Siang ini aku mendapat kejutan lantaran dipanggil oleh ketua divisi tempat Mas Riko selama ini bekerja. "Bu Alin tahu kenapa saya panggil ke sini?" tanya Pak Hendra, pria seumuran Mas Riko namun sudah punya jabatan yang cukup bagus."Apa terkait suami saya yang belum bisa bekerja? Saya harap Bapak dapat mempertimbangkan kondisinya. Saya tahu ini sudah hampir mendekati tiga bulan, namun .... ""Bukan, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kondisi Pak Riko sekarang.""Lalu apa, ya, Pak?""Tapi ini .... " Pak Hendra menggeser sebuah kertas yang yang ditanda tangani oleh Mas Riko di atas materai. Kertas yang menyatakan bahwa Mas Riko meminjam sejumlah uang dari kantor beberapa bulan yang lalu."Maksudnya apa ini?""Ini adalah surat bukti kalau Pak Riko menggunakan uang perusahaan. Dulu dia berjanji akan segera melunasinya karena saat itu Pak Riko beralasan sedang kepepet untuk biaya berobat istrinya."Ini pasti ulah Mas Riko ketika masih bersama Mbak Lisa. Tertera tanggalnya mema
"Sekarang dia udah nggak ganteng lagi. Tiga bulan yang lalu kami mengalami kecelakaan. Mobilnya rusak parah dan dia juga mengalami patah tulang yang cukup serius, beruntung aku hanya luka ringan saja." Aku membuang nafas berat. Bayangan hidup berumah tangga bahagia dengan Mas Riko, sirna sudah."Oh, jadi ceritanya lu lagi bete karena tidak bisa jalan-jalan dengan suami ganteng lo itu. Kalau dia nggak bisa ngajak jalan, minimal dia masih bisa nyuruh lu buat shopping 'kan. Nggak apa-apa tidak ganteng lagi, yang penting dia masih tajir.""Tajir dari mana? Mobil sudah punah, uang tabungan dikuras istri pertamanya. Apartemen sudah dijual untuk biaya berobat, terus sekarang rumah satu-satunya terancam raib. Tadi siang gue mendapat kabar dari kepala divisi Mas Riko kalau ternyata laki gue itu menggunakan uang perusahaan dalam jumlah banyak. Gimana gue gak pusing?""Terus lu mau bertahan dengan pria seperti itu?" Angel menyeringai."Kayaknya gue nyerah.""Gue setuju, buat apa pria seperti itu
Pov LisaBesoknya Mbak Tika menghubungiku beberapa saat setelah aku sampai di butik. "Bagaimana, Lis?""Bagaimana apanya, Mbak?""Nathan.""Jadi benar?""Maksud kamu?""Nathan yang kemarin mengajakku kerja sama itu Nathan yang sama yang Mbak kenalkan tiga bulan yang lalu?""Bagaimana, kamu suka?""Jawab dulu pertanyaanku, Mbak.""Kalau iya, apa kamu suka?"Aku membuang nafas perlahan, berarti benar, dia adalah orang yang sama."Apa ini rencana kalian? Maksudku ... Pak Nathan berpura-pura mengajakku bekerja sama, padahal dia ingin berkenalan denganku?""Tidak. Ini benar-benar murni karena Nathan menyukai hasil kerjamu. Tapi setelah bertemu, dia tidak menyangka kalau kamu adalah orang yang fotonya Mbak kirimkan padanya.""Jadi .... " Aku masih belum percaya kalau kejadian kemarin adalah kebetulan."Nathan juga tidak menyangka kalau itu kamu. Sekarang kalian tinggal jalani saja, cocok atau tidaknya kalian yang akan menjalani."Panggilan berakhir, aku pun meletakkan ponsel setengah melem
"Baju yang sekarang ibu pakai juga itu sudah sopan dan udah bagus, cantik pula.""Iya, tapi ini kesannya sederhana banget.""Memangnya kalau mau ketemu ayang itu semuanya serba ingin sempurna." Lepas berkata seperti itu Gina berlalu ke lantai bawah untuk menghindari cubitanku. sementara aku mulai memantas diri di cermin.***Tempat pukul sebelas, sebuah mobil mewah memasuki parkiran butik. Tak berapa lama seorang pria yang kemarin ketemui turun dari mobilnya. Aku sedikit memicing melihat pria itu menyetir sendiri. Biasanya para pengusaha sukses sekelas Pak Nathan selalu memakai jasa sopir kemana-mana, tapi kenapa Pak Nathan malah menyetir sendiri.Kami menyambut kedatangan Pak Nathan di pintu depan. Gina yang berdiri di sebelahku terus berdehem kecil. Aku juga tak mengerti kenapa menjadi se-gugup ini berhadapan dengan pria bermata elang itu. Senyum Pak Nathan sepertinya kelebihan gula, manisnya sampai ke hati hingga mampu menggetarkan bahkan memporak porandakan isi hatiku. Apa yang te
[Anda tidak ketiduran 'kan, Bu Elisa?]Sebuah pesan masuk dari Pak Nathan membuatku kembali tersenyum lebar. Rupanya pria itu sudah tidak sabar atau aku yang kelamaan berada di lantai atas.***Pak Nathan membawaku ke sebuah restoran yang tak kalah mewah dari restoran kemarin. Kami makan siang layaknya diner saja. Suasana di dalam restoran ini memang syahdu, meskipun siang hari tapi terasa sekali suasana romantisnya. Sebenarnya Pak Nathan mau mengajakku ke sini untuk membicarakan masalah bisnis atau masalah hati. Dih, kok aku jadi berharap. Kenapa dulu Mbak Tika tidak mengatakan kalau pesona Pak Nathan se-dahsyat ini. Akan tetapi aku merasa heran, pasalnya, pria mapan dengan ketampanan sempurna ini masih bertahan menyendiri di usianya yang sudah cukup untuk berumah tangga ini. Tidak mungkin kalau tidak ada gadis yang mau sama Pak Nathan. Sebaliknya, pasti banyak gadis yang antri untuk mendapat tempat di hatinya."Ehem .... "Pak Nathan berdehem sambil mengubah posisi duduknya. Aku se
Pov RikoKunyalakan layar ponsel yang sejak beberapa jam yang lalu tidak lepas dari genggaman. Selain untuk melihat waktu yang sudah menunjukkan hampir pukul 00.00. Aku juga sedang menunggu pesan dari Alin. Sejak satu jam dari jam kantor selesai aku sudah mengirim pesan pada istriku lantaran dia belum juga sampai di rumah. Namun jangankan balasan, bahkan sekarang ponselnya pun tidak aktif. Sejak kejadian pagi itu, Alin berubah. Ia kerap pulang larut dengan alasan bosan di rumah. Selain itu Alin juga mengatakan kalau ia harus mencari uang tambahan lantaran sekarang aku sudah benar-benar dipecat dari kantor. Selain karena sudah tiga bulan aku tidak masuk kerja, pemecatanku ini juga disebabkan oleh utang yang belum aku lunasi. "Skincareku harus dibeli, belum lagi obat-obatan Mas Riko. Kalau aku tidak bekerja, dari mana bisa mendapatkan semua itu. Mas Riko tidak usah rewel, terima saja keadaan Mas yang sudah tidak bisa apa-apa lagi."Aku mengusap wajah ketika mengingat ucapan Alin tadi
"Makan dulu, Lin. Sudah aku buatkan roti bakar." Pagi ini aku menunggu Alin di meja makan. Sengaja kubuatkan sarapan sebelum dia pergi ke kantor."Nanti aku sarapan di kantor saja, Mas. Roti itu buat Mas Riko saja, siapa tahu nanti siang Mas kelaparan."Tanpa melirik sarapan yang sudah kubuatkan, Alin melenggang pergi. Bahkan ia tidak berpamitan padaku."Oh ya, Mas. Kemarin Pak Hendra bilang, batas akhir pembayaran utang itu dua hari lagi. Kalau tidak maka pihak perusahaan akan mengambil barang apapun yang Mas miliki. Setelah beberapa langkah Alin pergi, ia pun berbalik."Iya, nanti aku pikirkan.""Utang sebesar itu tidak cukup hanya dipikirkan, Mas, tapi harus diusahakan." Alin tersenyum sinis ke arahku setelah itu dia benar-benar pergi. Setelah Alin berlalu dan tidak nampak lagi aku membanting gelas berisi jus yang ada di hadapanku. Alin sudah berubah, dia bukan Alin yang dulu yang mengejar-ngejar cintaku. Dia sudah tidak peduli lagi padaku karena aku sudah tidak punya apa-apa. Sat
"Sudahlah, Mas, semuanya sudah berakhir. Aku sudah memaafkanmu tapi bukan berarti aku mau kembali. Takdir kita sudah sampai pada persimpangan di mana kita harus memilih jalan masing-masing. Bukankah semua ini Mas Riko yang menginginkan. Aku sadar, aku bukan wanita yang pantas untukmu.""Lis .... " Aku mendongak menatap wajahnya, namun Lisa menolak bersitatap denganku. Wanita yang pernah tertahta di hatiku itu memalingkan wajahnya dengan kasar."Siapa, Dek?" Kudengar pria gagah itu bertanya, bahkan dia memanggil Lisa dengan sebutan 'Dek'."Bukan siapa-siapa, Mas. Dia hanya pengemis cinta yang datang disaat tidak punya apa-apa, yang tidak ada untukku disaat punya segalanya. Lebih baik kita pergi sekarang, Mas." Setelah itu Lisa masuk kembali ke mobil meninggalkan aku yang masih bersimpuh. "Lis!""Bukankah kamu punya Alin, wanita cantik dan menarik yang sedap dipandang mata. Lalu di mana sekarang, saat Mas Riko kehilangan segalanya. Jangan-jangan Mas Riko juga kehilangan wanita pujaan.