Hari ini, Kalingga secara khusus mengajak Bening untuk belajar beladiri sesuai dengan apa yang ia bilang sebelumnya. Sebelum belajar beladiri, Kalingga mengajak Bening untuk jogging terlebih dahulu sebagai pemanasan agar nanti meminimalisir terjadi cedera. Selesai jogging bersama, Kalingga masih kelihatan santai, bahkan tidak terlalu berkeringat. Namun, Bening sebaliknya. Ia memang tidak terlalu mengutamakan olahraga, jadi tubuhnya pun lumayan kaku dan mudah lelah digunakan lari agak lama. “Ayo lanjut,” ucap Kalingga.Bening langsung duduk di teras dengan napas ngos-ngosan. Ia mengibaskan telapak tangannya sambil menggeleng.“Sebentar… Capek banget, Kapten.”Kalingga geleng-geleng kepala. “Itulah kalau nggak rajin olahraga.”Bening cemberut. Apa yang dikatakan Kalingga ada benarnya. Namun, diomeli seperti ini rasanya menyebalkan juga. Kalingga langsung berubah jadi mode komandan kalau sedang melatih.“Lima menit istirahat ya, nggak ada perpanjangan. Kalau terlalu lama istirahat, nan
Hari ini, Bening sudah mulai berangkat ke kampus. Sejak malam tadi, ia sudah mempersiapkan apa saja yang harus dibawa sesuai dengan instruksi yang telah diberikan admin fakultasnya khusus untuk mahasiswa yang mengambil kelas karyawan. Bening benar-benar antusias sampai semalam agak kurang bisa tidur karena kepikiran akan resmi memulai hidupnya dengan status mahasiswa. Sesuatu yang sudah ia impi-impikan dari sejak lima tahun lalu. Pagi ini, Bening mengecek lagi apakah semua yang ia butuhkan sudah siap, baru kemudian memasak sarapan untuknya dan Kalingga. Ketika sarapan bersama, Kalingga bisa melihat dengan jelas hawa berseri-seri di wajah istrinya. Hal itu membuat Kalingga ikut senang meski waspada juga.“Kamu sepertinya sedang bahagia?” kata Kalingga.Bening yang sedang mengunyah sarapan sambil mesam-mesem sendiri sontak tersedak karena kaget dengan pertanyaan Kalingga.“Uhuk… uhuk…”Kalingga terkejut melihat Bening batuk, jadi ia buru-buru menyodorkan gelas berisi air minum kepada
Bening ragu. Ia tidak mau berurusan dengan Maya apapun yang terjadi. Masalahnya adalah, ia takut jika berurusan dengan gadis itu, nanti masalahnya akan runyam. “Maaf, aku lagi sibuk,” tolak Bening.Maya kelihatan tidak suka ditolak. “Cuma sebentar. Ini penting banget. Tapi, kalau kamu memang nggak mau ya udah. Mungkin emang baiknya kamu nggak tau soal Bang Lingga.”Ketika nama Kalingga disebut, Bening otomatis menatap Maya. “Memangnya mau ngomong apa?”“Jangan di sini, nggak enak ngomongnya. Di lantai bawah ada kafe tuh. Kita ke sana aja,” ajak Maya.Bening menghela napas panjang. Andai saja Maya tidak menyebut nama Kalingga, ia mungkin akan tetap menolak. Namun, Maya membuatnya penasaran. Kalau pun Bening memutuskan tidak mau, ia akan tetap kepikiran nantinya. Bening pun akhirnya mengangguk setuju. Ia mengikuti Maya ke lantai bawah supermarket di mana ada kafe kecil di sana. Rasanya gelisah. Bening tidak pernah berhadapan dengan Maya tanpa berdebats satu sama lain. Tetapi, kali ini
