Dalam perjalanan ke kantor, ada rasa ingin tahu Dara soal Arjuna lebih dalam. Feeling-nya mengatakan hal lain."Pak Kobir, kalau boleh tahu bapak ikut Mas Arjuna sudah berapa lama?" tanya Dara membuka percakapan."Belum lama sih, Neng.""Suka antar Mas Arjuna juga kah?""Hmm ... jarang sih Neng. Soalnya Bapak itu tipikal mandiri. Kenapa, Neng?""Oh nggak, aku cuma nanya aja, Pak.""Duh, gimana aku nanyanya, masa iya aku nanya, bapak pernah supirin Mas Arjuna pas dia berduaan sama perempuan dan anak kecil nggak? Masa iya aku nanya gitu," keluh Dara dalam hati.Dia tampak bingung dan kehilangan kata-kata supaya Bapak Kobir tidak menaruh curiga atau fatalnya bisa menyampaikan hal yang dia tanyakan pada Arjuna."Pak, abis ngantar saya, Bapak langsung balik pulang aja, ya!" pinta Dara.Dara mencoba mencari akal, mengalihkan gundahnya."Kenapa begitu, Neng? Kata Bapak Arjuna bapak disuruh tunggu sampai Neng selesai kerja.""Hmm … nih, Pak. Barusan Mas Arjuna yang bilang kalau aku disuruh bar
Merasa tidak percaya, Ratna meminta ponsel yang ada dalam genggaman Rara. Maraknya penipuan, membuat dirinya tidak langsung percaya begitu saja."Boleh saya lihat chatnya?" pinta Ratna.Dengan sigap, Rara pun memberikan ponsel dalam genggamannya pada bosnya itu. "Ini, Bu.""Duh, gimana kalau benar itu penipu, aku bisa malu sama Bu Ratna karena sudah terlalu semangat," gundah Rara dalam batinnya.Ratna pun membaca pesan yang masuk itu dari awal dengan seksama.[Hai, ini saya Arjuna.]Deg!!!Baru pesan awal saja, jantung Ratna sudah berdetak tidak karuan. Dia tampak berusaha menghilangkan bahasa tubuh yang bisa memancing curiga karyawannya itu "Apa ini Mas Arjuna? Ah, buat apa sama dia mesan 500 box?" Pertanyaan yang muncul hanya tersebut dalam hatinya saja. Untuk memastikan Arjuna yang mengirim pesan itu, Ratna pun mengambil ponselnya ke ruangan, dia baru sadar tidak membawa ponselnya saat turun ke lantai satu tadi.."Sebentar, saya ke ruangan dulu. Ponselnya saya bawa," Rara hanya men
Dara yang berdiri di balik pintu masuk, kembali masuk ke dalam ruangan Arjuna. Arjuna yang hendak menghubungi Ratna, pun mengurungkan niatnya seraya berdecak kesal melihat Dara berjalan ke meja kerjanya."Siapa perempuan yang nelpon kamu tadi, Mas?" tanya Dara tanpa basa-basi."Oh … itu yang punya toko bakery." Arjuna berusaha santai menjawab, agar Dara tidak curiga. "Kenapa harus dia?" tanya Dara lagi, emosi yang bergelayut di hatinya membuat dia kehilangan kontrol diri."Maksudnya? Dia gimana?"Deg!!!Arjuna pun bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri Dara yang tampak salah tingkah."Oh, nggak. Maksud aku, apa pesannya di toko bakery yang kita beli kemarin?""Iya, enak 'kan. Sudah, jangan mikir kejauhan, aku cuma bantu temen." Arjuna berusaha berkilah, demi menutupi kebenaran."Oke, asalkan jangan dipupuk 'temennya' itu," sahut Dara. Menyindir adalah pilihan yang tepat saat ini.Arjuna tak merespon lagi, dia hanya menaikkan kedua alisnya, lalu menghela napas."Nanti, aku akan m
Bu Soimah yang berjalan menuju meja administrasi dibuat gagal fokus karena melihat sosok wanita yang dia kenal duduk di kursi tunggu."Itu kayaknya aku kenal deh, siapa ya?" gumamnya dalam hati.Semakin dekat Bu Soimah semakin memandang fokus."Wah, ada si julid," ucap Bu Soimah. "Eh, sebentar, itu mukanya kok samaan kayak pantatnya wajan ya? Suram, hahaha. Pas nih, aku isengin ah."Bu Soimah pun tak ingin melewatkan kesempatan ini. Pasca diblokir, Bu Soimah tidak bisa lagi mengirim pesan sindiran pada musuh bebuyutannya itu."Heh, bener kamu rupanya. Kusam aja tu muka, lama nggak perawatan nih kayaknya," ledek Bu Soimah."Siapa ya? Saya nggak kenal tuh sama Anda," balas Wati mengalihkan pandangan. Menit kemudian, Wati pun bangkit dari duduknya, jalan maju beberapa langkah, kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri, belum ada tanda-tanda batang hidung Bram."Lama banget kamu, Bram," umpat Wati."Ck! Kalau tahu bakal ketemu manusia yang satu ini, mending aku ikut sama Bram saja tadi," keluh
