"Jadi, sebenarnya ada apa, Bah?""Begini, Mbak. Kirani kemarin ikut olimpiade mewakili negara kita. Nah, besok akan ujian akhir sekolah. Pihak sekolah mendapat surat dari Kairo berisi beasiswa untuk kuliah di sana. Kami pihak pesantren tentu meminta izin pada orang tua. Sebenarnya ini harus dirembug dan surat beasiswa ini akan Abah serahkan pada pihak keluarga langsung. Mohon diterima," ucap Abah membuat Arin benar-benar kaget. Kemarin Arin sempat menelpon dan hanya meminta pada ibu dan dirinya untuk dimudahkan urusan menuntut ilmu. Ternyata ia telepon untuk pergi lomba olimpiade.Setahu Arin, Rani tak pernah bilang apapun. Bukan hanya olimpiade, lomba bahkan penghargaan tak pernah ia perbincangkan ketika di rumah. Ketika pulang, Rani terlihat masih seperti bocah biasa. Bermain bergurau dan tak ada wajah serius dan sok pintarnya membanggakan kepandaian pada siapapun.Arin menerima surat panggilan beasiswa Rani dengan tangan bergetar. Sungguh ini adalah Anugerah terbesar dan nikmat k
"Iya, Mbak. Pakde juga sering datang ke sini, hanya ngasih makanan ringan dan negokin Rani katanya.""Sama bude atau Sekar?""Kemarin sama Bang Fai. Nggak tahu, katanya ada urusan dengan Abah."Mulut Arin hanya membentuk huruf O menanggapi ucapan Rani. Pakdenya itu memang kerap datang ke pesantren. Yang Arin pernah dengar, katanya Sekar hendak dijodohkan dengan anak Abah yang ada di Kairo juga. Entahlah, itu hanya kabar angin dan Arin tak ingin menanyakan hal lebih pribadi pada Pakde Supri meski mereka saudara dekat. Ada batasan sejauh mana memasuki masalah keluarga masing-masing."Kalau begitu, Mbak pulang dulu ya. Mbak tadi pamit pada Ibu hanya sebentar perginya. Pasti ngomel nanti kalau tahu Mbak dari sini nggak ajak-ajak," ucap Arin sambil tersenyum."Iya, Mbak. Makasih udah jengukin Rani."Arin mengeluarkan uang untuk Rani."Ini buat kamu bekal uang saku sekolah sama keperluan mengaji. Belajar yang rajin dan semoga ujian sekolahnya lancar. Pokoknya, semangat!" ucap Arin berseri k
"Assalamualaikum," salam keluarga Agam yang baru tiba dari Bandung. Agam yang baru turun dari mobil langsung berlari ke arah Arin yang sudah menunggu dari sore tadi."Ibu…""Agam, alhamdulillah sampai dengan selamat. Abah, Umi, berangkat dari Bandung jam berapa?" tanya Arin lalu mencium takzim Abah dan Umi."Habis maghrib tadi, Ibu sehat?" tanya Abah pada Narsih yang juga ikut menyambut kedatangan tamu dari Bandung ini."Alhamdulillah, Pak. Mari masuk, kita berbincang di dalam. Sekalian istirahat, pasti lelah perjalanan dari Bandung ke Cilacap," kata Narsih mengajak Umi dan Abah masuk.Agam mengulurkan tangan pada Arin tetapi Arin ingat jika ia sedang terluka. "Bu, Agam kangen banget deh. Gendong ya?" ucap Agam manja."Hm, gendongnya nanti kalau Ibu sudah sembuh ya. Tangan Ibu sedang sakit," ucap Arin memperlihatkan tangannya yang diperban dan tertutup gamisnya."Astaghfirullah, ini kenapa, Bu?" tanya Agam meniup luka Arin. Agam begitu panik dan khawatir melihat luka Arin dan hal itu
