Mari pikirkan apa kita memiliki masalah di masa lampau, sebelum melangkah ke masa depan?
Jangan sampai generasi berikutnya yang harus menanggung masalah kita saat ini.
* * *
Kami berpamitan kepada keluarga Mas Gahara, karena Nayanika harus mengejar pekerjaannya. Juga aku yang harus mengajar hari Senin nanti. Mas Gahara masih memintaku hal yang sama, bahkan beliau bilang sebisa mungkin mengunjungi Enah dan bapak. Kujawab dengan anggukan dan senyuman, sejujurnya ini bukan masalah aku siap atau tidak bertemu dengan orang tua kami sendiri. Tetapi sebaliknya, apakah Enah akan menerima kami? Itulah yang paling kupikirkan saat ini.
Terkhusus untuk Naya, Enah sudah berpisah dengannya sejak ia bisa bicara. Walau masih menghubungi sesekali, atau bapak yang datang menemuinya. Aku yakin yang paling ingin ditemui Naya adalah Enah, tapi terakhir kami bertemu apa yang terjadi. Jarak antara kami dan Enah justru semakin jauh.
Semua manusia sama, yang membedakan adalah apa yang bisa kalian rasakan.* * *Pikiranku masih belum tenang, setelah perjumpaan dengan Mas Gahara tempo hari. Atau Naya yang menangis karena rindu Enah dan Bapak. Aku masih memikirkan apa itu memang jalan yang terbaik, untuk menyelesaikan semua kesalah pahaman ini.Aiza sedang berjalan santai dari parkiran motor, ia nampak melamun ketika menyadari seseorang menatapnya terheran-heran. Seorang siswa yang baru masuk tahun ini, Aiza ingat wajah itu walau ia lupa siapa namanya. Saat penerimaan siswa baru, dia juga yang mendata siswa baru itu. Dan tatapan yang sama sempat ia terima, walau Aiza pikir lebih baik tidak membahas hal ini tapi tiga bulan ini, anak itu selalu menatapnya di manapun dengan ekspresi yang sulit ia gambarkan.Aiza melambaikan tangan memanggil murid itu untuk menghampirinya, tapi si murid tadi justru malah mengabaikannya sekarang. Hampir saja ia berter
Jangan ikuti desir angin. Bisa jadi itu bukan pertanda baik, tetaplah di jalan mu.* * *Malam itu Aiza merasakan tubuhnya terpisah, rasa kaget ketika melihat tubuhnya sendiri. Tapi ia sadar bahwa ia belum mati. Setidaknya jangan sekarang kalau bisa, tagihan hidupnya masih banyak."Masih sempat-sempatnya mikirin hutang, ck." Suara seseorang yang Aiza kenal datang menemuinya. Si lelaki bermata sipit bernama Shin itu menyapanya, ia duduk di kursi meja belajar."Ke-kenapa kau ada di sini!?""Gak usah kaget gitu paman. Lagian aku juga terpaksa menemuimu.""Wah.. setelah buat gue kaya gini dia masih sombong juga."Aiza bergumam kesal, pemuda di hadapannya masih saja arogan. Padahal mereka sama-sama sedang menjadi hantu. Cowo itu malah memainkan bandul di meja Aiza."Heh, apa mau mu sekarang? Aku sudah tidak bertemu dengan
. . . tidak ada yang bisa ku katakan sekarang. * * * Bocah itu masih di sana, di lantai yang sama ketika ku tanyakan pada Wira. Dia cukup normal untuk anak seusianya, hanya terkadang ia menghilang dari kelas. Jika aku mencoba mencarinya, aku justru tidak menemukan anak itu di manapun. Namun jika ku biarkan ia sendiri, yang datang menemui aku akan bisa bertemu dengannya. Ada yang aku ingat, sebelum kami bertemu aroma dupa akan menyengat penciuman. Saat itu aku tau anak tadi, sudah berada di samping ku seperti sekarang. Kami bertemu di tempat biasa aku dan teman-temanku berdiskusi, gang belakang labolatorium. Tak ada yang cukup suka mengunjungi tempat ini, kecuali mereka yang mencari sesuatu yakni kesunyian hidup. "Kita bertemu lagi, Nak." Aiza tidak menyalakan rokok kali ini, dia sedang ditemani makhluk-makhluk yang justru tak bisa mendekat pada bocah itu. "Ingin berteman dengan mereka?" Mereka bukan teman-t
