Seruan Ratna membuat Laura dan Devina menoleh ke sumber suara."Mama …," teriak Devina."Devina bukan lawan setimpal untuk kamu, Lau. Kalau benar ingin adu, saya yang dihajar bukan Devina!" ucap Ratna lantang."Itu pilihan saya, ngapain Kau yang ngatur. Ingat ya, Ratna. Kau itu pembunuh,""Jangan kebanyakan halu kamu! Apapun sakit yang Kau rasakan, itu adalah hasil yang kamu tanam selama ini.""Tidak! Ini mutlak karena keserakahan Kau, Ratna!" balas Laura tak mau kalah.Laura mengeluarkan sebuah pisau kecil dan mendekatkannya pada Devina."Laura! Enyahkan pisaunya!" teriak Ratna histeris."Hahahaha … kenapa? Kau takut anak kesayangan Kau ini mati? Bagus harusnya, biar kita sama-sama impas. Saya kehilangan ibu, Kau kehilangan anak," serang Laura serah menatap Ratna dengan tajam. Dari sorot matanya, jelas sekali sudah tersematkan dendam mendalam."Mama … Nana takut, Ma," lirih Devina seraya dengan luruhnya bulir bening dari matanya."Tenang sayang, Mama akan tolong kamu.""Hoho … so swe
"Devina mana? Aku cemas sama kondisi psikisnya." Lagi dan lagi Arjuna mengalihkan pembicaraan. Meskipun dia terlihat susah payah menjawabnya, tapi bukan Arjuna namanya yang menampakkan kesakitannya pada orang lain."Kamu benar-benar perhatian dan sayang Devina, atau …," batin Ratna.Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah feeling Ratna soal persekongkolan antara Laura dan Arjuna itu benar adanya?"Devina lagi istirahat di ruangan.""Lho kenapa? Memang dia ada luka? Kenapa dirawat?" tanya Arjuna cemas."Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Kamu tahu keberadaan Devina darimana?" tegas Ratna. Satu sisi Ratna juga merasa Arjuna tengah menahan rasa sakit karena tangannya memegang bagian perban bekas tusukan tadi. Akan tetapi, dia juga tak bisa membendung rasa penasarannya.Arjuna tampak menarik napas dalam dan melepaskannya perlahan."Jam yang dipakai Devina ke sekolah itu ada chip yang bisa mendeteksi lokasi.""Tunggu-tunggu jadi, kamu bisa tahu kapanpun keberadaan Devina?" tanya Ratna penasaran. Rat
"Ratna … Devina sayang …!" seru Bram lagi dan lagi. Namun, gelagat aneh malah muncul dari Devina. Dia menutup kedua telinganya, menggelengkan kepala dengan cepat bersamaan dengan menutup kedua matanya, seolah menunjukkan tak ingin mendengarkan suara papanya lagi. Dan, benar saja, kejadian tadi sewaktu-waktu akan muncul keingatannya, dan jika dibiarkan tak disikapi, akan menimbulkan dampak buruk bagi psikisnya seperti yang sudah dijelaskan dokter umum tadi di rumah tadi."Nana tunggu di sini, mama keluar sebentar!"Ratna bergegas keluar rumah. Jangan tanya seberapa emosinya dia setelah melihat tingkah Devina juga terngiang ucapan dokter tadi."Ratna! Devina mana? Aku cemas? Dia sudah ditemukan kan?" tanya Bram dengan memasang wajah sedih saat Ratna berdiri di hadapannya."Lebih baik, mulai sekarang kamu nggak usah menampakkan wajahmu di depan Devina ataupun aku, Mas!""Ratna … kamu kenapa? Kok jadi kasar begini? Aku benaran cemas soal Devina. Mana dia? Aku ingin ketemu," kekeuh Bram."
