"Kamu di sini?" Grizell yang baru saja keluar dari ruangannya, berpapasan dengan Naren di depan pintu ruangannya.
Nora yang berlari mengejar langsung berhenti mendadak. Matanya tak lagi tertarik pada sosok laki-laki di depannya itu, matanya tertuju pada perempuan yang ada di depannya. Melihat Nora dengan garis alis lurus dan garis bibir tegas. "Tunggu di ruanganku!" ucap Grizell berbicara dengan Nora. Naren yang sadar perhatian Kakaknya teralihkan, mencari tahu dengan siapa ia bicara. Naren melihatnya tapi Nora tidak. Nora sudah membungkukkan badannya. "Ikut aku!" ajak Grizell, menuntun Naren. "Kenalan Bu dokter?" gumam Nora, mengangkat kepalanya setelah Grizell pergi. Sesuai instruksi, Nora masuk ke dalam ruangan. Ternyata, dia tak sendiri di sana. Ada laki-laki tua, yang usianya hampir sama seperti Ayahnya, sedang duduk menyesap kopinya sambil melihat ke arahnya bingung. "Siang Pak," salam hormat Nora, menundukkan kepalanya. Nora mengenalnya tapi laki-laki tua itu tidak tahu Nora. "Dokter Grizell sedang keluar." "Bu Dokter menyuruh saya menunggunya di sini." "Kalau begitu duduklah!" Laki-laki tua itu, direktur rumah sakit tempat Nora bekerja sekarang. Ayah dari dokter Grizell Putri Dirgantara. Cucu pertama dari Dirgantara. "Terima kasih." balas Nora, memilih duduk di kursi dibandingkan duduk di sofa yang empuk. Bukannya dia tak sopan, tapi dia menghindari hal yang membuatnya canggung, tidak tahu harus bersikap bagaimana pada sosok itu jika ia duduk di sofa. "Namamu siapa?" "Saya Nora Pak." Nora membalikkan badannya, melihat ke arah Pak Kepala. "Ohh. Sudah berapa lama kerja di sini?" "Lima tahun lebih," "Menurutmu bagaimana rumah sakit ini?" Nora merasa seperti diwawancarai ulang, sama seperti pertama kali ia masuk dulu. "Bolehkah saya berkata jujur?" tanya Nora, membuat Ayah Grizell tertegun. Keberanian yang dibungkus rasa takut yang tercermin di wajah Nora, membuatnya merasa tertarik. "Tentu saja boleh. Memang harus begitu!" ucap Ayah Grizell tertawa, kerutan di area matanya terlihat begitu jelas. "Pelayanan rumah sakit kita sangat bagus, kita memiliki alat-alat penunjang kesehatan terbaik, obat-obatan semuanya lengkap di sini. Dokter yang ada semuanya profesional. Siapa yang tidak tahu rumah sakit ini? Tapi karena itu juga banyak masyarakat yang tidak mampu, tidak berani masuk ke rumah sakit ini. Hampir semua pasien yang ada di sini adalah dari kalangan atas. Mereka yang tak punya uang memilih untuk menahan rasa sakit mereka. Berpikir rumah sakit ini hanya rumah sakit untuk orang kaya saja. Saya tahu rumah sakit butuh uang untuk bisa membeli semua yang dibutuhkan tapi mengingat tujuan kenapa harus menjadi seorang perawat, saya hanya ingin merawat mereka yang sakit, terlepas dari uang yang mereka punya. Saya rasa petugas kesehatan yang lain mungkin berpikir sama seperti saya," ucap Nora panjang lebar dengan wajah menunduk. Dia tahu dirinya begitu naif karena menyamakan pikiran orang lain dengan pikirannya. Tapi hal itu memanglah yang membuatnya merasa terganggu selama bekerja di sana, selain itu tidak ada lagi. Mendapatkan teguran dari kepala ruangan, bukanlah apa-apa baginya. "Jadi menurutmu rumah sakit ini hanya untuk orang kaya saja?" "I-ya." "Jadi bagaimana?" "Ya?" Nora melongo tak mengerti maksud pertanyaannya. Wajahnya terangkat sambil menatap wajah Pak Kepala yang sedang menunggu jawaban darinya. "Bagaimana kita bisa memberitahu bahwa rumah sakit kita ini menerima semua kalangan? Tidak membedakan pasien?" "Mmm, itu...," Nora menunduk kembali. Bagaimana bisa ia memberikan saran yang sesuai dengan keinginannya? Itu mungkin bukanlah sebuah saran, lebih ke keinginannya sendiri. "Mungkin kita perlu melakukan kegiatan pemeriksaan gratis di desa-desa Pak!" "Boleh juga," Ayah Grizell kembali menyeruput kopinya. Suara langkah kaki yang terdengar di depan pintu membuat perhatian Nora teralihkan. "Mba sudah di sini?" sapa Vivi tak menyadari ada kepala rumah sakit. "Ya," jawab Nora memberikan isyarat. Menyadarkan Vivi bahwa di sana ada Pak Kepala juga. "Siang Pak!" ucap Vivi salah tingkah, langsung membungkuk hormat. "Kalian sudah ada di sini?" sahut Grizell, berdiri di belakang Vivi. Vivi sampai kaget dibuatnya. "Dimana Naren?" "Dia sudah pulang." "Kalau begitu Ayah pulang dulu." "Ya." "Terima kasih masukannya." ucap Pak Kepala melempar senyuman ke arah Nora. Grizell yang tahu Ayahnya memiliki hubungan dengan banyak perempuan setelah bercerai dengan ibunya, melempar tatapan dalam ke arah Nora. Merasa curiga dengan hubungan Ayahnya dengan Nora. "Sama-sama Pak," balas Nora tersenyum biasa saja. Tapi Grizell semakin curiga. "Kenapa kamu berdiri?" tegur Grizell, walau nadanya pelan tetap saja terdengar seperti marah karena raut wajahnya sangat mendukung. Bagaimanapun hal itu sudah tidak bisa diubah. Grizell sudah terlahir dengan raut wajah seperti itu. Vivi cepat-cepat duduk di samping Nora yang langsung duduk dengan rapi. Auranya yang terlalu kuat menekan keberanian Nora dan Vivi. Karena kejadian kemarin, Nora dan Vivi langsung disidang. Tak ada yang dibenarkan, keduanya sama-sama salah di mata Grizell. Akibat kesalahan mereka, jadwal off mereka dihilangkan selama sebulan, yang berarti dalam sebulan penuh tidak ada libur untuk mereka berdua. *** "Hmm," hela Vivi panjang. Sejak keluar dari ruangan Grizell dia sudah terlihat kehilangan semangat hidupnya. "Cuma sebulan saja. Jangan terlalu dipikirkan!" sahut Nora, bicara dengan Vivi tapi pikirannya sedang memikirkan yang lain. Setelah tahu laki-laki yang ia selamatkan sadar. Nora pergi mengunjunginya di sela istirahatnya. Laki-laki itu sangat berterimakasih kepada Nora karena sudah membantunya. Namun ada hal yang membuat Nora tidak mengerti, laki-laki itu menolak untuk melaporkan orang yang sudah memukulinya. Entah apa alasannya yang jelas itu tidak masuk akal. Dia hampir mati karena dipukuli tapi dia tidak mau melaporkannya. "Akhhh!" rengek Vivi lagi. Nora yang sedang melamun jadi kaget karena suaranya. "Kenapa lagi anak ini?" tegur Fera kesal. Dia juga kaget. "Mba. Pokoknya mba harus hati-hati sama temen Mba. Jangan sampai pacar Mba diambil teman sendiri!" ujarnya menyipitkan matanya. Entah apa yang ia lihat di ponselnya tapi yang jelas dia seperti itu setelah melihat ponselnya. "Pacar. Pacar. Pacar. Apa yang ada di pikiranmu cuma laki-laki aja?" protes Fera. "Tanpa laki-laki kita tidak bisa menjadi wanita seutuhnya!" "Kata siapa?" Fera tidak terima. Mengingat kegagalan yang sudah ia alami. Sampai saat ini dia bisa hidup bahagia tanpa seorang laki-laki di sisinya. Di saat dua orang itu tengah berdebat. Nora melihat ke arah handphonenya yang bergetar. Pesan masuk dari Adisty. ("Nora. Aku demam lagi. Boleh minta tolong bawakan aku obat?") ("Aku sedang kerja sekarang.") ("Kalau begitu boleh minta Danu yang membawakannya untukku?") ("Y-") Nora mengehentikan jari-jarinya. Huruf y yang sudah terketik tak bisa ia lanjutkan. Ucapan Vivi dan pikiran yang sempat terlintas di benaknya tadi, membuatnya ragu untuk mengiyakan permintaan Adisty tersebut. Nora pun menghapusnya. ("Nanti aku titipkan lewat pengantar paket saja.") balas Nora. Adisty diam membaca balasan Nora. Temannya itu tak pernah seperti ini sebelumnya. Dia tak pernah tidak mengiyakan permintaannya. "Aneh," gumam Adisty. Melempar handphonenya ke atas tempat tidur. Dia sedang berdiri di depan kaca panjang yang ada di kamarnya. Menatap tubuhnya yang tertutupi pakaian tidur berenda berwarna merah menyala. Cukup seksi hingga bulatan besar dadanya terlihat jelas. Pahanya yang mulus terekspos indah. "Sayang sekali," ucapnya tersenyum