"Bangun!! Kalian sudah sampai!" Sebuah teriakan terdengar lagi bersamaan dengan guyuran air di tubuhku. Aku membuka mata dan mendapati orang-orang di sekitarku basah kuyup. Jahat sekali mereka membangunkan kami dengan cara menyiram, sungguh sangat tidak berperikemanusiaan.Semalam, awalnya aku berdiri sambil berpegangan pada dinding mobil. Tapi lama-lama pegal juga, akhirnya aku berjongkok. Begitupun yang lainnya. Bau keringat dari orang-orang yang ada di dalam truk ini menusuk penciumanku. Dari tampilan mereka saja sudah dapat dipastikan entah berapa hari atau berapa minggu badannya tidak terkena air atau mungkin sudah bertahun-tahun. Ya Tuhan, kenapa aku harus berada di antara mereka. Belum lagi tingkah aneh beberapa orang yang membuatku tak nyaman.Seandainya saja para petugas satpol PP tidak mengancamku akan melaporkan ke polisi, tentu aku sudah kabur. Atau setidaknya melawan mereka. Tapi aku masih trauma mendengar mereka menyebut nama polisi. Bagaimana kalau aku dijebloskan lagi
Berjalan ke arah matahari terbit di pagi hari membuat mataku silau, tapi itu tidak menyurutkan langkahku karena ingin segera bertemu dengan tempat keramaian. Aku sangat antusias menuju pasar atau terminal atau apapun. Karena yakin di sana akan mendapatkan banyak makanan, atau setidaknya bisa mencari pekerjaan. Memasuki area pemukiman yang tidak terlalu padat, aku berpapasan dengan anak-anak berseragam merah putih yang hendak pergi ke sekolah. Awalnya aku tidak terlalu menghiraukan saat berpapasan. Anak-anak itu pun tidak ada yang berkata sepatah pun, bahkan mereka seperti yang takut melihatku.Namun begitu gerombolan berada di belakangku, terdengar teriakan salah satunya."Orang gila .... " Astaga! Jadi mereka berpikir kalau aku ini orang yang tidak waras."Orang gila!""Orang gila!""Orang gila!"Sampai pada akhirnya mereka saling bersahutan. Aku pun hanya menoleh sekilas dan membuat mereka lari ketakutan. Sebenarnya sakit hati, tapi mau bagaimana lagi. Meskipun ini tidak dibenark
"Pergi!!""Biarkan dia minum dulu, Pak.""Jangan dikasih hati. Pergi kamu!"Karena tak tahan, akhirnya aku pergi tanpa permisi lagi. Air yang tinggal separuhnya itu tidak jadi ku minum, nanti saja aku bisa berhenti di jalan untuk meminumnya."Sudah kubilang, Bu. Orang gila seperti itu kalau dikasih hati malah betah. Lihat tadi, setelah diberi air minum bukannya pergi malah duduk.""Sudah lah, Pak. Ibu takut dia itu orang jahat yang sedang mengintai warung kita."Samar-samar aku mendengar percakapan dua orang itu. Lebih parah lagi, si ibu mencurigaiku orang jahatnya yang sedang mengincar harta bendanya. "Mudah-mudahan dia tidak kembali lagi. Jangan lengah, Bu. Takutnya dia benar-benar mata-mata."Karena aku berjalan lambat maka kalimat terakhir itu masih tertangkap oleh telingaku. Istighfar dan mengusapnya dada, hanya itu yang bisa aku lakukan. Kalau menuruti kata hati, ingin sekali aku marah. Tapi jika dipikir lagi, tidak ada gunanya. Yang ada aku akan semakin di-bully. Di mataku mer
YesiGagal mendapatkan Mas Nathan untuk kesekian kalinya membuatku frustasi. Kali ini bukan lagi kecewa yang kurasakan, tapi aku benar-benar merasa gagal menjalani hidup ini. Sosok Mas Nathan memang bukan orang baru dalam hidupku. Kami kenal sejak kecil karena memang masih saudara meski sudah jauh. Bapak dan almarhum Papanya Mas Nathan juga terbilang dekat. Ketika aku duduk di bangku SD, Mas Nathan sudah SMP. Saat itu kami mulai dekat karena sering ada pertemuan keluarga. Aku sudah menganggapnya seperti kakak sendiri sama seperti pada mas Yanto, kakakku. Usiaku dan mas Yanto memang terpaut cukup jauh, jadi wajar kalau kami tidak begitu dekat. Apalagi mas Yanto tinggal jauh dari kami karena sudah berkeluarga.Setelah aku duduk di bangku SMA, saat itu merasakan hal yang aneh, setiap kali bertemu dengan Mas Nathan. Dan belakangan aku mengetahui kalau perasaan itu adalah rasa suka dari seorang wanita untuk seorang pria dan itu wajar. Sayangnya Mas Nathan tetap menganggapku sebagai adiknya
