Herman mundur beberapa langkah. Tubuhnya bergetar karena menangis dan tertawa."Kau bahkan tak mau mendengarkan alasanku meninggalkanmu waktu itu? lantas kau lebih memilih memukulku karena dia?!!" Telunjuk Herman mengarah pada Wisma yang tergolek tak sadarkan diri. "Aku benci sifat kekanakanmu Herman, kau egois..."Amira menangis."Kau tak peduli dengan kami lagi, bahkan kau sekarang terlihat sangat mengerikan, jadi untuk apa aku mendengarkanmu!!" Amira berbicara sambil terbata. Ia tak dapat menahan lagi Emosi, dan bencinya. Amira benci keadaan seperti saat ini. Dia mengusap lembut wajah Wisma. Kemudian ia menelpon dokter Dhani, dan menyuruhnya untuk datang ke rumahnya dengan segera. "Pak Parman, angkat dia ke kamar tamu." Titah Amira pada Parman. Parman mengangkat tubuh Wisma, dan menidurkannya dikamar tamu. Wisma yang masih belum sadar ,membuat Amira bertambah khawatir. Sedangkan Herman, ia mendudukkan fubuhnya dengan kasar. Ia mengacak-ngacak rambutnya. Dia sangat fr
Kalau boleh tahu, kenapa muka anda bisa sampai berdarah begini?" Dhani terus bertanya, sambil membersihkan luka dimuka Wisma dengan alkohol. Dengan sedikit memberikan obat cair pada lukanya. Bisa sedikit mengurangi rasa linu pada luka bekas pukulan Herman. "Tak perlu banyak tanya dok, obati saja luka saudaraku ini!!. perintah Amira pada Dhani. Lagi-lagi Dhani menjadi sasaran kemarahan pasangan suami istri ini. Dhani akhirnya memeriksa Wisma, dan memberikannya obat. Setelah semuanya selesai, ia lekas keluar dan langsung berpamitan pulang. Suasana rumah sobatnya yang sedang tak bersahabat, membuatnya tak betah lama-lama berada disana. Saat ia menuju kelauar, ditemui pak Parman, Ia meminta maaf dengan sambutan yang diberikan kedua majikannya itu."Terimakasih dok, maaf untuk sambutan yang tak mengenakan dari mereka." ucap Parman, dan membungkukkan badannya."Dhani hanya mengangkat satu jempolnya. Menandakan kalau dia baik-baik saja."Fine...gak apa-apa pak, tenang saja." Balasny
Namun satu sisi, ia merasa berat hati karena Vino. Dia takut akan nasib anaknya dimasa depan. Perasaan berkecamuk menghantui pikirannya. Haruskah ia bertahan?atau pergi meninggalkan? Amira benar-benar bimbang. Setelah meninggalkan Herman tanpa basa-basi. Amira pergi ke kamar Vino, dilihatnya dia sudah tertidur lelap.Tantri masih sibuk membereskan pakaian Vino ke dalam lemari. Amira mendekati Tantri, ia ingin mendapat masukan dari babysister anaknya itu. Yang kini menjadi teman curhatnya. "Mba Tantri belum selesai?" Amira membuka percakapan diantara mereka. Tantri menoleh, dan membalas pertanyaan Amira dengan senyum tipis dibibirnya. "Sedikit lagi nyonya, tinggal memasukkan ke lemari saja, sudah selesai." jawabnya lagi. Amira bingung memulai percakapannya darimana. Dia dibuat salah tingkah. "Mba..aku boleh bertanya satu hal padamu?" Amira mulai memberanikan bertanya. "Iya nyonya, silahkan...ada apa? apa ada masalah lagi?" tanyanya penasaran. Tersirat rag
Malam telah tiba. Suasana canggung diantara kedua orang ini, semakin terasa. Dimana Amira yang tak kunjung datang ke kamar mereka. Ia selalu diam dikamar Vino, dengan alasan menemaninya. Perasaan sepi mulai menelisik ke dalam hati Herman. Bagaimanapun juga,ia adalah laki-laki. Sudah lama ia menyimpan hasrat itu. Namun sepertinya takkan bisa tersalurkan malam ini. Akhirnya, ia beranikan diri menuju kamar Vino. Diajaknya Amira untuk tidur bersamanya. Semua kecanggungan ini harus segera diakhiri pikirnya. Ia tak mau terus berlarut dalam keadaan yang membuat mereka tidak nyaman. Herman masuk ke kamar begitu saja. Ia melihat Amira yang tengah asik memainkan ponselnya. Yang langsung disimpannya begitu saja ,saat Herman masuk. Sakit memang untuk Herman. Tapi perasaan sakit itu, harus ia abaikan. Agar hubungan mereka kembali membaik. "Seperti inilah dulu sakitnya hati istriku. Dia yang membaca semua pesanku bersama Adinda dulu. Ternyata rasanya seperih ini." Herman bergumam didal
