Bram memacu kecepatan mobilnya menuju rumah Ratna. Dia tidak ingin telat walau sedetik."Pagi, Rat." Bram menyapa ketika baru saja keluar dari mobilnya. Berpapasan saat Ratna berdiri di balik pagar, menunggu taksi online yang akan menjemputnya."Papa.""Kamu masuk mobil ya! Biar papa anterin pagi ini ke sekolah," ucap Bram.Devina nurut lalu masuk ke dalam mobil."Nggak usah, Mas. Devina sama aku aja. Lagian taksinya udah jalan ke sini.""Yaudah kamu ikut aku aja, bareng-bareng kita antar Devinanya ke sekolah.""Nggak, biar aku aja antar sendiri. Lagian kamu tumben nganterin Devina. Seumur-umur dia sekolah, bisa dihitung pake jari kamu nganterinnya.Ratna tampak hendak membuka pintu bagian Devina duduk. Tapi, tangannya ditahan Bram."Rat, please. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Ini demi Devina. Aku sadar, aku salah, dan sangat bodoh."Ayuk, Pa. Kita berangkat, nanti Nana telat!" ucap Devina yang sekejap membuka kaca mobil."Ma, boleh ya. Sekali ini aja Nana diantar sama Papa
"Mbak Diana, makasih yah udah ngasih saya tumpangan.""Nggak masalah, Mbak. Lelaki kalau menyesal ya begitu, suka lupa diri dan nggak pandang bulu. Aku sempat mikir jangan sampai kalau balikan lagi.""Nggak kok. Oh iya, Mbak. Saya turun di sana aja, ya!" pinta Ratna seraya menunjuk posisi dimana dia ingin diturunkan."Lho, kok nggak sampai rumah aja, Mbak? Saya nggak papa kok, bisa nganterin."Padahal tadi Ratna memang ingin diantar sampai rumahnya. Namun, setelah dia pikir-pikir lagi, Ratna memilih untuk mengurungkannya."Saya ada urusan ke supermarket, Mbak. Baru ingat barusan ada yang kudu dibeli." Ratna beralasan."Oh oke. Di sini 'kan turunnya?" Bu Diana memastikan seraya menurunkan kecepatan kemudinya."Makasih banyak atas tumpangan dan pertolongannya, Mbak.""Sama-sama, Mbak."Mobil Diana melaju pelan meninggalkan Ratna yang langsung merogoh ponsel dari tas selempang yang dia pakai untuk memesan taksi online."Halo, ya, Mbak Diana. Ada apa?" tanya Ratna saat telepon tersambung.
Bram dan Joddy terdiam saat Arjuna berhenti di hadapan mereka yang tak merasa bersalah."Kenapa kalian masih di sini? Apa harus diliat klien dulu baru masuk?" tanya Arjuna dengan suara tegas."Maaf, Pak," sahut Joddy yang seketika langsung berdiri dan masuk ke ruangan meeting. Disusul Bram kemudian, setelah dia menatap Arjuna tanpa kedipan."Lihat saja apa yang akan kulakukan setelah ini." Bram berdiri seraya menatap tajam pada Arjuna."Masalah pribadi jangan kamu bawa-bawa ke kantor!" ucap Arjuna saat Bram lewat di depannya.Bram bungkam, tak ada respon dari mulut tak bermoralnya itu.***Meeting usai setelah dua jam berlalu. Bosan dan tak ada semangatnya begitu yang dirasakan Bram. Apalagi selama dua jam dia harus menatap lelaki yang dibencinya itu. Padahal, jika menoleh ke belakang, Arjuna adalah salah satu orang yang paling diajak sharing oleh Bram dalam membahas perkembangan perusahaan. Namun, semuanya berubah tiga ratus enam puluh derajat, semenjak waktu itu."Oh iya, Bram. Kenap
Setelah makan siang Bram mencoba menghubungi Ratna lewat panggilan telepon. "Apa ini sudah waktunya ya?" gumam Ratna menatap layar ponselnya saat nama Bram terpampang."Nanti saja, perjuangannya masih belum patut," tambahnya kemudian."Usahamu masih kurang, Mas!" tambah Ratna lagi.Keberuntungan belum berpihak pada Bram karena Ratna memilih untuk tidak mengangkat telepon yang masuk tersebut. Tidak menyerah begitu saja, Bram pun mengirim pesan pada mantan istrinya itu. [Rat, kok nggak kamu angkat teleponnya?][Aku cuma mau bilang, nggak bisa jemput Devina][Aku lupa kalau ada jadwal meeting. Jadi bentrok, nggak papa kan kamu jemput Devina sendirian?[Oh iya, nanti kalau udah kerjaan sudah selesai baru aku ke rumah ya.][Soalnya ada yang mau aku sampaikan ke kamu.]Ratna tidak langsung membuka pesan yang dikirim mantan suaminya itu. Namun, dia tahu apa saja isi chatnya."Baguslah, daripada dia bikin malu lagi di sekolah Devina," ucap Ratna sambil tersenyum lega.Ratna tiba-tiba kepiki