getir. "Mba! Mba Nor!" panggil Vivi mengalihkan perhatian Nora. "Ya?" jawab Nora mematikan handphonenya. Masih memikirkan balasan yang ia kirim ke Adisty tadi. Perasaannya tidak enak tapi dia tidak mengerti kenapa. "Mba udah pacaran lama kan sama pacarnya? Pernah putus nggak?" "Nggak pernah." "Pacarnya beda dari laki-laki lain." sahut Fera tersenyum mengejek. Membalas dengan ucapan yang Nora selalu katakan padanya. "Ck, hati-hati loh Mba. Sekalinya putus nanti langsung bubar loh!" "Mulutmu ya!!" bentak Fera. Vivi memang selalu begitu. Berbicara apapun yang ia inginkan tanpa menyaring lebih dulu. Tak memikirkan orang yang mendengar ucapannya itu, mungkin akan tersinggung atau marah. Sayangnya, Nora tidak marah maupun tersinggung. Kata-kata itu malah membuatnya berpikir cukup dalam mengenai hubungannya. Dia tak pernah memikirkan kemungkinan seperti itu dalam hubungannya. Pikirnya, Danu akan selalu ada bersamanya. Selama ini dia selalu yakin dan tidak pernah ragu untuk itu. Tapi entah sejak kapan keraguan itu tiba-tiba hadir menggerogoti hatinya. Mungkin sejak ia melihat pakaian Danu tadi pagi, sama seperti pakaian laki-laki yang tidur dengan Adisty malam itu. "Nora! Jangan dengarkan anak ini. Mulutnya memang gak bisa dijaga!" ujar Fera memenangkan. "Tidak apa-apa," balas Nora berdiri dari tempat duduknya dan pergi dari sana. "Kenapa Mba Nora? Biasanya ia selalu tersenyum walau kesal," Jangankan Vivi, Fera pun merasakan perubahan suasana hati Nora yang tiba-tiba menjadi begitu pendiam hari ini. "Lain kali pikir dulu sebelum bicara!" "Aku cuma kasih tahu pengalamanku!" balas Vivi tak mau kalah. Vivi tak pernah memikirkan bahwa kata-katanya itu akan menggangu Nora yang jadi tak berhenti memikirkannya. Sampai pulang pun Nora masih memikirkan kata-kata Vivi tadi. ("Sayang maaf. Aku tiba-tiba ada panggilan di kantor. Kamu bisa pulang sendiri kan?") chat dari Danu masuk. Nora diam cukup lama sampai akhirnya dia membalas chatnya. ("Ya bisa kok.") Nora memasukkan handphonenya ke dalam tas dan berjalan cepat seperti orang yang sedang dikejar. Di depan rumah sakit, ia melihat sebuah taxi yang terparkir di sana. Untuk pertama kalinya, Nora memberanikan diri menaiki taxi yang supirnya adalah laki-laki. "Perumahan HK Pak." beritahu Nora. Entah kenapa hatinya ingin membuktikan semua kecurigaannya itu. Perasaan mencengkam yang membuatnya merasa gelisah tak menentu. Ia tidak suka perasaan penuh curiga ini. Sementara itu disana, Danu yang mengatakan dirinya sedang di kantor. Berada di bawah parkiran basement gedung apartemen Adisty. Dia segera datang ke sana setelah mendapatkan panggilan dari Adisty. Jam tangan pemberian Nora saat hari ulang tahunnya tertinggal di apartemen Adisty. Danu keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam gedung. Di depa lift, Danu tak sengaja bertemu dengan Naren. Danu masih tidak mengenal Naren, tapi Naren mengenal Danu. Naren menatap tajam dengan senyuman mengejek. Danu yang melihat senyuman itu merasa tersinggung. "Kenapa orang itu?" gumam Danu, mengalihkan matanya saat Naren baru saja melewatinya setelah keluar dari dalam lift. Berjalan keluar dari pintu utama gedung untuk berolahraga. Naren berpapasan dengan Nora yang sedang berlari ke arahnya. Nora sama sekali tak menyadari keberadaan Naren yang berhenti di tempat setelah melihatnya. Pikirnya, wanita itu mengejarnya sama seperti tadi siang saat di rumah sakit. Tapi setelah Nora melewatinya begitu saja, Naren baru sadar. Bukan dia yang sedang wanita itu cari saat ini tapi laki-laki yang ia temui tadi di depan lift. "Sungguh menarik," ujarnya tertawa mengejek. Dia tak punya rasa simpati sama sekali. Tetap fokus pada dirinya sendiri. "Sayang!" panggil Nora berhenti ditempat. Matanya terbuka lebar dengan suara nafas tersengal. Berlarian sepanjang jalan