Bening memberanikan diri dan mendekati Wildan yang senyam-senyum menjijikkan ketika melihatnya. Sungguh, kelakuan Wildan saat ini tak ada bedanya dengan stalker yang sungguh mengganggu ketenangan hidup Bening. Jika sebelumnya Bening langsung merasa takut setiap kali melihat Wildan, kali ini ia tidak akan gentar begitu saja. Ia juga sudah belajar beladiri dengan Kalingga sebelumnya, dan ini berada di lingkungan battalion. Kalau sampai Wildan berani macam-macam, ia sendiri yang akan rugi.“Mau apa kamu ke sini?” tanya Bening sinis. Wildan tersenyum lebar. “Ya mau ketemu calon janda lah,” katanya santai.Bening mengepalkan telapak tangannya. Mulut Wildan benar-benar tidak bisa dijaga sama sekali. bisa-bisanya ia berkata seperti itu dengan tampang tanpa dosa. “Jadi bagaimana? Kamu mau jadi janda atau mau jadi selingkuhanku aja? Dua-duanya enggak masalah kok.”Bening menggertakkan giginya. “Bisa diem, nggak?!”Wildan mencebik. “Oh, enggak bisa dong, Sayang. Aku udah baik lho sama kamu, a
Kalingga menarik napas panjang. “Boleh enggak kalau saya nggak usah jawab?” Bening mengernyit. Pertanyaan macam apa itu? Bening sampai kepikiran gara-gara Maya mengatakannya dengan ekspresi yang aneh. Sekarang, Bening butuh jawaban dari mulut Kalingga sendiri. Lantas bisa-bisanya pria itu berkata demikian. “Kapten mau main rahasia-rahasiaan sama aku?” balas Bening. Kedua alisnya sudah menukik tajam, tanda bahwa ia sedang tidak mau diajak bercanda sekarang. Ia sungguh sedang serius, dan ia tidak mau Kalingga bermain-main dengannya. “Ingat ya Kapten, kamu sendiri yang bilang sama aku kalau kita harus saling jujur satu sama lain. Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri. Masa iya aku harus ngomong semua masalahku tapi kamunya malah asyik rahasia-rahasiaan begini?”Kalingga mengangguk. “Jangan marah dulu, Bening.”Bening menghela napas. “Siapa juga yang marah?”“Itu, alis kamu sampai menukik begitu.”“Aku serius, Kapten! Aku nggak suka ya dibercandain di saat serius begini,” tegas Ben
Sebelum subuh, Bening dan Kalingga sudah sama-sama bangun karena mereka akan segera pulang. Kalingga juga harus bekerja hari ini, jadi tidak bisa molor-molor. Bening memasakkan makanan untuk sarapan mereka di dapurnya Bu Rita. Berhubung dapur Bu Rita tidak pernah kekurangan stok bahan makanan, jelas masak pukul berapapun tidak ada masalah. Bu Rita terbangun saat menjelang subuh, dan Bening sudah selesai memasak. Ia tidak memasak banyak, hanya beberapa saja. Rasanya tidak enak datang ke rumah mertua lalu pulang begitu saja. “Loh? Kamu udah masak gelap-gelap gini, Ning?” tanya Bu Rita.Bening tersenyum. “Buat Mama dan Kinan sarapan nanti.”Bu Rita menengok masakan Bening. “Kamu nggak usah repot-repot, Ning. Jam segini sampai udah siap sarapannya.”Bening menggeleng. “Nggak papa, Ma. Maaf juga soalnya main pakai bahan makanan Mama, hehe.”“Ya nggak papalah. Kamu nggak mau bungkus makananya buat kamu sama Kalingga nanti? Ini lumayan banyak juga lauknya.”“Nggak usah, Ma. Nanti Bening sa
Sungguh, Wildan heran mengapa reaksi Bening seperti itu. Bukankah ia selalu ketakutan tiap kali Wildan mengungkit masalah foto dan video yang ia gunakan untuk melakukan blackmail kepada Bening? Lantas, mengapa sekarang Bening malah menantangnya?Wildan berusaha tak gentar dengan tantangan Bening. Ia harus menggertak lebih kuat supaya Bening kembali ketakutan dan memohon kepadanya seperti biasa.Wildan menarik ponselnya dari saku kemudian menantap Bening dengan sorot mata tajam. “Oh, kamu nantangin? Oke, baik kalau memang itu mau kamu.” Wildan pura-pura menggeser-geser layar ponselnya, bertingkah seolah ia sedang melakukan sesuatu di ponsel itu sambil sesekali melirik ekpresi Bening. Sayangnya, sama sekali tidak ada tanda-tanda Bening panik apalagi ketakutan. Ia malah diam saja, ekspresinya tenang, dan seolah-olah sedang menunggu Wildan untuk menyebarkan foto dan video itu.“Aku serius, Ning. Satu klik saja, foto dan video kamu akan tersebar di media sosial. Bukan nama kamu aja yang b
