Namun di luar dugaan, paginya mereka datang ke meja makan tanpa terlihat tanda-tanda telah ada perang. Keduanya terlihat baik-baik saja. Aku kecewa karena perkiraanku meleset. Tapi belum menyerah, disaat Lisa akan pergi ke butik, aku menghadangnya. Beruntung Mas Nathan sudah pergi duluan ke kantor. Aku jelaskan dengan masa lalu kami dan mengatakan bahwa aku dan Mas Nathan sudah dijodohkan."Urusan hati tidak bisa dipaksakan, yang mengadakan perjodohan itu 'kan orang tua, bukan anak-anaknya. Jadi aku pikir mas Nathan juga berhak menolak," ucap Lisa penuh percaya diri."Sekarang kamu mulai sombong, ya. Ingat, kamu hanya istri di rumah ini.""Kamu bilang hanya istri? Jika aku hanya istri, lalu kamu apa? Hanya orang lain yang menumpang tinggal di sini. Kalau kamu tidak suka dengan peraturanku di rumah ini, kamu boleh meninggalkannya."Astaga, dia malah mengusirku. Aku tidak boleh tinggal diam. Setelah Lisa pergi ke butik, langsung hubungi Mbak Nadia dan mengadukan perihal ucapannya barusa
Mbak Nadia benar-benar mengantarkan aku ke rumah Bapak. Tanpa basa-basi, ia pun membeberkan semuanya. Termasuk perihal kuliahku. Aku tidak berani mengangkat wajah sampai Bapak bersuara. Yakin kalau pria paruh baya itu pun akan marah, seperti halnya mbak Nadia."Bukankah dulu Nak Nadia yang meminta Yesi kuliah. Nak Nadia pula yang berjanji sanggup membiayai. Kenapa sekarang kami harus ganti rugi?"Di luar dugaan, bapak tidak ikut menyalahkanku. Bahkan dia terkesan membelaku di depan mbak Nadia. Aku memang anak kesayangan, mana bisa bapak marah padaku. Suaranya yang penuh wibawa seakan cahaya di saat dalam kegelapan. Aku tersenyum sambil mengangkat wajah lalu bernafas dengan lega. Ternyata Bapak tetap membelaku meski kuakui, aku memang salah."Itu jika Yesi kuliah dengan benar dan sampai menjadi sarjana. Tapi ini, dua semester saja belum selesai, Yesi sudah gak bener!" Bukan Mbak Nadia namanya kalau tidak bisa menjawab. Bahkan ia mengatakan jika aku menjadi sarjana, padahal sebenarnya b
Mbak Nadia berpamitan setelah berbasa-basi beberapa saat. Aku pun bisa tersenyum lebar melihat wanita itu ternyata takut jika ketahuan kebaikannya kemarin hanya untuk kepentingannya semata. Meskipun aku juga berharap untuk bisa mendapatkan mas Nathan, tapi semangat mbak Nadia jauh lebih besar dariku. "Maafkan Eci, ya, Pak, Bu."Setelah mobil mbak Nadia tidak terlihat, aku kembali duduk di hadapan bapak dan ibu yang belum juga beranjak."Bapak tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian. Yang jelas, yang kamu lakukan itu selama hampir satu tahun ini hanya membuang-buang waktu," ucap Bapak datar.Insting orang tua ternyata tajam. Meskipun tidak berkata terus terang, sepertinya Bapak tahu dan menangkap gelagat dari kejadian ini."Sudah, sekarang tidak usah neko-neko lagi. Kamu diam di rumah membantu ibumu mengurus rumah ini, melatih diri jika suatu saat kamu berumah tangga tidak memalukan. Percayalah, jodohmu sudah ada di tangan Gusti Allah. Hanya saja kalian belum dipertemu
Dengan bantuan beberapa warga, akhirnya pria itu dipindahkan ke teras rumah kami yang kebetulan luas. Atas saran Pak RT juga, aku membuat seduhan air gula aren hangat untuk diberikan pada pria itu.Sekilas aku melirik pria yang nampak sudah bisa duduk itu ketika menyerahkan air gula aren pada Pak RT. Seperti yang tadi orang-orang bilang, wajahnya bersih dan putih. Umurnya seperti tidak jauh dari mas Nathan. Sorot matanya begitu lemah, seperti tidak punya harapan. Satu persatu para warga yang berkerumun pun berpamitan, hanya tersisa Pak RT dan beberapa tetangga dekatku. Tak lama Bapak pun datang karena tadi Ibu menghubungi beliau. Lalu setelah kami menceritakan awal kejadiannya,bapak pun manggut-manggut seraya memperhatikan pria itu."Ambil makanan, Ci," titah Bapak sambil menoleh sekilas ke arahku. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun segera bangkit. Ibu menyusul, kami pun beriringan ke dapur."Memangnya benar, tadi kamu yang berteriak, Nduk?" tanya ibu setelah kami berada di dapur."I
