Bab 124Siti melirik ke arah gadis kecilnya yang kini telah terlelap. Pandangan wanita itu beralih menatap ponsel yang tergeletak tepat di atas meja samping kasurnya."Aku harus menghubungi Mas Adi," lirihnya.Tangan Siti terulur pelan dan meraih ponselnya. Siti memilih untuk keluar dari kamar karena tak ingin mengganggu ketenangan tidur anaknya. Wanita itu pergi ke taman belakang rumah.Suasana malam ini cukup dingin. Angin malam yang berhembus terasa begitu syahdu dengan cahaya rembulan yang menerangi jalanan. Perlahan tangannya mulai menekan nomor mantan suaminya yang masih dia hafal. Tapi wanita itu berhenti sesaat sambil memikirkan tentang konsekuensi yang harus dihadapinya karena menghubungi Adi. "Entah apa yang akan dipikirkan oleh Mas Adi. Tapi firasat ku mengatakan sesuatu yang buruk," lirihnya.Siti menghela napas berat. Bagaimanapun juga dia melakukan ini semua hanya karena memikirkan tentang perasaan Putri.Andai saja bukan karena kepepet, Siti juga tak ingin menghubungi
Bab 125Siti mengepalkan tangannya dengan erat. Tak bisa dipungkiri kini dia tengah merasa marah. Perkataan Adi makin melantur dan juga menyakitkan. Dia hanya ingin meminta pria itu sedikit berbelas kasih. Tapi negosiasi mungkin tak akan berjalan lancar. Buktinya, Adi juga makin sulit diajak bicara secara baik-baik"Terserah apa katamu, Mas. Tapi ingat satu hal ... Putri itu anakmu sendiri. Walau kita sudah bercerai sekalipun, Putri tetap darah dagingmu. Dia hanya ingin kita hadir sama-sama layaknya orang tua, bukan suami istri."Adi terkekeh pelan. Suara tawanya terdengar cukup menyebalkan."Seperti pernikahan kita yang sudah usai, dia juga bukan anakku lagi. Aku nggak perlu buang waktu untukmu ataupun Putri. Ingat itu!""Kamu keterlaluan, Mas!""Masa bodoh! Toh sejak awal aku sudah memberi peringatan kalau bercerai bukan solusi yang baik. Kamu yang ngotot buat pisah, Ti. Jadi jangan merengek kayak wanita murahan," sinisnya lagi.Siti tersentak kaget. Perkataan Adi telah membuat hati
Bab 126Siti mengikat rambut anaknya dan menghiasnya dengan pita berwarna merah. Gadis kecil itu tampak senang saat melihat penampilannya."Nah, Putri sekarang kelihatannya makin cantik!""Beneran, Bu?"Siti mengangguk pelan. Dia tak bohong sama sekali. Putri memang terlihat cantik di matanya. Bahkan bagi Siti, anaknya merupakan sosok yang paling cantik."Yuk kita sarapan dulu, Put. Terus berangkat deh ke sekolah," ajaknya.Gadis kecil itu kembali mengangguk dan keluar dari kamarnya sambil menggandeng tangan Siti. Pandangan mereka kini beralih menatap sosok pria yang tengah fokus menyantap sarapannya. Handi kini lebih sering makan di ruang makan. Sepertinya pria itu mulai merubah kebiasaan makan di ruang kerja. Handi juga merasa tak ada salahnya merubah suasana. Dia cukup bosan jika makan sendirian. Bahkan makanan enak terasa hambar karena tak ada teman makan."Pagi Om Handi, Mbak Sum dan Bi Yati!" Handi melirik sekilas ke arah gadis kecil yang baru saja keluar dari kamar. Dia mera
Bab 127Handi telah pergi beberapa menit yang lalu. Pria itu beralasan ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Siti juga tak berniat untuk terus membebani Handi. Setelah Siti selesai mencuci piring, wanita itu beralih melepas celemek dan bersiap untuk berangkat ke sekolah."Bi, aku berangkat dulu, ya?"Bi Yati mengangguk pelan. Siti melirik ke arah Sumi dan memberi kode seolah dia berpamitan. Putri tanpa diminta langsung berpamitan. Gadis kecil itu bahkan mencium tangan Bi Yati dan Sumi secara bergantian."Semoga acaranya sukses ya, Nduk."Putri mengangguk pelan. Dia kini berlalu pergi dan menggandeng tangan Siti. Untungnya, Siti berhasil menemukan taksi dengan cepat. Kini mereka berdua langsung melaju ke sekolah."Bu, Putri takut salah nanti," lirih gadis kecil itu. Siti tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, kok. Ibu yakin akan berjalan lancar. Putri hanya perlu membacanya seperti saat latihan," jelasnya.Putri mengangguk pelan. Dia mendongak dan menatap lekat wajah ibunya."Ayah
