Sorenya, Kalingga pulang. Bening sama sekali tidak menyahut. Ia sedang mencuci piring di dapur. Kalingga langsung menghampirinya, tetapi ia melihat wajah sang istri begitu lesu.“Kenapa?” tanya Kalingga. Bening menggeleng. “Enggak papa.”Kalingga menghela napas. Rupanya Bening masih belum bisa bebas berbagi masalah dengannya. Kalingga paham. Mereka berdua masih butuh adaptasi untuk menciptakan hubungan suami istri yang harmonis, jadi percaya saja pada prosesnya.Kalingga pun mendekat dan langsung memeluk Bening dari belakang ketika melihat wanita itu sedang mencuci tangan.Bening refleks membelalak dan menyikut dada Kalingga hingga pria itu terdorong mundur. “Jangan!”Mendadak, tubuh Bening merinding. Ia teringat dengan apa yang dilakukan Wildan tadi, dan jelas hal itu membuatnya amat terganggu.Kalingga terkejut. “Kenapa, Bening?”Bening menggeleng. Ia langsung mengelap tangannya yang basah dengan serbet lalu berbalik dan memeluk Kalingga. Kalingga heran. Gerak-gerik Bening agak an
Seperti yang dikatakan Wildan sebelumnya, hari ini ia sudah mulai masuk lagi ke battalion setelah cukup lama cuti pasca kecelakaan dan koma. Wildan percaya diri sekali kembali ke battalion dan santai-santai saja tidak takut meskipun nanti berhadapan dengan Kalingga sebab ia sudah memberikan ancaman kepada Bening agar memperingatkan suaminya supaya tidak mengganggu Wildan ketika kembali.Wildan disambut dengan baik oleh teman-temannya. Mereka semua memberikan selamat karena Wildan sudah sembuh dan bisa bergabung lagi bersama mereka. Wildan sendiri juga melapor kepada Danru, Danton, kemudian kepada Danki kalau ia sudah siap bertugas kembali.Di saat menghadap Kalingga, Wildan sama sekali tidak ada takut-takutnya. Ia percaya diri saja kalau Kalingga tidak akan melakukan apapun. Wildan yakin, Bening tidak akan mau kalau rahasia foto dan video tak senonohnya tersebar. “Lapor, Kapten. Siap kembali bertugas!” Wildan menghormat kepada Kalingga.Kalingga mangut-mangut. “Selamat kembali bertug
Bening terlalu lama diam karena kepikiran siapa yang memblokir nomor Risky dari ponselnya. Masalahnya, Bening yakin bukan dirinya yang melakukan itu. Apa mungkin yang memblokir nomor Risky itu…“Ning? Halo… halo…?”Bening mengerjap dan tersadar dari lamunannya. “Oh, ya Mas Risky?”“Kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya Risky. Nada suaranya terdengar seperti mengkhawatirkan Bening.Bening menghela napas. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan soal siapa yang memblokir nomor pria itu. Yang penting sekarang mereka sudah saling komunikasi lagi.“Alhamdulillah, aku baik-baik aja kok, Mas.”Risky rupanya tidak semudah itu percaya dengan jawaban Bening. Ia masih saja merasa khawatir. “Beneran?”“Iya, Mas. Mas Risky nggak usah khawatir.”Risky bernapas lega. “Oke, syukurlah kalau gitu. Oh iya, kamu besok masuk, ‘kan? Besok bukannya sudah mulai OSPEK ya?”“Iya, kalau mahasiswa reguler. Kalau aku ‘kan ambil kelas karyawan, jadi ada kegiatan sendiri dan nggak terlalu sibuk kayak yang reguler, Mas.”“Oh iya
Bening kebingungan melihat tingkah Kalingga yang sungguh berbeda. Apa yang sebenarnya terjadi kepada Kalingga hingga pria itu pulang dalam keadaan seperti ini? Ketika pamit tadi, Kalingga tampak baik-baik saja. Lalu kemudian ia kembali terlambat, dan dalam kondisi yang berbeda. Terlebih, ia terus meminta maaf kepada Bening. “Kapten, kamu kenapa sih?” tanya Bening. Jujur, ia juga takut jika terjadi sesuatu kepada Kalingga hingga menyebabkannya sampai seperti ini.Kalingga masih memeluk Bening, dan bibirnya tidak mau berhenti mengucapkan maaf. “Maaf… Maafin saya Bening, tolong maafin saya.”Bening mengerutkan dahinya semakin dalam. “Maaf kenapa? Kamu abis ngapain memangnya? Jelasin, Kapten. Aku nggak ngerti.”Kalingga tetap tidak menjelaskan alasannya terus meminta maaf. Bibirnya seolah tidak bisa berhenti meminta maaf, dan jujur saja hal itu justru membuat Bening semakin khawatir. Jika memang ada sesuatu yang terjadi, mengapa Kalingga tidak segera menjelaskannya saja dan malah meminta
Wildan yang panik langsung menggendong Susan yang mengalami pendarahan. Ia menghubungi ambulans kemudian Susan langsung dilarikan ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit, Susan terus mengerang kesakitan sambil meremas telapak tangan Wildan. Ia menangis sambil menggigit bibirnya, bahkan wajahnya pun memucat drastis. Wildan sendiri juga pucat. Ia tidak menyangka kalau apa yang ia lakukan sampai menyebabkan Susan pendarahan hebat. Begitu sampai ke rumah sakit, para perawat dan dokter segera menangani Susan dan pendarahan yang ia alami. Wildan hendak ikut masuk, tetapi seorang perawat langsung menahannya.“Maaf, Pak. Tolong tunggu di luar, kami akan memberi kabar saat proses penanganan sudah selesai.”Wildan ingin tahu bagaimana keadaan Susan dan kandungannya, tetapi ia menurut ketika perawat itu memintanya menunggu di luar. Sepanjang menunggu Susan, Wildan kelihatan benar-benar cemas. Ia juga merasa bersalah karena semua ini terjadi gara-gara dirinya. Bagaimana kalau
Hari ini, Kalingga secara khusus mengajak Bening untuk belajar beladiri sesuai dengan apa yang ia bilang sebelumnya. Sebelum belajar beladiri, Kalingga mengajak Bening untuk jogging terlebih dahulu sebagai pemanasan agar nanti meminimalisir terjadi cedera. Selesai jogging bersama, Kalingga masih kelihatan santai, bahkan tidak terlalu berkeringat. Namun, Bening sebaliknya. Ia memang tidak terlalu mengutamakan olahraga, jadi tubuhnya pun lumayan kaku dan mudah lelah digunakan lari agak lama. “Ayo lanjut,” ucap Kalingga.Bening langsung duduk di teras dengan napas ngos-ngosan. Ia mengibaskan telapak tangannya sambil menggeleng.“Sebentar… Capek banget, Kapten.”Kalingga geleng-geleng kepala. “Itulah kalau nggak rajin olahraga.”Bening cemberut. Apa yang dikatakan Kalingga ada benarnya. Namun, diomeli seperti ini rasanya menyebalkan juga. Kalingga langsung berubah jadi mode komandan kalau sedang melatih.“Lima menit istirahat ya, nggak ada perpanjangan. Kalau terlalu lama istirahat, nan
Hari ini, Bening sudah mulai berangkat ke kampus. Sejak malam tadi, ia sudah mempersiapkan apa saja yang harus dibawa sesuai dengan instruksi yang telah diberikan admin fakultasnya khusus untuk mahasiswa yang mengambil kelas karyawan. Bening benar-benar antusias sampai semalam agak kurang bisa tidur karena kepikiran akan resmi memulai hidupnya dengan status mahasiswa. Sesuatu yang sudah ia impi-impikan dari sejak lima tahun lalu. Pagi ini, Bening mengecek lagi apakah semua yang ia butuhkan sudah siap, baru kemudian memasak sarapan untuknya dan Kalingga. Ketika sarapan bersama, Kalingga bisa melihat dengan jelas hawa berseri-seri di wajah istrinya. Hal itu membuat Kalingga ikut senang meski waspada juga.“Kamu sepertinya sedang bahagia?” kata Kalingga.Bening yang sedang mengunyah sarapan sambil mesam-mesem sendiri sontak tersedak karena kaget dengan pertanyaan Kalingga.“Uhuk… uhuk…”Kalingga terkejut melihat Bening batuk, jadi ia buru-buru menyodorkan gelas berisi air minum kepada
Bening ragu. Ia tidak mau berurusan dengan Maya apapun yang terjadi. Masalahnya adalah, ia takut jika berurusan dengan gadis itu, nanti masalahnya akan runyam. “Maaf, aku lagi sibuk,” tolak Bening.Maya kelihatan tidak suka ditolak. “Cuma sebentar. Ini penting banget. Tapi, kalau kamu memang nggak mau ya udah. Mungkin emang baiknya kamu nggak tau soal Bang Lingga.”Ketika nama Kalingga disebut, Bening otomatis menatap Maya. “Memangnya mau ngomong apa?”“Jangan di sini, nggak enak ngomongnya. Di lantai bawah ada kafe tuh. Kita ke sana aja,” ajak Maya.Bening menghela napas panjang. Andai saja Maya tidak menyebut nama Kalingga, ia mungkin akan tetap menolak. Namun, Maya membuatnya penasaran. Kalau pun Bening memutuskan tidak mau, ia akan tetap kepikiran nantinya. Bening pun akhirnya mengangguk setuju. Ia mengikuti Maya ke lantai bawah supermarket di mana ada kafe kecil di sana. Rasanya gelisah. Bening tidak pernah berhadapan dengan Maya tanpa berdebats satu sama lain. Tetapi, kali ini
Vina menatap bapak Wulan dengan ekspresi penuh tanya. Imbalan? Imbalan semacam apa sebenarnya yang dimaksud oleh omnya itu?“Maksudnya imbalan apa ya Om? Vina harus kerja sama orang itu kah?”Bapak Wulan melirik ibunya Vina yang duduk di kursi tunggu sambil menangis. Ia tidak bisa bicara di depan ibunya Vina, atau rencana ini akan gagal. “Vin, bisa kita bicara berdua dulu? Om nggak enak sama ibumu, kayaknya dia lagi sedih banget.”Vina mengangguk. Sementara ibunya Vina ditemani oleh ibunya Wulan, Vina pergi menjauh bersama bapaknya Wulan untuk mendiskusikan soal bantuan pembayaran operasi bapaknya yang kecelakaan. Setelah merasa bahwa posisi mereka sudah cukup aman, barulah bapaknya Wulan mulai bermanis-manis menjelaskan mengenai seseorang yang akan membantunya. “Jadi gini Vin, Om tau orang yang bisa bantu bayar biaya operasi bapakmu.”“Siapa, Om?” tanya Vina.“Pak Harjo, juragan tembakau di kelurahan sebelah itu. Yang rumahnya tiga lantai dan punya sawah di mana-mana itu.”Pak Har
Yudha dan Vina diantar oleh pelayan dari toko Amethys itu ke belakang. Ada sebuah etalase kaca bening yang tampak mewah. Di dalamnya, terdapat berbagai bentuk cincin pernikahan yang menarik dan pastinya elegan. Tidak ada label harga dari perhiasan itu, tetapi Vina sudah bisa membayangkan kalau harganya pasti tidak murah.“Om, kenapa kita beli cincin di sini?” bisik Vina.Yudha menoleh. “Kenapa? Kamu nggak suka?”‘Mana mungkin aku nggak suka!’ seru Vina dalam hati. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Masalahnya, toko ini kelihatan sekali bukan toko perhiasan biasa. Vina khawatir dengan harganya.“Kalau memang nggak suka, kita bisa pindah ke tempat lain. Kebetulan, ini toko yang direkomendasikan oleh Papa saya.”Vina membelalak. “Om Kalingga?”Yudha mengangguk. Vina menelan ludahnya dengan susah payah. Semakin banyak ia tahu mengenai keluarga Yudha, semakin terkejut pula dirinya. Sebelumnya, ia baru tahu kalau Bening berlangganan pada sebuah butik mewah, sekarang toko perhiasan rekome
