Herman langsung menyobek kertas itu. Dia melemparmya dengan sejauh mungkin. Amira yang tak tahu isi dari kertas itu, hanya bertanya didalam hatinya. melihat tingkah suaminya, ia tahu. Kalau isi dari tulisan itulah yang membuatnya seperti itu. "Tulisan apa itu mas? kenapa kau merobeknya?" Tanya Amira penasaran. Herman langsung mendudukkan dirinya dengan kasar. Ia tatap wajah istrinya tajam. "Tulisan itu ,berisi lamaran untukmu, laki-laki tidak waras yang melamar istri orang!!" Herman berbicara dengan nada tinggi. Ia benar-benar marah dengan tindakan yang dilakukan orang misterius tersebut. "Menurutmu, siapa yang melakukan ini mas?" Amira bertanya lagi. Ia pun tak tahu, siapa yang menginginkannya menjadi seorang istri. Sedangkan dia, hanya pernah berhubungan sekali saja, yaitu dengan Wisma. Dan itupun, Wisma sudah meninggal. "Entahlah, yang jelas dia bukan laiki-laki waras." Jawabnya kasar. Adinda daritadi memperhatikan pembicaraan Amira dan Herman. Ia ikut penasa
"Maaf mba, nyonya Amira dan tuan Herman kemana yah? aku tak melihatnya dari tadi?" Adinda memberanikan diri untuk bertanya. Dhina enggan menjawab, karena dirinya pun tak tahu keberadaan tuan dan nyonya nya itu. Kemudian Dhina mengantarkan Adinda ke kamar yang akan ditempati Adinda selama ia bekerja ditempat Amira. Sedangkan Herman dan Amira, yang sedang berada diruang kerja Herman. Mereka berdua nampak serius berbincang. "Sayang, sebenarnya......" Herman menghentikan perkataannya. Amira yang penasaran, megerutkan keningnya. "Kenapa?" Tanya Amira."Hmmm,, kau bisa membantuku? sambung Herman lagi."Bantu apa?" "Kau punya tabungan berapa sayang? maaf menanyakan hal yang tak seharusnya ku tahu." Herman merasa bersalah, sekaligus malu Pada istrinya. Amira terdiam. Ia sedang mengingat-ngingat berapa jumlah tabungan yang ia punya. "Kau butuh berapa mas?" Amira balik bertanya pada suaminya itu. Ia dengan sepenuh hati akan membantu suaminya. Seberapa besar pun jumla
Amira tersenyum lembut dihadapan Herman. Dia tahu ,kalau suaminya sedang cemburu padanya. "Sudahlah mas, yang penting aku masih setia padamu." Jawab Amira tenang. Ia tak mau berkepanjangan membahas hal itu. Walau dalam hatinya, ia sendiri merasa was was dan takut ,akan siapa sebenarnya orang yang selalu menerornya. Bukan hanya dirumahnya saja ,tetapi ketika ia bersda ditoko pun, selalu ada bingkisan yang berisi cincin lamaran tersebut. Bahkan sekarang ,itu bisa sampai kantor Herman. Denhan terang-terangan, Asisten pribadi Wisma Wijaya ,mengantarkan karangan bunga ,dan tentunya bingkisan yang berisi cincin berlian. Jika dihitung, mungkin sudah hampir 10x bingkisan dikirim untuk Amira. Bukannya merasa senang, karena sellau dikirimi barang mewah ,sebaliknya ,Amura semakin takut. Karena, bukan orang yang sembarangan tentunya yang mampu membeli cincin berlian dalam jumlah banyak. Suatu saat, pasti ia akan melakukan hal nekat, andai Amira terus menerus menolaknya. A
Tespek terbaik, kasih 5 biji mbak." Jawab Herman singkat. Ia takut ada seseorang yang melihat keberadaan mereka disana. Apalagi sekarang, suasana sedang tak aman, bisa dengan mudah musuh Herman menjatuhkan Herman, kalau melihatnya bersama wanita lain. Tak lama, apa yang ia maksud datang, tespek dengan merk tertentu. Kemudian diambilnya, dan langsung kembali ke mobil. Dijalankannya mobilnya dengan cepat. Sampai hanya beberapa menit saja ,ia sudah sampai ditoko kue Amira. Adinda turun disana, dengan membawa beberapa buah tespek, sedangkan sisanya ,ia simpan dibawah jok mobil. "Nanti pulang dari toko, aku jemput. Baik-baik disini." ucap Herman mesra. Kali ini, ia memperlakukan Adinda dengan sangat tak biasa. dikecupnya kening Adinda dengan lembut dan mesra. Kehangatan menjalar saat bibir Herman menyentuh kulit keningnya. Kehangatan yang sangat jarang ia dapatkan, membuat Adinda betah berlama-lama dengan Herman. Herman tak mengetahui, kalau seorang pelayan lain menyaksika