Ratna bergegas menuruni anak tangga, "Ra, kamu WA aja yang punya nomer ini. Tanyain, per-box itu isinya mau berapa? Sekalian sama minumannya atau gimana? Terus juga kalau tetap mau 500 box kudu bayar DP 70% sama juga bisa siapnya cuma 3-4 harian baru ready. Bilang gitu, ya!" titahnya saat Rara sudah sampai di lantai satu.Ratna akhirnya mengambil keputusan akan mengambil pesanan Arjuna. Apa yang dikatakan Arjuna dalam pesan singkat itu memang benar adanya. Ratna tidak mencampuradukkan masalah pribadi dan bisnis."Oh, oke. Baik, Bu." Rara tampak bernafas lega."Satu lagi, kasih diskon aja 5% dari total.""Hmm … harganya nggak berubah 'kan, Bu?""Oh, nggak. Nanti kamu pastiin dulu semuanya ke yang bersangkutan, nanti konfirmasi ke saya rincian fixnya. Gitu aja!" Setelah mengkonfirmasikan pada Rara, Ratna langsung menuju lantai tiga, tempat khusus baking. "Erik, saya ingin memberi tahu, kita dapat orderan bakery sebanyak 500 box, coba kamu cek, bahan-bahan apa saja yang kurang, karena k
"Mmm … Nek," sapa Devina takut-takut."Ma, Nana ke kamar ya. Mau lanjutin bikin tugas," ucap Devina menjauh."Mau nenek temenin?" Tawaran Wati malah membuat Devina semakin ketakutan."Nggak, Nek. Makasih."Sementara Devina berlari ke dalam, Ratna mempersilakan mantan mertua dan mantan suaminya itu duduk."Devina kenapa, Rat? Kok kayak gitu ekspresinya?" tanya Bram penasaran."Aku bikin kan minum dulu, nanti aku jelasin."Ratna pun bertolak ke belakang."Ma … Mama apain Devina? Kok dia begitu? Kayak orang takut liat mama." Tak sabar menunggu penjelasan dari Ratna, Bram pun bertanya langsung pada mamanya."Kok kamu malah nanya begitu? Mana mama tahu. Mama nggak ada apain dia. Ketemu aja jarang, itupun ketemu terakhir pas jemput mereka, yang si jalang itu di rumah sakit.""Mama nggak bohong kan sama aku?" tanya Bram penuh penekanan."Terserah kalau kamu nggak percaya. Kalau mama apa-apain Devina, mana mungkin mama ikut ke sini. Ni akibat kepalamu terbentur jadinya pikiran tu negatif aja.
"Sial banget hidupku sejak Bram bercerai. Di cela musuh, mengalah demi si Jalang, sekarang direndahkan si Ratna. Entah kenapa si Devina sok ketakutan pula ketemu sama aku. Banyak manusia lebay di dunia ini!" umpat Wati kesal. Memang hidupnya suram dan terjal semenjak palu sidang perceraian Bram terketuk."Kenapa juga harus ketemu dia di rumah sakit. Dan, orang yang nyebarin video kecelakaan Bram juga nggak ada otaknya. Gini nih kalau ketahuan musuh. Bikin rugi," umpat Wati dalam hati.Saking emosinya bersarang di dada, dia sampai tidak sadar sudah mencabuti bulu-bulu bantal sofanya yang sudah berserakan.Tengah mengisi waktu menonton televisi, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu."Tuh … Itu pasti Bram. Pulang juga kan? Sok-sok an pergi kerja padahal belum sembuh betul."Meski kesal, detik kemudian Wati tetap saja berjalan ke pintu utama dia beranggapan anak semata wayangnya itu lupa membawa kunci rumah."Pulang juga …," ucapan Wati terhenti kala menatap orang yang berdiri di depan
Bram mengetuk pintu ruangan Arjuna, setelah mendapat telepon VoIP dari atasannya itu, dan diminta untuk segera menemui Arjuna.Bram terpaksa meninggalkan ruangan kerjanya, padahal belum lepas sesak napasnya, setelah mamanya memberi tahu surat panggilan dari kantor polisi."Silakan masuk!" titah Arjuna dari dalam setelah Bram mengetuk pintu ruang kerjanya."Permisi, Pak.""Silakan duduk!" titah Arjuna dengan mengudarakan tangannya ke kursi yang ada di seberang meja kerjanya.Bram pun menduduki kursi di depan meja kerja Arjuna."Kalau kamu belum pulih betul, lebih baik istirahat saja di rumah, Bram. Kamu 'kan sudah diberi waktu istirahat satu minggu sama HRD," usul Arjuna saat menatap wajah Bram yang kurang fresh. Perang batin antara keduanya, membuat basa-basi antara mereka tak diperlukan lagi."Ck! Mentang-mentang hidup Kau adem ayem. Bilang aja kalau Kau bahagia di atas penderitaan saya," geram Bram membatin.Namun, pandangan Arjuna malah tidak sesuai sisi pandangan Bram. Dirinya meng
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.