RikoDengan bantuan salah satu warga, aku diantar ke terminal terdekat. Pak RT dan Pak Narto, orang yang tadi memberiku makan, juga memberikan sedikit uang untuk ongkos. Beberapa menit yang lalu setelah selesai makan, aku ditanya tentang identitasku. Terpaksa aku mengaku bernama Erik. Pria korban hipnotis yang kehilangan harta bendanya begitu tersadar di dalam bis. Aku berpikir ulang untuk menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Status terakhirku adalah seorang mantan narapidana. Warga akan berpikir negatif jika mengetahui hal itu. Lebih baik aku menyembunyikan identitas yang asli demi kelangsungan hidup ke depannya. Sebenarnya aku juga tidak berniat untuk kembali ke rumah ibu, lantaran para warga sudah mengusirku dari kampung halamanku sendiri. Pulang ke tempat Reka pun rasanya enggan. Toh di sana aku tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan."Saya permisi pulang dulu, ya. Mas Erik tinggal pilih sendiri mobil yang menuju daerah Mas-nya." Pria seumuranku yang baru saja memboncengku me
"Ini masih kurang, Mas." Mbak Nur, pemilik warung nasi di sebelah toko Pak Trimo menggerakkan tangannya yang baru saja menerima satu lembar uang merah dariku."Ya Mbak, saya tahu itu masih kurang. Tapi seminggu ini saya hanya digaji segitu sama Pak Trimo." Aku menatap wajahnya dengan perasaan tidak enak."Lah, sampeyan ini piye toh? Sudah tahu digaji 100.000, pengen makan yang enak-enak." Mbak Nur menunjuk ke arahku."Maaf Mbak, saya juga tidak tahu bakal dikasih uang segitu. Tapi beneran, minggu depan saya pasti lunasi, kok." Aku menunduk, dalam hati mengumpat, memangnya kapan aku makan enak-enak. Cuma sayur kangkung dan sayur asem, itu juga kadang banyakan kuahnya daripada sayurannya. "Beneran ya, minggu depan sampeyan lunasi. Awas aja kalau sampeyan coba-coba untuk kabur.""Saya pasti lunasi, Mbak. Lagian saya mau kabur ke mana? Kerjanya juga di sini.""Siapa tahu Mas-nya cari pekerjaan lain yang lebih besar bayarannya. Sampeyan itu ganteng, kenapa gak jadi artis saja? Pasti laku
"Mas Erik istirahat saja dulu, mukanya pucat sekali, tuh!" Mas Tono meraih tanganku ketika aku hendak terbalik menuju mobil. Ada beberapa kardus yang belum selesai diangkut ke dalam toko."Aku masih bisa, kok. Mas Tono tenang saja, aku kuat." Karena tidak enak, aku menolak untuk beristirahat. Padahal perutku sudah terasa perih, sementara lutut terasa lemas."Tinggal tiga kardus lagi, biar saya yang selesaikan. Mas Erik lanjutkan saja menakar terigu!" Mas Tono bersikeras melarangku. Karena memang aku merasa kecapaian, akhirnya aku menurut.Sebelum duduk di dekat karung terigu, terlebih dahulu aku pergi ke belakang untuk mengambil air minum. Pandanganku tertuju pada beberapa bungkus roti di dekat meja galon. Setiap pagi selalu ada saja roti bekas digigit tikus. Pak Trimo biasanya membawa pulang untuk pakan ikannya di kolam dekat rumah dia. Tikus-tikus itu begitu bandel menyerbu makanan yang ada di toko. Meskipun sudah beberapa kali dipasang perangkap, namun masih ada saja yang tersisa.
Selama seminggu ini, setiap hari aku memakan roti bekas gigitan tikus. Awalnya Pak Trimo melarangku karena takut terjadi apa-apa. Namun karena aku memaksa, akhirnya dia membiarkan saja hal ini terjadi. Mungkin pikirnya, yang penting aku bisa masuk kerja dan mudah-mudahan saja roti yang aku makan itu aman. Aku hanya makan satu kali diwaktu makan siang. Seperti biasa tidak memakai lauk yang macam-macam. Tumis kangkung atau sayur asem sudah cukup. Sesekali aku mengambil tempe goreng, itu sudah termasuk royal bagiku.Malam hari aku hanya mengkonsumsi mie rebus, dengan cara seperti itu lumayan masih bisa berhemat. Kadang sesekali makan nasi kalau kebetulan siang harinya mendapatkan tip dari para pelanggan yang menyuruhku mengangkut barang belanjaan mereka. Alhamdulillah setelah gajian minggu ini aku bisa melunasi utang sisa makanku minggu yang lalu pada Mbak Nur. Masih ada uang 15.000 tersisa dalam saku celanaku."Mas Erik temenin aku nganterin belanjaannya Bu Martini," pinta Mas Tono si
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny