Mas Raka menatapku dengan sorot mata tajam, wajahnya seolah memanas saat menerima mahar yang aku berikan kepadanya untuk membayar ganti rugi atas rumah yang kuhancurkan saat itu.Ada rasa tak percaya dalam pandangannya saat melihat wajahku yang memperlihatkan penyesalan, serta benda satu-satunya yang tersisa dari kenangan pernikahan kami kini harus kukembalikan."Kau benar-benar keterlaluan, ini adalah mahar yang aku berikan dulu waktu aku menikah denganmu," ucap Mas Raka dengan nada marah.Aku mencoba menenangkan diri, sambil berkata dalam hati, "Kau memang berhak marah, karena aku tidak punya pilihan lain selain aku memberikan ini . Tapi, apa boleh buat, aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku, karena kau sudah menuntut diriku untuk melunasinya," gumamku dalam hati."Iya, itu memang benar mahar yang kamu berikan untuk diriku, saat kita menikah, Mas. Tapi sebaiknya memang aku kembalikan lagi kepadamu. Aku anggap ini sebagai pembayaran cicilanku," balasku dengan nada tegas.Aku
Aku benar-benar dikejutkan oleh berbagai kejadian dalam hidupku, terutama setelah apa yang baru saja aku lalui. Melihat Mas Raka menikah dengan sahabatku sendiri, benar-benar menusuk hatiku hingga berdarah dan sulit aku lupakan kejadian menyakitkan itu. Tak hanya itu, bangunan yang kubangun dengan jerih payahku pun diatas namakan dengan nama mantan ibu mertuaku. Betapa tersiksa perasaanku saat itu. "Apakah aku layak mendapatkan ini semua? Setelah pengorbanan yang aku berikan kepada keluarga mereka? Bahkan semua hasil jerih payahku sudah terkuras habis oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu." Tanya hatiku dalam isak. Kejadian demi kejadian buruk seperti bergulir, meninggalkan luka di hati yang sulit kubendung. Akan tetapi, ketidakadilan masih terus berlanjut. Mas Raka menuntut ganti rugi atas rumah yang kuhancurkan, dan bahkan sekarang, dia memfitnahku dengan menyebarkan berita viral yang mencemarkan nama baikku. "Cukup sudah! Kenapa dia begitu kejam terhadapku? Apa lagi
Aku merasa sangat terkejut saat menyadari Pak Attala berada di kamarku dan menyaksikan perlakuan Mas Raka terhadap diriku.Hatiku hancur, malu, dan terpukul oleh situasi yang terjadi."Kenapa Mas Raka tega melakukan ini kepadaku? Mengapa harus aku yang mengalami ini?" desis hatiku pilu.Namun, ada rasa bersyukur yang timbul ketika Pak Attala datang tepat waktu, seakan ingin melindungiku dari tindakan bejat yang hendak dilakukan oleh Mas Raka saat itu kepadaku."Alhamdulillah ya Allah, Engkau sudah melindungimu dengan mengirimkan Pak Attala datang ke sini tepat waktu. Aku harus kuat, agar bisa memberikan pelajaran untuk Mas Raka atas apa yang dia lakukan kepadaku," batinku dengan tekad yang bulat.Sementara Pak Attala dengan penuh amarah melayangkan pukulan demi pukulan ke arah tubuh dan wajah Mas Raka, aku berusaha bangkit dan menghindar dari dua lelaki yang saat itu tengah terlibat konflik keras.Dalam sekejap, rasa takut dan trauma bercampur aduk dalam dadaku, menyesakkan napasku.S
Aku melihat mantan ibu mertuaku dan Kalea, histeris, ketika polisi akan segera membawa Mas Raka pergi dari rumahku.Kemarahan tersirat tegas di wajah ibu Mas Raka. Adegan di hadapanku terasa begitu nyata, membuatku tersenyum puas, menyaksikan bagaimana Mas Raka dipermalukan oleh dirinya sendiri.petugas yang berusaha membawa Mas Raka, tampak dihalangi oleh Kalea dan Ibu Mas Raka saat petugas itu hendak membawanya ke mobil polisiJeritan dan teriakan mereka sungguh menyayat hati, tapi tidak sedikit pun aku merasa bersimpati. Aku menikmati menyaksikan adegan itu, sebagai pembalasan rasa sakit hatiku yang dilakukan oleh Mas Raka kepadaku selema ini."Jangan bawa suami saya, dia tidak bersalah. Ini fitnah! Wanita itu yang mencoba untuk menggoda suami saya," Kalea mencoba menghalangi petugas itu membawa Mas Raka dan menuduhku menggoda suaminya.Aku hanya terdiam dan menyaksikan tangisan mereka yang semakin pilu ketika berusaha melepaskan Mas Raka.Namun, tak lama kemudian, aku pun berjalan
