Senyum tipis terlukis di wajah kasir, senyum yang tampak ramah namun sarat dengan nada buatan, saat dia melayani pelanggan yang menumpuk pakaian bermerek di atas meja kasir. "Selamat siang, Bu. Silakan taruh semua belanjaannya di sini. Saya yang akan urus semuanya," sapanya dengan nada sopan yang terlatih. Namun, ketika pandangan kasir itu jatuh pada Rendy, matanya menyipit, seakan menilai setiap helai pakaian yang dia kenakan. Jaket kulit coklat yang mulai pudar, kaos oblong yang sudah terlalu sering dicuci, dan tas selempang usang di bahunya—semua itu membuat Rendy tampak seperti mahasiswa perantauan yang hidup dengan uang saku yang pas-pasan. Dalam diam, kasir itu menilai Rendy tak lebih dari seorang yang tak pantas berada di toko ini, apalagi mampu membayar barang-barang mewah di hadapannya. "Yakin kamu bisa bayar semuanya? Jangan bikin aku malu di depan kasir yang sudah melihatmu dengan sebelah mata," bisik Cindy, menahan suaranya agar tak terdengar oleh orang lain. Wajahnya
Rendy mengeluarkan kartu Black Dragon dari sakunya dengan gerakan tenang, namun ada ketegasan di setiap geraknya. "Kartu ini hanya bisa digunakan untuk pembelanjaan minimal lima puluh juta," ucapnya dengan nada datar yang penuh keyakinan, matanya menatap lurus tanpa goyah. Katrin sudah memastikan kalau kartu ini bisa digunakan layaknya kartu kredit atau kartu debit karena semua bank di Khatulistiwa sudah menyetujui kerja sama dengan kartu Black Dragon. Cindy memandangnya, ketidakpercayaan dan keraguan menyelinap di balik sorot matanya. Meski demikian, ia tetap mengambil beberapa pakaian seperti yang disarankan Rendy, hatinya masih dirundung kebingungan."Kamu serius, Ren? Bayar tiga puluh lima juta saja tidak bisa, bagaimana bisa bayar tagihan lima puluh juta?" tegur Cindy sebelum pergi mengambil pakaian lainnya. Ketika Cindy kembali dengan pakaian di tangannya, seorang penjaga toko wanita tiba-tiba muncul dari belakang mereka, suaranya penuh ejekan. "Dasar laki-laki kere... Aku sud
Suara monoton mesin EDC yang terus mencoba membaca kartu Black Dragon terdengar begitu keras di telinga Tania, seolah-olah menggedor-gedor dinding keberaniannya yang semakin rapuh. Jantungnya berdetak kencang, seirama dengan getaran halus di tangannya yang kini menggenggam mesin itu. Setiap kali layar mesin menunjukkan kegagalan, cengkeraman rasa takut semakin kuat. Dia tahu betul, di dunia di mana kekuasaan bisa dihancurkan hanya dengan sebuah kesalahan kecil, satu langkah keliru bisa menjadi bencana.Tak jauh dari sana, wanita penjaga toko yang sebelumnya penuh percaya diri memandang sinis ke arah Rendy. Senyuman mengejek menghiasi wajahnya, seolah dia sudah bisa membayangkan kekalahan yang akan segera dialami oleh pria itu. “Sepertinya kartumu tidak bisa terbaca,” ujarnya dengan nada meremehkan, sambil menyilangkan tangan di depan dada. Matanya berbinar dengan harapan akan melihat ekspresi malu di wajah Rendy dan Cindy.Namun, Rendy hanya membalas dengan tatapan dingin, penuh keten
Wanita penjaga toko itu terdiam sejenak, bibirnya gemetar sedikit sebelum mencoba mempertahankan keberanian. "Kami hanya menjalankan tugas, Tuan... Seharusnya ini tidak menjadi masalah besar," ucapnya dengan suara yang mencoba tegar namun terdengar getir. Cindy, yang berdiri tidak jauh dari mereka, merasakan panasnya kecemburuan menjalari dirinya. Matanya menatap dengan tajam ke arah Katrin, yang entah bagaimana selalu berhasil menjadi pusat perhatian, terutama perhatian Rendy. Meski Rendy berusaha menjaga ketenangan situasi, Cindy merasa Katrin terlalu dekat, seakan melangkah masuk ke dalam ruang yang seharusnya miliknya. "Kamu selalu datang di saat yang tepat, ya?" Cindy berujar dengan nada sinis, bibirnya menyungging senyum yang sama sekali tak ramah. Matanya yang penuh kemarahan berusaha menantang Katrin, mencari celah untuk menyerangnya. "Apa kamu menikmatinya?" Katrin hanya tersenyum tipis, wajahnya tetap tenang dan terkendali. "Aku hanya membantu teman, Nona Cindy. Jangan te
Pegunungan Andesia, AuroraAurora merupakan negera tetangga Khatulistiwa yang mungkin hanya sebesar Kota Kartanesia, tapi kemajuan negeri ini sangat pesat dibandingkan negara tetangganya.Letak Aurora sangat strategis karena terletak diantara pegunungan dan samudra yang terbentang luas. Pegunungan Andesia merupakan pegunungan yang indah di Negera Aurora, selalu sejuk dengan sinar matahari yang tidak terlalu panas menyengat.Di atas pegunungan ini terlihat sebuah rumah besar dengan desain arsitektur modern yang dilengkapi beberapa perlengkapan satelit untuk komunikasi serta panel-panel tenaga surya untuk pembangkit listrik. Di sinilah tinggal Elemental Naga Ketiga yang masih belum menghubungi Naga Perang."Tuan Putri! Kami mendapat pesan kalau Naga Perang telah kembali! Apa beliau memberitahukannya kepada Tuan Putri?" lapor salah satu pengawal pribadi gadis cantik yang ditaksir umurnya paling baru 19 tahun.Gadis cantik ini bertubuh mungil tapi kecantikannya bagaikan bidadari dengan ku
Mata Renata menerawang jauh menatap pegunungan Andesia yang indah diterpa sinar mentari pagi. Dia belum memutuskan untuk segera ke Negera Khatulistiwa karena hatinya masih belum merelakan kepergian Naga Perang untuk menikah dengan Cindy Huang di masa lalu."Hanya karena pernah menyelamatkan nyawa Kak Rendy, wanita itu sudah mendapat kehormatan untuk dinikahi oleh Naga Perang?" pikirnya sambil duduk di balkon kamarnya, menatap indahnya pemandangan di sekitarnya.Beberapa bodyguard yang didatangkan ayahnya khusus untuk melindunginya tampak berjaga dengan serius di sekeliling rumah modernnya ini."Kalau ada Kak Rendy, aku tidak perlu bodyguard sebanyak ini untuk menjagaku! Sebenarnya Loksa saja sudah cukup untuk menjagaku tapi ayah tidak mau ambil resiko sejak nyawaku hampir melayang oleh organisasi The Shadow."Loksa yang mengerti kalau Renata ingin sendirian, meninggalkan kamar untuk mengatur para bodyguard agar lebih waspada karena The Shadow bisa saja mengincar Renata Zhang untuk mem
"Aku juga dijuluki Jenius Alkemis, tapi aku hanya mampu meramu obat-obatan dari tanaman obat yang banyak tersebar di duna ini serta kemampuan tusuk jarum untuk pengobatan." Naga Perang merasa senang bisa bertemu Jenius Alkemis lainnya, yang bahkan lebih hebat dari dirinya. "Senang bertemu denganmu, Renata!" ucap Rendy dengan tulus. "Kakak namanya siapa?" tanya Renata memberanikan diri. "Panggil saja Kak Rendy ... apa yang kamu temukan sampai banyak bos besar yang mengincar nyawamu?" tanya Rendy. "Rahasia, Kak! Kalau Kak Rendy penasaran, menginap di sini saja beberapa hari sekakigus melindungi Renata dari organisasi jahat The Shadow!" pinta Renata. "Aku tidak bisa membiarkan The Shadow menghilangkan Jenius Alkemis, apalagi masih tergolong anak-anak ... apa aku boleh menginap di sini?" tanya Rendy kepada Loksa yang menjadi penanggung jawab Renata Zhang. "Kalau Tuan Putri mengizinkan, aku ikut saja!' jawab Loksa singkat sambil tatapannya tetap waspada. "Aku yang meminta Kak Rendy
Dalam satu gerakan cepat, Naga Perang berputar dan menjepit ketiga pisau terbang di antara jari-jarinya, seolah-olah waktu berhenti sesaat. Pisau-pisau itu berkilau tajam, siap untuk menebas apa saja yang menghalangi, namun tidak sedikit pun melukai tangan Rendy. Teknik ini sangat berbahaya—salah sedikit saja, jari-jari Rendy bisa putus. Dengan gerakan halus namun penuh tenaga, Naga Perang melemparkan kembali pisau-pisau itu ke arah pemiliknya, seorang wanita yang menyamar sebagai pelayan. Wanita itu tersentak, segera menghindar, dan pisau-pisau itu menancap dalam di pintu kamar, menciptakan suara dentingan yang memecah keheningan. “Siapa kau? Kenapa ingin membunuhku?” suara Rendy terdengar dingin, matanya menyipit menatap wanita itu. “Hihihi… ternyata Naga Perang memang sepadan dengan ceritanya,” jawab wanita itu, menanggalkan pakaian pelayannya. Saat itulah, wajah aslinya terungkap—cantik dan mempesona, terbungkus pakaian ketat berwarna hitam yang menonjolkan setiap lekuk tubuhny
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata