Sadarlah. Ada perbedaan antara keduanya, dan kau tidak boleh masuk lebih dalam.
Rasa penasaran yang sebaiknya tak kau ikuti, lebih baik kau lupakan saja.
* * *
Selepas mereka pulang di sore harinya, baik Aiza dan juga Naya mendapat telepon urgen. Mungkin lebih tepatnya telepon pekerjaan dari sekolah dan kantor mereka.
Surya sudah kirim pesan beberapa kali, hingga ia menelepon. Namun rupanya Naya lupa untuk mencharger batrai ponselnya, hingga ia ketiduran dan ponselnya tertinggal di rumah. Begitu sampai puluhan pesan dan panggilan membanjiri layar ponselnya yang terus berkedip. Rupanya proposalnya sudah dipinta oleh bagian supervisor sebelum diajukan dan disetujui. Semalam ia sudah mengirim email pada pihak terkait, yang bergubungan dengan acara yang sedang ia pegang. Namun email itu belum juga mendapat tanggapan, sementara pihak lain yang juga Naya hubungi melalui email sudah memberi jawabannya. Sore itu juga Naya melakukan pan
Mari pikirkan apa kita memiliki masalah di masa lampau, sebelum melangkah ke masa depan?Jangan sampai generasi berikutnya yang harus menanggung masalah kita saat ini.* * *Kami berpamitan kepada keluarga Mas Gahara, karena Nayanika harus mengejar pekerjaannya. Juga aku yang harus mengajar hari Senin nanti. Mas Gahara masih memintaku hal yang sama, bahkan beliau bilang sebisa mungkin mengunjungi Enah dan bapak. Kujawab dengan anggukan dan senyuman, sejujurnya ini bukan masalah aku siap atau tidak bertemu dengan orang tua kami sendiri. Tetapi sebaliknya, apakah Enah akan menerima kami? Itulah yang paling kupikirkan saat ini.Terkhusus untuk Naya, Enah sudah berpisah dengannya sejak ia bisa bicara. Walau masih menghubungi sesekali, atau bapak yang datang menemuinya. Aku yakin yang paling ingin ditemui Naya adalah Enah, tapi terakhir kami bertemu apa yang terjadi. Jarak antara kami dan Enah justru semakin jauh.
Semua manusia sama, yang membedakan adalah apa yang bisa kalian rasakan.* * *Pikiranku masih belum tenang, setelah perjumpaan dengan Mas Gahara tempo hari. Atau Naya yang menangis karena rindu Enah dan Bapak. Aku masih memikirkan apa itu memang jalan yang terbaik, untuk menyelesaikan semua kesalah pahaman ini.Aiza sedang berjalan santai dari parkiran motor, ia nampak melamun ketika menyadari seseorang menatapnya terheran-heran. Seorang siswa yang baru masuk tahun ini, Aiza ingat wajah itu walau ia lupa siapa namanya. Saat penerimaan siswa baru, dia juga yang mendata siswa baru itu. Dan tatapan yang sama sempat ia terima, walau Aiza pikir lebih baik tidak membahas hal ini tapi tiga bulan ini, anak itu selalu menatapnya di manapun dengan ekspresi yang sulit ia gambarkan.Aiza melambaikan tangan memanggil murid itu untuk menghampirinya, tapi si murid tadi justru malah mengabaikannya sekarang. Hampir saja ia berter
Jangan ikuti desir angin. Bisa jadi itu bukan pertanda baik, tetaplah di jalan mu.* * *Malam itu Aiza merasakan tubuhnya terpisah, rasa kaget ketika melihat tubuhnya sendiri. Tapi ia sadar bahwa ia belum mati. Setidaknya jangan sekarang kalau bisa, tagihan hidupnya masih banyak."Masih sempat-sempatnya mikirin hutang, ck." Suara seseorang yang Aiza kenal datang menemuinya. Si lelaki bermata sipit bernama Shin itu menyapanya, ia duduk di kursi meja belajar."Ke-kenapa kau ada di sini!?""Gak usah kaget gitu paman. Lagian aku juga terpaksa menemuimu.""Wah.. setelah buat gue kaya gini dia masih sombong juga."Aiza bergumam kesal, pemuda di hadapannya masih saja arogan. Padahal mereka sama-sama sedang menjadi hantu. Cowo itu malah memainkan bandul di meja Aiza."Heh, apa mau mu sekarang? Aku sudah tidak bertemu dengan
. . . tidak ada yang bisa ku katakan sekarang. * * * Bocah itu masih di sana, di lantai yang sama ketika ku tanyakan pada Wira. Dia cukup normal untuk anak seusianya, hanya terkadang ia menghilang dari kelas. Jika aku mencoba mencarinya, aku justru tidak menemukan anak itu di manapun. Namun jika ku biarkan ia sendiri, yang datang menemui aku akan bisa bertemu dengannya. Ada yang aku ingat, sebelum kami bertemu aroma dupa akan menyengat penciuman. Saat itu aku tau anak tadi, sudah berada di samping ku seperti sekarang. Kami bertemu di tempat biasa aku dan teman-temanku berdiskusi, gang belakang labolatorium. Tak ada yang cukup suka mengunjungi tempat ini, kecuali mereka yang mencari sesuatu yakni kesunyian hidup. "Kita bertemu lagi, Nak." Aiza tidak menyalakan rokok kali ini, dia sedang ditemani makhluk-makhluk yang justru tak bisa mendekat pada bocah itu. "Ingin berteman dengan mereka?" Mereka bukan teman-t
Ada banyak rasa dan asa yang ingin kami sampaikan, namun perjumpaan ini apakah bisa memberikan semua pertanyaan dari perasaan tadi? * * * Suara motor itu berhenti di pekarangan, namun tak ada seorangpun yang keluar memerhatikan mereka. Setidaknya mereka tau rumah itu berpenghuni, karena hanya pintu depan yang dikunci. Sepertinya si tuan sedang pergi sebentar dan akan segera kembali. Aiza menurunkan muatan yang ia ikat di depan dan belakang motor, sementara Naya duduk menunggu di teras rumah. Ketika mereka sedang sibuk sendiri, suara decit pintu pagar rumah memalingkan pandangan mereka. Sepasang pasangan tua nampak terkejut, mereka berjalan perlahan dengan raut wajah haru. Naya berlari menghampiri mereka, langsung memeluk Enah yang masih terkesiap heran dan haru. Sementara Aiza menurunkan barang dan memeluk bapak, yang balas memeluk putra semata wayangnya. "Tunggu! Ka-kalian tidak seharusnya ada di sin
Mataku mungkin tak bisa melihat mereka, tetapi itu bukan berarti aku tidak bisa melihat isi hatinya, kan?* * *Cewe itu pergi lagi, setelah pekerjaan dia diselesaikan selalu dengan sempurna. Dia bahkan sudah menyelesaikan proyek Minggu depan, dengan cara begadang semalaman dan untuk pergi Sabtu ini. Padahal aku harap bisa ikut dengannya kalau tidak.."Surrr lu edit lagi layer yang ini. Warnanya kurang, nanti tunjukin laga sama gua." Ucap Bang Jul mengirim balik tugasku, sudah pasti tidak akan bisa pulang hari Sabtu ini."Hah...""Ngapain lu menghela napas?""Oh, hahaha. Kagak Bang." Nasib emang."Lu pengen nyusul si Naya kan?""Eng-enggak Bang! Nay' kan pergi sama kakaknya.""Hmm," obrolan kita berakhir digumaman Bang Jul, dan aku kembali dengan tugas yang masih menumpuk.PING!
Orang bijak selalu bilang, "yang telah lewat tak usah diungkit dan jadikanlah pembelajaran. Yang sekarang datang disambut dengan lapang, dan yang belum pasti jangan diperdebatkan." * * * Siapa Jenggala, mengapa ia menjadi duka lara, apa yang membuatnya terlibat pada masa Naya dan Aiza? Semua itu berputar bertahun-tahun dalam kepala mereka berdua, dan tak ada yang ingin menceritakannya pada kakak beradik itu. Mereka selalu bilang, kisah ini hanya satu orang yang harus menceritakannya dan itu adalah Enah sendiri. Tahun 1974. Kakek memiliki lima orang anak, yang pertaman bernama Jenggala; kedua Sambas; ketiga Dian; keempat Atiek; dan yang paling bungsu adalah Enah. Dari anak yang paling cikal sampai nomer empat, mereka dianugrahi mata ke enam, sementara anak kelima mereka tidak. Ke empat anak itu mendapatkan kemampuan dari ayah mereka, namun si bungsu ini tidak merasa harus iri dengan kemampuan kakak-kakaknya. Walau terkadang mereka
Tidak ada yang mudah dalam berubah, namun keyakinan harus tumbuh dan percaya. Bahwa semua akan semakin, baik-baik saja. * * * Sabtu malam ketika jalanan mulai ramai dengan hilir mudik, anak muda bermalam mingguan. Kami sekeluarga mengulang cerita tentang keluarga kecil ini. Entah mungkin butuh waktu, mengembalikan kepercayaan dirinya. Namun kami akan selalu percaya, dengan bersama-sama kami akan kuat dan menjadi sosok yang lebih baik. Kali ini kami mendengarkan semua cerita tentang kami semasa kecil. Hal-hal yang sempat kami lupakan, atau hanya Enah dan bapak yang mengingatnya. Sementara kami menjadi pendengar saat ini, sampai perut kami berbunyi nyaring. Mempersiapkan makan malam tidak pernah terasa semenyenangkan ini, bahkan hanya barbeque biasa namun kehangatan dan kenangan itu tidak akan pernah kami berdua lupakan. Hingga arunika menyadarkan lelah kami berdua, diantara baris jenggala yang masih menguap