Ada banyak rasa dan asa yang ingin kami sampaikan, namun perjumpaan ini apakah bisa memberikan semua pertanyaan dari perasaan tadi? * * * Suara motor itu berhenti di pekarangan, namun tak ada seorangpun yang keluar memerhatikan mereka. Setidaknya mereka tau rumah itu berpenghuni, karena hanya pintu depan yang dikunci. Sepertinya si tuan sedang pergi sebentar dan akan segera kembali. Aiza menurunkan muatan yang ia ikat di depan dan belakang motor, sementara Naya duduk menunggu di teras rumah. Ketika mereka sedang sibuk sendiri, suara decit pintu pagar rumah memalingkan pandangan mereka. Sepasang pasangan tua nampak terkejut, mereka berjalan perlahan dengan raut wajah haru. Naya berlari menghampiri mereka, langsung memeluk Enah yang masih terkesiap heran dan haru. Sementara Aiza menurunkan barang dan memeluk bapak, yang balas memeluk putra semata wayangnya. "Tunggu! Ka-kalian tidak seharusnya ada di sin
Mataku mungkin tak bisa melihat mereka, tetapi itu bukan berarti aku tidak bisa melihat isi hatinya, kan?* * *Cewe itu pergi lagi, setelah pekerjaan dia diselesaikan selalu dengan sempurna. Dia bahkan sudah menyelesaikan proyek Minggu depan, dengan cara begadang semalaman dan untuk pergi Sabtu ini. Padahal aku harap bisa ikut dengannya kalau tidak.."Surrr lu edit lagi layer yang ini. Warnanya kurang, nanti tunjukin laga sama gua." Ucap Bang Jul mengirim balik tugasku, sudah pasti tidak akan bisa pulang hari Sabtu ini."Hah...""Ngapain lu menghela napas?""Oh, hahaha. Kagak Bang." Nasib emang."Lu pengen nyusul si Naya kan?""Eng-enggak Bang! Nay' kan pergi sama kakaknya.""Hmm," obrolan kita berakhir digumaman Bang Jul, dan aku kembali dengan tugas yang masih menumpuk.PING!
Orang bijak selalu bilang, "yang telah lewat tak usah diungkit dan jadikanlah pembelajaran. Yang sekarang datang disambut dengan lapang, dan yang belum pasti jangan diperdebatkan." * * * Siapa Jenggala, mengapa ia menjadi duka lara, apa yang membuatnya terlibat pada masa Naya dan Aiza? Semua itu berputar bertahun-tahun dalam kepala mereka berdua, dan tak ada yang ingin menceritakannya pada kakak beradik itu. Mereka selalu bilang, kisah ini hanya satu orang yang harus menceritakannya dan itu adalah Enah sendiri. Tahun 1974. Kakek memiliki lima orang anak, yang pertaman bernama Jenggala; kedua Sambas; ketiga Dian; keempat Atiek; dan yang paling bungsu adalah Enah. Dari anak yang paling cikal sampai nomer empat, mereka dianugrahi mata ke enam, sementara anak kelima mereka tidak. Ke empat anak itu mendapatkan kemampuan dari ayah mereka, namun si bungsu ini tidak merasa harus iri dengan kemampuan kakak-kakaknya. Walau terkadang mereka
Tidak ada yang mudah dalam berubah, namun keyakinan harus tumbuh dan percaya. Bahwa semua akan semakin, baik-baik saja. * * * Sabtu malam ketika jalanan mulai ramai dengan hilir mudik, anak muda bermalam mingguan. Kami sekeluarga mengulang cerita tentang keluarga kecil ini. Entah mungkin butuh waktu, mengembalikan kepercayaan dirinya. Namun kami akan selalu percaya, dengan bersama-sama kami akan kuat dan menjadi sosok yang lebih baik. Kali ini kami mendengarkan semua cerita tentang kami semasa kecil. Hal-hal yang sempat kami lupakan, atau hanya Enah dan bapak yang mengingatnya. Sementara kami menjadi pendengar saat ini, sampai perut kami berbunyi nyaring. Mempersiapkan makan malam tidak pernah terasa semenyenangkan ini, bahkan hanya barbeque biasa namun kehangatan dan kenangan itu tidak akan pernah kami berdua lupakan. Hingga arunika menyadarkan lelah kami berdua, diantara baris jenggala yang masih menguap
Begitu banyak macam rupa mereka, ada yang baik; buruk; juga tak tau arah pulang.Namun satu lagi yang harus kalian waspadai, wanita bergaun merah.* * *Kami pulang dengan dada dan pundak yang lebih ringan. Entah ini karena berat oleh-oleh yang telah kami turunkan, atau beban yang kami bawa selama ini. Yang jelas Naya dan Aiza merasa bahagia saat ini, mereka merasa udara yang masuk ke rongga paru-paru tak lagi terganggu.Walau mungkin Aiza harus mundur sebentar, dan sadar kembali bahwa yang menjadi masalahnya adalah, ia mampu melihat hantu. Seperti hari Senin pagi ini, Pak Firman guru pengampu Geografi mencegatnya pagi ini. Tak ada angin atau hujan, lelaki yang masih melajang itu seperti kurang tidur beberapa hari ini."Kenapa Pa, ada masalah apa?" Aiza bertanya, melihat wajah gugupnya."A-anu Pa Aiza.. katanya.. Pak Aiza bisa liat hantu ya?" Jawaban yang menjurus pada mau tidak mau, Ai
Tak ada yang tau bagaimana jalan cerita ini. Cerita hidupku, dan masa depanku. Maka dari itu aku butuh seseorang meyakinkan ku. Bahwa semua ini bisa kami jalani bersama. * * * Satu malam sebelum hari pernikahan tiba esok. Naya memilih duduk di kursi santai yang tepat menghadap kolam renang hotel. Tempat di mana acara pernikahan mereka akan dilaksanakan. Mungkin menakutkan ya memang, apa lagi pandangan mata Naya tidak sama seperti yang lainnya. Namun kali ini, dia merasa akan baik-baik saja. Salah satunya karena Aiza duduk di sampingnya. Malam itu langit bertabur bintang, cerah seperti yang mereka inginkan. Kedua kakak beradik ini akan terpisah jarak dan waktu. Tetapi bagi keduanya, tidak ada penyesalan yang harus mereka sesali. Sementara Nayanika menatap bintang, Aiza menunggu apa yang ingin adiknya itu sampaikan. Lelaki jangkung itu sedikit bingung. Untuk apa Naya memanggilnya tiba-tiba. Apa lagi di tempat sepert
Mungkin mata ku tidak akan bisa melihat mereka kembali.Tetapi, aku akan selalu menghormati keberadaan mereka.Mungkin tak dapat dilihat oleh mata, tetapi bisa di mengerti melalui Sang Pencipta.* * *Aku menelepon kakek dan menceritakan perihal mimpi itu. Tentang sosok yang kutemui, taman itu, dan dua gerbang dunia di sana yang berbeda. Air yang aku minum dan juga kulihat. Lalu kakek bilang aku sangat beruntung. Ada makna dalam mimpi tersebut, satu mengenai bagaimana caraku menggunakan kemampuan melihat makhluk itu. Kedua mengenai bagaimana selama ini aku membantu dengan kemampuan itu, dan yang ketiga adalah apa yang terjadi jika aku menggunakannya dengan tidak bijaksana. Juga, mengenai balasan apa yang akan diterima jika perbuatan kita baik atau buruk.Namun kakek mengingatkan bahwa, semua kembali pada cara ku memperlakukan kehidupan.Surya telah mengatakannya pada Enah dan Bapak. Aku mengantarkann
