Kau percaya semua jalan cerita ini, memiliki satu garis yang sama.
Masa lalu yang belum tuntas ceritanya, dan berlanjut di masa generasi selanjutnya.
* * *
Kakek kami memiliki lima anak, yang paling tertua bernama Jenggala dan yang bungsu bernama Zainab, namun semua memanggilnya Enah. Semua hidup dengan akur dan bahagia, terkhusus mereka tahu bahwa hampir semua anggota keluarga memiliki kesamaan yang spesial. Kemampuan indra ke enam, namun Enah tidak memiliki kemampuan itu. Ada rasa bersyukur dan juga sedih bersamaan, ia tidak perlu melihat makhluk-makhluk menakutkan yang selalu di keluhkan saudara-saudaranya. Hingga Enah kecil menjadi anak yang penuh keberanian, dalam dunia yang kadang membuat saudara-saudaranya ketakutan.
Mata Enah tidak dapat melihat mereka, itu sebabnya Enah tidak pernah mengeluh ketakutan untuk pergi kemanapun yang ia mau. Dia sangat suka eksplorasi berbagai macam tempat, walau ayah dan ibunya melara
Dunia kita memiliki hukumnya, begitu juga dengan dunia mereka.Tak ada yang boleh melintasi batasan, jika ingin selamat.Ini bukan permainan.* * *Naya bangun subuh hari, ia bahkan solat bersama Aiza. Gahara dan keluarga juga sama, bahkan setelah subuh mereka menyiapkan bekal untuk pergi ke pantai. Kakak mereka bilang hanya butuh dua jam, untuk sampai ke pantai dari rumah mereka. Pukul tujuh pagi mereka sudah siap, tiga puluh menit kemudain mereka sekeluarga ditambah dengan Aiza dan Naya sudah berangkat.Sepanjang perjalanan si kembar bernyanyi riang, tentu dengan sorak sorai Naya sebagai pemandu kali ini. Gadis itu masih teringat dengan para santri junior di pesantren rupanya. Kakek bilang Naya dikenal sebagai senior yang baik dan ramah, walau kadang kelakuannya membuat anak-anak kecil itu sering ketakutan juga. Khususnya kalau Naya sudah suka ngobrol sendirian di waktu-waktu tertentu. Setelah Aiza konfirmasi rupanya,
Sadarlah. Ada perbedaan antara keduanya, dan kau tidak boleh masuk lebih dalam.Rasa penasaran yang sebaiknya tak kau ikuti, lebih baik kau lupakan saja.* * *Selepas mereka pulang di sore harinya, baik Aiza dan juga Naya mendapat telepon urgen. Mungkin lebih tepatnya telepon pekerjaan dari sekolah dan kantor mereka.Surya sudah kirim pesan beberapa kali, hingga ia menelepon. Namun rupanya Naya lupa untuk mencharger batrai ponselnya, hingga ia ketiduran dan ponselnya tertinggal di rumah. Begitu sampai puluhan pesan dan panggilan membanjiri layar ponselnya yang terus berkedip. Rupanya proposalnya sudah dipinta oleh bagian supervisor sebelum diajukan dan disetujui. Semalam ia sudah mengirim email pada pihak terkait, yang bergubungan dengan acara yang sedang ia pegang. Namun email itu belum juga mendapat tanggapan, sementara pihak lain yang juga Naya hubungi melalui email sudah memberi jawabannya. Sore itu juga Naya melakukan pan
Mari pikirkan apa kita memiliki masalah di masa lampau, sebelum melangkah ke masa depan?Jangan sampai generasi berikutnya yang harus menanggung masalah kita saat ini.* * *Kami berpamitan kepada keluarga Mas Gahara, karena Nayanika harus mengejar pekerjaannya. Juga aku yang harus mengajar hari Senin nanti. Mas Gahara masih memintaku hal yang sama, bahkan beliau bilang sebisa mungkin mengunjungi Enah dan bapak. Kujawab dengan anggukan dan senyuman, sejujurnya ini bukan masalah aku siap atau tidak bertemu dengan orang tua kami sendiri. Tetapi sebaliknya, apakah Enah akan menerima kami? Itulah yang paling kupikirkan saat ini.Terkhusus untuk Naya, Enah sudah berpisah dengannya sejak ia bisa bicara. Walau masih menghubungi sesekali, atau bapak yang datang menemuinya. Aku yakin yang paling ingin ditemui Naya adalah Enah, tapi terakhir kami bertemu apa yang terjadi. Jarak antara kami dan Enah justru semakin jauh.
