Laura menoleh ke sumber suara. Seorang wanita paruh baya sudah berdiri di dekat sofa panjang. Siapa lagi kalau bukan mertuanya."Apa maksud mama?"Wati mencebik. "Masa kamu belum juga ngerti maksud saya gimana?""Ya, memang aku nggak ngerti. Coba mama jelasin!" Laura kelihatan heran dan bingung."Entahlah, Lau. Mama rasa kamu sudah cukup pintar dan paham. Kalau kamu tidak mau kehilangan Bram, rubah sikapmu sebelum semuanya terlambat!" ucap Wati kemudian berlalu dari pandangan Laura.Mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut mertuanya itu, semakin membuat Laura membenci."Sepertinya ada yang janggal. Lihat saja, jika aku berhasil membuktikan feelingku. Kau si tua bangka, akan terima pembalasan dariku!" geram Laura dalam hatinya. Dia memilih bertolak ke kamar daripada terus melihat wajah mertuanya yang sama sekali tidak enak dipandang."Sebentar, apa jangan-jangan …." Laura tak henti menduga-duga dalam hatinya.[Mbak, kapan selesainya urusan perceraian kalian di pengadilan? Bisa dip
"Itu mulut atau tong sampah? Busuk!" sentak Bram geram."Lalu menurut kamu, sebutan apa yang pantas buat perempuan yang dengan gampangnya menyerahkan dirinya? Bahkan, kamu rela merogoh uang demi membayar pelayanan mereka. Giliran aku aja belanja, kamu kemana kemarin? Kencan 'kan? Tapi sama aku bilangnya meeting.""Iya, puas kamu! Buat apa nemenin istri macam kamu. Nggak tahu diri tepatnya. Sekarang aku tanya, apa bedanya kamu dengan mereka? Aku juga nyomot kamu dari lingkungan kotor. Mau protes? Hah?"Laura terdiam, dia kehilangan kata-kata dalam membela diri."Aku makin ke sini, aku makin sadar, kalau kamu rupaya tak lebih baik dari Ratna. Aku menyesal telah membuat Ratna pergi, dan membawa kamu ke rumah ini!" "Kamu menghancurkan masa depanku."Deg!!!"Ratna lagi. Si Janda itu lagi. Kenapa dia harus membandingkan aku dengan perempuan yang sangat aku benci selain ibunya itu!" umpat Laura dalam hati.Jantung Laura semakin berdegup tak beraturan, dibandingkan dengan perempuan yang dulun
Ratna sempat terdiam sebentar. Dia bingung mau menjawab apa. Jika diberi tahu kalau Bram mau ke rumah atau tidaknya, tentu punya konsekuensi masing-masing."Boleh tidak, Ma?" rengek Devina sembari memegang tangan kanan mamanya."Na, kata papa dia nanti emang mau ke sini. Jadi … kita tunggu aja, ya. Nggak usah ditelpon," ucap Ratna memilih untuk jujur."Mama serius?" Mata Devina tampak berbinar menatap perempuan yang melahirkannya itu."Iya, tadi papa ngirim pesan sama Mama. Katanya begitu mau ke sini lepas Magrib."Hmm …,"Melihat Devina melirik ke atas, Ratna pun seolah peka akan tingkah anaknya. "Kenapa, Na?""Tapi ... Nana tetap boleh pinjam hape mama tidak?""Buat apa? Kan papa katanya mau ke sini. Kenapa ditelpon lagi?" "Nana mau nitip makanan, Ma. Mumpung papa ke sini."Tanpa mempertanyakan lebih lanjut, Ratna pun mengambil ponsel ke kamarnya dan menyerahkan pada Devina.Jantung Bram berdebar hebat dengan senyum terkembang merekah di bibirnya. Dia terlihat bahagia saat tulisan J
"Ratna!" Bram tersentak. Wajahnya yang tadi tegas berubah seketika. Tangannya pun sigap mengelus kepala Devina."Setahu aku, Devina suka ayam goreng, Rat.""Memangnya kamu pernah liat ayam goreng kayak gini di meja makan, Mas? Atau se-ingat kamu pernah bawain Devina ini?" tanya Ratna dengan penuh penekanan dan tatapan tajam.Bram semakin salah tingkah. Seakan tak berkutik dibuat oleh Ratna."Maafkan aku ya, Rat. Bukan bermaksud lupa. Tapi kamu tahu 'kan selama kita bersama aku sibuk nyari uang buat kamu dan Devina," kilah Bram tak mau tersudutkan."Nggak usah di lanjutin pembahasannya, Mas!""Devina lagi ada tugas sekolah buat besok. Jadi … kamu bantuin aja. Anggap aja itu sebagai ganti karena kamu udah salah bawa makanan kesukaannya, Devina.""Oke, nggak masalah.""Yuk, Pa. Masuk!" titah Devina dengan menarik tangan Bram.Lagi-lagi, ada yang janggal. Disaat Devina berusaha menggenggam erat tangan papanya saat itu juga Bram berusaha mencari celah bagaimana genggaman tangan anaknya ter
Bram seperti menyisir pandangan, lalu tak lama kemudian beralih pandangan pada Arjuna yang mengambil posisi duduk seperti malam kemarin. Menatap tak suka. "Pak, Anda jangan berbangga diri dulu. Meskipun di kantor Anda atasan saya, bukan berarti Anda bisa menggantikan saya di hati Devina dan Ratna." Bram menatap tajam pada Arjuna yang bersikap biasa-biasa saja. Tak ada gurat tegang ataupun emosi yang terlihat."Hati Ratna dan Devina bukan urusan kamu ataupun saya. Itu hak mereka. Dan, saya juga tidak perlu bertanya panjang lebar. Kenapa bisa Ratna mengambil keputusan untuk pergi dari Anda, Bram.""Pak, itu bukan urusan Anda.""Ya, memang bukan urusan saya. Dan, saya di sini juga bukan urusan Anda!""Jelas ini menjadi urusan saya. Devina anak saya dan Ratna ….""Ingat dia hanya mantan Anda. Bukan siapa-siapa.""Dia bukan hanya sekedar mantan tapi …."Perdebatan antara dewasa lelaki itu hening seketika saat melihat Ratna datang dengan membawa nampan berukuran sedang. Berisikan makanan y
Bram tampak memarkir kendaraan roda empat asal-asalan. Mendengar deru mobil Bram memasuki pekarangan, Laura langsung bergegas membukakan pintu utama.Selayaknya istri menyambut kepulangan suaminya pulang bekerja.Namun, naasnya, Bram malah mendorong tubuh mungil Laura hampir saja terjatuh kehilangan keseimbangan."Mas, kamu kenapa? Masih marah? Kenapa kasar gini?"Wati yang di kamar pun ikut keluar, tapi hanya berdiri di depan kamarnya, sambil menyuguhkan senyuman penuh arti."Aku mau kita pisah! Aku talak kamu! Kemasin barang-barang dan segera hengkang dari sini!""Mas, aku mohon, aku akan memperbaiki semuanya. Aku akan jadi istri seperti yang kamu harapkan. Kamu mau aku jadi Mbak Ratna. Oke aku akan lakukan, Mas. Asal kamu nggak talak aku, Mas.""Akhirnya Bram menalak si Jalang ini juga. Bagus!" ucap Wati dalam batinnya."Kekayaan dan hidup mewah sudah di depan mata," tambahnya kemudian."Ratna … tunggu mama ya. Kita harus serumah lagi.""Aku cinta sama kamu. Aku mau rumah tangga ki
Bram menghela napas berat. "Entahlah, Ma. Agak sulit. Ratna dingin padaku, tapi sama Arjuna dia bisa welcome dan humble," sahut Bram sembari mengubah posisi duduknya.Wati tampak agak terkejut. "Tadi aku ke rumah Ratna, Devina minta bawakan makanan kesukaannya. Aku bawakan ayam goreng. Mama tahu, Devina nggak suka. Emang selama di sini dia nggak pernah makan, Ma? Padahal dulu bukannya mama pernah telepon aku buat bawakan ayam goreng merk terkenal itu pulang?"Wati seketika salah tingkah. Bola matanya melirik sembarangan arah."Mati aku. Jangan sampai Bram tahu kalau dulu itu bukan untuk Devina. Tapi …." ucap Wati dalam hati."Ya buat anak kamu lah, Bram. Buat siapa lagi. Mungkin dia sengaja berbohong sama kamu, Bram.""Nggak mungkin Devina berbohong, Ma. Dia masih polos kalau untuk berbohong seperti itu," tangkas Bram tak percaya."Bisa aja, Bram. Bisa jadi Ratna yang ngajarin. Mungkin karena kecewa sama kamu.""Entahlah, Ma. Aku juga nggak tahu pasti. Parahnya, Devina malah lebih sen
Bram memacu kecepatan mobilnya menuju rumah Ratna. Dia tidak ingin telat walau sedetik."Pagi, Rat." Bram menyapa ketika baru saja keluar dari mobilnya. Berpapasan saat Ratna berdiri di balik pagar, menunggu taksi online yang akan menjemputnya."Papa.""Kamu masuk mobil ya! Biar papa anterin pagi ini ke sekolah," ucap Bram.Devina nurut lalu masuk ke dalam mobil."Nggak usah, Mas. Devina sama aku aja. Lagian taksinya udah jalan ke sini.""Yaudah kamu ikut aku aja, bareng-bareng kita antar Devinanya ke sekolah.""Nggak, biar aku aja antar sendiri. Lagian kamu tumben nganterin Devina. Seumur-umur dia sekolah, bisa dihitung pake jari kamu nganterinnya.Ratna tampak hendak membuka pintu bagian Devina duduk. Tapi, tangannya ditahan Bram."Rat, please. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Ini demi Devina. Aku sadar, aku salah, dan sangat bodoh."Ayuk, Pa. Kita berangkat, nanti Nana telat!" ucap Devina yang sekejap membuka kaca mobil."Ma, boleh ya. Sekali ini aja Nana diantar sama Papa
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.