Apakah rencana Bram dan Wati akan berjalan sesuai rencana? Atau berantakan di luar ekspektasi?
Darah Wati seolah berhenti mengalir. Bagai disambar petir tanpa aba-aba."Tidak, jangan sampai itu semua terjadi. Kenapa sekarang dia jadi bahas-bahas hamil? Bram gimana sih!" umpat Wati dalam hati."Iya, Ma. Kenapa emangnya? Kok kaget begitu?" Laura seolah peka dengan tingkah yang terlihat.Wati hanya berusaha mengulas senyum, "Mama pikir kamu sama Bram mau nunda dulu, apalagi Bram juga baru pisah sama Ratna. Berkasnya di pengadilan 'kan juga belum beres.""Ya nggak masalah kali, Ma. Aku hamilnya juga sembilan bulan, nggak mungkin juga dong selama itu beresin berkas di pengadilan.""Terus status anak kamu gimana nanti? Kalian 'kan nikahnya secara siri?""Ya nikah lagi dong, Ma. Abis semua urusan persuratannya beres di pengadilan. Nanti baru ajuin buat nikahan aku secara negara," sahut Laura enteng. Wati ngerasa dadanya semakin sesak hampir tak ada rongga untuk dia menghela napas."Apa nggak ditunda lagi aja dulu program hamilnya, Lau?" Wati tak bisa menahan diri, rasa ketakutan terla
Jantung kedua orang dewasa ini berdetak tak karuan. Lebih cepat dari biasanya. Napas yang memburu bisa dirasakan keduanya."Cie … Mama sama Oom Ganteng romantis banget," celetukan Devina membuat keduanya kaget. Buru-buru Arjuna membantu Ratna untuk berdiri seperti sedia kala.Wajahnya tampak merah bagai kepiting rebus, malu."Maaf, Rat. Aku tidak bermaksud," ucap Arjuna setelah membantu Ratna untuk berdiri. Terlihat dari wajahnya, Arjuna begitu merasa bersalah, isengnya berakhir dengan kejadian tak seharusnya terjadi. Namun, sisi lain dia bahagia."Ya, Mas. Nggak papa, aku tahu kamu nggak sengaja," sahut Ratna berusaha bersikap biasa saja. Ratna tampak menjaga sikap supaya tidak terlihat jelas di depan Arjuna."Cie … cie …" Devina makin menjadi menjahili kedua orang ini. "Mukanya mama sama Oom ganteng, sama-sama merah.""Kita lanjut jalan aja, yuk!" ajak Ratna kikuk. Mengalihkan topik juga menghilangkan grogi yang masih tersisa."Oke!" sahut Arjuna tak banyak bicara. Arjuna mempersilak
"Berapa, Mbak?" tanyanya pada pelayan toko."Lima ratus, Pak."Bram mencebik karena kaget. "Haa? Apa? Segini doang, cuma lima tangkai, harganya lima ratus ribu. Diskon dong, Mbak?" tawar lelaki itu, wajahnya mengisyaratkan suatu hal mustahil harga yang disebutkan sang pelayan toko. "Satu tangkai seratus ribu?" tanyanya heran, tapi nada bicaranya seolah menyudutkan sang pelayan toko.Ada rasa tak percaya akan harga yang disebutkan. Padahal, bunga mawar putih itu tampak terlihat cantik dalam pot berbahan keramik, tak heran jika harganya juga fantastis.Pelayan toko pun seketika berubah gurat wajahnya. Mulai menatap sinis pada Bram."Diliat dari mobilnya kayak orang kaya, tapi pelit rupanya," umpat pelayan toko dalam hati. "Udah sombong mana pelit lagi.""Itu udah paling murah, Pak. Di sini kami jual kualitas, makanya harganya juga lumayan.""Jangan bicara soal kualitas dengan saya. Soalnya saya juga kerja bagian penjualan. Bisa kok jual kualitas bagus tapi harga miring," ujarnya tanpa me
Bram memacu mobilnya menuju toko bunga lainnya. Dia tak ingin datang ke rumah Ratna tanpa membawa apa-apa. Jika di toko sebelumnya di membuat onar, tapi tidak di toko sekarang. Tanpa protes dia membayar bunga yang dipilihnya. Bahkan, kali ini lebih mahal dari itu yang tadi. "Bagaimanapun aku akan mencari cara untuk merebut hatimu lagi, Rat! Untungku lebih besar jika kamu kembali ke pelukan daripada modal yang ku keluarkan sekaeang ini.Sesampainya, di depan rumah Ratna, mata Bram terfokus melihat mobil atasannya masih terparkir di halaman. Darahnya berdesir hebat, bahkan kedua tangannya tampak bergetar menahan emosi. Tatapan tajam ke arah mobil menjadi pelengkap, bahwa Bram sakit hati."Sial. Kenapa harus ada dia segala?" Bram menghela napas kasar. Musuhnya masih duduk manis di dalam rumah."Tidak … tidak … aku nggak boleh menampakkan amarah ini di depan Ratna. Bisa-bisa yang ada malah sebaliknya, jauh dari harapanku."Kurang lebih sepuluh menit mengendalikan emosi supaya reda. Akhirn