Wulan dan bapaknya saling berpandangan pasca menyebut nama Vina. Bapak Wulan mengernyit, ia tidak paham apa maksudnya. “Maksud kamu apa bawa-bawa anak miskin itu?”Wulan sebenarnya tidak ada niatan sama sekali membawa-bawa nama Vina. Lidahnya terselip dan nama Vina malah yang pertama kali ia sebut karena sudah terdesak. Wulan akan melakukan apapun asalkan ia tidak harus menikah dengan si bandot tua juragan tembakau itu. Ia tidak peduli meskipun hidupnya akan bergelimang harta kalau menikah dengan si juragan tembakau tersebut. Yang jelas, Wulan tidak sudi menjadi istrinya. “Coba Bapak pikir, karena Vina itu miskin, jadinya ‘kan lebih mudah buat dinikahin. Dia nggak akan ngelawan.”Bapak Wulan mengernyit. “Tapi Pak Harjo udah tau soal kamu. Dia mau kamu jadi istrinya, mana bisa diganti seenaknya.”Wulan mengepalkan telapak tangannya. Ia tahu pasti, tipikal juragan kaya raya seperti Pak Harjo itu menikah bukan bukan karena cinta melainkan hanya untuk memuaskan napsu. Sekalian, menunjuk
Ibu dan bapaknya Vina tersenyum melihat Vina membelalak dan menganga karena terkejut. Yang datang adalah Yudha beserta Bening dan Kalingga. Mereka juga berdandan rapi, benar-benar seperti sudah mempersiapkan segalanya demi acara ini.Vina yang masih kebingungan menatap bapak dan ibunya. Pandangannya mengisyaratkan tanya, tetapi orang tuanya malah hanya mesam-mesem lucu kepadanya.“Gimana, Vin? Bener ‘kan apa yang Ibu bilang? Calonmu itu sangat cocok untuk kamu ‘kan?” kata ibunya.Vina seketika cemberut. “Ibu sama Bapak mau ngerjain Vina, ya?” Jujur saja, Vina tidak tahu bagaimana kondisi hatinya sekarang. Senang? Tentu saja. Siapa sangka calon yang katanya cocok dengan Vina itu ternyata adalah Yudha sendiri. Padahal, sudah sejak semalam Vina kepikiran karena pertemuan dadakan ini. Namun meski ia senang, tetap saja Vina merasa kaget dan tidak menyangka. Sebuah pertanyaan muncul di benak Vina sekarang, sejak kapan orang tuanya merencanakan pertemuan ini bersama dengan keluarga Yudha?
Vina masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gelisah. Baru saja ia merasa senang karena akhirnya hubungan dengan Yudha membaik. Mereka sudah sama-sama saling mengakui kalau perasaan mereka mutual satu sama lain. Vina tidak cinta sendirian, pun dengan Yudha sendiri, ia juga mencintai Vina. Ia pikir, setelah ini hubungan mereka bisa melangkah ke jenjang selanjutnya setelah berbicara dengan kedua keluarga, tetapi mengapa tiba-tiba ibunya berniat mengenalkan Vina dengan pria lain?Vina menghela napas panjang. “Padahal aku sama Om Yudha baru aja damai,” gumamnya lesu. Vina mencoba untuk menghubungi nomor Yudha. Ia rasa, hal ini tidak seharusnya disimpan sendiri. Lebih baik dikomunikasikan saja daripada nanti urusannya malah runyam.Panggilan pertama, sama sekali tidak ada jawaban. Vina semakin resah. “Apa Om Yudha belum sampai rumah ya makanya nggak diangkat?”Vina menunggu sebentar lagi. Ia berusaha berpikir positif, sebab nomor Yudha aktif, hanya panggilannya saja yang tidak terjawab. B
Vina tertegun atas pelukan tiba-tiba tersebut. Ia membeku, diam, dan tidak tahu harus melakukan apa. Guyuran hujan deras dan embusan angin kencang begitu dingin menusuk tulang. Vina seharusnya sudah menggigil gara-gara situasi hujan angin deras tersebut, tetapi entah mengapa tubuhnya merasa biasa saja. Mungkinkah dekapan Yudha melindunginya dari hawa dingin tersebut? entahlah, yang jelas, Vina merasa nyaman. Selama beberapa saat, Vina tidak melakukan apa-apa. Ia biarkan saja lengan kekar Yudha mendekapnya dengan begitu erat. Secara refleks, Vina malah menyandarkan kepalanya pada dada Yudha, tetapi kedua lengannya tidak melakukan apa-apa. Ia tidak balas memeluk, sebab situasi ini terlalu mengejutkan untuk Vina. Sampai kemudian, ia tersadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Yudha akan menikah dengan wanita lain. Tak seharusnya Vina terlalu dekat dengan Yudha bahkan sampai melakukan kontak fisik seperti ini. Vina yang tersadar bahwa hal ini tak seharusnya dilakukan segera mendo