Setelah berpikir keras selama kurang lebih dua puluh empat jam, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran mbak Nadia. Sebelum mbak Nadia menghubungiku, aku sudah meneleponnya terlebih dahulu dan mengatakan bahwa setuju dengan rencananya."Kamu sudah ngomong sama Pak Lik Narto?""Belum, tapi bapak pasti setuju. Kapan sih Bapak tidak pernah menyetujui keinginanku?" kekehku kemudian yang dilanjut oleh tawa serupa mbak Nadia di ujung telepon."Sekarang kamu bilang dulu sama Pak Lik Narto. Besok mbak ke sana untuk membicarakan ini. Kita harus bergerak cepat karena khawatir pendaftaran kuliah segera ditutup.""Tapi tidak bisa secepat itu juga, Mbak. Bapak pasti tidak punya uang cash. Kalau tidak jual tanah mungkin Bapak harus jual sapi dulu.""Soal biaya, kamu tidak usah memikirkan. Mbak yang akan tanggung semua biayanya, kamu hanya tinggal menjalankan peranmu dengan baik dan sukses.""Benarkah?" "Tenang saja, bilang saja sama Pak Lik Narto, ini itung-itung balas budi dari keluarga ka
Dan akhirnya aku sekarang ada di sini. Di rumah mas Nathan yang luas. Sewaktu aku tiba di kota ini, Mas Nathan tidak menjemputku seperti skenario Mbak Nadia, dia malah sedang berbulan madu ke Bali bersama istrinya. Aku sempat berpikir, apakah ini pertanda yang tidak baik bagi kelangsungan rencana kami. Tapi mbak Nadia terus menyemangatiku, katanya aku tidak boleh patah semangat. Harus tetap yakin kalau aku bisa menaklukkan adiknya.Mau tidak mau, aku pun harus terus melakukan rencana ini. Berangkat kuliah padahal sebenarnya aku tidak menginginkannya. Tapi kemarin mbak Nadia hanya memberiku dua pilihan, kuliah atau kerja. Tidak ada pilihan aku hanya tinggal di sini, katanya itu terlalu terlihat drama. Hari-hari terasa berat, bagaimana tidak, aku yang sehari-hari hanya tinggal di rumah, tiba-tiba harus ke kampus. Ditambah lagi di kampus harus mikir layaknya mahasiswi beneran. Mas Nathan sendiri sangat sulit didekati. Sepulang dari kantor, dia pasti akan fokus pada istri dan anak sambun
Namun di luar dugaan, paginya mereka datang ke meja makan tanpa terlihat tanda-tanda telah ada perang. Keduanya terlihat baik-baik saja. Aku kecewa karena perkiraanku meleset. Tapi belum menyerah, disaat Lisa akan pergi ke butik, aku menghadangnya. Beruntung Mas Nathan sudah pergi duluan ke kantor. Aku jelaskan dengan masa lalu kami dan mengatakan bahwa aku dan Mas Nathan sudah dijodohkan."Urusan hati tidak bisa dipaksakan, yang mengadakan perjodohan itu 'kan orang tua, bukan anak-anaknya. Jadi aku pikir mas Nathan juga berhak menolak," ucap Lisa penuh percaya diri."Sekarang kamu mulai sombong, ya. Ingat, kamu hanya istri di rumah ini.""Kamu bilang hanya istri? Jika aku hanya istri, lalu kamu apa? Hanya orang lain yang menumpang tinggal di sini. Kalau kamu tidak suka dengan peraturanku di rumah ini, kamu boleh meninggalkannya."Astaga, dia malah mengusirku. Aku tidak boleh tinggal diam. Setelah Lisa pergi ke butik, langsung hubungi Mbak Nadia dan mengadukan perihal ucapannya barusa
Mbak Nadia benar-benar mengantarkan aku ke rumah Bapak. Tanpa basa-basi, ia pun membeberkan semuanya. Termasuk perihal kuliahku. Aku tidak berani mengangkat wajah sampai Bapak bersuara. Yakin kalau pria paruh baya itu pun akan marah, seperti halnya mbak Nadia."Bukankah dulu Nak Nadia yang meminta Yesi kuliah. Nak Nadia pula yang berjanji sanggup membiayai. Kenapa sekarang kami harus ganti rugi?"Di luar dugaan, bapak tidak ikut menyalahkanku. Bahkan dia terkesan membelaku di depan mbak Nadia. Aku memang anak kesayangan, mana bisa bapak marah padaku. Suaranya yang penuh wibawa seakan cahaya di saat dalam kegelapan. Aku tersenyum sambil mengangkat wajah lalu bernafas dengan lega. Ternyata Bapak tetap membelaku meski kuakui, aku memang salah."Itu jika Yesi kuliah dengan benar dan sampai menjadi sarjana. Tapi ini, dua semester saja belum selesai, Yesi sudah gak bener!" Bukan Mbak Nadia namanya kalau tidak bisa menjawab. Bahkan ia mengatakan jika aku menjadi sarjana, padahal sebenarnya b
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny