Setelah makan siang Bram mencoba menghubungi Ratna lewat panggilan telepon. "Apa ini sudah waktunya ya?" gumam Ratna menatap layar ponselnya saat nama Bram terpampang."Nanti saja, perjuangannya masih belum patut," tambahnya kemudian."Usahamu masih kurang, Mas!" tambah Ratna lagi.Keberuntungan belum berpihak pada Bram karena Ratna memilih untuk tidak mengangkat telepon yang masuk tersebut. Tidak menyerah begitu saja, Bram pun mengirim pesan pada mantan istrinya itu. [Rat, kok nggak kamu angkat teleponnya?][Aku cuma mau bilang, nggak bisa jemput Devina][Aku lupa kalau ada jadwal meeting. Jadi bentrok, nggak papa kan kamu jemput Devina sendirian?[Oh iya, nanti kalau udah kerjaan sudah selesai baru aku ke rumah ya.][Soalnya ada yang mau aku sampaikan ke kamu.]Ratna tidak langsung membuka pesan yang dikirim mantan suaminya itu. Namun, dia tahu apa saja isi chatnya."Baguslah, daripada dia bikin malu lagi di sekolah Devina," ucap Ratna sambil tersenyum lega.Ratna tiba-tiba kepiki
Malam hari di kediaman Ratna, tampak Bram dan Wati duduk di ruang tamu. Tak ada Devina di sana karena Ratna meminta anak semata wayangnya itu untuk masuk ke kamar setelah Wati meminta izin ingin ngomong serius dengan Ratna.***Pesan Bram yang tak kunjung dibaca Ratna hingga sore hari. Memutuskan dirinya untuk meminta pertolongan pada Wati. Bram beranggapan, semua akan sama seperti kunjungan sebelumnya jika dia datang ke rumah Ratna sendirian. Apalagi jika ada orang dia benci itu, ikut berkunjung juga."Ma, abis Magrib aku jemput ya! Mama udah siap nanti."Wati tersentak kaget saat baru saja menerima panggilan masuk dari Bram."Siap-siap kemana, Bram? Kamu tuh ya, bikin mama jantungan.""Aku mau ajak mama ke rumahnya Ratna. Aku yakin kalau lewat mama pasti semua akan berjalan sesuai rencana kita.""Oh, gitu. Lain kali kasih kode dulu kek dari siang atau apa gitu, Bram. Jadi mama bisa mikir skenarionya biar makin matang. Nih kamu malah ngajakin mendadak.""Ya gimana lagi, Ma. Namanya ju
Ratna mengangguk seolah paham. Ada gurat senyum tak lepas dia suguhkan."Tapi bukannya mama pernah bilang aku nggak pernah becus ngurusin rumah?" Nada bicara Ratna penuh penekanan di setiap kata yang terucap.Wati yang tadinya begitu lega, bahkan di dalam hatinya sudah begitu yakin kalau Ratna bakalan nurut, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Dia bagaikan ketimpuk bola yang pernah dia lempar sendiri. Salah tingkah dan wajahnya pucat pasi."Wa-waktu itu, Ma-mama ….""Mama memang pernah salah juga sama kamu, Rat. Mungkin namanya orang tua ya. Tapi aku yakin, mama nggak akan begitu lagi," potong Bram saat melihat mamanya kehilangan kata-kata. "Ya 'kan, Ma?" tambah Bram, tambah lelaki itu mengedipkan kedua matanya saat Wati menatap Bram."I-iya, Rat. Mama khilaf. Maafin mama ya?" pinta Wati dengan memasang wajah penuh belas kasihan."Gimana, Rat? Kami sudah menjelaskan panjang lebar dan juga sudah meminta maaf sama kamu, apa kamu belum percaya juga kalau aku serius sama kamu? Kasih
"Sudahlah, Bram. Kamu jangan kayak anak kecil."Arjuna mengibas angin tepat di depan wajah Bram."Kamu bikin malu aku aja, Mas!" ketus Ratna yang ikut menyusul langkah Arjuna dari belakang. Tampak juga dia menggandeng tangan putri tercintanya."Da … da …, Papa!" seru Devina sembari melambaikan tangan mungilnya saat lewat di depan Bram.Tak ada balasan atas lambaian tangan anaknya itu. Malah, Bram menatap tajam penuh emosi melihat Arjuna menang kali ini."Saya nggak akan kasih kelonggaran lagi. Lihat saja lepas ini!" ucap Bram geram sembari mengepal kedua tangannya.***Arjuna mengajak Ratna dan Devina makan di sebuah restoran Jepang atas permintaan Devina, meski satu sisi Ratna merasa malu ulah tingkah anaknya."Bram masih maksa kamu, Rat?""Kurang lebih begitu lah, Mas. Biarkan saja sampai mana dia tahan," sahut Ratna santai sembari menyantap hidangan."Kamunya makin cantik, aku rasa Bram nggak mungkin gampang mundurnya.""Sebenarnya aku udah cantik dulu, Mas. Cuma ketiban sial aja hi
Bram mengendarai mobil dengan kecepatan tidak stabil membuat Laura takut setengah mati. Dia tampak memegang kuat-kuat tali safety bell yang terpaksa."Maaaaassss … sttoooppp ….." Sekuat tenaga Laura berteriak. Semakin gila pula Bram mengemudikan mobil sedannya. Jalanan yang lumayan ramai semakin memacu adrenalin duda anak satu ini. Mata Laura tak berhenti berkedip, hembusan napasnya terjeda-jeda beberapa detik."Stop, Mas!""Aku belum mau mati!""Mas Bram!"Teriak Laura sekuat tenaga."Kamu masih mau bermain-main denganku, Laura!" ancam Bram dengan suara yang menggelegar. "Kamu pikir aku takut dengan ancaman murahanmu itu. Ingat, dirimu saja murahan. Apalagi ancamanmu itu, sedikitpun nggak akan membuatku takut."Bram mengambil kesempatan untuk mematikan mental Laura. Menyerah, itu yang diharapkan Bram, karena bagi Bram, Laura bukanlah pesaing, malahan hanya butiran debu. Namun, tidak dengan Arjuna, sosok saingan terberat dalam hidupnya saat ini."Mas … o-oke … oke … aku ny-nyerah … sto
Ratna dengan cepat memacu langkahnya menuju kerumunan warga."Mbak Hani, ada apa?" tanya Ratna pada seorang perempuan berjilbab."Eh, Mbak, Rat. Nggak, itu ada maling tadi!""Hah? Maling? Ketangkep?"Arjuna yang berdiri di belakang Ratna hanya diam sambil menyimak."Iya, Mbak. Belum sempat ngambil sih."Kurang lebih setengah jam berbaur dengan kerumunan warga. Tak lama kemudian, kerumunan itu pun bubar, Ratna juga pamit pada Hani. Namun, saat berbalik badan …"Mbak Ratna, tunggu!" cegatnya."Ya, Mbak. Ada apa?" Ratna menghentikan langkahnya, dan berbalik arah.Sebuah lirikan Hani pada Arjuna membuat Ratna paham."Hmm … Mas, kamu ke mobil aja dulu ya. Temenin Devina!" pinta Ratna.Arjuna hanya membalas dengan anggukan meski dalam hatinya penuh segudang tanda tanya.Hani pun menarik Ratna menjauh agak ke tempat yang sepi. Sikap Hani yang agak aneh, membuat jantung Ratna berdegup tak beraturan."Ada apa, Mbak?" tanya Ratna penasaran."Maaf, ya, Mbak Ratna saya cuma mau sampein pesan bebe
Ratna tak banyak bicara setelah kejadian itu."Berat banget masalahnya ya, Rat? Sampai-sampai salah seorang dari tetanggamu tadi terkesan kasar begitu."Arjuna membuka percakapan saat Ratna menyuruh Devina masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Keduanya masih berdiri di teras rumah. Kejanggalan yang terasa, membuat Arjuna memancing percakapan agar Ratna mau menceritakan tentang apa yang terjadi selepas Arjuna balik ke mobil tadi."Mas, sebaiknya kamu langsung pulang saja. Aku mau istirahat soalnya."Merasa terpatahkan tanpa ada penjelasan terlebih dahulu, Arjuna lebih memilih untuk pamit."Oh, oke. No problem. Hati-hati di rumah, periksa dulu semuanya sebelum tidur," petuah Arjuna sebelum wajahnya berganti dengan punggung yang perlahan menghilang dalam pandangan Ratna.Juga tak seperti biasanya, yang selalu mengantar Arjuna hingga berdiri tak jauh dari mobil Arjuna terparkir, kali ini Ratna hanya menatap kepergian Arjuna di ambang pintu utama."Maaf, Mas. Tidak bermaksud mengusi
Hani tampak menatap lekat Ratna, yang berusaha tenang. Memang ini bukanlah hal yang mudah, bukan masalah melarang kedua lelaki itu datang ke rumah. Hanya saja, dia tidak enak dan segan jika para warga sudah berdiskusi sebelumnya tentang dirinya."Bisa dong pasti, Mbak Ratna. Kalau janda itu kan lebih tau porsi attitudenya gimana. Jangan sampai, kamu yang bikin dosa, kita para tetangga yang ketiban sial," tambah Mona. Ratna yang ingin menjawab pertanyaan Hani, urung seketika saat Mona lebih dulu berujar. Entah apa yang membuat perempuan satu ini berkata kasar pada Ratna."Mbak Mona, saya rasa mbak terlalu berlebihan ngomongnya. Mbak Ratna juga nggak ngelakuin hal aneh 'kan. Jangan membuat yang bersangkutan merasa tidak nyaman dengan lingkungan komplek ini. Dan, jangan sampai pula membuat masalah yang baru." Sorot mata tajam Hani menampakkan kalau dia juga tak suka dengan yang terucap dari mulut Mona."Jelas bisa, Mbak Hani. Maaf juga jika sudah meresahkan para warga.""Ya … kita sebagai