Bab 85Sumi menepuk pelan punggung wanita di hadapannya yang kini tampak sendu. Setelah Sumi mengetahui tentang fakta terbaru mengenai Siti yang telah menggugat cerai suaminya, Sumi ikut bersedih karenanya."Mbak nggak salah, kok. Lagi pula laki-laki macam apa yang abai pada istri dan anaknya? Aku masih nggak habis pikir," celetuknya dengan nada bicara yang terdengar begitu jengkel.Awalnya Siti merasa ragu untuk menceritakan tentang masalah pribadinya pada orang lain. Namun kini dia merasa sedikit lega karena beban pikiran yang membuatnya tertekan telah berkurang perlahan."Tapi aku takut, Sum. Takut Putri suatu hari nanti menanyakan tentang ayahnya dan aku nggak bisa memberikan jawaban," lirihnya.Ketakutan Siti bukannya tak berdasar, dia memang telah mempertimbangkan segalanya mulai dari aspek tentang putrinya yang bisa saja merasa kehilangan sosok ayah di dalam hidupnya."Nanti Mbak pelan-pelan kasih tahu Putri. Aku yakin kalau dia pasti akan mengerti, kok."Siti mengangguk pelan
Bab 86"Su-sudah pulang, Pak?"Penjaga sekolah tampak mengangguk untuk membenarkan dugaan Siti."Iya, Bu. Udah pada pulang sekitar 30 menit yang lalu, kok."Lagi, penjelasan penjaga sekolah kembali membuat wanita itu merasa terkejut dan juga bingung.Pikirannya kini terasa campur aduk. Namun Siti dengan cepat langsung menggelengkan kepalanya agar bisa menepis pikiran aneh yang sempat hinggap."Maaf, Pak. Saya boleh masuk sebentar? Mau ketemu sama guru untuk memastikan, siapa tahu anak saya ada di kantor," pintanya.Awalnya penjaga sekolah tampak ragu. Namun saat melihat kekhawatiran begitu jelas di wajah Siti, pria itu akhirnya menyetujuinya."Iya, boleh. Saya antar sekalian, Bu."Siti mengangguk dengan cepat dan langsung mengikuti langkah penjaga sekolah dari belakang. Walau dia kini tengah merasa khawatir, Siti tetap berusaha untuk tenang dan berpikir positif.Tak berselang lama mereka telah sampai di ruang guru dan penjaga sekolah masuk lebih dulu untuk memanggil wali kelas satu."
Bab 87Sekelebat pikiran aneh mulai muncul di dalam kepala Siti. "A-apa Putri diculik, Sum?"Sumi melotot tak percaya dengan perkataan Siti. Sumi bergegas menepuk pelan pundak Siti dan mencoba untuk menyadarkan wanita itu agar tak terlalu larut dalam imajinasinya sendiri."Istighfar, Mbak Siti! Kamu jangan mikir yang aneh-aneh dulu karena ini semua masih belum pasti," tampiknya."Lalu aku harus gimana, Sum?! Putri nggak tahu ada dimana. Mana mungkin aku bisa sabar!"Rasa khawatir telah membuat wanita lemah lembut itu kini menjadi murka. Berbagai pikiran buruk tentu saja hinggap di dalam kepalanya karena Putri tak meninggalkan jejak apapun. Gadis kecil itu seolah-olah lenyap dan menghilang.Sumi menghela napasnya perlahan. Jika dia berada di posisi Siti, Sumi tentunya pasti akan marah juga."Kalau Mbak nggak berpikir jernih maka kita akan terus kalut dan enggak menemukan solusi apapun," ucapannya terjeda sesaat. Sumi menatap lekat lawan bicaranya yang kini tampak acak-acakan. Bahkan ha
Bab 88Setelah Handi tahu tentang masalah yang tengah terjadi mengenai Putri. Pria itu langsung bergegas untuk pulang agar bisa segera menyelesaikannya. Sebelumnya Handi menyerahkan semua pekerjaan pada sang sekretaris. Satu-satunya hal yang ingin dilakukannya sekarang ialah pulang dan memastikan sendiri dengan mata kepalanya."Handel semua pekerjaan untuk hari ini, Rosa. Saya harus pergi karena ada urusan penting," ujarnya.Rosa mengangguk patuh. "Baik, Pak Handi."Walaupun sebenarnya wanita itu merasa penasaran, Rosa memilih untuk tak menanyakannya. Apalagi Handi terlihat begitu tergesa-gesa. Pria itu berjalan menyusuri koridor kantor dengan langkah cepat. Beberapa karyawan terlihat bingung dengan tingkah atasannya. Namun mereka semua hanya bisa bertanya-tanya karena tidak ada satupun yang berani menanyakannya secara langsung.Mang Tatang tengah menyeruput kopi hitamnya. Pria itu memang cukup akrab dengan sekuriti kantor. Namun saat tengah asyik mengobrol, Tatang melihat sosok sang
