Katrin Chow melangkah anggun keluar dari mobil B-M-W putih terbaru, yang menderu halus sebelum berhenti di depan Resor Lotus Merah. Mobil sport itu tidak hanya sekadar kendaraan, tetapi sebuah pernyataan, menegaskan kecepatan dan kekuatan yang terbungkus dalam desain yang elegan. Wajah Katrin menampakkan ketegangan, rahangnya sedikit mengeras saat ia memikirkan kembali situasi yang mengganggunya."Apa sebenarnya hubungan antara Ketua dan Jessy? Gadis itu selalu mencoba menarik perhatiannya, padahal dia sudah punya istri," gumamnya, suaranya rendah namun jelas menunjukkan rasa frustrasinya. Langkahnya mantap saat dia memasuki resor, di mana segala sesuatu tampak lebih mewah di bawah pengaruh kehadirannya.Semua mata di resor tertuju padanya, mengagumi sosok Katrin yang tinggi semampai. Kulitnya seakan berkilau di bawah cahaya lampu, dan pakaian kasual rancangan desainer ternama membalut tubuhnya dengan sempurna. Dia berjalan dengan keanggunan yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yan
Rendy melangkah masuk ke lift pribadi yang membawa mereka langsung ke lantai paling atas Menara Naga Perang. Dinding lift yang dilapisi kaca gelap memantulkan bayangan mereka berdua, menciptakan suasana yang tenang namun penuh kekuasaan. Ketika pintu terbuka, mereka disambut oleh pemandangan panorama kota Kartanesia yang menakjubkan, dengan jendela besar yang menampilkan seluruh keagungan kota ini.Lantai tertinggi Menara Naga Perang adalah sebuah oasis mewah yang didesain khusus untuk kenyamanan dan produktivitas. Ruangan yang luas dan terbuka, dengan lantai marmer Italia, perabotan custom buatan tangan, dan karya seni kontemporer yang menghiasi dinding-dindingnya. Sebuah meja panjang dari kayu ebony berkilau mendominasi ruangan, tempat di mana keputusan-keputusan besar sering kali dibuat.Katrin berjalan di depan, membuka pintu menuju ruangan Presiden Direktur, yang dibalut oleh panel kayu mahoni berukir yang menambah nuansa otoritas. Ruangan ini didesain dengan sempurna untuk Rendy
Rendy berdiri di dekat jendela kaca besar di lantai 100 Menara Naga Perang yang merupakan Ruang Presiden Direktur yang luas, tatapannya terpaku pada keramaian kota di bawahnya. Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, kendaraan-kendaraan mewah yang melintas di jalanan tampak sangat kecil bahkan hampir tak terlihat, semuanya mencerminkan kekayaan dan kekuasaan yang ia miliki. Namun, di balik kilauan itu, ada sesuatu yang menggantung di benaknya. "Kita punya Divisi Teknik Sipil dan Arsitektur?" tanyanya tiba-tiba, nada suaranya penuh antusiasme.Katrin, yang berdiri di sampingnya, memandang Rendy dengan tatapan terkejut dan sedikit bingung. "Ketua sendiri yang mengusulkannya beberapa tahun lalu," ujarnya, suaranya dingin namun penuh heran, seolah tak percaya Rendy bisa melupakan hal sebesar itu.Divisi Teknik Sipil dan Arsitektur yang mereka bicarakan adalah jantung kreatif teknik konstruksi perusahaan, menempati lima lantai di dalam gedung megah yang menjulang setinggi langit. Dar
"Bagaimana, Ketua? Apa kita perlu meninjau divisi Arsitektur?," ucap Katrin setelah Rendy keluar dari ruangan Teknik Sipil. Katrin Chow sudah menunggunya di luar ruangan sambil tersenyum."Tidak perlu! Tempatkan saja aku di divisi Teknik Sipil ini di bagian estimasi biaya dan desain struktur!" tegas Naga Perang.Katrin ingin membantah lagi karena bagian yang diinginkan oleh Naga Perang hampir mustahil dikerjakan tanpa mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi, tapi mengingat aura gelap Naga Perang sebelumnya membuatnya mengurungkan diri untuk membantah keputusan Naga Perang."Baiklah, aku akan mengaturnya, Ketua!" ucapnya dengan singkat dan jelas. Urusan bisa beradaptasi atau tidak di bidang yang dipilihnya merupakan resiko Naga Pearng itu sendiri."Apa ada hal lain lagi?" tanya Naga Perang."Kita sedang membangun jaringan start up baru yang bisa mengguncang dunia, Ketua. Apa Ketua ingin membahasnya sekarang?" tanya Katrin."Jaringan start up seperti apa yang kita bicarakan?" tanya Na
