"Nanti saja di waktu yang tepat, sekarang biarkan saja dulu dia menjalani skenario sesuai yang dia mau.""Oke, saya paham maksud bapak," sahut Willyanto.Dirasakan cukup untuk membicarakan tentang Bram, kedua direktur ini pun membahas proyek ke depannya. Namun, di tengah-tengah obrolan mereka membahas soal proyek baru, tiba-tiba ponsel Willyanto berdering."Manajer bapak," ucap Willyanto setelah menatap layar ponselnya."Angkat saja, Pak!" usul Arjuna.Willyanto pun menyetujui usulan Arjuna."Ya, Bapak Bram.""Selamat siang mendekati sore, Bapak Willyanto. Gimana kerjaannya hari ini, lancar?" tanya Bram sekedar basa-basi."Ada perlu apa?" tanya Willyanto jutek."Ini, Pak. Maaf mengganggu waktunya. Saya cuma menanyakan soal pembahasan kita yang kemarin. Pengen tahu penilaian bapak.""Maksud Anda bagaimana, ya? Saya nggak paham, bahasanya terlalu berbelit-belit," sergah Willyanto membuat Bram kembali terpojokan."Maksud saya, apa bapak tidak melaporkan ke pihak berwajib. Atau bisa melap
Laura mengemudikan mobilnya ke pemukiman preman setelah mencari info lewat sosial media. Meski takut daj sudah pukul sepuluh malam, akan tetapi dia berusaha menepis dan menguatkan diri. Balas dendam untuk Ratna harus tuntas malam ini, biar bisa di eksekusi secepatnya. Begitu yang diinginkan Laura."Mulai sekarang aku nggak bakalan bergantung dengan siapapun. Manusia sama saja, butuh kalau ada maunya," geramnya berulang kali memukul stir mobil."Mas Bram … kalau Mas Bram tahu, paling mentok juga diceraikan. Buat apa juga bersatu," batinnya.Laura memarkir mobilnya di pinggir jalan, dirinya berhenti setelah tak jauh masuk ke persimpangan. Meski minim penerangan, Laura tetap kekeuh mencari preman yang ingin dia sewa."Hai, Cantik," goda salah seorang preman yang sedang main catur kala Laura menghampiri. Kalau dilihat dari gayanya bicaranya dan senyumnya yang mengembang, sepertinya sudah setengah mabuk akibat minum tuak."Permisi, Bang," sapa Laura pada teman lelaki satunya lagi, lawan le
Sebelum Ratna sampai, Laura sudah duluan sampai sekolah Devina. Bahkan, dia mampir ke rumah Ratna meski sekedar lewat saja.Setelah memastikan Devina masuk ke gedung sekolah, barulah Ratna masuk ke dalam mobil. Rute setelah mengantar Devina ke sekolah yaitu menuju toko.Beda hal dengan Laura, dia meraih ponselnya untuk menelepon seseorang."Bang, dua jam lagi tolong terjun ke kedua TKP!" ucap Laura. Hanya memberi tahu itu saja, kemudian mobil melaju pelan meninggalkan area sekolah Devina.Laura memelankan kecepatan mobilnya setelah memasuki area pinggiran. Kali ini bukan untuk menemui siapa-siapa, tapi … mencari sebuah gedung yang terbengkalai.Seraya menunggu waktu itu tiba, Laura pun membuka blokir kontak WA lelaki yang masih berstatus suaminya itu.[Mas, maaf kalau aku baru bisa menjelaskan semuanya sama kamu. Aku minta, kamu jangan begitu gampangnya percaya dan menuduh aku yang bukan-bukan. Aku nggak serendah itu, Mas. Aku dijebak sama mantan istri kamu, Mbak Ratna. Dan, dia juga
"Tunggu saja! Sebentar lagi juga keluar. Jangan sampai lolos dia!""Lu tenang aja, ini urusan kecil buat gue," sahut lelaki yang punya anting di hidungnya itu.Teriknya sinar matahari membuat kepala gundul preman ini terasa terbakar."Ini panasnya udah sama kayak api neraka," umpat salah satu preman. Mereka berdua tengah berhenti di pinggir jalan, yang tak jauh dari toko bakery milik Ratna."Emang lu udah pernah ke neraka, bisa-bisanya bilang begitu. Dasar oon lu!" ejek hidung bertindik."Kata ustad begitu.""Lagak lu takbotak, pake ngomong kata ustad. Ngaji aja lu kagak bisa. Bahas kata ustad," ejekannya semakin menjadi."Terus lu pikir, seumur hidup gini nggak pernah lewat mesjid, nggak pernah dengar ceramah ….""Udeh, gue nggak butuh ceramah dari lu. Noh liat, perempuan yang dimaksud udah keluar dari sarangnya. Fotonya sama kan sama yang ini!" ucap preman hidung bertindik seraya menatap foto Ratna yang dikirim Laura."Iyee bener, sikat."Ratna masuk ke dalam mobil tanpa curiga sedi
Devina pasrah dalam ketakutannya. Laura berhasil membujuk Devina untuk masuk ke dalam mobil. Mereka berjalan sekitar sepuluh meter dari posisi berdiri tadi.Dengan cepat pintu mobil dibuka, Laura mendorong tubuh Devina ke dalam mobil dan dengan sigap preman yang duduk di kursi penumpang depan langsung membekap mulut Devina dengan sapu tangan yang sudah diteteskan dengan obat bius. Sepersekian detik, tubuh anak kesayangan Ratna itu hilang kesadaran.Laura yang berdiri dekat pintu mobil yang terbuka. Menyisir pandangannya ke segala arah. Kondisi aman dalam pandangan matanya."Jalan!" titah Laura.Mobil pun perlahan meninggalkan area sekolah Devina, detik kemudian, Laura memperbaiki posisi Devina yang hampir jatuh ke kolong jok mobil. Warga sekitar benar-benar tidak ada yang curiga atas penculikan Devina.Menunggu gedung yang terbengkalai, mereka harus menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam. Itupun kalau tidak macet.Di tempat lain, Ratna masih belum lepas dari ugal-ugalan
Pak Joko langsung memutar hasil rekaman CCTV. Dan, Ratna tampak begitu seksama melihatnya."Devina dibawa perempuan itu, Bu!" seru Pak Joko seraya menunjuk layar komputer."Iya, Pak. Saya lihat," sahut Ratna sekenanya."Ibu kenal?" tanya Pak Joko seraya menatap kaget.Ratna mengangguk, "ya, saya kenal.""Lihat itu, Pak. Mereka berjalan ke kanan gerbang, ada CCTV bagian samping sini nggak?" tanya Ratna seraya menunjukkan arah ke layar komputer."Ada, Bu. Sebentar. Saya setting untuk tampil keseluruhan yang diberi CCTV saja ya!" usulnya seraya mengutak-atik keyboard. Dan, beberapa detik kemudian muncullah 12 kolom rekaman."Yang kanan, yang ini ya, Pak?" tanya Ratna memastikan seraya menunjukkan salah satu kolom rekaman CCTV."Iya, Bu. Yang ini.""Tuh Devina, Pak."Mata Ratna sempat tak berkedip kala melihat Devina masuk ke dalam mobil putih."Jangan-jangan mobil yang lewat pelan di depan rumah tadi … itu … kamu, Lau," batin Ratna seolah diingatkan dengan kejadian tadi pagi sebelum dia
Melihat tak ada perlawanan dari Devina, membuat Laura menghentikan ceritanya dan bertanya."Kenapa Kau diam? Apa ingin mendengar kisahnya dengan khidmat? Hmm!" Laura membesarkan kedua bola matanya dengan mendekatkannya pada Devina, mungkin jarak pandang keduanya hanya tiga ruas jari."Ceritain aja semuanya, Tan. Aku siap dengerin!" sahut Devina dengan nada santai.Laura tersentak, reflek menarik kepalanya."Waw … amazing!" Laura menyambut ucapan Devina yang begitu membuatnya terkejut dengan tepuk tangan."Mental kamu lumayan ternyata, ya. Keren … keren … berarti nggak masalah ya, kalau gue lanjutin?""Nggak masalah, Tan. Lanjut aja. Aku malah pengen denger ceritanya dari tante.""Oh … oke … oke ….""Kamu bayangin aja tuh, Devina. Mama kamu yang berberes di rumah. Ngabisin duitnya sama tante. Makanya tuh, mama kamu milih pisah, karena tante sama papa kamu mau nikah. Tante sih mau aja jadi yang kedua, yang jelas ada uangnya, tapi mama kamu sok-sok an mau pisah."Eh tapi nih, bagus juga
Dirasa puas menangis walau hanya beberapa menit, tiba-tiba terbersit di pikirannya merasa bersalah dengan Arjuna yang tak hanya sekali mengingatkan Ratna."Kesombongan dan balas dendam ku berbalik arah. Maafkan mama, Devina. Harusnya, bukan kamu yang menjadi tumbalnya.""Apa sebaiknya aku ngasih tahu, Mas Arjuna? Tapi siapa dia? Berarti sama saja aku dengan Laura pengganggu hubungan orang lain."Ratna masih saja bergelut dengan pikirannya. Sesak bercampur dendam membuat dirinya kesulitan mengambil keputusan yang diambil."Mei, saya nggak balik ke toko. Anak saya diculik!" ucap Ratna mengabari salah satu karyawannya.Ratna yang biasanya tertutup untuk hal pribadi meskipun sepahit apapun yang dia hadapi tak satupun dia beri tahu. Namun, buah kepanikannya yang belum berujung, membuat Ratna mengabari karyawannya itu."Astagfirullah, Bu. Saya turut prihatin. Semoga saja Devina lekas ketemu dalam kondisi sehat dan tak kurang satupun, Bu," ucap Meisha penuh harap."Anak Bu Ratna diculik? Sam
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.