membuat nafasnya berhembus cepat. "Nora!" Danu terdiam, dia menatap Nora dalam dengan wajah cemas. Adisty yang menyaksikan reaksi cemas Danu seperti itu. Merasa sakit. Dadanya terasa diremas begitu kuat hingga membuatnya ingin berteriak. Tapi ia tak begitu tega untuk membiarkan laki-laki itu merasakan sakit yang ia rasakan. "Danu hanya datang untuk mengambil jam tangannya yang tertinggal." "Ke-ke-napa?" ujar Nora gagap. Tusukan ribuan pedang terasa menghantam jantungnya. Bibir yang selalu lancar saat bicara menjadi begitu kaku. "Nora. Aku tadi mau ke kantor tapi Adisty bilang jam tanganku tertinggal. Jadi aku datang ke sini dulu karena ini jam tangan pemberianmu!" jelas Danu cepat. Mengambil jam tangan miliknya dari Adisty kemudian berjalan mendekati Nora yang tanpa sadar mundur secara perlahan menghindari Danu. "Kamu tidak percaya padaku?" ujar Danu lirih. Penolakan Nora menjadi pukulan besar untuknya. "Kenapa jam tanganmu bisa tertinggal di sini?" "Kamu nggak ingat waktu kita makan bersama malam sebelumnya? Saat aku cuci piring aku melepaskan jam tanganku. Aku lupa memakainya lagi." terang Danu. Rasa gugup, takut, gelisah, kesal, semua bercampur menjadi satu. Dia tidak menduga, Nora akan datang. Nora mengingatnya. Malam itu dia dan Danu memang berkunjung ke rumah Adisty untuk makan malam bersama. Merayakan kesuksesan film baru Adisty. Tapi ia tak terlalu mengingat apakah jam tangan itu benar terlepas dari pergelangan Danu. "Apa aku terlalu curiga?" gumam Nora melembut. Kini hatinya balik menyerang kepalanya. Perasaan bersalah karena sudah mencurigai pacarnya yang baik hati. "Ini. Bicaralah dengan teman kantorku!" ujar Danu menghubungi temannya. "Tidak perlu. Maafkan aku," ucap Nora menundukkan kepalanya. Hatinya merasa sakit, cemas, merasa bersalah. Semuanya campur aduk. "Ada apa Nora? Kenapa kamu tiba-tiba begini?" tegur Adisty. Matanya memperlihatkan secara jelas bahwa dia sangat kecewa pada temannya itu. "Kamu pikir aku mengambil pacarmu?" tuduh Adisty. "Bu-bukan. Bukan begitu," jawab Nora gelagapan. Dia merasa lebih bersalah lagi. Namun hal yang lebih tak ia mengerti adalah ketika Danu menatapnya dengan tatapan kecewa yang bersambung dengan amarah. "Apa aku sudah berbuat kesalahan?" gumam Nora, tertegun melihat tatapan dua orang itu kepadanya. Seolah yang bersalah saat ini adalah Nora. "Aku tidak percaya kamu berpikir tentangku seperti itu," gumam Danu pergi meninggalkan Nora. "Danu!" panggil Nora mengejar Danu yang pergi meninggalkannya. Danu sebelumnya tidak pernah semarah ini sampai meninggalkannya. Apakah Nora sudah membuat kesalahan besar? pikirnya.Langit terlalu kosong tanpa bintik-bintik kecil terang yang selalu ada mengisi tempat. Cuacanya pun cukup dingin tak seperti biasanya karena sudah memasuki musim penghujan. Taman kota yang biasanya ramai dikunjungi pengunjung terlihat tidak terlalu ramai seperti biasanya. Hanya ada beberapa orang yang bertahan di sana, saat angin terasa semakin kencang menyapa tubuh. Diantaranya, Naren yang berlari sendiri mengelilingi area taman. Di telinganya terpasang benda hitam kecil yang menghubungkan dia dengan seseorang. "Kamu sedang olahraga?" "Hmm," "Demi apa? Kamu nggak kedinginan?" "Ha?" "Oh ya, manusia dingin sepertimu mana bisa merasakan dingin," Laki-laki berpakaian baju tidur berwarna hitam tengah duduk di sofanya sambil menikmati kopi hangat. Di samping telinganya ada handphone yang melekat. "Langsung saja. Aku tidak suka banyak bicara denganmu!" "Aissssh. Jadi kamu mau tetap melanjutkan kontrak dengannya setelah tahu bagaimana kehidupan pribadinya?" "Ya." "Ka
Wanita cantik yang ada di depan cermin itu adalah Nora. Paras yang selama ini tersembunyi di balik wajah tanpa riasan. Bibir kecil yang selalu terlihat pucat, kini terlihat lebih cerah dan segar dengan olesan warna cherry. Rambut panjang yang selalu diikat kuda kini terurai panjang bergelombang. Kacamata yang selalu terkait di telinga tak lagi menutupi mata indahnya. Bola mata yang umumnya orang asia punya, kecoklatan dan bulu mata hitam panjang lentik. "Apa ini aku?" gumam Nora, bahkan ia pun tak menyangka wanita yang ada di depan cermin itu adalah dirinya sendiri. Sudah lama sejak ia terakhir kali membubuhkan warna ke wajahnya. Terakhir, di acara pernikahan Kakaknya. "Kamu sebenarnya cantik, tapi sayang kurang dirawat aja!" celetuk laki-laki di belakangnya. Orang yang sudah berjasa mengubahnya menjadi seorang putri cantik. "Apa aku bilang. Dia cantik kan?" sahut Adisty, memajukan wajahnya ke dekat Nora. Aroma parfum yang segar dan cukup kuat, menggelitik hidung Nora. Aroma kh
Beberapa menit sebelumnya, "Kamu sudah selesai?" tanya Alina yang sejak tadi menunggu di depan kamar mandi laki-laki.Naren diam tak menanggapi. Apa yang sudah terjadi 4 tahun sebelumnya membuat ia tak bisa bersikap baik-baik saja ke Alina. Naren lanjut berjalan, mengabaikan Alina yang terus mengikutinya dari belakang. Tidak terima dengan sikap Naren yang begitu dingin, Alina berlari kecil untuk bisa menyaingi Naren. "Naren!" Alina berhasil menahan tangan Naren.Naren membalikkan badannya. Kedua alisnya menekuk ke bawah dengan otot rahang yang semakin mengetat. Tatapan dingin yang mengisyaratkan kemarahan tersampaikan ke Alina yang menjadi takut. Bukk. Naren mendorong tubuh Alina ke dinding cukup keras. Alina tidak cukup cepat untuk bereaksi. Matanya terbuka lebar menatap Naren. Mata Naren yang dulunya melihatnya dengan penuh cinta sudah tak ada lagi disana. "Apa kamu tidak punya rasa malu sedikitpun?" tekan N
"Kenapa kamu menarik ku?" Danu menarik tangannya dari Adisty. Menatap Adisty dengan penuh amarah. Seharusnya Adisty tidak membawanya, karena sekarang Danu jadi tidak tahu Nora ada dimana. Dia tahu kesalahannya tapi dia tidak bisa membiarkan Nora begitu saja dibawa olek laki-laki asing yang tak ia kenal. Bagaimana jika laki-laki itu berbuat sesuatu pada Nora? Danu kesal memikirkannya. Membayangkan apa yang ia lakukan dengan Adisty bisa saja terjadi pada Nora. Danu semakin marah. Dia tidak mau itu terjadi. "Agghhhhh!" teriaknya sambil menjambak rambutnya sendiri. "Tenanglah Danu!" "Bagaimana aku bisa tenang? Semua ini gara-gara kamu!" balas Danu mendorong Adisty menjauh darinya. "Bagaimana jika laki-laki itu berbuat sesuatu pada Nora?" Rahang Danu semakin mengetat dengan wajah memerah, bahkan urat-urat di wajahnya hampir terlihat. Dia tidak bisa membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Nora. "Kamu mau kemana?" "Menurutmu?""Dia bukan
Sebelum laki-laki itu datang, Nora bergegas untuk kabur. Namun, saat baru menginjakkan kaki ke lantai, Nora merasakan kepalanya seperti tersengat listrik dengan voltase tinggi, sakitnya membuat Nora memutuskan untuk tidur kembali. "Aghh," ringisnya, kepalanya terasa ingin pecah. Nora sama sekali tidak ingat apa yang terjadi padanya tadi malam. Yang dia ingat dia dan Vivi datang ke sebuah klub untuk tujuan melepaskan kesuciannya. Agar tidak gugup Vivi memesankan minuman untuknya dan setelah itu Nora tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. "Aku benar-benar lupa." rengek Nora, menutupi wajahnya yang kecil dengan kedua telapak tangannya. Matanya masih tertuju ke arah kamar mandi, suara air keran itu masih terdengar dan seperti suara hantu bagi Nora. "Aku harus pergi sekarang!" tuntutnya, mencari cara untuk bisa pergi dengan keadaannya sekarang. Nora kembali mencoba menurunkan kakinya terlebih dahulu, menggeser badannya yang terasa sakit di sek
"Kamu sudah coba hubungi adikmu?" Sosok laki-laki beruban tengah duduk di sofa sembari memegangi ponselnya. Mata tua dibalik kacamata tebalnya, terus tertuju pada layar ponsel yang menyala. Menunggu sang putri yang tidak dapat dihubungi setelah seharian hilang tanpa kabar. "Ayah tidak perlu khawatir. Dia sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri!" jawab Nadin. Dia datang untuk mengisi stok makanan yang ada di kulkas. "Tapi tetap saja......." Ucapannya terhenti. Kelopak mata yang sudah mengendur, sedikit menegang. Suara keributan yang samar-samar terdengar sampai ke dalam rumah menarik perhatiannya. Nadin yang mendengar pun juga diam menghentikan aktivitasnya. "Orang berkelahi?" tebak Nadin, tentunya membuat jiwa keingintahuannya meningkat. Nadin menutup kembali pintu kulkasnya, membiarkan sebagian barang yang belum sempat ia masukkan di atas meja. Ayah yang juga penasaran, ikut bersama sang putri untuk mencari tahu. **
"Aku pergi!" Naren baru saja akan meninggalkan tempat itu. Saat langkah kakinya terhenti dan matanya menangkap kehadiran Nora yang berjalan mendekat dengan kecepatan penuh ke arah Adisty. Penampilan wanita itu sangat berbeda dari kesan yang sudah tertanam di kepala Naren. Pakaiannya yang transparan, samar-samar memperlihatkan kulitnya yang halus. Rambut gelombang terurai panjang dengan sedikit riasan di wajahnya, matanya yang menatap dalam seperti ombak pantai yang bergemuruh. Mengingatkan Naren dengan tatapan kosong yang terakhir kali ia lihat. Kini wanita itu memiliki keinginan dalam hidupnya, setidaknya itulah yang terlihat di mata Naren. Naren jadi penasaran apa yang membuat tatapan wanita itu berubah. Walau sebenarnya ia pun tahu jawabannya. Namun dia lebih penasaran apa yang akan di lakukan wanita itu untuk melawan Adisty. Tapi siapa sangka, ucapan Nora bisa mengancam kerja kerasnya. Naren sudah salah sangka karena berpikir wanita itu hanya akan memandangi
Andrew terus melihat ke layar handphonenya. Setiap kali mendengar suara dering ponsel, dia buru-buru mengangkatnya dan kemudian menghela nafas panjang. Hal itu terus Naren lihat selama dua hari berturut-turut. Bahkan saat berada di dalam mobil saat ini juga. Andrew buru-buru melihat handphone dan kemudian menghela nafas lagi. Entah sudah berapa kali Naren melihatnya dalam beberapa jam. Naren melirik kan matanya, tanpa mengucapkan sepatah kata. Andrew langsung memberikan penjelasan. "Aku sudah memberitahumu kan wanita itu... Tidak. Maksudku Nora. Kamu tahu kan dia meminta nomor handphoneku dua hari lalu? Tapi kenapa sekarang dia belum juga menghubungiku?" Pembicaraan mereka waktu itu berakhir dengan Nora yang berhasil mendapatkan nomor handphone Andrew, tapi Andrew tidak berhasil mendapatkan nomor milik Nora, alasannya karena Noralah yang nantinya akan menghubungi Andrew terlebih dahulu. Namun nyatanya?"Apa rencanamu?" Andrew bukanlah ora
Bola mata berwarna keabu-abuan itu menangkap bayangan Nora yang berbalik pergi, kabur seperti dikejar hantu. Entah apa yang ada di pikirannya, terakhir ia melihat ke arah Naren dengan kedua bola mata bergetar."Apa yang kamu bicarakan dengan wanita itu?" Naren duduk di kursi tempat Nora duduk tadi. Perhatiannya teralihkan ke arah pelayan yang mengantarkan makanan ke mejanya. Dia baru saja datang dan makanan itu sudah datang. Ada cake strawberry yang tidak cocok di mulutnya dan beberapa makanan manis lainnya. Membuat Naren bertanya-tanya. "Ini punyaku. Ini punyamu!" Andrew memutar makanan yang ada di depan Naren. "Ini untuk wanita itu kan?" Naren melipat kedua tangannya di atas dada. Tatapan menyelidik nya terarah ke arah Andrew. "Bukan!""Sejak kapan kamu suka makanan manis?" "Hahaha, gak seru!" balas Andrew tertawa. Tetap memakan makanan manis tersebut walau tidak terlalu suka. "Jadi apa yang kalian bicarakan?" Naren masih belum