Di tengah gemerlapnya Negeri Khatulistiwa, Underground City berdiri sebagai jantung dari kehidupan urban yang tak pernah tidur. Kota ini bukan sekadar tempat tinggal—ini adalah destinasi wisata bagi penduduk yang haus akan kemewahan dan hiburan tanpa batas. Dari jalan-jalan yang dipenuhi lampu neon hingga toko-toko yang memamerkan brand-brand ternama, semuanya tersedia di sini. Pusat hiburan dan pertokoan tak pernah tutup, menawarkan kesenangan dan kemewahan 24 jam sehari. Di sini, waktu seolah kehilangan makna-siang dan malam berbaur menjadi satu di bawah gemerlap lampu-lampu kota.Sebuah mobil Mbenz putih mengkilap berhenti di depan sebuah toko pakaian lokal yang elegan. Meski desainer lokal merancang gaun-gaunnya dengan kualitas tinggi, harganya tetap terjangkau dibandingkan butik-butik mewah yang memajang gaun-gaun berlabel internasional seperti Channel. Cindy melangkah keluar dari mobil, suaranya terdengar penuh percaya diri saat berbicara, "Aku akan mengembalikan uang temanmu ka
Cindy Huang akhirnya menuruti pilihan Rendy dengan membeli gaun long dress hitam buatan desainer Grammy Lawalata. Selain itu Cindy juga membeli beberapa merek lokal tapi cukup bagus buatannya.Berbeda dengan Butik Channel yang memiliki pelayan khusus yang meklayani pembelian pakaian mereka, - di toko pakaian ini tidak ada pelayanan khusus ... semua serba swalayan dan sendiri.Tas belanjaan yang memuat pakaian yag dibeli di toko pakaian ini sudah hampir penuh. Namun, mata Rendy menjadi terkejut saat melihat potongan lingerie berwarna merah jambu yang transparan ada di dalam tas belanja Cindy."Sejak kapan, Cindy memakai lingerie untuk tidur?" pikirnya.Sudah tiga tahun menikah, Rendy belum menyentuh Cindy sama sekali. Istrinya ini selalu menolak dengan alasan tidak memiliki mood untuk berhubungan intim dengannya. Seingat Rendy, tidak pernah sekalipun Cindy mengenakan lingerie bahakan istrinya tidak memiliki lingerie sama sekali. Jadi, untuk siapa lingerie berwarna merah jambu ini?Unt
Senyum tipis terlukis di wajah kasir, senyum yang tampak ramah namun sarat dengan nada buatan, saat dia melayani pelanggan yang menumpuk pakaian bermerek di atas meja kasir. "Selamat siang, Bu. Silakan taruh semua belanjaannya di sini. Saya yang akan urus semuanya," sapanya dengan nada sopan yang terlatih. Namun, ketika pandangan kasir itu jatuh pada Rendy, matanya menyipit, seakan menilai setiap helai pakaian yang dia kenakan. Jaket kulit coklat yang mulai pudar, kaos oblong yang sudah terlalu sering dicuci, dan tas selempang usang di bahunya—semua itu membuat Rendy tampak seperti mahasiswa perantauan yang hidup dengan uang saku yang pas-pasan. Dalam diam, kasir itu menilai Rendy tak lebih dari seorang yang tak pantas berada di toko ini, apalagi mampu membayar barang-barang mewah di hadapannya. "Yakin kamu bisa bayar semuanya? Jangan bikin aku malu di depan kasir yang sudah melihatmu dengan sebelah mata," bisik Cindy, menahan suaranya agar tak terdengar oleh orang lain. Wajahnya
Rendy mengeluarkan kartu Black Dragon dari sakunya dengan gerakan tenang, namun ada ketegasan di setiap geraknya. "Kartu ini hanya bisa digunakan untuk pembelanjaan minimal lima puluh juta," ucapnya dengan nada datar yang penuh keyakinan, matanya menatap lurus tanpa goyah. Katrin sudah memastikan kalau kartu ini bisa digunakan layaknya kartu kredit atau kartu debit karena semua bank di Khatulistiwa sudah menyetujui kerja sama dengan kartu Black Dragon. Cindy memandangnya, ketidakpercayaan dan keraguan menyelinap di balik sorot matanya. Meski demikian, ia tetap mengambil beberapa pakaian seperti yang disarankan Rendy, hatinya masih dirundung kebingungan."Kamu serius, Ren? Bayar tiga puluh lima juta saja tidak bisa, bagaimana bisa bayar tagihan lima puluh juta?" tegur Cindy sebelum pergi mengambil pakaian lainnya. Ketika Cindy kembali dengan pakaian di tangannya, seorang penjaga toko wanita tiba-tiba muncul dari belakang mereka, suaranya penuh ejekan. "Dasar laki-laki kere... Aku sud
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi