Share

Part 2

Author: Nadaaulia
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tak terkecuali Amira. Ia menjerit sekuatnya ,saat melihat Wisma tersungkur karena pukulan Herman yang membabi buta.

Herman tak menghiraukan Amira, yang sedari berteriak ,memintanya berhenti melakukan itu. Dia terus memukuli Wisma. Sampai beberapa saat, datang Parman dan melerai mereka.

Wisma terhuyung dan ambruk. Dia tak siap menerima pukulan mendadak dari Herman. Herman yang datang tiba-tiba, dan memukulnya dengan brutal, membuat Wisma kehilangan kesadarannya.

"Cukup!! Hentikan Herman....!!"

Amira sudah tak tahu ,dengan cara apa ia bisa menghentikan suaminya itu.

Parman memeluk Herman dari belakang. Dan menghentikan majikannya itu, yang terlihat seperti orang yang sedang kesurupan. Kepalnya mengucur darah, bekas pukulannya yang sekuat tenaga di wajah Wisma.

Wisma yang tergolek lemas, bersimbah darah segar dimhkanya. Karena pelipisnya sobek, akibat pukulan mendadak dari Herman.

"Hentikan, atau aku panggil polisi!!" Amira berteriak dengan sangat keras. Dan akhirnya berh
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Karma(penyesalan)   Amira Bimbang

    Herman mundur beberapa langkah. Tubuhnya bergetar karena menangis dan tertawa."Kau bahkan tak mau mendengarkan alasanku meninggalkanmu waktu itu? lantas kau lebih memilih memukulku karena dia?!!" Telunjuk Herman mengarah pada Wisma yang tergolek tak sadarkan diri. "Aku benci sifat kekanakanmu Herman, kau egois..."Amira menangis."Kau tak peduli dengan kami lagi, bahkan kau sekarang terlihat sangat mengerikan, jadi untuk apa aku mendengarkanmu!!" Amira berbicara sambil terbata. Ia tak dapat menahan lagi Emosi, dan bencinya. Amira benci keadaan seperti saat ini. Dia mengusap lembut wajah Wisma. Kemudian ia menelpon dokter Dhani, dan menyuruhnya untuk datang ke rumahnya dengan segera. "Pak Parman, angkat dia ke kamar tamu." Titah Amira pada Parman. Parman mengangkat tubuh Wisma, dan menidurkannya dikamar tamu. Wisma yang masih belum sadar ,membuat Amira bertambah khawatir. Sedangkan Herman, ia mendudukkan fubuhnya dengan kasar. Ia mengacak-ngacak rambutnya. Dia sangat fr

  • Karma(penyesalan)   Membujuk Amira

    Kalau boleh tahu, kenapa muka anda bisa sampai berdarah begini?" Dhani terus bertanya, sambil membersihkan luka dimuka Wisma dengan alkohol. Dengan sedikit memberikan obat cair pada lukanya. Bisa sedikit mengurangi rasa linu pada luka bekas pukulan Herman. "Tak perlu banyak tanya dok, obati saja luka saudaraku ini!!. perintah Amira pada Dhani. Lagi-lagi Dhani menjadi sasaran kemarahan pasangan suami istri ini. Dhani akhirnya memeriksa Wisma, dan memberikannya obat. Setelah semuanya selesai, ia lekas keluar dan langsung berpamitan pulang. Suasana rumah sobatnya yang sedang tak bersahabat, membuatnya tak betah lama-lama berada disana. Saat ia menuju kelauar, ditemui pak Parman, Ia meminta maaf dengan sambutan yang diberikan kedua majikannya itu."Terimakasih dok, maaf untuk sambutan yang tak mengenakan dari mereka." ucap Parman, dan membungkukkan badannya."Dhani hanya mengangkat satu jempolnya. Menandakan kalau dia baik-baik saja."Fine...gak apa-apa pak, tenang saja." Balasny

  • Karma(penyesalan)   Belajar Mencintai Herman Kembali

    Namun satu sisi, ia merasa berat hati karena Vino. Dia takut akan nasib anaknya dimasa depan. Perasaan berkecamuk menghantui pikirannya. Haruskah ia bertahan?atau pergi meninggalkan? Amira benar-benar bimbang. Setelah meninggalkan Herman tanpa basa-basi. Amira pergi ke kamar Vino, dilihatnya dia sudah tertidur lelap.Tantri masih sibuk membereskan pakaian Vino ke dalam lemari. Amira mendekati Tantri, ia ingin mendapat masukan dari babysister anaknya itu. Yang kini menjadi teman curhatnya. "Mba Tantri belum selesai?" Amira membuka percakapan diantara mereka. Tantri menoleh, dan membalas pertanyaan Amira dengan senyum tipis dibibirnya. "Sedikit lagi nyonya, tinggal memasukkan ke lemari saja, sudah selesai." jawabnya lagi. Amira bingung memulai percakapannya darimana. Dia dibuat salah tingkah. "Mba..aku boleh bertanya satu hal padamu?" Amira mulai memberanikan bertanya. "Iya nyonya, silahkan...ada apa? apa ada masalah lagi?" tanyanya penasaran. Tersirat rag