Vina diam saja setelah mendengar jawaban Bening mengenai barang-barang yang ia beli untuk calon menantunya itu. Ia terus mengekori Irene dan Bening yang sedang berdiskusi, tetapi pikirannya benar-benar sudah melayang entah ke mana. Ia berusaha biasa saja, padahal hatinya menjerit frustrasi. Selesai berbelanja, Vina membantu mengepak semua item yang dibeli oleh Bening ke dalam kotak-kotak dengan ukuran beragam kemudian memasukkannya ke paper bag. Belanjaan Bening lumayan banyak, dan wanita itu tampak agak kesusahan membawanya sendirian. “Biar saya bantu bawakan sampai ke mobil, Tante,” kata Vina.Bening mengangguk. “Terima kasih ya, Vin.”Kebetulan, Bening datang ke butik itu hanya bersama dengan supir, dan biasanya supir Bening hanya menunggu di dalam mobil kalau tidak disuruh oleh Bening untuk mengawal. Makanya, Vina berinisiatif membantu membawakan semua paper bag belanjaan itu sampai ke mobilnya. Ketika sudah keluar dari butik, Bening langsung teringat dengan permasalahan yang d
Vina tidak kuat melihat kedekatan Bening dengan Raisa. Jujur saja, ia iri. Mungkin, Vina hanya merasa diistimewakan saat itu. Ia terlalu percaya diri karena Bening baik padanya, padahal Bening memang baik kepada semua orang. Dari awal, karakter Bening memang orang baik dan lemah lembut. Perlakuan baik Bening kepada Vina juga merupakan hal yang biasa, Vina saja yang menanggapinya berbeda seolah-olah ia sangat penting untuk Bening. “Harusnya aku nggak ke-PD-an pas Tante Bening baik sama aku. Tante Bening ‘kan emang selalu baik ke semua orang,” gumam Vina getir. Tujuannya ke sana untuk membicarakan masalah Garuda berdasarkan keterangan Raya, tetapi melihat Raisa di sana, Vina mengurungkan niat itu. Hatinya tak sanggup. Vina pun berbalik dan hendak pergi, tetapi ketika ia memutar badannya, malah ada Yudha di sana. Vina sontak menghentikan langkahnya karena terkejut. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Yudha dingin. Vina menggeleng. Ia berusaha bersikap biasa saja meski hatinya berdebar ta
Vina seketika berwajah datar. Mengapa pula ia harus bertemu Raya di sini? Ia sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa sekarang. Hubungan Vina dan Raya sebelumnya baik-baik saja. Raya juga ramah padanya karena tahu kalau Vina adalah pacar kakaknya. Namun, kali ini karena Vina sudah tidak pacaran dengan Reyhan, sikap Raya juga kelihatan sekali berubah. Vina yang tadinya sedang memilih-milih lotion badan langsung mengambil secara random yang ada di depan matanya. Ia memandang Raya sekilas, tak ada niatan sama sekali untuk berinteraksi lebih lama dengan gadis itu."Maaf, aku lagi sibuk. Lain kali aja," kata Vina. Ia segera berbalik dan hendak pergi ke kasir. Namun, Raya lebih dulu menarik bahunya dari belakang."Nggak bisa lain kali. Kita harus bicara sekarang," tegas Raya.Vina mengernyit. "Apa sih, Ray? Kan aku udah bilang kalau aku sibuk. Lain kali sajalah."Raya tetap bersikeras. Ia yang tadinya mencengkeram bahu Vina beralih menahan lengan gadis itu. "Nggak mau. Pokoknya harus sekaran