Mereka tidur satu ranjang, namun hati mereka hidup dalam fikiran masing-masing. Tak ada kehangatan dimalam itu. Suasana yang dingin, semakin dingin karena sikap Amira. Sesekali Herman menoleh, menatap istrinya. Dia ingin istrinya mengerti ,kalau dia sangat merindukannya. Rasanya malu sekali mengutarakan perasaannya, kalau saat ini, dia ingin memeluk tubuh istrinya itu. Sebagai kode, dia bolak balikkan tubuhnya ,matanya berpura ia pejamkan ,namun sebenarnya masih terjaga. Saat mereka saling bertatapan, Herman membuka matanya. Namun apa yang dia lihat? Amira tengah tertidur pulas. Amira sengaja, untuk menghindari Herman menyentuhnya. Saat ini, ia belum siap melakukan hubungan dengan Herman. Ia takut, saat melayani suaminya, maka hanya akan membuatnya kecewa. Karena Amira melakukannya dengan terpaksa. Bukan karena sama-sama saling membutuhkan. "Apa salah aku mengharapkanmu Amira? kenapa kau begitu cepat berubah?" Herman menatap lekat wajah istrinya. Amira masih mende
Amira masih sibuk dengan pekerjaannya. Ia tak bisa berhenti walau sebentar. Pelanggannya kali ini benar-benar sedang membludak. Sampai-sampai ia tak sempat untuk sarapan.Ia yang tengah sibuk ,mendapat kiriman makanan dari seseorang. Dibukanya kotak itu. Kemudian ia tersenyum. Sudah pasti dia tahu, siapa pengirim makanan itu. Wisma, ya..kekasih barunya itu yang selalu perhatian kepadanya. Walau baru sebentar menjadi kekasihnya, tapi dia mampu menggantikan posisi Herman dihati Amira. Terlihat Amira yang sedang memegang kotak makanan itu. Lalu membukanya, dan mulai melahapnya. Dari kejauhan nampak seseorang memperhatikan tingkah Amira. Ia memicingkan matanya ,melihat istrinya itu mendapat sebuah bingikisan. Hatinya berubah menjadi panas ,sepanas suasana diluar mobil. Ia tak rela istrinya mendapat sesuatu selain dari pemberiannya. Terlihat Amira sangat bahagia, wajahnya berbinar. Wajah yang sudah lama tak ia lihat didalam Amira. Wajah yang sudah lama tak ia dapatkan
Herman terdiam. Tangannya meraba-raba. Ia menebak ,tangan yang menutup wajahnya dari belakang. Yang pasti, itu bukan tangan Amira. Aroma parfum yang belum pernah ia hirup sebelumnya ,membuat dia terus bertanya siapa wanita dibelakangnya. Dekapan yang semakin lama semakin membuat Herman tergugah. Hasrat kelakiannya timbul kala dua buah gundukan kenyal itu menempel dipunggungnya. Kulit halus yang menyapu wajahnya, membuat dia merasa terbuai. Semakin lama ,semakin ia tak sabar untuk melihat sosok dibelakangnya. "Kau tak mengenaliku mas?" bisik wanita itu ditelinga Herman. Sontak membuat bulu kuduk Herman meremang. Ia sengaja membisikkan suaranya, untuk memancing hasrat Herman. "Aku sangat merindukanmu, aku sudah sampai disini mas." ujar suara itu kembali. Yang berhasil membuat Herman semakin menggebu. "Adinda!!" Seru Herman dan langsung membalikkan tubuhnya. Dan membuka tangan Adinda yang menutup wajahnya. Ia hampir tak percaya, kalau istri keduanya sudah berada didep
"Amira...aku tak suka kau begini!!" Herman mengacak kasar rambutnya. Ia memukul mukul dinding dikamar mandi. Untung saja, ruangan itu kedap suara, sehingga tak ada yang bisa mendengar teriakan Herman. Ia jatuhkan dirinya di atas lantai. Entah mengapa, ia sangat hancur."Kau tak bisa melakukan ini padaku Amira." Herman berbicara pada dirinya sendiri. Dia merutuki nasibnya saay ini. Disandarkannya kepalanya ke belakang. Ia sangat hancur sehancurnya. "Apa aku harus mati saja?" Herman mulai melantur. Ia mulai tak bisa berfikir jernih. Mungkin baginya, dunia sangat kejam padanya. Tega mengambil Amira dan semua rasa cintanya untuk Herman, dan berhasil membuatnya terpuruk. Dia menangis sejadinya. Histeris, seperti seorang anak kecil yang kehilangan ibunya. Adinda yang merasa Herman terlalu lama berada di kamar mandi, segera menyusulnya. Kakinya berjalan dengan cepat. Ia takut kalau suaminya sampai nekad, melakukan hal yang diluar batas. Ia langsung masuk begitu sampai di kama