Aish ... sakit bukan main nggak sih itu. Bram ... Bram ... skenariomu kurang pinter 🤣
Bram kembali meletakkan ponselnya, urung menggubris panggilan video call istri sirinya itu."Kok tidak diangkat video callnya, Pa? Biar Tante Laura tahu kalau papa lagi sama Nana." Celetukan Devina membuat Bram terbatuk."Nanti aja Papa video callnya. Papa lagi nggak mau diganggu siapa-siapa." Bram beralasan supaya Devina merasa bahagia. Namun, yang terjadi ucapan Devina malah menyerang batin Bram"Ooo … jadi Tante Laura itu pengganggu ya, Pa? Tapi kenapa papa lebih memilih Tante Laura ketimbang mama?"Wajah Bram memerah bagai udang rebus. "Sudah, Devina. Kita nggak usah bahas Tante Laura ya! Kamu lanjutin aja makannya!" pinta Bram mengalihkan topik.Devina tak lagi protes, dia lanjut menikmati hidangan."Papa boleh tanya sesuatu nggak sama Devina?" Bram kembali bersuara setelah beberapa menit hening tanpa suara."Papa mau tanya soal apa?""Devina kok manggil Bapak Arjuna dengan sebutan Oom Ganteng sih? Kenapa nggak manggilnya Om Arjuna aja?" tanya Bram penasaran."Kan Oomnya emang gan
Ratna menjauhkan ponselnya untuk melihat jam di layar ponselnya yang sudah menunjukkan pukul delapan malam."Boleh, Mas. Tapi aku nggak bisa lama-lama.""Setengah jam aja paling. Aku tunggu di dekat lift!"Sambungan telepon berakhir atas persetujuan kedua belah pihak.Selang beberapa menit keduanya hampir bersamaan keluar dari kamar masing-masing yang kebetulan bersebelahan."Gimana Devina? Jam berapa tadi tidurnya, Rat?" tanya Bram membuka pembicaraan setelah keduanya memesan minuman."Aman aja. Lepas Magrib dia udah tidur kok, Mas!""Oh, sudah sejak tadi aku pikir baru tidur.""Devina kalau kecapekan emang begitu. Cepat tidurnya."Seorang pelayan perempuan datang dengan sebuah nampan di tangannya, secangkir kopi hitam dan lemon tea hangat. Kemudian, dia menaruh di atas meja."Terus, Bram gimana? Dia ada hubungi kamu?" tanya Arjuna penasaran."Aku nggak ngecek sih. Kenapa emang, Mas?""Nggak cuma nanya aja."Keduanya tampak canggung seperti orang kehilangan bahan pembicaraan."Diminum
Bram menatap Laura dengan tatapan kurang suka. Dia memang sengaja berkutat di depan laptop guna menghindari perbincangan lebih dalam dengan Laura. Badannya yang di rumah tapi pikirannya menerawang ke Ratna yang masih berada di Bandung.Bram seolah membayangkan Ratna bermesraan dengan Arjuna seperti yang pernah dia lakukan sewaktu memperkenalkan Laura pada mantan istrinya itu."Kok kamu gitu natap aku, Mas? Kayaknya kemarin itu cuma pura-pura ya! Jangan-jangan kamu lagi ngerencanain sesuatu?" tuduh Laura tanpa tembakan meleset. Laura tak suka berbasa-basi kala moodnya sudah berantakan. "Lau, please. Jangan mancing-mancing masalah. Bisa nggak sedikit aja kamu ngertiin aku. Posisi aku di perusahaan itu Manajer, pasti sibuk. Nggak bakalan kenal sama waktu senggang. Kok kamu makin ke sini makin riweh.""Mas, sibuk kamu yang mana nggak aku ngertiin. Lagian aku cuma minta waktu buat ngobrol aja. Emang nggak bisa? Dulu aja, kamu bela-belain telat pulang ke rumah demi bisa ngobrol sama aku. Se
Darah Wati seolah berhenti mengalir. Bagai disambar petir tanpa aba-aba."Tidak, jangan sampai itu semua terjadi. Kenapa sekarang dia jadi bahas-bahas hamil? Bram gimana sih!" umpat Wati dalam hati."Iya, Ma. Kenapa emangnya? Kok kaget begitu?" Laura seolah peka dengan tingkah yang terlihat.Wati hanya berusaha mengulas senyum, "Mama pikir kamu sama Bram mau nunda dulu, apalagi Bram juga baru pisah sama Ratna. Berkasnya di pengadilan 'kan juga belum beres.""Ya nggak masalah kali, Ma. Aku hamilnya juga sembilan bulan, nggak mungkin juga dong selama itu beresin berkas di pengadilan.""Terus status anak kamu gimana nanti? Kalian 'kan nikahnya secara siri?""Ya nikah lagi dong, Ma. Abis semua urusan persuratannya beres di pengadilan. Nanti baru ajuin buat nikahan aku secara negara," sahut Laura enteng. Wati ngerasa dadanya semakin sesak hampir tak ada rongga untuk dia menghela napas."Apa nggak ditunda lagi aja dulu program hamilnya, Lau?" Wati tak bisa menahan diri, rasa ketakutan terla
