Readers ... makasih ya udah ikutin kisah Ratna sampai sejauh ini. semoga selalu diberkahi dan dimudahkan rezekinya đŸ˜‡
"Itu mulut atau tong sampah? Busuk!" sentak Bram geram."Lalu menurut kamu, sebutan apa yang pantas buat perempuan yang dengan gampangnya menyerahkan dirinya? Bahkan, kamu rela merogoh uang demi membayar pelayanan mereka. Giliran aku aja belanja, kamu kemana kemarin? Kencan 'kan? Tapi sama aku bilangnya meeting.""Iya, puas kamu! Buat apa nemenin istri macam kamu. Nggak tahu diri tepatnya. Sekarang aku tanya, apa bedanya kamu dengan mereka? Aku juga nyomot kamu dari lingkungan kotor. Mau protes? Hah?"Laura terdiam, dia kehilangan kata-kata dalam membela diri."Aku makin ke sini, aku makin sadar, kalau kamu rupaya tak lebih baik dari Ratna. Aku menyesal telah membuat Ratna pergi, dan membawa kamu ke rumah ini!" "Kamu menghancurkan masa depanku."Deg!!!"Ratna lagi. Si Janda itu lagi. Kenapa dia harus membandingkan aku dengan perempuan yang sangat aku benci selain ibunya itu!" umpat Laura dalam hati.Jantung Laura semakin berdegup tak beraturan, dibandingkan dengan perempuan yang dulun
Ratna sempat terdiam sebentar. Dia bingung mau menjawab apa. Jika diberi tahu kalau Bram mau ke rumah atau tidaknya, tentu punya konsekuensi masing-masing."Boleh tidak, Ma?" rengek Devina sembari memegang tangan kanan mamanya."Na, kata papa dia nanti emang mau ke sini. Jadi … kita tunggu aja, ya. Nggak usah ditelpon," ucap Ratna memilih untuk jujur."Mama serius?" Mata Devina tampak berbinar menatap perempuan yang melahirkannya itu."Iya, tadi papa ngirim pesan sama Mama. Katanya begitu mau ke sini lepas Magrib."Hmm …,"Melihat Devina melirik ke atas, Ratna pun seolah peka akan tingkah anaknya. "Kenapa, Na?""Tapi ... Nana tetap boleh pinjam hape mama tidak?""Buat apa? Kan papa katanya mau ke sini. Kenapa ditelpon lagi?" "Nana mau nitip makanan, Ma. Mumpung papa ke sini."Tanpa mempertanyakan lebih lanjut, Ratna pun mengambil ponsel ke kamarnya dan menyerahkan pada Devina.Jantung Bram berdebar hebat dengan senyum terkembang merekah di bibirnya. Dia terlihat bahagia saat tulisan J
"Ratna!" Bram tersentak. Wajahnya yang tadi tegas berubah seketika. Tangannya pun sigap mengelus kepala Devina."Setahu aku, Devina suka ayam goreng, Rat.""Memangnya kamu pernah liat ayam goreng kayak gini di meja makan, Mas? Atau se-ingat kamu pernah bawain Devina ini?" tanya Ratna dengan penuh penekanan dan tatapan tajam.Bram semakin salah tingkah. Seakan tak berkutik dibuat oleh Ratna."Maafkan aku ya, Rat. Bukan bermaksud lupa. Tapi kamu tahu 'kan selama kita bersama aku sibuk nyari uang buat kamu dan Devina," kilah Bram tak mau tersudutkan."Nggak usah di lanjutin pembahasannya, Mas!""Devina lagi ada tugas sekolah buat besok. Jadi … kamu bantuin aja. Anggap aja itu sebagai ganti karena kamu udah salah bawa makanan kesukaannya, Devina.""Oke, nggak masalah.""Yuk, Pa. Masuk!" titah Devina dengan menarik tangan Bram.Lagi-lagi, ada yang janggal. Disaat Devina berusaha menggenggam erat tangan papanya saat itu juga Bram berusaha mencari celah bagaimana genggaman tangan anaknya ter
Bram seperti menyisir pandangan, lalu tak lama kemudian beralih pandangan pada Arjuna yang mengambil posisi duduk seperti malam kemarin. Menatap tak suka. "Pak, Anda jangan berbangga diri dulu. Meskipun di kantor Anda atasan saya, bukan berarti Anda bisa menggantikan saya di hati Devina dan Ratna." Bram menatap tajam pada Arjuna yang bersikap biasa-biasa saja. Tak ada gurat tegang ataupun emosi yang terlihat."Hati Ratna dan Devina bukan urusan kamu ataupun saya. Itu hak mereka. Dan, saya juga tidak perlu bertanya panjang lebar. Kenapa bisa Ratna mengambil keputusan untuk pergi dari Anda, Bram.""Pak, itu bukan urusan Anda.""Ya, memang bukan urusan saya. Dan, saya di sini juga bukan urusan Anda!""Jelas ini menjadi urusan saya. Devina anak saya dan Ratna ….""Ingat dia hanya mantan Anda. Bukan siapa-siapa.""Dia bukan hanya sekedar mantan tapi …."Perdebatan antara dewasa lelaki itu hening seketika saat melihat Ratna datang dengan membawa nampan berukuran sedang. Berisikan makanan y