Bram memacu kecepatannya supaya lekas sampai di rumah. Melihat kondisi Laura yang terbilang memalukan dan akan menimbulkan masalah berkepanjangan membuat Bram tak ingin lagi ikut campur dalam kehidupan istri sirinya itu."Ma … buka pintunya!" seru Bram seraya menggedor pintu utama tanpa jeda.Wati pun langsung bangkit karena gedoran pintu Bram sangat mengganggu. Setelah membuka pintu, Wati langsung bertolak ke kamar. Tak seperti biasanya memarahi Bram karena selalu berisik."Ma … Ma, aku punya berita buruk!" seru Bram seraya mengikuti langkah Wati dari belakang."Memangnya sejak kapan kamu membawa berita bahagia, Bram?" serang Wati bersamaan dengan membalikkan tubuhnya, untung saja Bram cepat kilat menghentikan langkahnya, kalau tidak …."Tapi ini jauh lebih buruk, Ma. Aku bingung dan benar-benar shock," ucap Bram tampak panik seraya meyakinkan mamanya."Kamu putuskan saja sendiri, selama ini juga nggak pernah dengerin mama 'kan, Bram? Ambisimu tak bisa dikendalikan lagi, sampai-sampai
Seperti biasa, Shanti diantar oleh Pak Sobri."Kita pulang, Pak!" perintahnya setelah duduknya dengan posisi yang pas"Kita nggak jadi nginap, Bu?" tanya Pak Sobri sedikit heran, karena pas awal berangkat Shanti mengatakan kalau kemungkinan besar akan nginap di rumah sakit."Nggak, biar Arjuna diurus sama perawat. Gedeg saya tahu nggak, Pak. Masa ketusuk cuma gara-gara nolongin anak si Janda, perempuan yang paling saya benci itu. Coba Pak Sobri di posisi saya, sakit hati nggak?" cerocos Shanti yang belum tuntas melampiaskan kekecewaannya pada Arjuna."Kalau ibu nanya pendapat saya. Sebagai orang tua kita memang sedih, Bu. Itu manusiawi, tapi begitu mah kadang Tuhan menguji kita lewat orang yang kita benci."Ah … lagaknya bapak sok ceramah. Ini kan pendapat, juga bapak nggak ngalamin juga. Nyesal juga saya minta pendapat," geram Shanti.Padahal, dirinya berharap Pak Sobri akan satu suara dengan dirinya."Berangkat!!!"Pak Sobri hanya bisa menelan saliva, memilih diam adalah solusi yang
Hari ini sudah satu minggu Devina tidak masuk sekolah dan jawaban Devina selalu sama."Tapi ujian semester sebentar lagi lho, Na.""Nggak, Ma. Nana nggak mau sekolah," kekeuh Devina yang sepertinya tak bisa dibujuk lagi."Kalau Nana takut, mama akan jagain Nana di sekolah sampe pulang, mama nggak akan ninggalin Devina sedetikpun.""Nggak, Ma. Nana nggak mau."Setelah merenungi kurang lebih satu jam, Ratna pun mencoba menghubungi pihak sekolah. Menjelaskan point penting yang dirasa bisa diterima oleh pihak sekolah akan putusannya."Coba bawa dulu Devinanya ke sekolah, Bu. Biar kami bisa berbicara sama dia," pinta kepala sekolah."Sudah saya bujuk, Bu. Tapi tetap nggak mau. Saya juga sudah kehabisan cara.""Hmm … kalau begitu, besok pagi kami coba ke rumah ibu, saya mencoba membujuk secara langsung. Soalnya cukup disayangkan murid berprestasi seperti Devina putus sekolah.""Kalau ibu nggak keberatan boleh banget, Bu. Saya merasa lega semoga nanti membuahkan hasil."***Setelah seminggu a
Melihat Ratna diam di ambang pintu, Devina pun memutuskan beranjak dari ranjangnya."Mobil depan kali, Na!" seru Ratna saat Devina berhasil berlari kecil keluar kamar.Bergegas anak berumur mendekati 10 tahun itu membuka pintu utama."Oom Ganteng!" seru Devina dari ambang pintu utama, kemudian berlari ke arah pagar, tampak olehnya lelaki gagah itu melambaikan tangan seraya tersenyum pada Devina."Hai, Cantik. Apa kabar?""Aku sehat, Om. Bentar, ya. Nana minta kunci sama mama dulu."Arjuna mengangguk seraya melirik sekilas ke ambang pintu, sosok perempuan yang dia suka itu sudah berdiri di sana dengan raut wajah tak suka."Ma, mana kuncinya? Oom Ganteng mau masuk nih!" seru Devina dari pagar.Ratna pun memutuskan melangkah meskipun jauh dari lubuk hatinya sama sekali tak ingin sosok lelaki itu berada di rumahnya."Masuk, Om. Oom sudah sehat? Nggak sakit lagi perutnya?" Rentetan pertanyaan terlontar dari mulut Devina. Ada pemandangan haru yang terlihat, Devina bergandengan tangan masuk
Selepas mendengarkan sepotong ceramah yang sangat sesuai dengan yang terjadi pada dirinya. Ratna pun mengambil wudhu dan sholat Isya. Memang, selama ini, ibadah Ratna terbilang buruk, karena selama ini sholatnya masih bolong-bolong.Dalam sholatnya, Ratna menumpahkan semua rasa takut, rasa dendam, dan pikiran negatif yang bersaranh di dirinya. Dia juga mohon ampun kepada Allah, karena dendamnya yang menggebu, sampai-sampai tak berpikiran jernih saat dirinya dijebak oleh Laura.Bermodalkan kekuasaan akan uang yang banyak, Ratna mengambil kesempatan yang hasilnya malah berbalik arah, sehingga Devina menjadi korban keegoisannya dalam mengambil sikap."Andai waktu itu, aku mengadu pada pihak yang berwajib, pasti semua tak 'kan seburuk ini," sesalnya dengan berurai air mata."Aku menyesal Ya Rabb. Mohon ampun segala keegoisan diri ini."***Menjelang siang, Ratna mencoba merayu Devina untuk pergi ke toko bakerynya, karena sudah seminggu lamanya tidak datang ke toko, semenjak kejadian naas
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.