Tentu saja Bening tahu kalau tentara pasti ada masanya harus menjalani satgas. Lima tahun ia berhubungan dengan Wildan, mana mungkin ia tidak tahu sama sekali. Namun, mendengar sendiri bahwa suaminya akan melakukan satgas, rasanya sungguh rumit. Bening bahkan tidak bisa mendeskripsikan dengan jelas apa yang ia rasakan sekarang setelah mendengar Kalingga akan satgas.“Jadi Mas akan satgas?” tanya Bening lagi. Kalingga mengangguk. “Iya, ‘kan sudah diberi tahu dari sebelum nikah, cuma saya memang lupa bilang ke kamu. Dan berangkat satgasnya kurang dari sebulan lagi.”Bening terkejut. Kurang dari sebulan lagi dan Kalingga baru mengatakannya sekarang? “Kok Mas Lingga bisa-bisanya baru ngomong sekarang?”Kalingga menghela napas. “Maaf, ‘kan saya sudah bilang kalau saya lupa. Beberapa waktu terakhir juga kita banyak urusan, jadi saya nggak inget soal itu.”Bening terdiam. Ada banyak waktu untuk Kalingga mengatakan soal satgas itu. Padahal Kalingga sendiri yang bilang kalau informasi satgas
Vina menatap bapak Wulan dengan ekspresi penuh tanya. Imbalan? Imbalan semacam apa sebenarnya yang dimaksud oleh omnya itu?“Maksudnya imbalan apa ya Om? Vina harus kerja sama orang itu kah?”Bapak Wulan melirik ibunya Vina yang duduk di kursi tunggu sambil menangis. Ia tidak bisa bicara di depan ibunya Vina, atau rencana ini akan gagal. “Vin, bisa kita bicara berdua dulu? Om nggak enak sama ibumu, kayaknya dia lagi sedih banget.”Vina mengangguk. Sementara ibunya Vina ditemani oleh ibunya Wulan, Vina pergi menjauh bersama bapaknya Wulan untuk mendiskusikan soal bantuan pembayaran operasi bapaknya yang kecelakaan. Setelah merasa bahwa posisi mereka sudah cukup aman, barulah bapaknya Wulan mulai bermanis-manis menjelaskan mengenai seseorang yang akan membantunya. “Jadi gini Vin, Om tau orang yang bisa bantu bayar biaya operasi bapakmu.”“Siapa, Om?” tanya Vina.“Pak Harjo, juragan tembakau di kelurahan sebelah itu. Yang rumahnya tiga lantai dan punya sawah di mana-mana itu.”Pak Har
Yudha dan Vina diantar oleh pelayan dari toko Amethys itu ke belakang. Ada sebuah etalase kaca bening yang tampak mewah. Di dalamnya, terdapat berbagai bentuk cincin pernikahan yang menarik dan pastinya elegan. Tidak ada label harga dari perhiasan itu, tetapi Vina sudah bisa membayangkan kalau harganya pasti tidak murah.“Om, kenapa kita beli cincin di sini?” bisik Vina.Yudha menoleh. “Kenapa? Kamu nggak suka?”‘Mana mungkin aku nggak suka!’ seru Vina dalam hati. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Masalahnya, toko ini kelihatan sekali bukan toko perhiasan biasa. Vina khawatir dengan harganya.“Kalau memang nggak suka, kita bisa pindah ke tempat lain. Kebetulan, ini toko yang direkomendasikan oleh Papa saya.”Vina membelalak. “Om Kalingga?”Yudha mengangguk. Vina menelan ludahnya dengan susah payah. Semakin banyak ia tahu mengenai keluarga Yudha, semakin terkejut pula dirinya. Sebelumnya, ia baru tahu kalau Bening berlangganan pada sebuah butik mewah, sekarang toko perhiasan rekome
