Sebelum subuh, Bening dan Kalingga sudah sama-sama bangun karena mereka akan segera pulang. Kalingga juga harus bekerja hari ini, jadi tidak bisa molor-molor. Bening memasakkan makanan untuk sarapan mereka di dapurnya Bu Rita. Berhubung dapur Bu Rita tidak pernah kekurangan stok bahan makanan, jelas masak pukul berapapun tidak ada masalah. Bu Rita terbangun saat menjelang subuh, dan Bening sudah selesai memasak. Ia tidak memasak banyak, hanya beberapa saja. Rasanya tidak enak datang ke rumah mertua lalu pulang begitu saja. “Loh? Kamu udah masak gelap-gelap gini, Ning?” tanya Bu Rita.Bening tersenyum. “Buat Mama dan Kinan sarapan nanti.”Bu Rita menengok masakan Bening. “Kamu nggak usah repot-repot, Ning. Jam segini sampai udah siap sarapannya.”Bening menggeleng. “Nggak papa, Ma. Maaf juga soalnya main pakai bahan makanan Mama, hehe.”“Ya nggak papalah. Kamu nggak mau bungkus makananya buat kamu sama Kalingga nanti? Ini lumayan banyak juga lauknya.”“Nggak usah, Ma. Nanti Bening sa
Sungguh, Wildan heran mengapa reaksi Bening seperti itu. Bukankah ia selalu ketakutan tiap kali Wildan mengungkit masalah foto dan video yang ia gunakan untuk melakukan blackmail kepada Bening? Lantas, mengapa sekarang Bening malah menantangnya?Wildan berusaha tak gentar dengan tantangan Bening. Ia harus menggertak lebih kuat supaya Bening kembali ketakutan dan memohon kepadanya seperti biasa.Wildan menarik ponselnya dari saku kemudian menantap Bening dengan sorot mata tajam. “Oh, kamu nantangin? Oke, baik kalau memang itu mau kamu.” Wildan pura-pura menggeser-geser layar ponselnya, bertingkah seolah ia sedang melakukan sesuatu di ponsel itu sambil sesekali melirik ekpresi Bening. Sayangnya, sama sekali tidak ada tanda-tanda Bening panik apalagi ketakutan. Ia malah diam saja, ekspresinya tenang, dan seolah-olah sedang menunggu Wildan untuk menyebarkan foto dan video itu.“Aku serius, Ning. Satu klik saja, foto dan video kamu akan tersebar di media sosial. Bukan nama kamu aja yang b
Tentu saja Bening tahu kalau tentara pasti ada masanya harus menjalani satgas. Lima tahun ia berhubungan dengan Wildan, mana mungkin ia tidak tahu sama sekali. Namun, mendengar sendiri bahwa suaminya akan melakukan satgas, rasanya sungguh rumit. Bening bahkan tidak bisa mendeskripsikan dengan jelas apa yang ia rasakan sekarang setelah mendengar Kalingga akan satgas.“Jadi Mas akan satgas?” tanya Bening lagi. Kalingga mengangguk. “Iya, ‘kan sudah diberi tahu dari sebelum nikah, cuma saya memang lupa bilang ke kamu. Dan berangkat satgasnya kurang dari sebulan lagi.”Bening terkejut. Kurang dari sebulan lagi dan Kalingga baru mengatakannya sekarang? “Kok Mas Lingga bisa-bisanya baru ngomong sekarang?”Kalingga menghela napas. “Maaf, ‘kan saya sudah bilang kalau saya lupa. Beberapa waktu terakhir juga kita banyak urusan, jadi saya nggak inget soal itu.”Bening terdiam. Ada banyak waktu untuk Kalingga mengatakan soal satgas itu. Padahal Kalingga sendiri yang bilang kalau informasi satgas