Aku tidak yakin. Tentang semua hal saat ini.* * *Setelah obrolan dengan Suryakanta, Nayanika duduk di gazebo halaman belakang di subuh hari. Ngeri betul kalau ada yang melihat gadis itu sendirian. Mereka pasti akan mengatakan ada penampakan kuntilanak. Walau sebenarnya memang ada sih di pohon besar sana. Di salah satu halaman tetanggangganya.Naya sudah kenal dengan sosok wanita itu. Tetapi berkat perlindungan kakek, dia tidak bisa masuk ke sini. Makanya sesekali Naya yang mengunjunginya. Hanya saja subuh ini mereka hanya saling menyapa lewat semilir angin."Aku gak mau canggum lagi di kantor, jadi. Malam ini aku mau ngomong sama kamu Nay!""Bentar. Ngomong apaan?""Tentang ucapan kakek atau Kak Aiza." Hening sejenak, "..walau tanpa restu mereka pun. Aku akan mengatakannya sama kamu Nay. Aku jatuh suka! Jauh sebelum ini. Saat kita masih di
Jika kakak tanyakan 'apa aku baik-baik saja?'Sebenarnya aku takut. Tetapi..Selama kalian bersama ku. Sesulit apapub itu, aku akan baik-baik saja.* * *Aku terkejut, tak berani menatap matanya ataupun melihat wajahnya. Kak Aiza mengatakan hal itu, seolah selama ini dia adalah beban untukku. Padahal, akulah yang menjadi bebannya selama ini.Sejak ia bisa melihat mereka. Sedetik pun, dia tak pernah absen mencemaskan keadaan ku. Bahkan di saat untuk pertama kalinya. Kami bisa berbagi cerita dan rahasia mengenai mereka. Kak Aiza harus bergelut dengan rasa takutnya sendiri.Benar. Aku tau Ka Aiza harus menutup indra ke enamnya karena ketakutan Enah. Bahkan ketika dia harus memilikinya kembali. Hal yang paling ia cemaskan adalah perasaan Enah. Bahkan aku juga yakin, saat ini kakak juga pasti memikirkan. 'Apa Enah akan mengetahui cerita ini. Sekali lagi?'.Aku tidak tau, bagaimana car
Sekali lagi. Ini terjadi, tetapi aku juga bertanya mengenai hal yang sama."Apa aku benar-benar telah kehilangan kemampuan itu?"* * *Jika dulu kemampuan itu membawa perpecahan diantara keluarga. Dan memilikinya kembali, juga menyatukan keluarga ini. Lalu kenapa aku merasa, justru ada yang hilang dan kehilangan arah ketika tak memilikinya?Bukankah dulu ketakutan terbesar karena memiliki kemampuan itu. Tetapi karena hal itu juga, aku bisa menolong banyak orang. Tidak. Bukan berarti aku kecewa pada keputusan ini atau.. mengapa harus sekarang kemampuan itu menghilang. Apakah kemampuan itu tidak akan kembali lagi, bahkan untuk selamanya kali ini? Bagaimana dengan Nayanika, adikku itu. Kenapa dia tidak berkata apapun jika memang benar dia sudah mengetahuinya.Tiga bocah itu! Apa mereka ada di sini. Di rumah ini? Aiza tiba-tiba bangkit dari rebahannya, lalu mengamati seisi ruangan televisi. Ia mengambil tongkat