Andrew terus melihat ke layar handphonenya. Setiap kali mendengar suara dering ponsel, dia buru-buru mengangkatnya dan kemudian menghela nafas panjang. Hal itu terus Naren lihat selama dua hari berturut-turut. Bahkan saat berada di dalam mobil saat ini juga. Andrew buru-buru melihat handphone dan kemudian menghela nafas lagi. Entah sudah berapa kali Naren melihatnya dalam beberapa jam. Naren melirik kan matanya, tanpa mengucapkan sepatah kata. Andrew langsung memberikan penjelasan. "Aku sudah memberitahumu kan wanita itu... Tidak. Maksudku Nora. Kamu tahu kan dia meminta nomor handphoneku dua hari lalu? Tapi kenapa sekarang dia belum juga menghubungiku?" Pembicaraan mereka waktu itu berakhir dengan Nora yang berhasil mendapatkan nomor handphone Andrew, tapi Andrew tidak berhasil mendapatkan nomor milik Nora, alasannya karena Noralah yang nantinya akan menghubungi Andrew terlebih dahulu. Namun nyatanya?"Apa rencanamu?" Andrew bukanlah ora
"Aku pergi!" Naren baru saja akan meninggalkan tempat itu. Saat langkah kakinya terhenti dan matanya menangkap kehadiran Nora yang berjalan mendekat dengan kecepatan penuh ke arah Adisty. Penampilan wanita itu sangat berbeda dari kesan yang sudah tertanam di kepala Naren. Pakaiannya yang transparan, samar-samar memperlihatkan kulitnya yang halus. Rambut gelombang terurai panjang dengan sedikit riasan di wajahnya, matanya yang menatap dalam seperti ombak pantai yang bergemuruh. Mengingatkan Naren dengan tatapan kosong yang terakhir kali ia lihat. Kini wanita itu memiliki keinginan dalam hidupnya, setidaknya itulah yang terlihat di mata Naren. Naren jadi penasaran apa yang membuat tatapan wanita itu berubah. Walau sebenarnya ia pun tahu jawabannya. Namun dia lebih penasaran apa yang akan di lakukan wanita itu untuk melawan Adisty. Tapi siapa sangka, ucapan Nora bisa mengancam kerja kerasnya. Naren sudah salah sangka karena berpikir wanita itu hanya akan memandangi
"Kamu sudah coba hubungi adikmu?" Sosok laki-laki beruban tengah duduk di sofa sembari memegangi ponselnya. Mata tua dibalik kacamata tebalnya, terus tertuju pada layar ponsel yang menyala. Menunggu sang putri yang tidak dapat dihubungi setelah seharian hilang tanpa kabar. "Ayah tidak perlu khawatir. Dia sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri!" jawab Nadin. Dia datang untuk mengisi stok makanan yang ada di kulkas. "Tapi tetap saja......." Ucapannya terhenti. Kelopak mata yang sudah mengendur, sedikit menegang. Suara keributan yang samar-samar terdengar sampai ke dalam rumah menarik perhatiannya. Nadin yang mendengar pun juga diam menghentikan aktivitasnya. "Orang berkelahi?" tebak Nadin, tentunya membuat jiwa keingintahuannya meningkat. Nadin menutup kembali pintu kulkasnya, membiarkan sebagian barang yang belum sempat ia masukkan di atas meja. Ayah yang juga penasaran, ikut bersama sang putri untuk mencari tahu. **
Sebelum laki-laki itu datang, Nora bergegas untuk kabur. Namun, saat baru menginjakkan kaki ke lantai, Nora merasakan kepalanya seperti tersengat listrik dengan voltase tinggi, sakitnya membuat Nora memutuskan untuk tidur kembali. "Aghh," ringisnya, kepalanya terasa ingin pecah. Nora sama sekali tidak ingat apa yang terjadi padanya tadi malam. Yang dia ingat dia dan Vivi datang ke sebuah klub untuk tujuan melepaskan kesuciannya. Agar tidak gugup Vivi memesankan minuman untuknya dan setelah itu Nora tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. "Aku benar-benar lupa." rengek Nora, menutupi wajahnya yang kecil dengan kedua telapak tangannya. Matanya masih tertuju ke arah kamar mandi, suara air keran itu masih terdengar dan seperti suara hantu bagi Nora. "Aku harus pergi sekarang!" tuntutnya, mencari cara untuk bisa pergi dengan keadaannya sekarang. Nora kembali mencoba menurunkan kakinya terlebih dahulu, menggeser badannya yang terasa sakit di sek