Semua manusia sama, yang membedakan adalah apa yang bisa kalian rasakan.* * *Pikiranku masih belum tenang, setelah perjumpaan dengan Mas Gahara tempo hari. Atau Naya yang menangis karena rindu Enah dan Bapak. Aku masih memikirkan apa itu memang jalan yang terbaik, untuk menyelesaikan semua kesalah pahaman ini.Aiza sedang berjalan santai dari parkiran motor, ia nampak melamun ketika menyadari seseorang menatapnya terheran-heran. Seorang siswa yang baru masuk tahun ini, Aiza ingat wajah itu walau ia lupa siapa namanya. Saat penerimaan siswa baru, dia juga yang mendata siswa baru itu. Dan tatapan yang sama sempat ia terima, walau Aiza pikir lebih baik tidak membahas hal ini tapi tiga bulan ini, anak itu selalu menatapnya di manapun dengan ekspresi yang sulit ia gambarkan.Aiza melambaikan tangan memanggil murid itu untuk menghampirinya, tapi si murid tadi justru malah mengabaikannya sekarang. Hampir saja ia berter
Jangan ikuti desir angin. Bisa jadi itu bukan pertanda baik, tetaplah di jalan mu.* * *Malam itu Aiza merasakan tubuhnya terpisah, rasa kaget ketika melihat tubuhnya sendiri. Tapi ia sadar bahwa ia belum mati. Setidaknya jangan sekarang kalau bisa, tagihan hidupnya masih banyak."Masih sempat-sempatnya mikirin hutang, ck." Suara seseorang yang Aiza kenal datang menemuinya. Si lelaki bermata sipit bernama Shin itu menyapanya, ia duduk di kursi meja belajar."Ke-kenapa kau ada di sini!?""Gak usah kaget gitu paman. Lagian aku juga terpaksa menemuimu.""Wah.. setelah buat gue kaya gini dia masih sombong juga."Aiza bergumam kesal, pemuda di hadapannya masih saja arogan. Padahal mereka sama-sama sedang menjadi hantu. Cowo itu malah memainkan bandul di meja Aiza."Heh, apa mau mu sekarang? Aku sudah tidak bertemu dengan
. . . tidak ada yang bisa ku katakan sekarang. * * * Bocah itu masih di sana, di lantai yang sama ketika ku tanyakan pada Wira. Dia cukup normal untuk anak seusianya, hanya terkadang ia menghilang dari kelas. Jika aku mencoba mencarinya, aku justru tidak menemukan anak itu di manapun. Namun jika ku biarkan ia sendiri, yang datang menemui aku akan bisa bertemu dengannya. Ada yang aku ingat, sebelum kami bertemu aroma dupa akan menyengat penciuman. Saat itu aku tau anak tadi, sudah berada di samping ku seperti sekarang. Kami bertemu di tempat biasa aku dan teman-temanku berdiskusi, gang belakang labolatorium. Tak ada yang cukup suka mengunjungi tempat ini, kecuali mereka yang mencari sesuatu yakni kesunyian hidup. "Kita bertemu lagi, Nak." Aiza tidak menyalakan rokok kali ini, dia sedang ditemani makhluk-makhluk yang justru tak bisa mendekat pada bocah itu. "Ingin berteman dengan mereka?" Mereka bukan teman-t
Ada banyak rasa dan asa yang ingin kami sampaikan, namun perjumpaan ini apakah bisa memberikan semua pertanyaan dari perasaan tadi? * * * Suara motor itu berhenti di pekarangan, namun tak ada seorangpun yang keluar memerhatikan mereka. Setidaknya mereka tau rumah itu berpenghuni, karena hanya pintu depan yang dikunci. Sepertinya si tuan sedang pergi sebentar dan akan segera kembali. Aiza menurunkan muatan yang ia ikat di depan dan belakang motor, sementara Naya duduk menunggu di teras rumah. Ketika mereka sedang sibuk sendiri, suara decit pintu pagar rumah memalingkan pandangan mereka. Sepasang pasangan tua nampak terkejut, mereka berjalan perlahan dengan raut wajah haru. Naya berlari menghampiri mereka, langsung memeluk Enah yang masih terkesiap heran dan haru. Sementara Aiza menurunkan barang dan memeluk bapak, yang balas memeluk putra semata wayangnya. "Tunggu! Ka-kalian tidak seharusnya ada di sin
Mataku mungkin tak bisa melihat mereka, tetapi itu bukan berarti aku tidak bisa melihat isi hatinya, kan?* * *Cewe itu pergi lagi, setelah pekerjaan dia diselesaikan selalu dengan sempurna. Dia bahkan sudah menyelesaikan proyek Minggu depan, dengan cara begadang semalaman dan untuk pergi Sabtu ini. Padahal aku harap bisa ikut dengannya kalau tidak.."Surrr lu edit lagi layer yang ini. Warnanya kurang, nanti tunjukin laga sama gua." Ucap Bang Jul mengirim balik tugasku, sudah pasti tidak akan bisa pulang hari Sabtu ini."Hah...""Ngapain lu menghela napas?""Oh, hahaha. Kagak Bang." Nasib emang."Lu pengen nyusul si Naya kan?""Eng-enggak Bang! Nay' kan pergi sama kakaknya.""Hmm," obrolan kita berakhir digumaman Bang Jul, dan aku kembali dengan tugas yang masih menumpuk.PING!