pekat menggantung di sekelilingnya, menggulung seperti tirai yang menyembunyikan ancaman tak kasat mata. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena dingin yang menggigit, tetapi juga ketegangan yang mengendap di dadanya. Instingnya berteriak, menuntut kewaspadaan."Ini lebih buruk dari yang kuduga," gumamnya, merapatkan mantel bulunya lebih erat. Tubuhnya menggigil, tetapi ia memaksakan diri untuk tetap bergerak.Tiba-tiba, suara mendesing membelah kesunyian seperti pisau mengiris udara. Mata Rendy membelalak, tubuhnya bereaksi lebih cepat dari pikirannya. Ia melompat ke samping, berguling di atas permukaan es
Rendy melangkah mantap ke dalam wilayah beku Formasi Kutub Es Keempat. Saat ia melintasi ambang batas, udara pun berubah drastis. Dulu, dingin hanya terasa menusuk kulit; kini, suhu menggigit hingga menembus tulang, seolah setiap partikel udara menghantam sumsumnya. Setiap butir salju yang jatuh bukan lagi sekadar kelembutan yang menenangkan, melainkan pecahan es tajam yang berkilauan di bawah cahaya redup, menari liar seolah menantang keberaniannya.Langkah demi langkah, Rendy mendengar deru gemuruh yang semakin mendekat. Matanya menyapu cakrawala, dan di balik tirai kabut es, dinding-dinding beku mulai bergerak perlahan, seolah hidup dan ingin menuntut nyawanya. “Ini bukan lagi pertarungan biasa,” gumamnya dalam hati, “ini adalah medan perang yang bernyawa.”Tak lama kemudian, tanah di depannya bergejolak. Pilar-pilar es mencuat tiba-tiba, menyerang dengan kejam dan hampir meremukkan kakinya. "Bangsat!” teriak Rendy sambil melompat ke samping. Namun, tak hanya itu yang menunggunya—
Angin berputar makin kencang, menciptakan pusaran es yang berputar liar di sekeliling mereka. Rendy tetap berdiri tegap, matanya tajam menatap sosok terakhir yang kini berdiri di hadapannya. Pria tanpa senjata itu mengangkat tangannya, dan dengan satu gerakan halus, formasi es di sekitarnya mulai bergerak, membentuk tombak-tombak runcing yang melayang di udara, siap menghujam ke arah Rendy kapan saja."Kau memang berbeda dari yang lain," ucapnya, nada suaranya masih setenang sebelumnya. "Tapi apakah bara kecil itu cukup untuk menghadapi kehampaan ini?"Rendy tidak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam, merasakan aliran panas yang mengalir dalam tubuhnya. Tidak ada lagi nyala api yang membakar, tidak ada semburan liar yang menghanguskan. Yang ada hanyalah kehangatan yang menyatu dengan dirinya, mengalir dalam setiap gerakan dan nafasnya.Dalam sekejap, tombak-tombak es itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang mengerikan. Rendy melompat ke samping, tubuhnya berputar di udara, meng
Alih-alih melepaskan semburan api besar seperti yang biasa ia lakukan, Rendy memejamkan mata. Napasnya tertarik dalam-dalam, dada naik dan turun seirama dengan denyut nadi yang semakin membara. Di dalam pikirannya, nyala api bukan lagi letusan liar yang menghanguskan segalanya, melainkan bara yang mengendap tenang, meresap ke dalam otot-ototnya, menjalar ke tulang dan mengisi setiap pori-pori kulitnya dengan panas yang tak tertahankan. Saat kelopak matanya terbuka kembali, pandangannya jernih dan tajam. Udara di sekelilingnya bergetar, tidak lagi karena kobaran api, tetapi karena gelombang panas yang keluar dari tubuhnya sendiri. Tanah di bawah kakinya menghangat, udara di sekitarnya beriak seperti fatamorgana di atas gurun pasir. Rendy merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah kekuatan yang lebih terkendali, lebih dalam, dan lebih dahsyat dari sebelumnya. Tanpa ragu, ia menerjang ke depan. Gerakannya nyaris tak terlihat, seperti bayangan yang melesat dalam sekejap. Kecepatan itu bukan