Bram tampak memarkir kendaraan roda empat asal-asalan. Mendengar deru mobil Bram memasuki pekarangan, Laura langsung bergegas membukakan pintu utama.Selayaknya istri menyambut kepulangan suaminya pulang bekerja.Namun, naasnya, Bram malah mendorong tubuh mungil Laura hampir saja terjatuh kehilangan keseimbangan."Mas, kamu kenapa? Masih marah? Kenapa kasar gini?"Wati yang di kamar pun ikut keluar, tapi hanya berdiri di depan kamarnya, sambil menyuguhkan senyuman penuh arti."Aku mau kita pisah! Aku talak kamu! Kemasin barang-barang dan segera hengkang dari sini!""Mas, aku mohon, aku akan memperbaiki semuanya. Aku akan jadi istri seperti yang kamu harapkan. Kamu mau aku jadi Mbak Ratna. Oke aku akan lakukan, Mas. Asal kamu nggak talak aku, Mas.""Akhirnya Bram menalak si Jalang ini juga. Bagus!" ucap Wati dalam batinnya."Kekayaan dan hidup mewah sudah di depan mata," tambahnya kemudian."Ratna … tunggu mama ya. Kita harus serumah lagi.""Aku cinta sama kamu. Aku mau rumah tangga ki
Bram menghela napas berat. "Entahlah, Ma. Agak sulit. Ratna dingin padaku, tapi sama Arjuna dia bisa welcome dan humble," sahut Bram sembari mengubah posisi duduknya.Wati tampak agak terkejut. "Tadi aku ke rumah Ratna, Devina minta bawakan makanan kesukaannya. Aku bawakan ayam goreng. Mama tahu, Devina nggak suka. Emang selama di sini dia nggak pernah makan, Ma? Padahal dulu bukannya mama pernah telepon aku buat bawakan ayam goreng merk terkenal itu pulang?"Wati seketika salah tingkah. Bola matanya melirik sembarangan arah."Mati aku. Jangan sampai Bram tahu kalau dulu itu bukan untuk Devina. Tapi …." ucap Wati dalam hati."Ya buat anak kamu lah, Bram. Buat siapa lagi. Mungkin dia sengaja berbohong sama kamu, Bram.""Nggak mungkin Devina berbohong, Ma. Dia masih polos kalau untuk berbohong seperti itu," tangkas Bram tak percaya."Bisa aja, Bram. Bisa jadi Ratna yang ngajarin. Mungkin karena kecewa sama kamu.""Entahlah, Ma. Aku juga nggak tahu pasti. Parahnya, Devina malah lebih sen
Bram memacu kecepatan mobilnya menuju rumah Ratna. Dia tidak ingin telat walau sedetik."Pagi, Rat." Bram menyapa ketika baru saja keluar dari mobilnya. Berpapasan saat Ratna berdiri di balik pagar, menunggu taksi online yang akan menjemputnya."Papa.""Kamu masuk mobil ya! Biar papa anterin pagi ini ke sekolah," ucap Bram.Devina nurut lalu masuk ke dalam mobil."Nggak usah, Mas. Devina sama aku aja. Lagian taksinya udah jalan ke sini.""Yaudah kamu ikut aku aja, bareng-bareng kita antar Devinanya ke sekolah.""Nggak, biar aku aja antar sendiri. Lagian kamu tumben nganterin Devina. Seumur-umur dia sekolah, bisa dihitung pake jari kamu nganterinnya.Ratna tampak hendak membuka pintu bagian Devina duduk. Tapi, tangannya ditahan Bram."Rat, please. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Ini demi Devina. Aku sadar, aku salah, dan sangat bodoh."Ayuk, Pa. Kita berangkat, nanti Nana telat!" ucap Devina yang sekejap membuka kaca mobil."Ma, boleh ya. Sekali ini aja Nana diantar sama Papa
"Mbak Diana, makasih yah udah ngasih saya tumpangan.""Nggak masalah, Mbak. Lelaki kalau menyesal ya begitu, suka lupa diri dan nggak pandang bulu. Aku sempat mikir jangan sampai kalau balikan lagi.""Nggak kok. Oh iya, Mbak. Saya turun di sana aja, ya!" pinta Ratna seraya menunjuk posisi dimana dia ingin diturunkan."Lho, kok nggak sampai rumah aja, Mbak? Saya nggak papa kok, bisa nganterin."Padahal tadi Ratna memang ingin diantar sampai rumahnya. Namun, setelah dia pikir-pikir lagi, Ratna memilih untuk mengurungkannya."Saya ada urusan ke supermarket, Mbak. Baru ingat barusan ada yang kudu dibeli." Ratna beralasan."Oh oke. Di sini 'kan turunnya?" Bu Diana memastikan seraya menurunkan kecepatan kemudinya."Makasih banyak atas tumpangan dan pertolongannya, Mbak.""Sama-sama, Mbak."Mobil Diana melaju pelan meninggalkan Ratna yang langsung merogoh ponsel dari tas selempang yang dia pakai untuk memesan taksi online."Halo, ya, Mbak Diana. Ada apa?" tanya Ratna saat telepon tersambung.