Ketika mendengar ucapan Mas Raka, aku seperti disambar petir. Tubuhku terasa lemas saat dia berlutut di depanku dan mengungkapkan isi hatinya. Seolah-olah seketika semua rasa marah dan sakit hati hilang sejenak. Namun, waktu berhenti sejenak ketika tanpa sadar, Kalea dan ibunya datang dan mendengar ucapan Mas Raka.Aku bisa melihat raut wajah Kalea yang penuh amarah, dia tak terima dengan pengakuan suaminya. Dalam sekejap, dia menghampiri Mas Raka dan memukulinya. Aku tak tahu harus merasa apa, sebagian diriku merasa puas melihat pertengkaran mereka. Namun, sebagian yang lain bingung apakah ini yang sebenarnya aku inginkan. "Apa kamu bilang, Mas? Kau akan menceraikan aku demi wanita ini? Apa kamu sudah tidak waras? Aku sedang mengandung anakmu! Tega kamu, Mas!" Kalea tampak menghardik Mas Raka dan terus memukuli dirinya.Mas Raka hanya diam terdiam, sambil menghalau pukulan Kalea yang ditujukan ke arah wajahnya berkali-kali.Sementara ibu Mas Raka kini menghampiri diriku dan seolah
Baru saja aku melangkahkan kakiku, tiba-tiba terdengar Ibu Mirna memanggil namaku."Tunggu, Rania!" seru wanita paruh baya itu, menghentikan langkah kakiku.Aku pun tersenyum menyeringai, membiarkan rasa penasaran mengusik pikiranku. "Apa yang membuat Ibu Mirna begitu gelisah? Kenapa dia menahan langkahku? Mungkinkah kali ini dirinya sudah menentukan pilihannya? Apakah dia akan memilih Mas Raka dari pada tuntutan ganti ruginya? Rasanya aku sudah tak sabar ingin tau apa yang kali ini dia putuskan," gumamku dalam hati.Saat aku membalikkan tubuhku ke arahnya, kudengar tapak langkah kakinya berjalan mendekatiku. Kuputuskan untuk menunggu dan melihat apa yang ingin Ibu Mirna sampaikan padaku. "Jangan pergi, Rania?" kata Ibu Mirna dengan tatapan penuh kegelisahan, seolah dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat.Aku mencoba untuk tetap sabar, walaupun rasa penasaran kian menyiksa. "Ada apa, Bu?" tanyaku, berusaha untuk memberikan kesempatan padanya agar mengungkapkan isi hatinya. B
Setelah melakukan ijab qobul, kini aku dan Pak Attala menikmati pesta pernikahan kami.Bagaikan sebuah mimpi, aku di ajak Pak Attala untuk berdansa dengan memakai gaun pengantin mewah.Sungguh, aku tidak pernah menyangka jika semua ini akan aku alami seperti saat ini.Dulu, aku menikah dengan Mas Raka, hanya dibawa tangan dan itupun ibuku yang banyak membantu Mas Raka dalam mengurus semuanya.Saat itu, himpitan ekonomi memang sedang dialami keluarga kami, terutama oleh keluargaku yang saat itu jatuh bangkrut setelah ayahku meninggal. Oleh karena itu, dia enggan mengeluarkan banyak uang untuk sekadar menyumbang pesta kecil-kecilan dalam pernikahan kami. "Tidak perlu pesta, ini hanya buang-buang uang, karena kamu dan Raka menikah di bawah tangan, aku tidak mau teman-temanku tau, jika aku memiliki menantu seperti dirimu, mau ditaruh di mana mukaku ini?" kata-kata Bu Mirna sampai sekarang masih terngiang-ngiang di telingaku. Aku mengingat semua kata-kata bekas mantan mertuaku saat dia m
Aku benar-benar terkejut dengan pernyataan Mas Raka yang saat itu terlontar di bibirnya begitu saja.Ia seolah tak peduli dengan hati istrinya yang saat itu mendengar apa yang dikatakan itu. Aku benar-benar gugup dan takut jika pernyataan itu akan menimbulkan masalah diantara kami.Tidak ingin semuanya berakhir dengan kesalahpahaman, aku segera berusaha meralat pernyataan Mas Raka yang terlihat sedikit mabuk."Hentikan ucapanmu, Mas! Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan itu? Kau bisa membuat banyak orang salah paham. Aku tidak ingin kau mengatakan pernyataan yang seolah aku masih mengharapkan dirimu. Berhentilah untuk berpikir jika saat ini aku masih mencintaimu," hatiku merasa kesal dan panik, karena tak ingin suamiku akan salah paham kepadaku."Tapi kau dulu mencintaiku, Ran. Aku yakin jika kamu masih memiliki perasaan itu kepadaku, walaupun saat ini kau masih marah kepadaku," ungkap Mas Raka yang seketika membuat amarahku meluap."Berhentilah membuat fitnah, aku da