Wulan dan bapaknya saling berpandangan pasca menyebut nama Vina. Bapak Wulan mengernyit, ia tidak paham apa maksudnya. “Maksud kamu apa bawa-bawa anak miskin itu?”Wulan sebenarnya tidak ada niatan sama sekali membawa-bawa nama Vina. Lidahnya terselip dan nama Vina malah yang pertama kali ia sebut karena sudah terdesak. Wulan akan melakukan apapun asalkan ia tidak harus menikah dengan si bandot tua juragan tembakau itu. Ia tidak peduli meskipun hidupnya akan bergelimang harta kalau menikah dengan si juragan tembakau tersebut. Yang jelas, Wulan tidak sudi menjadi istrinya. “Coba Bapak pikir, karena Vina itu miskin, jadinya ‘kan lebih mudah buat dinikahin. Dia nggak akan ngelawan.”Bapak Wulan mengernyit. “Tapi Pak Harjo udah tau soal kamu. Dia mau kamu jadi istrinya, mana bisa diganti seenaknya.”Wulan mengepalkan telapak tangannya. Ia tahu pasti, tipikal juragan kaya raya seperti Pak Harjo itu menikah bukan bukan karena cinta melainkan hanya untuk memuaskan napsu. Sekalian, menunjuk
Ibu dan bapaknya Vina tersenyum melihat Vina membelalak dan menganga karena terkejut. Yang datang adalah Yudha beserta Bening dan Kalingga. Mereka juga berdandan rapi, benar-benar seperti sudah mempersiapkan segalanya demi acara ini.Vina yang masih kebingungan menatap bapak dan ibunya. Pandangannya mengisyaratkan tanya, tetapi orang tuanya malah hanya mesam-mesem lucu kepadanya.“Gimana, Vin? Bener ‘kan apa yang Ibu bilang? Calonmu itu sangat cocok untuk kamu ‘kan?” kata ibunya.Vina seketika cemberut. “Ibu sama Bapak mau ngerjain Vina, ya?” Jujur saja, Vina tidak tahu bagaimana kondisi hatinya sekarang. Senang? Tentu saja. Siapa sangka calon yang katanya cocok dengan Vina itu ternyata adalah Yudha sendiri. Padahal, sudah sejak semalam Vina kepikiran karena pertemuan dadakan ini. Namun meski ia senang, tetap saja Vina merasa kaget dan tidak menyangka. Sebuah pertanyaan muncul di benak Vina sekarang, sejak kapan orang tuanya merencanakan pertemuan ini bersama dengan keluarga Yudha?
Vina masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gelisah. Baru saja ia merasa senang karena akhirnya hubungan dengan Yudha membaik. Mereka sudah sama-sama saling mengakui kalau perasaan mereka mutual satu sama lain. Vina tidak cinta sendirian, pun dengan Yudha sendiri, ia juga mencintai Vina. Ia pikir, setelah ini hubungan mereka bisa melangkah ke jenjang selanjutnya setelah berbicara dengan kedua keluarga, tetapi mengapa tiba-tiba ibunya berniat mengenalkan Vina dengan pria lain?Vina menghela napas panjang. “Padahal aku sama Om Yudha baru aja damai,” gumamnya lesu. Vina mencoba untuk menghubungi nomor Yudha. Ia rasa, hal ini tidak seharusnya disimpan sendiri. Lebih baik dikomunikasikan saja daripada nanti urusannya malah runyam.Panggilan pertama, sama sekali tidak ada jawaban. Vina semakin resah. “Apa Om Yudha belum sampai rumah ya makanya nggak diangkat?”Vina menunggu sebentar lagi. Ia berusaha berpikir positif, sebab nomor Yudha aktif, hanya panggilannya saja yang tidak terjawab. B
Vina tertegun atas pelukan tiba-tiba tersebut. Ia membeku, diam, dan tidak tahu harus melakukan apa. Guyuran hujan deras dan embusan angin kencang begitu dingin menusuk tulang. Vina seharusnya sudah menggigil gara-gara situasi hujan angin deras tersebut, tetapi entah mengapa tubuhnya merasa biasa saja. Mungkinkah dekapan Yudha melindunginya dari hawa dingin tersebut? entahlah, yang jelas, Vina merasa nyaman. Selama beberapa saat, Vina tidak melakukan apa-apa. Ia biarkan saja lengan kekar Yudha mendekapnya dengan begitu erat. Secara refleks, Vina malah menyandarkan kepalanya pada dada Yudha, tetapi kedua lengannya tidak melakukan apa-apa. Ia tidak balas memeluk, sebab situasi ini terlalu mengejutkan untuk Vina. Sampai kemudian, ia tersadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Yudha akan menikah dengan wanita lain. Tak seharusnya Vina terlalu dekat dengan Yudha bahkan sampai melakukan kontak fisik seperti ini. Vina yang tersadar bahwa hal ini tak seharusnya dilakukan segera mendo