Malam hari di kediaman Ratna, tampak Bram dan Wati duduk di ruang tamu. Tak ada Devina di sana karena Ratna meminta anak semata wayangnya itu untuk masuk ke kamar setelah Wati meminta izin ingin ngomong serius dengan Ratna.***Pesan Bram yang tak kunjung dibaca Ratna hingga sore hari. Memutuskan dirinya untuk meminta pertolongan pada Wati. Bram beranggapan, semua akan sama seperti kunjungan sebelumnya jika dia datang ke rumah Ratna sendirian. Apalagi jika ada orang dia benci itu, ikut berkunjung juga."Ma, abis Magrib aku jemput ya! Mama udah siap nanti."Wati tersentak kaget saat baru saja menerima panggilan masuk dari Bram."Siap-siap kemana, Bram? Kamu tuh ya, bikin mama jantungan.""Aku mau ajak mama ke rumahnya Ratna. Aku yakin kalau lewat mama pasti semua akan berjalan sesuai rencana kita.""Oh, gitu. Lain kali kasih kode dulu kek dari siang atau apa gitu, Bram. Jadi mama bisa mikir skenarionya biar makin matang. Nih kamu malah ngajakin mendadak.""Ya gimana lagi, Ma. Namanya ju
Ratna mengangguk seolah paham. Ada gurat senyum tak lepas dia suguhkan."Tapi bukannya mama pernah bilang aku nggak pernah becus ngurusin rumah?" Nada bicara Ratna penuh penekanan di setiap kata yang terucap.Wati yang tadinya begitu lega, bahkan di dalam hatinya sudah begitu yakin kalau Ratna bakalan nurut, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Dia bagaikan ketimpuk bola yang pernah dia lempar sendiri. Salah tingkah dan wajahnya pucat pasi."Wa-waktu itu, Ma-mama ….""Mama memang pernah salah juga sama kamu, Rat. Mungkin namanya orang tua ya. Tapi aku yakin, mama nggak akan begitu lagi," potong Bram saat melihat mamanya kehilangan kata-kata. "Ya 'kan, Ma?" tambah Bram, tambah lelaki itu mengedipkan kedua matanya saat Wati menatap Bram."I-iya, Rat. Mama khilaf. Maafin mama ya?" pinta Wati dengan memasang wajah penuh belas kasihan."Gimana, Rat? Kami sudah menjelaskan panjang lebar dan juga sudah meminta maaf sama kamu, apa kamu belum percaya juga kalau aku serius sama kamu? Kasih
"Sudahlah, Bram. Kamu jangan kayak anak kecil."Arjuna mengibas angin tepat di depan wajah Bram."Kamu bikin malu aku aja, Mas!" ketus Ratna yang ikut menyusul langkah Arjuna dari belakang. Tampak juga dia menggandeng tangan putri tercintanya."Da … da …, Papa!" seru Devina sembari melambaikan tangan mungilnya saat lewat di depan Bram.Tak ada balasan atas lambaian tangan anaknya itu. Malah, Bram menatap tajam penuh emosi melihat Arjuna menang kali ini."Saya nggak akan kasih kelonggaran lagi. Lihat saja lepas ini!" ucap Bram geram sembari mengepal kedua tangannya.***Arjuna mengajak Ratna dan Devina makan di sebuah restoran Jepang atas permintaan Devina, meski satu sisi Ratna merasa malu ulah tingkah anaknya."Bram masih maksa kamu, Rat?""Kurang lebih begitu lah, Mas. Biarkan saja sampai mana dia tahan," sahut Ratna santai sembari menyantap hidangan."Kamunya makin cantik, aku rasa Bram nggak mungkin gampang mundurnya.""Sebenarnya aku udah cantik dulu, Mas. Cuma ketiban sial aja hi
Bram mengendarai mobil dengan kecepatan tidak stabil membuat Laura takut setengah mati. Dia tampak memegang kuat-kuat tali safety bell yang terpaksa."Maaaaassss … sttoooppp ….." Sekuat tenaga Laura berteriak. Semakin gila pula Bram mengemudikan mobil sedannya. Jalanan yang lumayan ramai semakin memacu adrenalin duda anak satu ini. Mata Laura tak berhenti berkedip, hembusan napasnya terjeda-jeda beberapa detik."Stop, Mas!""Aku belum mau mati!""Mas Bram!"Teriak Laura sekuat tenaga."Kamu masih mau bermain-main denganku, Laura!" ancam Bram dengan suara yang menggelegar. "Kamu pikir aku takut dengan ancaman murahanmu itu. Ingat, dirimu saja murahan. Apalagi ancamanmu itu, sedikitpun nggak akan membuatku takut."Bram mengambil kesempatan untuk mematikan mental Laura. Menyerah, itu yang diharapkan Bram, karena bagi Bram, Laura bukanlah pesaing, malahan hanya butiran debu. Namun, tidak dengan Arjuna, sosok saingan terberat dalam hidupnya saat ini."Mas … o-oke … oke … aku ny-nyerah … sto
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.