Jantung kedua orang dewasa ini berdetak tak karuan. Lebih cepat dari biasanya. Napas yang memburu bisa dirasakan keduanya."Cie … Mama sama Oom Ganteng romantis banget," celetukan Devina membuat keduanya kaget. Buru-buru Arjuna membantu Ratna untuk berdiri seperti sedia kala.Wajahnya tampak merah bagai kepiting rebus, malu."Maaf, Rat. Aku tidak bermaksud," ucap Arjuna setelah membantu Ratna untuk berdiri. Terlihat dari wajahnya, Arjuna begitu merasa bersalah, isengnya berakhir dengan kejadian tak seharusnya terjadi. Namun, sisi lain dia bahagia."Ya, Mas. Nggak papa, aku tahu kamu nggak sengaja," sahut Ratna berusaha bersikap biasa saja. Ratna tampak menjaga sikap supaya tidak terlihat jelas di depan Arjuna."Cie … cie …" Devina makin menjadi menjahili kedua orang ini. "Mukanya mama sama Oom ganteng, sama-sama merah.""Kita lanjut jalan aja, yuk!" ajak Ratna kikuk. Mengalihkan topik juga menghilangkan grogi yang masih tersisa."Oke!" sahut Arjuna tak banyak bicara. Arjuna mempersilak
"Berapa, Mbak?" tanyanya pada pelayan toko."Lima ratus, Pak."Bram mencebik karena kaget. "Haa? Apa? Segini doang, cuma lima tangkai, harganya lima ratus ribu. Diskon dong, Mbak?" tawar lelaki itu, wajahnya mengisyaratkan suatu hal mustahil harga yang disebutkan sang pelayan toko. "Satu tangkai seratus ribu?" tanyanya heran, tapi nada bicaranya seolah menyudutkan sang pelayan toko.Ada rasa tak percaya akan harga yang disebutkan. Padahal, bunga mawar putih itu tampak terlihat cantik dalam pot berbahan keramik, tak heran jika harganya juga fantastis.Pelayan toko pun seketika berubah gurat wajahnya. Mulai menatap sinis pada Bram."Diliat dari mobilnya kayak orang kaya, tapi pelit rupanya," umpat pelayan toko dalam hati. "Udah sombong mana pelit lagi.""Itu udah paling murah, Pak. Di sini kami jual kualitas, makanya harganya juga lumayan.""Jangan bicara soal kualitas dengan saya. Soalnya saya juga kerja bagian penjualan. Bisa kok jual kualitas bagus tapi harga miring," ujarnya tanpa me
Bram memacu mobilnya menuju toko bunga lainnya. Dia tak ingin datang ke rumah Ratna tanpa membawa apa-apa. Jika di toko sebelumnya di membuat onar, tapi tidak di toko sekarang. Tanpa protes dia membayar bunga yang dipilihnya. Bahkan, kali ini lebih mahal dari itu yang tadi. "Bagaimanapun aku akan mencari cara untuk merebut hatimu lagi, Rat! Untungku lebih besar jika kamu kembali ke pelukan daripada modal yang ku keluarkan sekaeang ini.Sesampainya, di depan rumah Ratna, mata Bram terfokus melihat mobil atasannya masih terparkir di halaman. Darahnya berdesir hebat, bahkan kedua tangannya tampak bergetar menahan emosi. Tatapan tajam ke arah mobil menjadi pelengkap, bahwa Bram sakit hati."Sial. Kenapa harus ada dia segala?" Bram menghela napas kasar. Musuhnya masih duduk manis di dalam rumah."Tidak … tidak … aku nggak boleh menampakkan amarah ini di depan Ratna. Bisa-bisa yang ada malah sebaliknya, jauh dari harapanku."Kurang lebih sepuluh menit mengendalikan emosi supaya reda. Akhirn
Laura menoleh ke sumber suara. Seorang wanita paruh baya sudah berdiri di dekat sofa panjang. Siapa lagi kalau bukan mertuanya."Apa maksud mama?"Wati mencebik. "Masa kamu belum juga ngerti maksud saya gimana?""Ya, memang aku nggak ngerti. Coba mama jelasin!" Laura kelihatan heran dan bingung."Entahlah, Lau. Mama rasa kamu sudah cukup pintar dan paham. Kalau kamu tidak mau kehilangan Bram, rubah sikapmu sebelum semuanya terlambat!" ucap Wati kemudian berlalu dari pandangan Laura.Mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut mertuanya itu, semakin membuat Laura membenci."Sepertinya ada yang janggal. Lihat saja, jika aku berhasil membuktikan feelingku. Kau si tua bangka, akan terima pembalasan dariku!" geram Laura dalam hatinya. Dia memilih bertolak ke kamar daripada terus melihat wajah mertuanya yang sama sekali tidak enak dipandang."Sebentar, apa jangan-jangan …." Laura tak henti menduga-duga dalam hatinya.[Mbak, kapan selesainya urusan perceraian kalian di pengadilan? Bisa dip