"Oh, berarti Kakek sama Nenek hanya pindah alam ya, Bu?""Iya, makanya kita harus jadi orang baik. Biar nanti jika pindah alam kita nggak bingung bawa bekal karena ada amalan baik yang akan senantiasa membantu kita di sana.""Kalau yang nggak baik dan jahat, gimana, Bu?""Kalau orang jahat, nanti mereka akan kebingungan dan akan dihukum Allah karena di dunia tak mau menyiapkan bekal amal baik yang banyak. Mereka termasuk golongan orang-orang yang merugi," ucap Arin."Berarti Ayah merugi dong, Bu? Dia kan jahat," cetus Agam."Agam, nggak boleh gitu. Ayah itu baik, hanya sedang khilaf saja. Kita harus berdoa semoga Ayah diberi hidayah sama Allah dan kita semua selalu dilimpahkan kebaikan.""Aamiin. Ohya, Agam sampai lupa. Agam punya hadiah buat Ibu," ucap Agam semangat."Apa?""Ibu tutup matanya ya? Ini surpres."Arin tertawa mendengar kata surpres dan akhirnya mengikuti kemauan Agam untuk menutup mukanya dengan telapak tangan. Kemudian Arin merasa jika Agam menyiapkan sesuatu yang spes
*Happy Reading*"Sudah siap, Rin?" tanya Narsih saat hendak ke rumah Bayu bersama keluarga Agam. "Bentar, Bu. Lagi pakein sabuk buat Agam," sahut Arin dari dalam kamar.Umi dan Abah sudah siap di luar. Arin menyusul dengan pakaian serba hitamnya. Agam juga memakai kemeja hitam dengan jeans yang sepadan. Cerai dari Bayu, Arin lebih menonjolkan sisi yang dulu terpendam. Dia lebih tahu fashion dan juga hal yang cocok untuk dipakai, hanya saja ia jarang memakai berlebih jika sedang tak bepergian.Untuk kali ini Arin sudah tak ada lagi rasa takut bertemu Bayu. Bahkan ingin pergi dan menghindari pun tidak. Baginya, kini Bayu hanyalah orang lain yang pernah menjadi masa lalunya."Bagernya cucu Opa , mau kemana ini?" Ledek Abah saat melihat Agam yang berkacamata hitam."Kok gelap ya, Bu?""Eta kacamata na, Agam. Kumaha, ya pasti gelap atuh," ucap Umi diiringi tawa semua orang."Ayo! Nanti keburu siang," ucap Arin.Semua naik ke dalam mobil Abah. Agam terlihat masih enggan bertemu ayahnya, ia
"Yang sudah ya sudah, bukan berarti melupakan. Tetapi hidup memang harus saling memaafkan agar tak ada beban jika meninggal nanti, tapi untuk masalah rumah, Abah tetap akan memintanya padamu. Itu hak Agam dan kamu harus berusaha mengembalikannya. Untuk batas akhirnya, sampai Agam yang memintanya lagi. Dan Abah harap, setahun saja sudah cukup bagimu untuk serius mengumpulkan uang untuk menebus rumah itu.""Tapi, kalau rumah itu sudah di jual gimana, Bah?""Mas Bayu jangan khawatir, Arin sudah mengetahui siapa yang menjualnya. Dan Arin sudah memintanya agar tak menjualnya sampai pihak kami membayarnya kembali," sela Arin. Arin sengaja tak memberi tahu bahwa surat rumah itu ada pada Kaisar. Kaisar sengaja mengembalikan uang Pakde Supri dan menjadikan rumah itu sebagai barang berharga Arin. Arin sengaja ingin melihat keseriusan Bayu untuk menebus rumah itu dan Arin sudah sempat merempug dengan Kaisar akan hal ini."Betulkah?" tanya Bayu tak percaya. Arin mengangguk dan Bayu justru merasa
*Happy Reading*"Pokoknya Mami nggak mau nunggu lagi. Pulang ke Purwokerto atau Mami jemput ke Cilacap, Oma sudah datang jauh-jauh dari Jakarta demi kamu. Pokoknya kamu harus pulang!" ucap Kanjeng Mami tegas. Kaisar hanya bisa pasrah saat Kanjeng Mami memintanya pulang. Dari bulan yang lalu, keluarga besarnya mendesak Kaisar untuk segera menikah karena umur yang sudah diluar angka tigapuluh. Bukan hal yang aneh memang bagi kaum lelaki, tapi gunjingan tetua membuat Mami mau tak mau harus tegas pada anak lelakinya."Ya, Kaisar pulang."Kaisar langsung menemui Kenzi yang sepertinya masih sibuk di cafe. Kaisar memilih menyusul Kenzi ke sana dan berpamitan.Setelah sampai, Kaisar langsung menemui Kenzi. Tentu saja Kenzi kaget saat Kakaknya tiba-tiba hendak pulang."Bukankah ke Purwokerto lusa? Kenapa jadi dipercepat?" tanya Kenzi."Kakak juga tak tahu. Kali ini Kanjeng Mami yang meminta, Kakak tak bisa menolaknya lagi. Daripada izin buka usaha di Cilacap ditolak? Kamu juga pasti akan kena
"Iya, Mi. Oma kemana?" "Tadi lagi di dapur, nggak tahu sekarang. Kamu cek saja nanti."Kaisar masuk ke dalam rumah dan mendapati Oma yang sedang menonton tv. Sepertinya dia tak tahu kalau Kaisar datang."Assalamualaikum, Oma." Oma menengok dan tersenyum melihat kedatangan Kaisar."Waalaikumsalam, loh kapan datang?""Baru saja. Oma sehat?""Alhamdulillah, bocah nakal yang satunya lagi mana? Nggak ikut pulang?" tanya Oma saat tak mendapati Kenzi ikut pulang."Kai, baru sampai toh? Apa kabar?" Kali ini Pakde Diman yang baru keluar kamar. "Alhamdulilah, sae. Dah lama sampai di Purwokerto?""Kemarin kami sampai, Oma meminta agak lama di sini jadi Pakde persiapan packing lumayan menyita waktu. Kamu istirahat dulu, berbincangnya nanti saja. Soalnya akan sedikit membahas hal berat," ungkap Pakde sambil tersenyum."Nggih, Pakde." Kaisar pergi tanpa menjawab pertanyaan Omanya. Dia memang kadang harus sedikit menjaga jarak dengan Oma Lina, Ibu dari Ayahnya ini terkesan suka mendikte para anak
Tentu saja sikap Arin yang mencegah Kaisar untuk mencari tahu mengenai kejadian jatuhnya Arin di kamar mandi sekolah itu membuat Kaisar semakin penasaran. Sekolah yang memiliki biaya cukup mahal untuk bisa mengenyam pendidikan di sana itu sangat mustahil jika memiliki kloset yang licin. Tanpa sepengetahuan Arin, Kaisar pun mendatangi sekolah Shaka. Sengaja hari ini Arin tidak diperbolehkan untuk berangkat ke sekolah dan istirahat di rumah ditemani oleh Shaka. Ibunya—Narsih—juga diminta Kaisar untuk menemani Arin di rumah karena Arin menolak untuk dibawa ke rumah sakit.Kaisar langsung datang menemui kepala sekolah. Dia datang untuk menanyakan perihal kualitas sekolah yang dijadikan tempat menuntut ilmu anaknya itu. Kaisar merasa heran karena Shaka tiba-tiba terlihat tidak nyaman bersekolah di sana."Selamat pagi, Pak.""Pagi Pak Kaisar. Silahkan duduk!" titah Pujiono–kepala sekolah itu."Ada perlu apa ini? Tumben datang ke sekolah seorang diri.""Hari ini saya ingin meminta izin untuk
“Mas.”Malam ini Arin ingin sekali bercerita mengenai alasan ia mengajak Shaka pulang lebih awal. Kaisar yang masih sibuk dengan pekerjaannya pun menghentikan sementara.“Kenapa, Rin?”“Kayaknya keputusan Mas untuk pindahin Shaka itu betul deh.”“Kenapa emangnya? APa tadi ada masalah lagi yang terjadi di sekolah.”Arin mengembuskan napasnya kasar. Bukan perihal yang mudah untuk bercerita hal mengenai mantan suaminya itu pada suaminya kini yang notabene super protektif pada keluarganya.“Aku pikir, semua yang kita bicarakan saat itu adalah suatu hal yang harus kita lakukan sekarang.”“Kenapa?”“Tadi aku ketemu Mas Bayu. Dia …”“Dia kenapa?”Arin bingung mau mengatakan hal ini atau tidak, namun ia juga tak mau direndahkan sampai dibuat kasar dengan cara yang tidak patut oleh lelaki yang sudah menjadi mantan. Jika dulu saja ia bisa marah saat Bayu memukulnya, seharusnya ia sekarang lebih marah dari pada itu. Namun, ia kembali berpikir mengenai bisnis sang suami yang sedang dianggap sedan
Arin tak menyangka bakal bertemu Bayu di sekolah Shaka. Ia sangat menyesali kenapa harus menyekolahkan anaknya di tempat yang sama. Arin pun semakin yakin memindahkan Shaka setelah ini dan memilih sekolah di tempat lain yang berbeda dengan Bayu.Jam istirahat dimulai. Para murid keluar dan berhambur bermain di taman bermain yang ada di sekolah itu. Shaka mendekat ke arah Arin dengan wajah yang ditekuk.“Kenapa, Sayang? Kenapa nggak main sama teman teman?”“Nggak mau ah, Ma. Satria nakal lagi. Tadi buku Shaka dicoret coret dan disobek. Ma, Shaka mau pulang aja. Nggak mau sekolah,” rengek Shaka.Arin yang melihat anaknya menangis pun memilih untuk memangkunya dan memeluknya hangat. Memberi pengertian agar Shaka tidak sedih lagi setelah dikerjai Satria.“Ada anak Mami! Ada anak mami! Hahaha.”Suara Satria yang meledek Shaka membuat Arin geram. Namun, Arin bukan memarahi Satria melainkan mendatangi Bayu yang sibuk bermain gadget sendiri tanpa memperhatikan anaknya.Brak!Arin menggebrak m
“Gatsu.”“Nggak usah. Nanti langsung ke rumah aja, istirahat. Kasihan SHaka diajak kerja juga.”“Nggak kerja lah, cuma temani doang.”“Baiklah. Terserah kamu saja. MAs pergi dulu.”Arin kembali turun setelah bersalaman dengan Kaisar lalu melambaikan tangan melepas kepergian suaminya bekerja. Faktor keuangan yang sedang menurun, membuat Arin harus banyak banyak berdoa dan berusaha. Makanya dia akan menyusul nanti jika sekolah Shaka sudah selesai. Hitung hitung membantu suaminya bekerja. Tentunya dia niatkan beribadah. Biar tidak menimbulkan pertengkaran dan perdebatan jika hasilnya tidak memuaskan.Suara klakson mengagetkan Arin yang sedang berjalan masuk ke dalam ruang tunggu wali murid. Sebenarnya tidak disarankan masuk dan menunggu anaknya, tetapi Arin masih ingin memastikan baik baik saja. Tin!Lagi lagi Arin dibuat kesal karena mobil itu justru membuntutinya jalan ke halaman sekolah, hingga Arin bertambah kesal saat ada Bayu yang di dalamnya“Hai, Rin.” Bayu menyapa dengan senyum
“Kenapa dengan Satria? Siapa dia?” tanya Narsih."Teman Shaka, Bu. Dia biasa jahilin Shaka. Nggak hanya saka, yang lain juga. Emang dasar anaknya gitu. Mau marahin juga percuma. Gak bakalan mudeng. Orangtuanya aja gak tahu etitut," adu Arin."Sudah sudah. Kita bicarakan nanti saja. Udah siang ini Shakanya," sela Kaisar yang tidak ingin membahas tentang keburukan orang lain di depan anaknya.Kaisar benar benar mengantar Shaka. Dia meminta Arin untuk menunggu Shaka masuk dan meminta Arin untuk kembali ke mobil."Ada apa sih, Mas?" tanya Arin heran melihat gelagat suaminya yang aneh."Nggak. Shaka udah masuk?""Udah. Barusan udah masuk. Hari ini Satria nggak datang. Aman."Arin mengembuskan napasnya perlahan lalu tersenyum di depan Kaisar."Mas mau tanya apa?""Memang Mas mau tanya?""Hiz! Serius. Mau nanya kali ini sama Arin nggak?""Mau sih. Tapi, kamu harus jawab jujur.""Apa?" tanya Arin serius mendengarkan."Mas mau tanya. Wajah kamu pake formalin ya? Kok awet cantiknya?" kelakar Ka
“Kenapa kamu bangunkan Mas kesiangan, Rin? Hari ini Mas akan ke gudang buat cek data yang semalam belum Mas selesaikan,” tanya Kaisar panik saat dibangunkan Arin kesiangan.“Tenang aja. File udah aku cek dan memang ada keanehan di Mellynya. Bukan salah toko atau gudang. Jadi Mas hanya perlu tanyai Melly, kenapa dia sampai berlaku demikian. Kita butuh penjelasan dia mengenai hal ini. Dia harus bertanggung jawab dan Mas harus bisa bertindak bijak. OKe?”Arin memang sudah menyelesaikannya semalam. Dia hanya membereskan beberapa dan itu cukup sangat membantu membuat Kaisar lelap tidur dan puas istirahat sampai pagi.“Ya ampun, begini ini yang kadang bikin Mas nggak mau tidur dulu kalau kerjaan sudah beres. Kamu pasti yang selesaikan. Ya sudah, aku mau mandi dulu. Kamu pasti udah siapkan sarapan, ya?” “Belum. Aku mau sarapan di rumah Ibu bareng kamu.”“Tumben?” tanya Kiasar heran.“Lagi pengin aja. Yuk ah, buruan! Mas mandi, aku mandiin Shaka.”Keduanya gegas beranjak sebelum melakukan ak