Kalingga sudah bertemu dengan Danyon tadi. Sesuai dengan perkiraannya, komandan meminta untuk masalah ini diselesaikan secara damai saja. Kalingga jelas tidak terima dengan kata damai apapun alasannya. Apa yang sudah dilakukan Wildan sudah berimbas buruk kepada Bening. Enak saja masalah ini selesai hanya dengan damai. Kalau begitu, jelas enak di Wildan. Kalingga terus memperjuangkan keadilan untuk Bening. Ia terus menolak meskipun sudah dibujuk oleh komandan. Apalagi, ia dan Wildan itu satu battalion. Siapa yang bisa menjamin nanti Wildan tidak akan berulah dan mengganggu Bening lagi? intinya, Kalingga hanya ingin Wildan enyah dari sekitar Bening. Setelah diskusi yang alot itu, akhirnya disepakati bahwa setelah satgas selesai, Wildan akan dipindahkan ke kesatuan lain demi keselamatan dan kenyamanan Bening. Kalingga sebenarnya masih tidak terima, tetapi menurut komandan, itu adalah jalan terbaik dan Wildan sendiri masih dihukum sekarang. Begitu sampai rumah, ia terus menghela napas
Kalingga kembali dari toilet dengan tergesa-gesa. Pikiran Bening setelah membaca pesan itu sudah ke mana-mana. Ia ingin bertanya kepada Kalingga mengapa Maya mengirim pesan seperti itu. Namun, begitu Kalingga datang, bunyi tanda keberangkatan kapal telah menggema keras. Artinya, hanya tinggal beberapa menit lagi Kalingga serta rekan-rekannya yang lain akan berangkat. Mereka harus segera naik ke kapal. Bening urung untuk bertanya. Ia memperhatikan Kalingga yang segera membawa tas besarnya, kemudian ia menghampiri Bening untuk meminta ponselnya.“Hape saya?” Bening menyerahkan ponsel Kalingga. Pandangannya menatap lekat kepada sang suami yang sudah siap naik kapal. “Untung saja saya masih sempat lari,” kata Kalingga.Bening hanya tersenyum.Kalingga pun segera berpamitan lagi kepada orang tuanya, Kinan dan Damar, kemudian kepada Bening. “Saya berangkat dulu ya. Kamu jaga diri baik-baik,” pesan Kalingga.Bening mengangguk. Ia mencium tangan suaminya. Kali ini, perasaan Bening tidak h
Bening melotot ganas. Enak saja Maya mau meminta tanggung jawab. Tidak ada kepastian apakah anak yang dikandung Maya itu benar anaknya Kalingga atau bukan. Siapa tahu selama berada di Indonesia, Maya bersama dengan pria lain. Namun meski berusaha berpikir positif seperti itu, Bening tetap saja merasa khawatir. Tetap ada kemungkinan bahwa anak yang dikandung Maya itu adalah anaknya Kalingga, ya karena memang ada momen di mana Kalingga datang ke apartemen Maya. Hati Bening dilemma sendiri dengan keyakinannya. Bukan berarti ia meragukan suaminya sendiri, tetapi mengingat bahwa Kalingga dan Maya dulu begitu dekat bahkan pernah berjanji akan bersama, rasa-rasanya wajar kalau Bening merasa kepikiran dengan kehamilan Maya.“Kamu jangan ngaco ya!” bentak Bening. “Apa-apaan minta tanggung jawab ke suami orang!”“Aku serius,” sahut Maya. “Aku lagi mengandung anaknya Bang Lingga, ya wajarlah kalau aku minta tanggung jawab ke dia.”Bening mengepalkan telapak tangannya. “Aku nggak percaya. Bisa a
Bening kaget sekali ketika menerima panggilan itu dan ternyata bukan suara ibunya yang ia dengar. Itu adalah suara tetangga dekat rumahnya yang kebetulan juga akrab dengan keluarga Bening dari dulu. Nadanya terdengar panik. Beliau mengabarkan kalau ibunya Bening sekarang ada di rumah sakit. Bening seketika diserang kepanikan. Ekspektasinya mendapatkan panggilan dari sang ibu adalah bisa mengorbol santai, tetapi kenyataannya malah mendengar beliau masuk rumah sakit.“Kamu bisa segera ke rumah sakit ‘kan, Ning? Soalnya nanti kalau urus administrasi ‘kan butuh anggota keluarga.”Bening berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia tidak boleh terlalu panik. Barangkali ibunya masuk rumah sakit karena kelelahan saja. Kondisi tubuh ibunya memang lumayan lemah seiring waktu. Jadi, kelelahan pun bisa memicu beliau tak sadarkan diri.“Iya, bisa Bu Meli. Bening ke sana sekarang juga. Tolong titip Ibu dulu ya.”“Iya, Ning. Kamu jangan panik ya, hati-hati di jalan,” kata Bu Meli.Bening pun mengiyaka
Ekspresi Bening langsung tampak tidak suka ketika melihat Susan di sana. Mengapa pula ia harus bertemu dengan wanita itu? memang Bening dan Susan tinggal di kampung yang sama, tetapi Bening tidak tahu kalau Susan ada di sini. Masa iya bertemu di pasar seperti ini hanya sekadar kebetulan?“Kamu ngikutin aku ya?” tuding Bening.Susan memutar bola matanya. “Nggak usah ke-PD-an. Siapa juga yang ngikutin kamu. Aku nggak sengaja aja lihat kamu.”Bening menaikkan sebelah alisnya. “Oh? Oke.”Bening langsung menyudahi kegiatannya membeli sayur kemudian bergegas melangkah pergi. Saat itulah, Susan langsung menahan lengan Bening sebelum wanita itu pergi.“Tunggu dulu.”Bening menoleh dengan ekspresi malas. “Apa lagi? Kamu bilang nggak ngikutin aku.”“Emang enggak!” sangkal Susan. “Aku… Aku cuma mau bicara sama kamu.”Bening langsung menarik tangannya dari pegangan Susan. “Aku lagi sibuk, lain kali aja,” katanya. Bening pun segera mempercepat langkahnya. Sungguh, ia tidak mau berurusan lagi denga
Yudha tidak langsung datang ke alamat Pak Harjo. Meskipun ia khawatir dengan Vina dan ingin secepatnya mengambil gadis itu kembali, bukan berarti ia akan bertindak gegabah. Yudha jelas tahu Pak Harjo yang dimaksud oleh bapaknya Vina bukan orang biasa. Ia butuh persiapan untuk bisa menyelamatkan Vina. Kalau tidak ada persiapan, salah-salah nanti ia sendiri yang celaka. Yudha menghubungi dua temannya, menjelaskan secara singkat apa yang terjadi kemudian meminta bantuan mereka untuk menjalankan rencana ini. Yudha tidak bisa sendirian masuk ke sarang musuh berbahaya. Tak lama setelah ia menghubungi dua temannya, mereka langsung datang ke lokasi yang dikirimkan oleh Yudha. Saat ini, Yudha berhenti tak jauh dari area tanah milik Pak Harjo. Mobilnya berhenti di sana sambil menunggu kedua temannya datang. “Kapten!” Kedua teman Yudha datang bersamaan. Mereka mengendarai motor berboncengan berdua. Yudha langsung keluar dari mobil.“Ada apa sebenarnya ini, Kapten? Ada situasi darurat apa?” ta
Bersama orang tua Wulan, Vina akhirnya sampai di kediaman mewah Pak Harjo. Vina sendiri tahu tentang Pak Harjo, tetapi ia tidak kenal secara personal. Vina hanya tahu sebatas dari kata tetangga-tetangga saja kalau sudah membicarakan mengenai harta Pak Harjo yang tidak ada habisnya dari keturunan-keturunan sebelumnya. Selain informasi umum seperti itu, Vina tidak tahu apapun. Malahan, ia baru tahu kalau Pak Harjo menawakan bantuan kepada yang membutuhkan. Itu juga karena bapaknya Wulan yang menginformasikan. Mobil yang dikendarai Vina beserta orang tua Wulan masuk ke pelataran rumah Pak Harjo. Mobil itu berhenti ketika seorang anak buah Pak Harjo mencegatnya. Bapaknya Wulan langsung melepas seatbelt dan menoleh ke kursi belakang.“Vin, jangan turun dulu. Om dan Bibi mau ngomong sama anak buahnya Pak Harjo sebentar.”Vina mengangguk saja. Orang tua Wulan pun turun dari mobil kemudian bicara dengan anak buah Pak Harjo. Dari posisi Vina di dalam mobil, ia sama sekali tidak bisa mendenga
Niat hati, Vina tidak mau mengabari Yudha dahulu sebelum ia memastikan sudah ada biaya untuk operasi bapaknya. Kalau sampai Yudha tahu bahwa bapaknya harus operasi tulang dan butuh biaya banyak, Yudha pasti akan berusaha membantu. Vina tidak ingin merepotkan Yudha lagi. Ia sudah cukup banyak menerima kebaikan Yudha, dan tak satu pun kebaikan itu ada yang sudah ia balas. Vina hanya enggan menjadi beban. Makanya, kali ini ia ingin berusaha sendiri. Namun, Yudha malah sudah datang ke rumah sakit bahkan sebelum Vina mengabari kondisi bapaknya. “Ibu yang ngabarin Nak Yudha, Vin,” sahut ibunya.Vina menghela napas panjang. Ia tidak memperingatkan apa-apa kepada ibunya. Siapa sangka kalau ibunya akan langsung terpikir mengabari Yudha?“Oh iya,” jawab Vina pelan.Yudha mendekati Vina. “Kenapa kamu nggak ngabarin saya, Vin?” tanyanya.“Oh, maaf ya, Om.”Yudha mendesah. “Saya kaget pas Ibu kamu telepon katanya Bapak kamu kecelakaan. Harusnya kamu langsung kabari saya supaya saya segera nyusul
Vina menatap bapak Wulan dengan ekspresi penuh tanya. Imbalan? Imbalan semacam apa sebenarnya yang dimaksud oleh omnya itu?“Maksudnya imbalan apa ya Om? Vina harus kerja sama orang itu kah?”Bapak Wulan melirik ibunya Vina yang duduk di kursi tunggu sambil menangis. Ia tidak bisa bicara di depan ibunya Vina, atau rencana ini akan gagal. “Vin, bisa kita bicara berdua dulu? Om nggak enak sama ibumu, kayaknya dia lagi sedih banget.”Vina mengangguk. Sementara ibunya Vina ditemani oleh ibunya Wulan, Vina pergi menjauh bersama bapaknya Wulan untuk mendiskusikan soal bantuan pembayaran operasi bapaknya yang kecelakaan. Setelah merasa bahwa posisi mereka sudah cukup aman, barulah bapaknya Wulan mulai bermanis-manis menjelaskan mengenai seseorang yang akan membantunya. “Jadi gini Vin, Om tau orang yang bisa bantu bayar biaya operasi bapakmu.”“Siapa, Om?” tanya Vina.“Pak Harjo, juragan tembakau di kelurahan sebelah itu. Yang rumahnya tiga lantai dan punya sawah di mana-mana itu.”Pak Har
Yudha dan Vina diantar oleh pelayan dari toko Amethys itu ke belakang. Ada sebuah etalase kaca bening yang tampak mewah. Di dalamnya, terdapat berbagai bentuk cincin pernikahan yang menarik dan pastinya elegan. Tidak ada label harga dari perhiasan itu, tetapi Vina sudah bisa membayangkan kalau harganya pasti tidak murah.“Om, kenapa kita beli cincin di sini?” bisik Vina.Yudha menoleh. “Kenapa? Kamu nggak suka?”‘Mana mungkin aku nggak suka!’ seru Vina dalam hati. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Masalahnya, toko ini kelihatan sekali bukan toko perhiasan biasa. Vina khawatir dengan harganya.“Kalau memang nggak suka, kita bisa pindah ke tempat lain. Kebetulan, ini toko yang direkomendasikan oleh Papa saya.”Vina membelalak. “Om Kalingga?”Yudha mengangguk. Vina menelan ludahnya dengan susah payah. Semakin banyak ia tahu mengenai keluarga Yudha, semakin terkejut pula dirinya. Sebelumnya, ia baru tahu kalau Bening berlangganan pada sebuah butik mewah, sekarang toko perhiasan rekome
Wulan dan bapaknya saling berpandangan pasca menyebut nama Vina. Bapak Wulan mengernyit, ia tidak paham apa maksudnya. “Maksud kamu apa bawa-bawa anak miskin itu?”Wulan sebenarnya tidak ada niatan sama sekali membawa-bawa nama Vina. Lidahnya terselip dan nama Vina malah yang pertama kali ia sebut karena sudah terdesak. Wulan akan melakukan apapun asalkan ia tidak harus menikah dengan si bandot tua juragan tembakau itu. Ia tidak peduli meskipun hidupnya akan bergelimang harta kalau menikah dengan si juragan tembakau tersebut. Yang jelas, Wulan tidak sudi menjadi istrinya. “Coba Bapak pikir, karena Vina itu miskin, jadinya ‘kan lebih mudah buat dinikahin. Dia nggak akan ngelawan.”Bapak Wulan mengernyit. “Tapi Pak Harjo udah tau soal kamu. Dia mau kamu jadi istrinya, mana bisa diganti seenaknya.”Wulan mengepalkan telapak tangannya. Ia tahu pasti, tipikal juragan kaya raya seperti Pak Harjo itu menikah bukan bukan karena cinta melainkan hanya untuk memuaskan napsu. Sekalian, menunjuk
Ibu dan bapaknya Vina tersenyum melihat Vina membelalak dan menganga karena terkejut. Yang datang adalah Yudha beserta Bening dan Kalingga. Mereka juga berdandan rapi, benar-benar seperti sudah mempersiapkan segalanya demi acara ini.Vina yang masih kebingungan menatap bapak dan ibunya. Pandangannya mengisyaratkan tanya, tetapi orang tuanya malah hanya mesam-mesem lucu kepadanya.“Gimana, Vin? Bener ‘kan apa yang Ibu bilang? Calonmu itu sangat cocok untuk kamu ‘kan?” kata ibunya.Vina seketika cemberut. “Ibu sama Bapak mau ngerjain Vina, ya?” Jujur saja, Vina tidak tahu bagaimana kondisi hatinya sekarang. Senang? Tentu saja. Siapa sangka calon yang katanya cocok dengan Vina itu ternyata adalah Yudha sendiri. Padahal, sudah sejak semalam Vina kepikiran karena pertemuan dadakan ini. Namun meski ia senang, tetap saja Vina merasa kaget dan tidak menyangka. Sebuah pertanyaan muncul di benak Vina sekarang, sejak kapan orang tuanya merencanakan pertemuan ini bersama dengan keluarga Yudha?
Vina masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gelisah. Baru saja ia merasa senang karena akhirnya hubungan dengan Yudha membaik. Mereka sudah sama-sama saling mengakui kalau perasaan mereka mutual satu sama lain. Vina tidak cinta sendirian, pun dengan Yudha sendiri, ia juga mencintai Vina. Ia pikir, setelah ini hubungan mereka bisa melangkah ke jenjang selanjutnya setelah berbicara dengan kedua keluarga, tetapi mengapa tiba-tiba ibunya berniat mengenalkan Vina dengan pria lain?Vina menghela napas panjang. “Padahal aku sama Om Yudha baru aja damai,” gumamnya lesu. Vina mencoba untuk menghubungi nomor Yudha. Ia rasa, hal ini tidak seharusnya disimpan sendiri. Lebih baik dikomunikasikan saja daripada nanti urusannya malah runyam.Panggilan pertama, sama sekali tidak ada jawaban. Vina semakin resah. “Apa Om Yudha belum sampai rumah ya makanya nggak diangkat?”Vina menunggu sebentar lagi. Ia berusaha berpikir positif, sebab nomor Yudha aktif, hanya panggilannya saja yang tidak terjawab. B
Vina tertegun atas pelukan tiba-tiba tersebut. Ia membeku, diam, dan tidak tahu harus melakukan apa. Guyuran hujan deras dan embusan angin kencang begitu dingin menusuk tulang. Vina seharusnya sudah menggigil gara-gara situasi hujan angin deras tersebut, tetapi entah mengapa tubuhnya merasa biasa saja. Mungkinkah dekapan Yudha melindunginya dari hawa dingin tersebut? entahlah, yang jelas, Vina merasa nyaman. Selama beberapa saat, Vina tidak melakukan apa-apa. Ia biarkan saja lengan kekar Yudha mendekapnya dengan begitu erat. Secara refleks, Vina malah menyandarkan kepalanya pada dada Yudha, tetapi kedua lengannya tidak melakukan apa-apa. Ia tidak balas memeluk, sebab situasi ini terlalu mengejutkan untuk Vina. Sampai kemudian, ia tersadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Yudha akan menikah dengan wanita lain. Tak seharusnya Vina terlalu dekat dengan Yudha bahkan sampai melakukan kontak fisik seperti ini. Vina yang tersadar bahwa hal ini tak seharusnya dilakukan segera mendo