Mobil siapa itu? bukankah mas Herman barusaja berangkat?" Amira menghentikan kegiatannya, lalu membuka gorden disampingnya. Dilihatnya seseorang, yang keluar dari mobil itu. Dengan setelan jas berwarna hitam mengkilat, menggunakan payung, dan didampingi beberapa orang bodyguard. Ia berjalan mendekati rumahnya. Jika dilihat ,dari caranya berjalan. Sepertinya ia tahu, Amira memicingkan matanya, berusaha memperjelas pandangannya. Semakin lama, semakin mereka mendekati rumahnya. "Mba Dhina!! kemarilah cepat!!" Amira berteriak. Ia ketakutan bukan main ,melihat segerombolan orang tersebut semakin mendekatinya. Dhina yang mendengar teriakan Amira ,langsung mendatangi kamar kerja Amira. Dengan terengah engah, ia menghampiri Amira."Ada apa nyonya? kenapa teriak seoerti itu?" tanya Dhina heran. Keringat dingin terlihat mengucur dibalik kening Amira. Ia sangat ketakutan."Suruh Pak Parman menjaga gerbang depan ,kalau perlu bersama security juga. Ada banyak orang datan
"Katakan yang sebenarnya padaku tentang kematian Wisma mas!!" Amira membentak Herman. Sikap hormat yang biasa ia kedepankan, sepertinya sekarang sudah tak berlaku baginya. Herman seketika menegang. Tubuhnya terasa dingin. Desiran darah ditubuhnya, terasa sangat cepat. Ia tak tahu ,kenapa Amira bisa mengetahui masalah ini. "Maksudmu apa sayang? aku tak melakukan apapun." Jelas Herman sambil memegangi pipinya ,yang perih karena tamparan Amira. Dia masih menutupi kebohongannya. Sedangkan Amira hanya meringis menahan muak. Ia tak suka dengan sikap suaminya yang lebih pantas disebut sebagai pecundang. Melenyapkan seseorang dengan cara yang tidak jentle."Aku sudah tahu semuanya mas, apa kau tahu....Wisma mash hidup. Dan tadi, dia datang kerumah!!" Amira setengah berteriak. Ia sengaja melakukan itu, agar suamunya tahu. Dan mau meminta maaf padanya. Herman terlihat mematung. Ia beberapa kali menelan salivanya. Tamparan Amira yang menyakitkan, tak terasa lagi, dikarenakan
Ia menangis meraung. Berteriak histeris. Merasa tak berarti pengorbanannya selama ini, setelah Herman memutuskan untuk pergi meninggalkannya. "Kau bahkan lebih memilih untuk pergi mas!!" Amira terus berteriak. Sebenarnya bukan ini keinginannya. Melainkan ,ia hanya menginginkan Herman menyadari kesalahannya, meminta maaf pada Wisma, Dan semua selesai. Amira ingin rumah tangganya baik-baik saja. Tidak ada kebohongan didalamnya. Apalgai kesalahan Herman yang sangat fatal kali ini. Ia melakukan rencana pembunuhan. Itu yang tidak Amira suka. Dhina yang mendengar Amira menangis histeris, sambil berteriak, berlari menuju kamar nynyanya itu. Spontan ia peluk tubub Amira ,yang terkulai lemas. Wajahnya yang dipenuhi airmata, membuatnya terlihat sangat buruk. Dhina yang terbawa suasana, ikut menangis melihat kejadian seperti itu. "Tenanglah nyonya ,tenangkan dirimu...ada apa ini?" Suara Dhina ikut bergetar. Tubuhnya ikut berguncang karena memeluk Amira yang sedang menangis deng
Andi tak mengerti ,kenapa Amira bisa bersikap kasar. Hal yang jauh dari sifat asli seorang Amira. Dengan tangan bergetar, Andi mengambil koper diatas meja ,yang diserahkan Amira. Ia berdiri, dan berpamitan untuk pergi. Sesaat sebelum Andi melangkah, Amira berpesan terlebih dulu."Satu hal lagi, Wisma belum meninggal. Jadi hati-hati lah kalian, lebih baik meminta maaf dan berdamai ,daripada nanti kena maslalah yang lebih rumit!!" Pesan Amira dengan nada mengancam. Ia tahu, Wisma tidak akan membiarkan mereka begitu saja. Setiap perbuatan, pasti akan ada balasannya. Apalagi yang Herman lakukan, sudah masuk ranah kriminal. Itu yang akan Wisma uruskan sampai selesai. Andi yang mulai merasa takut, berusaha menyembunyikan perasaannnya. Dihadapan siapapun,Anidi harus bersikap pemberani. Ia tak boleh menampakkan ketakutannya. "Tak ada yang bisa menakutiku nyonya." Balasnya singkat, sambil membungkukkan badannya, lalu pergi meninggalkan Amira. "Sombong sekali ,kau sama p