Bab 128"Ayahnya Putri mana, Bu? Kok nggak keliatan?"Degh!Jantung Siti rasanya berhenti berdetak setelah mendapat pertanyaan yang cukup mengejutkan dari Sri. Dia tahu kalau pada akhirnya suatu hari nanti pasti pertanyaan itu akan muncul dari seseorang.Siti merasa bingung. Dia ingin menjawab dan menceritakan tentang hal yang sebenarnya, tapi masih merasa ragu sebab saat ini statusnya adalah janda.Tapi mau bagaimanapun juga suatu hari nanti pakai yang ditutupi rapat akan tercium. Mau tak mau dia harus mengatakan yang sebenarnya."Ah, anu saya sebenarnya--""Maaf aku datang terlambat," suara seorang pria tiba-tiba memecah suasana canggung yang tengah terjadi.Siti mulai dengan tatapan terkejut saat mendapati majikan yang tiba-tiba datang dan mendekatinya."Oh, ini ayahnya Putri? Halo, salam kenal saya Sri. Ibunya Selly, teman dekat Putri." Wanita itu mengulurkan tangannya dan Handi tanpa basa-basi sedikitpun langsung menjabatnya. Begitu juga dengan Hendra. Mereka saling berkenalan si
Bab 129Handi dan Siti duduk di kursi penonton karena Putri sebentar lagi akan tampil. Gadis kecil itu kini tengah mengikuti arahan dari gurunya.Siti melirik ke arah pria yang duduk tepat di sampingnya. Sejak tadi dia merasa tak nyaman karena mengingat tentang perbuatan putrinya yang bisa dibilang cukup sembrono.Mau tak mau, Siti harus meminta maaf pada majikannya. Wanita itu perlahan mendekatkan tubuhnya ke arah Handi dan mulai berbisik pelan."Pak, terima kasih karena sudah datang ke sekolah dan berpura-pura untuk menjadi ayahnya Putri. Tapi sungguh saya minta maaf atas kejadian tadi, Pak."Handi melirik sekilas dan pria itu mengangguk perlahan. "Nggak apa-apa," balasnya.Kening Siti terlihat berkerut. Tapi setidaknya wanita itu bersyukur karena sang majikan tak marah sama sekali.Siti menarik tubuhnya kembali dan memandang area panggung yang kini acaranya sudah dimulai."Semoga Putri bisa membacakan puisinya dengan lancar," lirihnya.Tak berselang lama, Putri naik ke atas pangg
Bab 130"Cantik," lirih Handi.Wajah Siti terlihat merona. Tapi sebelum wanita itu menanyakan soal maksud dari ucapan sang majikan, Putri berlari sambil memanggil nama Siti."Ibu!"Siti menoleh dengan cepat. Dilihatnya sosok gadis kecil yang kini berlari mendekatinya. Wanita itu langsung berdiri dan berjongkok untuk bersiap memeluk Putri. Kini, ibu dan anak itu saling berpelukan erat. Semua orang yang melihatnya, juga merasa bahagia. Begitu juga dengan Handi.Putri melirik ke arah Handi dan menatap lekat sosok pria itu sambil memberi kode untuk mendekat. "Ayah, peluk aku juga!"Wajah Handi terlihat memerah. Pria itu mengangguk perlahan dan langsung mendekat. Tapi Handi tak berani untuk ikut berpelukan karena Siti kini tengah memeluk anaknya. Pria itu hanya berjongkok tepat di samping Siti dan mengelus pelan puncak kepala Putri."Kamu hebat, Put."*Adi terkekeh pelan karena pria itu sangat yakin kalau mantan istrinya saat ini pasti tengah menyesal. Dia sengaja tarik ulur agar bisa m
Bab 131Handi meletakkan tas kerjanya dan pria itu langsung bergegas untuk menyalakan komputer. Pertanyaan Tatang sempat membuatnya salah, tapi dia dengan cepat langsung beralasan bahwa kebaikannya itu hanya sekedar perhatian di antara atasan dan bawahan. Tak lebih dari itu semua."Ekspresi wajahnya tadi membuatku tak nyaman," lirihnya. Meski Tatang telah mendengar penjelasan dari majikannya, pria itu tak percaya begitu saja. Tatang justru tersenyum tipis dan Handi berhasil dibuat kikuk.Rosa yang baru saja pergi ke bagian manajemen pengelolaan data terlihat terkejut ketika tahu kalau sang atasan telah tiba di kantor. Wanita itu memberi salam sekedarnya dan langsung memberikan laporan tentang pembangunan kantor cabang yang sampai kini belum juga terlihat."Maaf, Pak. Ini laporan tentang pembangunan kantor cabang," ujarnya seraya menyerahkan sebuah dokumen berwarna biru tua.Handi mengangguk perlahan dan langsung menerimanya. Mata pria itu kini beralih membaca setiap laporannya. "Ini