Laura menoleh ke sumber suara. Seorang wanita paruh baya sudah berdiri di dekat sofa panjang. Siapa lagi kalau bukan mertuanya."Apa maksud mama?"Wati mencebik. "Masa kamu belum juga ngerti maksud saya gimana?""Ya, memang aku nggak ngerti. Coba mama jelasin!" Laura kelihatan heran dan bingung."Entahlah, Lau. Mama rasa kamu sudah cukup pintar dan paham. Kalau kamu tidak mau kehilangan Bram, rubah sikapmu sebelum semuanya terlambat!" ucap Wati kemudian berlalu dari pandangan Laura.Mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut mertuanya itu, semakin membuat Laura membenci."Sepertinya ada yang janggal. Lihat saja, jika aku berhasil membuktikan feelingku. Kau si tua bangka, akan terima pembalasan dariku!" geram Laura dalam hatinya. Dia memilih bertolak ke kamar daripada terus melihat wajah mertuanya yang sama sekali tidak enak dipandang."Sebentar, apa jangan-jangan …." Laura tak henti menduga-duga dalam hatinya.[Mbak, kapan selesainya urusan perceraian kalian di pengadilan? Bisa dip
"Itu mulut atau tong sampah? Busuk!" sentak Bram geram."Lalu menurut kamu, sebutan apa yang pantas buat perempuan yang dengan gampangnya menyerahkan dirinya? Bahkan, kamu rela merogoh uang demi membayar pelayanan mereka. Giliran aku aja belanja, kamu kemana kemarin? Kencan 'kan? Tapi sama aku bilangnya meeting.""Iya, puas kamu! Buat apa nemenin istri macam kamu. Nggak tahu diri tepatnya. Sekarang aku tanya, apa bedanya kamu dengan mereka? Aku juga nyomot kamu dari lingkungan kotor. Mau protes? Hah?"Laura terdiam, dia kehilangan kata-kata dalam membela diri."Aku makin ke sini, aku makin sadar, kalau kamu rupaya tak lebih baik dari Ratna. Aku menyesal telah membuat Ratna pergi, dan membawa kamu ke rumah ini!" "Kamu menghancurkan masa depanku."Deg!!!"Ratna lagi. Si Janda itu lagi. Kenapa dia harus membandingkan aku dengan perempuan yang sangat aku benci selain ibunya itu!" umpat Laura dalam hati.Jantung Laura semakin berdegup tak beraturan, dibandingkan dengan perempuan yang dulun
Ratna sempat terdiam sebentar. Dia bingung mau menjawab apa. Jika diberi tahu kalau Bram mau ke rumah atau tidaknya, tentu punya konsekuensi masing-masing."Boleh tidak, Ma?" rengek Devina sembari memegang tangan kanan mamanya."Na, kata papa dia nanti emang mau ke sini. Jadi … kita tunggu aja, ya. Nggak usah ditelpon," ucap Ratna memilih untuk jujur."Mama serius?" Mata Devina tampak berbinar menatap perempuan yang melahirkannya itu."Iya, tadi papa ngirim pesan sama Mama. Katanya begitu mau ke sini lepas Magrib."Hmm …,"Melihat Devina melirik ke atas, Ratna pun seolah peka akan tingkah anaknya. "Kenapa, Na?""Tapi ... Nana tetap boleh pinjam hape mama tidak?""Buat apa? Kan papa katanya mau ke sini. Kenapa ditelpon lagi?" "Nana mau nitip makanan, Ma. Mumpung papa ke sini."Tanpa mempertanyakan lebih lanjut, Ratna pun mengambil ponsel ke kamarnya dan menyerahkan pada Devina.Jantung Bram berdebar hebat dengan senyum terkembang merekah di bibirnya. Dia terlihat bahagia saat tulisan J
"Ratna!" Bram tersentak. Wajahnya yang tadi tegas berubah seketika. Tangannya pun sigap mengelus kepala Devina."Setahu aku, Devina suka ayam goreng, Rat.""Memangnya kamu pernah liat ayam goreng kayak gini di meja makan, Mas? Atau se-ingat kamu pernah bawain Devina ini?" tanya Ratna dengan penuh penekanan dan tatapan tajam.Bram semakin salah tingkah. Seakan tak berkutik dibuat oleh Ratna."Maafkan aku ya, Rat. Bukan bermaksud lupa. Tapi kamu tahu 'kan selama kita bersama aku sibuk nyari uang buat kamu dan Devina," kilah Bram tak mau tersudutkan."Nggak usah di lanjutin pembahasannya, Mas!""Devina lagi ada tugas sekolah buat besok. Jadi … kamu bantuin aja. Anggap aja itu sebagai ganti karena kamu udah salah bawa makanan kesukaannya, Devina.""Oke, nggak masalah.""Yuk, Pa. Masuk!" titah Devina dengan menarik tangan Bram.Lagi-lagi, ada yang janggal. Disaat Devina berusaha menggenggam erat tangan papanya saat itu juga Bram berusaha mencari celah bagaimana genggaman tangan anaknya ter