. . . tidak ada yang bisa ku katakan sekarang.
* * *
Bocah itu masih di sana, di lantai yang sama ketika ku tanyakan pada Wira. Dia cukup normal untuk anak seusianya, hanya terkadang ia menghilang dari kelas. Jika aku mencoba mencarinya, aku justru tidak menemukan anak itu di manapun. Namun jika ku biarkan ia sendiri, yang datang menemui aku akan bisa bertemu dengannya.
Ada yang aku ingat, sebelum kami bertemu aroma dupa akan menyengat penciuman. Saat itu aku tau anak tadi, sudah berada di samping ku seperti sekarang. Kami bertemu di tempat biasa aku dan teman-temanku berdiskusi, gang belakang labolatorium. Tak ada yang cukup suka mengunjungi tempat ini, kecuali mereka yang mencari sesuatu yakni kesunyian hidup.
"Kita bertemu lagi, Nak." Aiza tidak menyalakan rokok kali ini, dia sedang ditemani makhluk-makhluk yang justru tak bisa mendekat pada bocah itu. "Ingin berteman dengan mereka?" Mereka bukan teman-t
Ada banyak rasa dan asa yang ingin kami sampaikan, namun perjumpaan ini apakah bisa memberikan semua pertanyaan dari perasaan tadi? * * * Suara motor itu berhenti di pekarangan, namun tak ada seorangpun yang keluar memerhatikan mereka. Setidaknya mereka tau rumah itu berpenghuni, karena hanya pintu depan yang dikunci. Sepertinya si tuan sedang pergi sebentar dan akan segera kembali. Aiza menurunkan muatan yang ia ikat di depan dan belakang motor, sementara Naya duduk menunggu di teras rumah. Ketika mereka sedang sibuk sendiri, suara decit pintu pagar rumah memalingkan pandangan mereka. Sepasang pasangan tua nampak terkejut, mereka berjalan perlahan dengan raut wajah haru. Naya berlari menghampiri mereka, langsung memeluk Enah yang masih terkesiap heran dan haru. Sementara Aiza menurunkan barang dan memeluk bapak, yang balas memeluk putra semata wayangnya. "Tunggu! Ka-kalian tidak seharusnya ada di sin
Mataku mungkin tak bisa melihat mereka, tetapi itu bukan berarti aku tidak bisa melihat isi hatinya, kan?* * *Cewe itu pergi lagi, setelah pekerjaan dia diselesaikan selalu dengan sempurna. Dia bahkan sudah menyelesaikan proyek Minggu depan, dengan cara begadang semalaman dan untuk pergi Sabtu ini. Padahal aku harap bisa ikut dengannya kalau tidak.."Surrr lu edit lagi layer yang ini. Warnanya kurang, nanti tunjukin laga sama gua." Ucap Bang Jul mengirim balik tugasku, sudah pasti tidak akan bisa pulang hari Sabtu ini."Hah...""Ngapain lu menghela napas?""Oh, hahaha. Kagak Bang." Nasib emang."Lu pengen nyusul si Naya kan?""Eng-enggak Bang! Nay' kan pergi sama kakaknya.""Hmm," obrolan kita berakhir digumaman Bang Jul, dan aku kembali dengan tugas yang masih menumpuk.PING!
Orang bijak selalu bilang, "yang telah lewat tak usah diungkit dan jadikanlah pembelajaran. Yang sekarang datang disambut dengan lapang, dan yang belum pasti jangan diperdebatkan." * * * Siapa Jenggala, mengapa ia menjadi duka lara, apa yang membuatnya terlibat pada masa Naya dan Aiza? Semua itu berputar bertahun-tahun dalam kepala mereka berdua, dan tak ada yang ingin menceritakannya pada kakak beradik itu. Mereka selalu bilang, kisah ini hanya satu orang yang harus menceritakannya dan itu adalah Enah sendiri. Tahun 1974. Kakek memiliki lima orang anak, yang pertaman bernama Jenggala; kedua Sambas; ketiga Dian; keempat Atiek; dan yang paling bungsu adalah Enah. Dari anak yang paling cikal sampai nomer empat, mereka dianugrahi mata ke enam, sementara anak kelima mereka tidak. Ke empat anak itu mendapatkan kemampuan dari ayah mereka, namun si bungsu ini tidak merasa harus iri dengan kemampuan kakak-kakaknya. Walau terkadang mereka
Tidak ada yang mudah dalam berubah, namun keyakinan harus tumbuh dan percaya. Bahwa semua akan semakin, baik-baik saja. * * * Sabtu malam ketika jalanan mulai ramai dengan hilir mudik, anak muda bermalam mingguan. Kami sekeluarga mengulang cerita tentang keluarga kecil ini. Entah mungkin butuh waktu, mengembalikan kepercayaan dirinya. Namun kami akan selalu percaya, dengan bersama-sama kami akan kuat dan menjadi sosok yang lebih baik. Kali ini kami mendengarkan semua cerita tentang kami semasa kecil. Hal-hal yang sempat kami lupakan, atau hanya Enah dan bapak yang mengingatnya. Sementara kami menjadi pendengar saat ini, sampai perut kami berbunyi nyaring. Mempersiapkan makan malam tidak pernah terasa semenyenangkan ini, bahkan hanya barbeque biasa namun kehangatan dan kenangan itu tidak akan pernah kami berdua lupakan. Hingga arunika menyadarkan lelah kami berdua, diantara baris jenggala yang masih menguap
Begitu banyak macam rupa mereka, ada yang baik; buruk; juga tak tau arah pulang.Namun satu lagi yang harus kalian waspadai, wanita bergaun merah.* * *Kami pulang dengan dada dan pundak yang lebih ringan. Entah ini karena berat oleh-oleh yang telah kami turunkan, atau beban yang kami bawa selama ini. Yang jelas Naya dan Aiza merasa bahagia saat ini, mereka merasa udara yang masuk ke rongga paru-paru tak lagi terganggu.Walau mungkin Aiza harus mundur sebentar, dan sadar kembali bahwa yang menjadi masalahnya adalah, ia mampu melihat hantu. Seperti hari Senin pagi ini, Pak Firman guru pengampu Geografi mencegatnya pagi ini. Tak ada angin atau hujan, lelaki yang masih melajang itu seperti kurang tidur beberapa hari ini."Kenapa Pa, ada masalah apa?" Aiza bertanya, melihat wajah gugupnya."A-anu Pa Aiza.. katanya.. Pak Aiza bisa liat hantu ya?" Jawaban yang menjurus pada mau tidak mau, Ai
Dia seharusnya tidak ada di sini, lalu siapa dia? * * * Pukul setengah sepuluh ketika akhirnya aku berhadapan dengannya. Sosok yang pernah terlintas dalam bayangan, wanita bergaun merah yang bisa membawa bahaya untuk si pemiik rumah. Firman berusaha kuat untuk menolak bujuk rayu wanita itu, begitu juga dangan ku yang mencoba melawannya setelah berkonsultasi dengan Mas Gahara. Sebelum datang ke rumah ini, aku bertanya pada Mas Gahara bagaimana jika itu memang benar adanya. Mas Gahara lebih mengusulkan untuk menanyakan terlebih dahulu, alasan di balik dia ada di sana. Atau mengapa ia mengganggu lelaki itu. Maka saat dia muncul di hadapanku, kutanyakan apa tujuan makhluk itu. Rupanya ia marah, sebisa mungkin aku menahannya, dan kutanyakan sekali lagi. Yang kudengar saat dalam perjaanan ke rumah ini, Pak Firman baru saja menempati rumah ini sekitar dua minggu lalu. Pada hari pertama itu ia tidak merasakan hal y
Kita akan bertemu dengan apa yang memang menjadi takdir kita.Atau segalanya yang tak direncanakan, namun harus dipertemukan.* * *Mereka duduk bertiga, membatalkan rencana masing-masing. Bukan tanpa sebab ini karena Aiza menuntut penjelasan. Aruna Jumantara dan Shin, dua orang itu tidak sengaja ditemukan oleh Aiza sedang bersama. Mereka berdua tengah berbelanja, di supermarket yang sama dengan Aiza.Shin duduk bersidekap dengan pakaian serba hitam seperti biasa, sedangkan Aruna memainkan gim di ponselnya. Aiza mengamati keduanya, satu orang yang selalu datang tanpa diminta, dan satunya lagi suka ikut campur. Lalu hari ini mereka justru malah bertemu di hari yang menyebalkan, karena sejak kemarin Naya menyuruhnya untuk belanja bulanan sedangkan dia pergi melakukan dinas keluar kota.Pesanan mereka datang, Aruna menyimpan ponselnya mengambil minuman kesukaannya. "Kenapa kau tidak bica juga?" Shin akhirnya b
Sebagian diri kita dianugerahi kemampuan untuk melihat dunia lain, bukan tanpa alasan karena mungkin hanya kita yang bisa membantu mereka.Namun terkadang tidak semua hal, bisa menjadi tanggung jawab kita.Sama seperti dunia manusia, di dunia ini juga punya kasta dan aturan mainnya.* * *Niskala tersenyum pada lelaki jangkung itu, katanya tak ada yang bisa disembunyikan dari mata kita, sekalipun kita tidak ingin melihatnya. Rumah Sakit bukan tempat yang ingin mereka tinggali begitu lama, terkhusus untuk mata seperti mereka. Salah satunya adalah roh yang menunggu untuk pulang.Salah satunya adalah gadis dipojokan itu, ia tidak mengganggu hanya duduk menunggu. Mendekap kedua lututnya, menunduk tak bersuara dan tak ingin ditanya. Walau sesekali Niskala mencoba menyapanya, atau hanya sekedar bercakap-cakap ringan. Daripada ia harus mendengar hantu-hantu tak jelas itu, berbisik dan bermain-main ketika malam datang.&n