Bolehkah, seseorang membagi tubuh dan jiwanya? Aku juga tidak mengerti menjawab perihal ini. Terlebih, setelah dunia itu tertutup kembali untukku. * * * Seva masih di sini. Dia tidak lekas menjawab perkataanku, yang tentu saja membuat rasa penasaran bertambah.Apa Niskala memang ada dengan meraka? Apa jiwa Niskala tidak tenang? Atau Seva hanya mempermainkannya saja, setelah mengetahui kebenaran dari nya? Aiza tidak yakin wanita di depannya benar-benar Niskala. Bukan kah Seva tidak bisa melihat mereka juga. Lalu, mengapa dia mengatakan hal itu? Apa Shin yang menyuruhnya untuk berakting. "Sepertinya, kau benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi tenang saja hahaha, aku hanya bercanda Aiza!" seva tertawa di depannya, tapi aiza tidak tahu apa itu memang layak untuk ditertawakan. "Hah.. kau tidak suka rupanya, maaf. Tapi.. ya aku berharap kakak ku, Niskala. Memang masih berada di dunia ini." Ekspresi ga
Biarkan kebenaran yang berbicara, biarkan takdir menemukan jalannya.* * *Seperti yang Aiza katakan tempo hari, dokter mengatakan bahwa sore ini Aiza sudah dapat pulang. Masalah benturan di kepalanya tidak parah, kalaupun terasa pusing itu karena ia baru saja menjalani perawatan dan kondisi darahnya belum stabil. Tangan dan kakinya yang terluka juga sudah sembuh, bersyukurlah retakan kecil di kaki kirinya tidak parah dan gips telah membantu tulangnya untuk menempel kembali dengan sempurna. Selebihnya hanya resep dokter dan menjaga pola makan agar pasien bisa lekas sembuh serta beraktivitas seperti sebelumnya.Sampai saat ia pulang dan dijemput seperti janji sobatnya itu. Aiza masih belum menyadari sesuatu, bahkan ketika Naya bereaksi memegang lengan baju Aiza dengan erat. Lelaki jangkung itu malah berkata bahwa Naya seperti bocah yang takut hilang. Karena hal itu Naya melepaskan lengan baju Aiza dengan marah, dan memilih masuk mobil
Apa ceritanya akan kembali seperti dulu?Apa semua akan baik-baik saja?* * *"Kau tidak perlu cemas. Untuk saat ini, lebih baik begini. Kaka mu tidak perlu tau bahwa ia tidak bisa melihat makhlul-makhluk itu lagi. Mungkin dengan begini kesembuhannya akan lebih cepat."Naya melamun di depan layar laptop yang kini telah padam. Pikirannya sedang tidak berada di tempat rupannya, bahkan ketika Enah datang untuk menebus obat dan kembali, ia menyaksikan anak gadis nya melamun dengan pandangan kosong ke arah layar laptop yang mati. Wanita lima puluh tahunan berkerudung pich itu melirik Aiza yang juga sejak tadi mengamati adiknya. Kakaknya itu sudah memerhatikan tingkah adiknya sejak lima belas menit yang lalu. Bahkan ketika Enah datang dan melirik dengan pandangan bertanya padanya."Kenapa adik mu?"Begitulah makna tatapan matanya. Aiza menjawab dengan mengangkat kedua pundaknya jawaban tida
Aku mempercayainya lalu aku mengikutinya, karena aku meyakininya. * * * Seperti yang sosok itu katakan, aku tidak ragu untuk menutup mataku dan melangkah terus kedepan. Tidak peduli apa nanti akan tersesat atau tidak, dia bilang 'percayalah pada apa yang engkau yakini'. Lalu aku merasa walau mata tertutup, jalan itu membentang luas dipenglihatanku. Seolah sesuatu menarik dari arah depan sana, agar terus melangkah tanpa ragu. Lalu sayup-sayup suara doa-doa menggema, makin lama semakin terdengar jelas. Lagi-lagi seperti katanya, suara yang aku kenal dan kurindukan. Enah mengaji dan berdoa memanggil namaku berulang kali, hingga cahaya itu yang teramat menyilaukan membuat mata terbuka dan kulihat langit pucat ciri khas rumah sakit. "MasyaAllah! Alhamdulillah...Aiza! Aiza, ini Enah Za.MasyaAllah,bapak! Aiza bangun Pak!" Lalu suara bapak dan Naya juga terdengar, dan begitulah sampai akhirnya aku bena