Vina diam saja setelah mendengar jawaban Bening mengenai barang-barang yang ia beli untuk calon menantunya itu. Ia terus mengekori Irene dan Bening yang sedang berdiskusi, tetapi pikirannya benar-benar sudah melayang entah ke mana. Ia berusaha biasa saja, padahal hatinya menjerit frustrasi. Selesai berbelanja, Vina membantu mengepak semua item yang dibeli oleh Bening ke dalam kotak-kotak dengan ukuran beragam kemudian memasukkannya ke paper bag. Belanjaan Bening lumayan banyak, dan wanita itu tampak agak kesusahan membawanya sendirian. “Biar saya bantu bawakan sampai ke mobil, Tante,” kata Vina.Bening mengangguk. “Terima kasih ya, Vin.”Kebetulan, Bening datang ke butik itu hanya bersama dengan supir, dan biasanya supir Bening hanya menunggu di dalam mobil kalau tidak disuruh oleh Bening untuk mengawal. Makanya, Vina berinisiatif membantu membawakan semua paper bag belanjaan itu sampai ke mobilnya. Ketika sudah keluar dari butik, Bening langsung teringat dengan permasalahan yang d
Vina tidak kuat melihat kedekatan Bening dengan Raisa. Jujur saja, ia iri. Mungkin, Vina hanya merasa diistimewakan saat itu. Ia terlalu percaya diri karena Bening baik padanya, padahal Bening memang baik kepada semua orang. Dari awal, karakter Bening memang orang baik dan lemah lembut. Perlakuan baik Bening kepada Vina juga merupakan hal yang biasa, Vina saja yang menanggapinya berbeda seolah-olah ia sangat penting untuk Bening. “Harusnya aku nggak ke-PD-an pas Tante Bening baik sama aku. Tante Bening ‘kan emang selalu baik ke semua orang,” gumam Vina getir. Tujuannya ke sana untuk membicarakan masalah Garuda berdasarkan keterangan Raya, tetapi melihat Raisa di sana, Vina mengurungkan niat itu. Hatinya tak sanggup. Vina pun berbalik dan hendak pergi, tetapi ketika ia memutar badannya, malah ada Yudha di sana. Vina sontak menghentikan langkahnya karena terkejut. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Yudha dingin. Vina menggeleng. Ia berusaha bersikap biasa saja meski hatinya berdebar ta
Vina seketika berwajah datar. Mengapa pula ia harus bertemu Raya di sini? Ia sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa sekarang. Hubungan Vina dan Raya sebelumnya baik-baik saja. Raya juga ramah padanya karena tahu kalau Vina adalah pacar kakaknya. Namun, kali ini karena Vina sudah tidak pacaran dengan Reyhan, sikap Raya juga kelihatan sekali berubah. Vina yang tadinya sedang memilih-milih lotion badan langsung mengambil secara random yang ada di depan matanya. Ia memandang Raya sekilas, tak ada niatan sama sekali untuk berinteraksi lebih lama dengan gadis itu."Maaf, aku lagi sibuk. Lain kali aja," kata Vina. Ia segera berbalik dan hendak pergi ke kasir. Namun, Raya lebih dulu menarik bahunya dari belakang."Nggak bisa lain kali. Kita harus bicara sekarang," tegas Raya.Vina mengernyit. "Apa sih, Ray? Kan aku udah bilang kalau aku sibuk. Lain kali sajalah."Raya tetap bersikeras. Ia yang tadinya mencengkeram bahu Vina beralih menahan lengan gadis itu. "Nggak mau. Pokoknya harus sekaran