Bab 89"Berhenti menangis dan diamlah!"Putri tersentak kaget saat mendapat hardikan dari neneknya. Gadis kecil itu mundur ke belakang saat melihat tatapan tajam yang terus saja menghantuinya. Bukannya berhenti menangis, Putri justru semakin tersedu. Dia ingin pulang, Putri ingin bertemu dengan Siti. Bersama dengan neneknya, Putri justru merasa ketakutan."Nek, Putri mau pulang. Putri pengen ketemu sama Ibu," rengeknya lagi.Tak ada sedikitpun rasa kepedulian yang muncul di dalam hati Retno. Dia justru sibuk memainkan ponsel karena tengah berkirim pesan dengan teman-temannya."Nek, Putri--""Bisa diem nggak, sih?! Berisik banget dari tadi nangis melulu!" Bentakan Retno berhasil membuat gadis kecil itu diam. Namun hanya beberapa detik saja, Putri kembali menangis."Emang kamu itu bocah nakal! Kamu itu bodoh kayak ibumu!"Geram, Retno lantas berdiri dan menarik tangan Putri. Cengkraman tangannya yang kuat berhasil membuat gadis kecil itu meringis kesakitan. Tenaga Retno bahkan tak dik
Bab 90Keadaan Siti kini mulai tenang dan wanita itu tak lagi menangis. Handi menatap letak sosok wanita yang tengah duduk berseberangan dengannya."Apa kamu tahu tempat yang kemungkinan besar didatangi oleh Putri?"Walaupun Putri kini memang tengah hilang dan tak diketahui keberadaannya, gadis kecil itu belum pasti diculik oleh seseorang. Handi pikir mungkin saja gadis kecil itu pergi ke tempat bermain ataupun tempat yang pernah dikunjunginya.Siti menggelengkan kepalanya perlahan. Selama dia bekerja di rumah ini, Putri lebih sering berada di rumah untuk membantunya."Saya nggak tahu, Pak. Rasanya Putri nggak mungkin pergi ke tempat lain jika dia memang sudah berada di sekolah. Saya yakin itu," jelasnya.Handi mengangguk pelan. Perkataan Siti barusan ada benarnya juga.Lalu Putri ada di mana?Handi menopang dagu dengan kedua tangan. Otak pria itu kini tengah berpikir keras untuk mencari tahu tentang keberadaan Putri. Setidaknya gadis kecil itu pasti memberikan sedikit jejak.Pandang
Bab 91Retno melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Mata wanita paruh baya itu kini tampak melotot sejenak karena dia telah lupa waktu sebab terlalu asik bertemu dengan teman-teman arisannya."Aduh, kok udah jam segini aja?" monolognya.Tari, teman sekaligus ketua geng arisan itu melirik ke arah Retno. Kening Tari tampak berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu. "Ada apa, Jeng? Kok kayaknya buru-buru banget, sih?""Ada urusan, Jeng Tari. Nggak bisa lama-lama ngumpul disini," jelas Retno singkat."Lho, kenapa memangnya?"Tari dan beberapa ibu-ibu lainnya juga merasa heran karena Retno memang biasanya akan menghabiskan waktu lebih lama untuk berkumpul.Bahkan Retno juga biasanya akan mentraktir teman-temannya. Aneh rasanya jika wanita itu beralasan ada urusan saat tengah mengadakan pertemuan."Cucu di rumah sendirian, Jeng. Tadi sih lagi tidur, tapi kalau bangun 'kan repot nanti nyariin. Kasihan," kilah Retno. Tentunya Retno tak mungkin mengatakan fakta yang
Bab 92"Kenapa, Ti? Nggak bisa dibuka, ya?"Senyum licik ini tampak merekah dengan sempurna di wajah Retno. Wanita itu tampak menggoyang-goyangkan sebuah kunci menggunakan jari telunjuknya seolah tengah mengejek Siti."Buka pintunya selagi aku masih meminta baik-baik, Bu."Suara Siti terdengar bergetar. Amarahnya benar-benar memuncak."Ibu ... Putri takut, Bu. Putri …"Samar-samar wanita itu mendengar suara putrinya dari kejauhan dan Siti sangat yakin kalau suaranya memang berasal dari dalam rumah."Putri? Put! Ya Allah ..." Ucapan Siti terjeda sesaat dan wanita itu kini menoleh ke arah ibu mertuanya, "Itu suara Putri 'kan? Buka pintu, Bu!" pintanya tak sabar.Handi yang melihat situasi mulai tak terkendali sontak langsung mengambil alih dan berusaha untuk mendobrak pintu karena pria itu sangat yakin kunci tidak akan diberikan oleh Retno.Mata Retno kini tampak membulat dengan sempurna. "Berhenti! Jangan rusak pintu rumahku!"Putri mengerjapkan matanya beberapa kali dan berharap bahwa