"Kenapa kamu menarik ku?" Danu menarik tangannya dari Adisty. Menatap Adisty dengan penuh amarah. Seharusnya Adisty tidak membawanya, karena sekarang Danu jadi tidak tahu Nora ada dimana. Dia tahu kesalahannya tapi dia tidak bisa membiarkan Nora begitu saja dibawa olek laki-laki asing yang tak ia kenal. Bagaimana jika laki-laki itu berbuat sesuatu pada Nora? Danu kesal memikirkannya. Membayangkan apa yang ia lakukan dengan Adisty bisa saja terjadi pada Nora. Danu semakin marah. Dia tidak mau itu terjadi. "Agghhhhh!" teriaknya sambil menjambak rambutnya sendiri. "Tenanglah Danu!" "Bagaimana aku bisa tenang? Semua ini gara-gara kamu!" balas Danu mendorong Adisty menjauh darinya. "Bagaimana jika laki-laki itu berbuat sesuatu pada Nora?" Rahang Danu semakin mengetat dengan wajah memerah, bahkan urat-urat di wajahnya hampir terlihat. Dia tidak bisa membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Nora. "Kamu mau kemana?" "Menurutmu?""Dia bukan
Beberapa menit sebelumnya, "Kamu sudah selesai?" tanya Alina yang sejak tadi menunggu di depan kamar mandi laki-laki.Naren diam tak menanggapi. Apa yang sudah terjadi 4 tahun sebelumnya membuat ia tak bisa bersikap baik-baik saja ke Alina. Naren lanjut berjalan, mengabaikan Alina yang terus mengikutinya dari belakang. Tidak terima dengan sikap Naren yang begitu dingin, Alina berlari kecil untuk bisa menyaingi Naren. "Naren!" Alina berhasil menahan tangan Naren.Naren membalikkan badannya. Kedua alisnya menekuk ke bawah dengan otot rahang yang semakin mengetat. Tatapan dingin yang mengisyaratkan kemarahan tersampaikan ke Alina yang menjadi takut. Bukk. Naren mendorong tubuh Alina ke dinding cukup keras. Alina tidak cukup cepat untuk bereaksi. Matanya terbuka lebar menatap Naren. Mata Naren yang dulunya melihatnya dengan penuh cinta sudah tak ada lagi disana. "Apa kamu tidak punya rasa malu sedikitpun?" tekan N
Wanita cantik yang ada di depan cermin itu adalah Nora. Paras yang selama ini tersembunyi di balik wajah tanpa riasan. Bibir kecil yang selalu terlihat pucat, kini terlihat lebih cerah dan segar dengan olesan warna cherry. Rambut panjang yang selalu diikat kuda kini terurai panjang bergelombang. Kacamata yang selalu terkait di telinga tak lagi menutupi mata indahnya. Bola mata yang umumnya orang asia punya, kecoklatan dan bulu mata hitam panjang lentik. "Apa ini aku?" gumam Nora, bahkan ia pun tak menyangka wanita yang ada di depan cermin itu adalah dirinya sendiri. Sudah lama sejak ia terakhir kali membubuhkan warna ke wajahnya. Terakhir, di acara pernikahan Kakaknya. "Kamu sebenarnya cantik, tapi sayang kurang dirawat aja!" celetuk laki-laki di belakangnya. Orang yang sudah berjasa mengubahnya menjadi seorang putri cantik. "Apa aku bilang. Dia cantik kan?" sahut Adisty, memajukan wajahnya ke dekat Nora. Aroma parfum yang segar dan cukup kuat, menggelitik hidung Nora. Aroma kh
Langit terlalu kosong tanpa bintik-bintik kecil terang yang selalu ada mengisi tempat. Cuacanya pun cukup dingin tak seperti biasanya karena sudah memasuki musim penghujan. Taman kota yang biasanya ramai dikunjungi pengunjung terlihat tidak terlalu ramai seperti biasanya. Hanya ada beberapa orang yang bertahan di sana, saat angin terasa semakin kencang menyapa tubuh. Diantaranya, Naren yang berlari sendiri mengelilingi area taman. Di telinganya terpasang benda hitam kecil yang menghubungkan dia dengan seseorang. "Kamu sedang olahraga?" "Hmm," "Demi apa? Kamu nggak kedinginan?" "Ha?" "Oh ya, manusia dingin sepertimu mana bisa merasakan dingin," Laki-laki berpakaian baju tidur berwarna hitam tengah duduk di sofanya sambil menikmati kopi hangat. Di samping telinganya ada handphone yang melekat. "Langsung saja. Aku tidak suka banyak bicara denganmu!" "Aissssh. Jadi kamu mau tetap melanjutkan kontrak dengannya setelah tahu bagaimana kehidupan pribadinya?" "Ya." "Ka