Sebelum berangkat ke kantor, Arjuna sengaja mampir ke rumah Ratna. Ingin memastikan Ratna dan Devina baik-baik saja. Dan, itu sudah dia lakukan semenjak Ratna mengetahui dirinya punya tunangan. Kalau tidak bisa pagi hari menjelang pergi kerja, ataupun malam sepulang kerja. Setelah lima belas menit menunggu Ratna yang tak kunjung keluar, akhirnya tampak juga perempuan yang begitu dia idamkan sejak dulu itu."Rat, sebaiknya kamu lebih berhati-hati ke depannya," seru Arjuna di depan pagar kala Ratna ingin memanaskan mesin mobilnya.Tak ada lagi sapaan hangat ataupun sekedar basa-basi seperti dulu."Terima kasih sudah mengingatkan, tapi aku bisa mengkondisikan semuanya. Dan, mohon untuk tidak mencampuri urusan ku lagi, Mas.""Satu lag, jangan sampai, kepedulianmu membuat aku semakin marah," tegas Ratna."Tapi selagi Laura hidup dia tidak akan tinggal diam," ucap Arjuna lagi."Aku bisa kendalikan semuanya dengan caraku!" tegas Ratna. Kalimat itu menjadi rentetan kata terakhir sebelum akhi
Arjuna menerima panggilan masuk dari Bapak Willyanto tak lama dirinya selesai meeting dengan klien baru."Kabar baik saya. Bapak Arjuna apa kabar nih? Makin sibuk tampaknya. Omset makin meroket pesat ya," ucap Willyanto sekedar basa-basi sebagai bentuk bumbu penyedap awal pembicaraan."Sehat, Pak. Hahahaha … harapannya begitu, semoga sesuai ekspektasi lah tahun ini. Dimana nih, Pak. Sudah lama juga kita nggak ketemu.""Ini saya lagi di luar. Rencananya begitu, memang mau ngajak Bapak Arjuna bertukar pikiran sambil ngopi. Bisa, Pak?""Boleh, Pak. Boleh sekali. Share saja lokasinya.""Wah beruntung sekali saya. Ditunggu kedatangannya, Pak Arjuna.Arjuna pun berangkat setelah Willyanto mengirim lokasi lewat pesan whatsapps. Dan, itu hanya menempuh sekitar setengah jam dari kantornya."Buru-buru amat, Pak. Sampai nggak liat saya," sergah Bram kala Arjuna memacu langkahnya keluar gedung kantor. Arjuna sebenarnya tahu sudah mendahului Bram, tapi dia sengaja tidak menyapa musuhnya itu."Iya,
"Nanti saja di waktu yang tepat, sekarang biarkan saja dulu dia menjalani skenario sesuai yang dia mau.""Oke, saya paham maksud bapak," sahut Willyanto.Dirasakan cukup untuk membicarakan tentang Bram, kedua direktur ini pun membahas proyek ke depannya. Namun, di tengah-tengah obrolan mereka membahas soal proyek baru, tiba-tiba ponsel Willyanto berdering."Manajer bapak," ucap Willyanto setelah menatap layar ponselnya."Angkat saja, Pak!" usul Arjuna.Willyanto pun menyetujui usulan Arjuna."Ya, Bapak Bram.""Selamat siang mendekati sore, Bapak Willyanto. Gimana kerjaannya hari ini, lancar?" tanya Bram sekedar basa-basi."Ada perlu apa?" tanya Willyanto jutek."Ini, Pak. Maaf mengganggu waktunya. Saya cuma menanyakan soal pembahasan kita yang kemarin. Pengen tahu penilaian bapak.""Maksud Anda bagaimana, ya? Saya nggak paham, bahasanya terlalu berbelit-belit," sergah Willyanto membuat Bram kembali terpojokan."Maksud saya, apa bapak tidak melaporkan ke pihak berwajib. Atau bisa melap
Laura mengemudikan mobilnya ke pemukiman preman setelah mencari info lewat sosial media. Meski takut daj sudah pukul sepuluh malam, akan tetapi dia berusaha menepis dan menguatkan diri. Balas dendam untuk Ratna harus tuntas malam ini, biar bisa di eksekusi secepatnya. Begitu yang diinginkan Laura."Mulai sekarang aku nggak bakalan bergantung dengan siapapun. Manusia sama saja, butuh kalau ada maunya," geramnya berulang kali memukul stir mobil."Mas Bram … kalau Mas Bram tahu, paling mentok juga diceraikan. Buat apa juga bersatu," batinnya.Laura memarkir mobilnya di pinggir jalan, dirinya berhenti setelah tak jauh masuk ke persimpangan. Meski minim penerangan, Laura tetap kekeuh mencari preman yang ingin dia sewa."Hai, Cantik," goda salah seorang preman yang sedang main catur kala Laura menghampiri. Kalau dilihat dari gayanya bicaranya dan senyumnya yang mengembang, sepertinya sudah setengah mabuk akibat minum tuak."Permisi, Bang," sapa Laura pada teman lelaki satunya lagi, lawan le
Sebelum Ratna sampai, Laura sudah duluan sampai sekolah Devina. Bahkan, dia mampir ke rumah Ratna meski sekedar lewat saja.Setelah memastikan Devina masuk ke gedung sekolah, barulah Ratna masuk ke dalam mobil. Rute setelah mengantar Devina ke sekolah yaitu menuju toko.Beda hal dengan Laura, dia meraih ponselnya untuk menelepon seseorang."Bang, dua jam lagi tolong terjun ke kedua TKP!" ucap Laura. Hanya memberi tahu itu saja, kemudian mobil melaju pelan meninggalkan area sekolah Devina.Laura memelankan kecepatan mobilnya setelah memasuki area pinggiran. Kali ini bukan untuk menemui siapa-siapa, tapi … mencari sebuah gedung yang terbengkalai.Seraya menunggu waktu itu tiba, Laura pun membuka blokir kontak WA lelaki yang masih berstatus suaminya itu.[Mas, maaf kalau aku baru bisa menjelaskan semuanya sama kamu. Aku minta, kamu jangan begitu gampangnya percaya dan menuduh aku yang bukan-bukan. Aku nggak serendah itu, Mas. Aku dijebak sama mantan istri kamu, Mbak Ratna. Dan, dia juga
"Tunggu saja! Sebentar lagi juga keluar. Jangan sampai lolos dia!""Lu tenang aja, ini urusan kecil buat gue," sahut lelaki yang punya anting di hidungnya itu.Teriknya sinar matahari membuat kepala gundul preman ini terasa terbakar."Ini panasnya udah sama kayak api neraka," umpat salah satu preman. Mereka berdua tengah berhenti di pinggir jalan, yang tak jauh dari toko bakery milik Ratna."Emang lu udah pernah ke neraka, bisa-bisanya bilang begitu. Dasar oon lu!" ejek hidung bertindik."Kata ustad begitu.""Lagak lu takbotak, pake ngomong kata ustad. Ngaji aja lu kagak bisa. Bahas kata ustad," ejekannya semakin menjadi."Terus lu pikir, seumur hidup gini nggak pernah lewat mesjid, nggak pernah dengar ceramah ….""Udeh, gue nggak butuh ceramah dari lu. Noh liat, perempuan yang dimaksud udah keluar dari sarangnya. Fotonya sama kan sama yang ini!" ucap preman hidung bertindik seraya menatap foto Ratna yang dikirim Laura."Iyee bener, sikat."Ratna masuk ke dalam mobil tanpa curiga sedi
Devina pasrah dalam ketakutannya. Laura berhasil membujuk Devina untuk masuk ke dalam mobil. Mereka berjalan sekitar sepuluh meter dari posisi berdiri tadi.Dengan cepat pintu mobil dibuka, Laura mendorong tubuh Devina ke dalam mobil dan dengan sigap preman yang duduk di kursi penumpang depan langsung membekap mulut Devina dengan sapu tangan yang sudah diteteskan dengan obat bius. Sepersekian detik, tubuh anak kesayangan Ratna itu hilang kesadaran.Laura yang berdiri dekat pintu mobil yang terbuka. Menyisir pandangannya ke segala arah. Kondisi aman dalam pandangan matanya."Jalan!" titah Laura.Mobil pun perlahan meninggalkan area sekolah Devina, detik kemudian, Laura memperbaiki posisi Devina yang hampir jatuh ke kolong jok mobil. Warga sekitar benar-benar tidak ada yang curiga atas penculikan Devina.Menunggu gedung yang terbengkalai, mereka harus menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam. Itupun kalau tidak macet.Di tempat lain, Ratna masih belum lepas dari ugal-ugalan
Pak Joko langsung memutar hasil rekaman CCTV. Dan, Ratna tampak begitu seksama melihatnya."Devina dibawa perempuan itu, Bu!" seru Pak Joko seraya menunjuk layar komputer."Iya, Pak. Saya lihat," sahut Ratna sekenanya."Ibu kenal?" tanya Pak Joko seraya menatap kaget.Ratna mengangguk, "ya, saya kenal.""Lihat itu, Pak. Mereka berjalan ke kanan gerbang, ada CCTV bagian samping sini nggak?" tanya Ratna seraya menunjukkan arah ke layar komputer."Ada, Bu. Sebentar. Saya setting untuk tampil keseluruhan yang diberi CCTV saja ya!" usulnya seraya mengutak-atik keyboard. Dan, beberapa detik kemudian muncullah 12 kolom rekaman."Yang kanan, yang ini ya, Pak?" tanya Ratna memastikan seraya menunjukkan salah satu kolom rekaman CCTV."Iya, Bu. Yang ini.""Tuh Devina, Pak."Mata Ratna sempat tak berkedip kala melihat Devina masuk ke dalam mobil putih."Jangan-jangan mobil yang lewat pelan di depan rumah tadi … itu … kamu, Lau," batin Ratna seolah diingatkan dengan kejadian tadi pagi sebelum dia