“Mas,” panggil Arin.Kaisar yang sedang memeriksa laporan keuangan tempatnya bekerja, menengok sekilas. Wajahnya nampak serius, membuat Arin untung untuk mengatakan perihal kejadian di sekolah tadi.“Kenapa, Rin?” tanya Kaisar saat ia sudah kembali melihat berkas berkasnya dan merasa Arin tidak berkata apapun setelah itu.“Arin bantu ya pekerjaannya?” Arin pun memikirkan untuk membantu saja, daripada mengeluhkan ini itu.“Shaka udah tidur?”“Udah. Boleh ya?”“Ini itu bentar lagi selesai. Ada sedikit perbedaan antara income di aplikasi sama yang Mely tulis.”“Kok bisa?” tanya Arin kaget.Akhir akhir ini memang usahanya agak bermasalah. Selain bisnis yang kian menjamur, juga adanya pesaing yang memakai cara kotor, akhirnya perusahaan pun banyak yang terancam. Meski dalam hal bisnis ini adalah hal yang biasa, tetap saja Arin merasa sedih dan ingin kembali ikut membantu suaminya.“Itulah. Kalau percetakan yang di Gatsu itu nggak lagi beromset banyak, kemungkinan pengurangan karyawan pun h
“Ma,” panggil Shaka saat kini sudah mulai jam istirahat sekolah.“Udah istirahat, Sayang?”“Udah. Mom nungguin Shaka?” tanya Shaka heran karena melihat Arin yang ada di sekolah. Biasanya Arin akan meninggalkan Shaka di kelas dan Arin akan menyusul Kaisar bekerja. Namun, kali ini ia memang ingin menunggui anaknya itu untuk menjamin keselamatannya.“Iya. Sengaja Mom tunggu, biar nggak ada yang bisa gangguin kamu.”“Hai Shaka, main yuk!” ajak bocah kecil bernama Gendis.“Ma, Shaka main sama Gendis di perosotan sana ya?” tunjuk Shaka pada mainan yang ramai dipenuhi oleh anak anak yang asyik bermain.“Iya. Hati-hati ya, Nak.”Arin melihat dari kejauhan, apa yang sedang dilakukan Shaka. Dia nampak senang anaknya itu punya banyak kawan di sekolah ini. Meski kebanyakan yang berteman dengan Shaka adalah anak-anak perempuan, ia tak masalah. Justru ia merasa lega karena berteman dengan anak perempuan membuatnya merasa aman karena terhindar dari perkelahian antar teman nantinya.Satria mendekati
Ternyata Prameswari hanya mengantar Satria saja. Anak bawaan Bayu itu tidak ditunggui oleh ibunya dan itu adalah hal yang cukup mengagetkan karena setalah Prameswari keluar ruangan, Arin diminta untuk masuk ke dalam ruangan kepala sekolah."Sebenarnya ada hal apa saja yang dipanggil ke ruangan ini?" Tanya Arin heran sekaligus bingung."Maaf jika saya memanggil Ibu secara mendadak dan tiba tiba. Tetapi pas kebetulan ibu berada di sini untuk mengantar, jadi saya berpikir untuk meminta ibu langsung menemui saya di sini.""Tidak masalah. Apa yang sudah terjadi, Pak?""Justru itu hal yang ingin saya tanyakan kepada Ibu Arin. Sebenarnya ada masalah apa ibu dengan orang tua Satria?""Orang tua Satria? Siapa yang sedang Bapak maksud itu?""Bu Prameswari. Beliau tadi melaporkan bahwa, katanya Ibu sudah membuat beliau kesal dengan kata-kata yang tidak patut dan tidak sopan. Jadi, Saya ingin mengetahui masalah apa yang sedang terjadi antara Bu Arin dan Prameswari? Apakah ini karena pertengkar