Rendy melangkah mantap ke dalam pusaran badai es yang berputar liar di belakangnya. Setiap pijakan kakinya menghasilkan bunyi berderak, merambat ke seluruh permukaan es yang retak seperti suara tulang yang patah. Angin dingin menampar wajahnya dengan kasar, membekukan tiap tarikan napas yang keluar dari bibirnya. Butiran salju yang tajam seperti pecahan kaca menari di udara, menyayat kulitnya hingga perih. Namun, di balik semua itu, tekadnya tetap membara.Di hadapannya, Formasi Kutub Es Ketiga berdiri menjulang, dinding-dindingnya yang runcing seolah hendak menusuk langit kelam. Bayangannya yang megah dan menyeramkan menebarkan aura dingin yang membuat dada Rendy terasa sesak. Setiap langkah yang ia ambil semakin menegaskan keberadaannya di tempat terlarang ini. Suara samar bergema di udara, entah dari mana asalnya, seolah ada sesuatu yang mengamati setiap gerak-geriknya dengan mata tak terlihat.Saat ujung kakinya melewati batas wilayah beku itu, tanah di bawahnya mendadak memancark
Rendy menarik napas dalam-dalam, udara dingin menusuk paru-parunya, sementara matanya yang tajam menyapu badai salju yang mengamuk di sekelilingnya. Setiap butir salju yang beterbangan seakan menceritakan ancaman, namun tekadnya tak tergoyahkan. Setelah berhasil menaklukkan prajurit es pertama yang menyerang dengan keberanian setara badai itu, ia melangkah ke dalam kegelapan beku Formasi Kutub Es Tujuh Langkah. Angin mengaum lebih liar, menyembunyikan jebakan mematikan di balik tirai putih yang terus berputar.Saat langkah pertamanya menuju formasi kedua, tanah di bawahnya tiba-tiba bergetar hebat, mengirimkan getaran menakutkan ke seluruh tubuhnya. Tanah itu runtuh, menciptakan celah besar seakan ingin menelannya hidup-hidup. Dengan refleks instan, Rendy melompat ke samping, namun matanya menangkap gerakan kilat ... dinding es raksasa melesat dari bawah dan atas, berusaha menjepitnya dalam pelukan maut."Sial!" teriak Rendy, suara yang tertiup angin seolah menyatu dengan rintihan bad
Angin menderu tanpa ampun, menerjang wajah Rendy dengan suhu yang menusuk, seakan ribuan jarum es menyusup ke dalam kulitnya. Di sekelilingnya, salju menari liar, berputar-putar membentuk pusaran putih yang seakan ingin menelan segala sesuatu yang berada di lintasan badai. Di tengah kekacauan itu, dua sosok prajurit es meluncur bak bayangan, melangkah tanpa jejak di atas permukaan salju yang telah membeku kaku.Rendy, yang tengah berlari menyusuri medan yang terselimuti badai, tiba-tiba mengayunkan tubuhnya ke samping. Tepat di saat itulah, sebuah pedang es berkilauan meluncur mendekat, hampir saja menyapu bahunya dengan kecepatan yang mematikan. Udara di sekitar pedang itu bergetar, menampakkan efek membekukan yang menyeramkan pada setiap hal yang disentuhnya."Dekat sekali!" seru Rendy dengan nada terkejut, namun ia tak sempat mengeluh. Dalam satu gerakan refleks, ia memutar badannya dan melayangkan tendangan ke arah bayang-bayang prajurit itu. Namun, tendangannya hanya menyentuh ke
Di balik tirai salju tebal yang menutupi setiap sudut Pegunungan Es Abadi, dunia terlihat seperti lukisan sunyi yang menyimpan keindahan dan kematian sekaligus. Namun, Rendy, dengan tatapan waspada dan langkah yang terukur, tahu bahwa di balik pesona dingin itu tersimpan jebakan mematikan yang dirancang oleh Keluarga Besar Bai. Setiap langkah yang diambilnya terasa bagai melangkah di atas kristal pecah; dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang, diiringi oleh ketidakpastian medan yang licin dan berbahaya. Angin kencang menyusup lewat celah-celah antara puncak gunung, mendesis seperti bisikan kematian. Butiran es kecil yang tersapu angin menghantam wajahnya, meninggalkan rasa perih yang membakar, sementara jubah hitamnya menari liar di tengah pusaran salju, kontras dengan hamparan putih yang tak berujung. Rendy menatap sekeliling dengan mata tajam, menyusuri setiap bayangan dan jejak samar yang tertutup salju. Tiba-tiba, ia berhenti. Di bawah langkahnya, ada sebuah bekas jejak yang