"Devina mana? Aku cemas sama kondisi psikisnya." Lagi dan lagi Arjuna mengalihkan pembicaraan. Meskipun dia terlihat susah payah menjawabnya, tapi bukan Arjuna namanya yang menampakkan kesakitannya pada orang lain."Kamu benar-benar perhatian dan sayang Devina, atau …," batin Ratna.Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah feeling Ratna soal persekongkolan antara Laura dan Arjuna itu benar adanya?"Devina lagi istirahat di ruangan.""Lho kenapa? Memang dia ada luka? Kenapa dirawat?" tanya Arjuna cemas."Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Kamu tahu keberadaan Devina darimana?" tegas Ratna. Satu sisi Ratna juga merasa Arjuna tengah menahan rasa sakit karena tangannya memegang bagian perban bekas tusukan tadi. Akan tetapi, dia juga tak bisa membendung rasa penasarannya.Arjuna tampak menarik napas dalam dan melepaskannya perlahan."Jam yang dipakai Devina ke sekolah itu ada chip yang bisa mendeteksi lokasi.""Tunggu-tunggu jadi, kamu bisa tahu kapanpun keberadaan Devina?" tanya Ratna penasaran. Rat
"Ratna … Devina sayang …!" seru Bram lagi dan lagi. Namun, gelagat aneh malah muncul dari Devina. Dia menutup kedua telinganya, menggelengkan kepala dengan cepat bersamaan dengan menutup kedua matanya, seolah menunjukkan tak ingin mendengarkan suara papanya lagi. Dan, benar saja, kejadian tadi sewaktu-waktu akan muncul keingatannya, dan jika dibiarkan tak disikapi, akan menimbulkan dampak buruk bagi psikisnya seperti yang sudah dijelaskan dokter umum tadi di rumah tadi."Nana tunggu di sini, mama keluar sebentar!"Ratna bergegas keluar rumah. Jangan tanya seberapa emosinya dia setelah melihat tingkah Devina juga terngiang ucapan dokter tadi."Ratna! Devina mana? Aku cemas? Dia sudah ditemukan kan?" tanya Bram dengan memasang wajah sedih saat Ratna berdiri di hadapannya."Lebih baik, mulai sekarang kamu nggak usah menampakkan wajahmu di depan Devina ataupun aku, Mas!""Ratna … kamu kenapa? Kok jadi kasar begini? Aku benaran cemas soal Devina. Mana dia? Aku ingin ketemu," kekeuh Bram."
Bram memacu kecepatannya supaya lekas sampai di rumah. Melihat kondisi Laura yang terbilang memalukan dan akan menimbulkan masalah berkepanjangan membuat Bram tak ingin lagi ikut campur dalam kehidupan istri sirinya itu."Ma … buka pintunya!" seru Bram seraya menggedor pintu utama tanpa jeda.Wati pun langsung bangkit karena gedoran pintu Bram sangat mengganggu. Setelah membuka pintu, Wati langsung bertolak ke kamar. Tak seperti biasanya memarahi Bram karena selalu berisik."Ma … Ma, aku punya berita buruk!" seru Bram seraya mengikuti langkah Wati dari belakang."Memangnya sejak kapan kamu membawa berita bahagia, Bram?" serang Wati bersamaan dengan membalikkan tubuhnya, untung saja Bram cepat kilat menghentikan langkahnya, kalau tidak …."Tapi ini jauh lebih buruk, Ma. Aku bingung dan benar-benar shock," ucap Bram tampak panik seraya meyakinkan mamanya."Kamu putuskan saja sendiri, selama ini juga nggak pernah dengerin mama 'kan, Bram? Ambisimu tak bisa dikendalikan lagi, sampai-sampai
Seperti biasa, Shanti diantar oleh Pak Sobri."Kita pulang, Pak!" perintahnya setelah duduknya dengan posisi yang pas"Kita nggak jadi nginap, Bu?" tanya Pak Sobri sedikit heran, karena pas awal berangkat Shanti mengatakan kalau kemungkinan besar akan nginap di rumah sakit."Nggak, biar Arjuna diurus sama perawat. Gedeg saya tahu nggak, Pak. Masa ketusuk cuma gara-gara nolongin anak si Janda, perempuan yang paling saya benci itu. Coba Pak Sobri di posisi saya, sakit hati nggak?" cerocos Shanti yang belum tuntas melampiaskan kekecewaannya pada Arjuna."Kalau ibu nanya pendapat saya. Sebagai orang tua kita memang sedih, Bu. Itu manusiawi, tapi begitu mah kadang Tuhan menguji kita lewat orang yang kita benci."Ah … lagaknya bapak sok ceramah. Ini kan pendapat, juga bapak nggak ngalamin juga. Nyesal juga saya minta pendapat," geram Shanti.Padahal, dirinya berharap Pak Sobri akan satu suara dengan dirinya."Berangkat!!!"Pak Sobri hanya bisa menelan saliva, memilih diam adalah solusi yang
Hari ini sudah satu minggu Devina tidak masuk sekolah dan jawaban Devina selalu sama."Tapi ujian semester sebentar lagi lho, Na.""Nggak, Ma. Nana nggak mau sekolah," kekeuh Devina yang sepertinya tak bisa dibujuk lagi."Kalau Nana takut, mama akan jagain Nana di sekolah sampe pulang, mama nggak akan ninggalin Devina sedetikpun.""Nggak, Ma. Nana nggak mau."Setelah merenungi kurang lebih satu jam, Ratna pun mencoba menghubungi pihak sekolah. Menjelaskan point penting yang dirasa bisa diterima oleh pihak sekolah akan putusannya."Coba bawa dulu Devinanya ke sekolah, Bu. Biar kami bisa berbicara sama dia," pinta kepala sekolah."Sudah saya bujuk, Bu. Tapi tetap nggak mau. Saya juga sudah kehabisan cara.""Hmm … kalau begitu, besok pagi kami coba ke rumah ibu, saya mencoba membujuk secara langsung. Soalnya cukup disayangkan murid berprestasi seperti Devina putus sekolah.""Kalau ibu nggak keberatan boleh banget, Bu. Saya merasa lega semoga nanti membuahkan hasil."***Setelah seminggu a
Melihat Ratna diam di ambang pintu, Devina pun memutuskan beranjak dari ranjangnya."Mobil depan kali, Na!" seru Ratna saat Devina berhasil berlari kecil keluar kamar.Bergegas anak berumur mendekati 10 tahun itu membuka pintu utama."Oom Ganteng!" seru Devina dari ambang pintu utama, kemudian berlari ke arah pagar, tampak olehnya lelaki gagah itu melambaikan tangan seraya tersenyum pada Devina."Hai, Cantik. Apa kabar?""Aku sehat, Om. Bentar, ya. Nana minta kunci sama mama dulu."Arjuna mengangguk seraya melirik sekilas ke ambang pintu, sosok perempuan yang dia suka itu sudah berdiri di sana dengan raut wajah tak suka."Ma, mana kuncinya? Oom Ganteng mau masuk nih!" seru Devina dari pagar.Ratna pun memutuskan melangkah meskipun jauh dari lubuk hatinya sama sekali tak ingin sosok lelaki itu berada di rumahnya."Masuk, Om. Oom sudah sehat? Nggak sakit lagi perutnya?" Rentetan pertanyaan terlontar dari mulut Devina. Ada pemandangan haru yang terlihat, Devina bergandengan tangan masuk
Selepas mendengarkan sepotong ceramah yang sangat sesuai dengan yang terjadi pada dirinya. Ratna pun mengambil wudhu dan sholat Isya. Memang, selama ini, ibadah Ratna terbilang buruk, karena selama ini sholatnya masih bolong-bolong.Dalam sholatnya, Ratna menumpahkan semua rasa takut, rasa dendam, dan pikiran negatif yang bersaranh di dirinya. Dia juga mohon ampun kepada Allah, karena dendamnya yang menggebu, sampai-sampai tak berpikiran jernih saat dirinya dijebak oleh Laura.Bermodalkan kekuasaan akan uang yang banyak, Ratna mengambil kesempatan yang hasilnya malah berbalik arah, sehingga Devina menjadi korban keegoisannya dalam mengambil sikap."Andai waktu itu, aku mengadu pada pihak yang berwajib, pasti semua tak 'kan seburuk ini," sesalnya dengan berurai air mata."Aku menyesal Ya Rabb. Mohon ampun segala keegoisan diri ini."***Menjelang siang, Ratna mencoba merayu Devina untuk pergi ke toko bakerynya, karena sudah seminggu lamanya tidak datang ke toko, semenjak kejadian naas
Sepanjang perjalanan pulang pikiran Ratna sibuk memilih antara menghubungi Arjuna atau tidak. Namun, saat sampai di rumah takdir berkata lain. Ada telepon masuk dari nomor yang tidak tersimpan dalam daftar kontak ponselnya, akan tetapi tanpa pikir panjang Ratna langsung mengangkatnya."Ya, halo," sapa Ratna seadanya."Alhamdulillah, akhirnya kamu angkat. Ini aku, Arjuna," ucap Arjuna di seberang sana."Oh kamu. Tanpa kamu memperjelas, aku tahu itu kamu," batin Ratna."Halo, Rat. Masih di sana!" panggil Arjuna memastikan, karena tidak ada respon lagi saat Arjuna memberi tahu, jika dirinya yang menelepon."Ya, masih.""Kita bisa bertemu di luar tidak? Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan sama kamu.""Sampaikan saja sekarang!""Tidak bisa, soalnya ada yang ingin aku tunjukan sama kamu. Please, Rat!""Oke, atur saja.""Nanti malam, pukul delapan di restoran biasa," ucap Arjuna tanpa basa-basi.Meskipun salah, perempuan yang mempunyai rasa trauma akan sosok lelaki, pasti akan berusaha kera