  • Karma(penyesalan)   Perasaan yang Berbeda

    Malam telah tiba. Suasana canggung diantara kedua orang ini, semakin terasa. Dimana Amira yang tak kunjung datang ke kamar mereka. Ia selalu diam dikamar Vino, dengan alasan menemaninya. Perasaan sepi mulai menelisik ke dalam hati Herman. Bagaimanapun juga,ia adalah laki-laki. Sudah lama ia menyimpan hasrat itu. Namun sepertinya takkan bisa tersalurkan malam ini. Akhirnya, ia beranikan diri menuju kamar Vino. Diajaknya Amira untuk tidur bersamanya. Semua kecanggungan ini harus segera diakhiri pikirnya. Ia tak mau terus berlarut dalam keadaan yang membuat mereka tidak nyaman. Herman masuk ke kamar begitu saja. Ia melihat Amira yang tengah asik memainkan ponselnya. Yang langsung disimpannya begitu saja ,saat Herman masuk. Sakit memang untuk Herman. Tapi perasaan sakit itu, harus ia abaikan. Agar hubungan mereka kembali membaik. "Seperti inilah dulu sakitnya hati istriku. Dia yang membaca semua pesanku bersama Adinda dulu. Ternyata rasanya seperih ini." Herman bergumam didal

  • Karma(penyesalan)   Suasana yang Tak Menyenangkan

    Mereka tidur satu ranjang, namun hati mereka hidup dalam fikiran masing-masing. Tak ada kehangatan dimalam itu. Suasana yang dingin, semakin dingin karena sikap Amira. Sesekali Herman menoleh, menatap istrinya. Dia ingin istrinya mengerti ,kalau dia sangat merindukannya. Rasanya malu sekali mengutarakan perasaannya, kalau saat ini, dia ingin memeluk tubuh istrinya itu. Sebagai kode, dia bolak balikkan tubuhnya ,matanya berpura ia pejamkan ,namun sebenarnya masih terjaga. Saat mereka saling bertatapan, Herman membuka matanya. Namun apa yang dia lihat? Amira tengah tertidur pulas. Amira sengaja, untuk menghindari Herman menyentuhnya. Saat ini, ia belum siap melakukan hubungan dengan Herman. Ia takut, saat melayani suaminya, maka hanya akan membuatnya kecewa. Karena Amira melakukannya dengan terpaksa. Bukan karena sama-sama saling membutuhkan. "Apa salah aku mengharapkanmu Amira? kenapa kau begitu cepat berubah?" Herman menatap lekat wajah istrinya. Amira masih mende

  • Karma(penyesalan)   Cemburu

    Amira masih sibuk dengan pekerjaannya. Ia tak bisa berhenti walau sebentar. Pelanggannya kali ini benar-benar sedang membludak. Sampai-sampai ia tak sempat untuk sarapan.Ia yang tengah sibuk ,mendapat kiriman makanan dari seseorang. Dibukanya kotak itu. Kemudian ia tersenyum. Sudah pasti dia tahu, siapa pengirim makanan itu. Wisma, ya..kekasih barunya itu yang selalu perhatian kepadanya. Walau baru sebentar menjadi kekasihnya, tapi dia mampu menggantikan posisi Herman dihati Amira. Terlihat Amira yang sedang memegang kotak makanan itu. Lalu membukanya, dan mulai melahapnya. Dari kejauhan nampak seseorang memperhatikan tingkah Amira. Ia memicingkan matanya ,melihat istrinya itu mendapat sebuah bingikisan. Hatinya berubah menjadi panas ,sepanas suasana diluar mobil. Ia tak rela istrinya mendapat sesuatu selain dari pemberiannya. Terlihat Amira sangat bahagia, wajahnya berbinar. Wajah yang sudah lama tak ia lihat didalam Amira. Wajah yang sudah lama tak ia dapatkan

  • Karma(penyesalan)   Sentuhan Adinda

    Herman terdiam. Tangannya meraba-raba. Ia menebak ,tangan yang menutup wajahnya dari belakang. Yang pasti, itu bukan tangan Amira. Aroma parfum yang belum pernah ia hirup sebelumnya ,membuat dia terus bertanya siapa wanita dibelakangnya. Dekapan yang semakin lama semakin membuat Herman tergugah. Hasrat kelakiannya timbul kala dua buah gundukan kenyal itu menempel dipunggungnya. Kulit halus yang menyapu wajahnya, membuat dia merasa terbuai. Semakin lama ,semakin ia tak sabar untuk melihat sosok dibelakangnya. "Kau tak mengenaliku mas?" bisik wanita itu ditelinga Herman. Sontak membuat bulu kuduk Herman meremang. Ia sengaja membisikkan suaranya, untuk memancing hasrat Herman. "Aku sangat merindukanmu, aku sudah sampai disini mas." ujar suara itu kembali. Yang berhasil membuat Herman semakin menggebu. "Adinda!!" Seru Herman dan langsung membalikkan tubuhnya. Dan membuka tangan Adinda yang menutup wajahnya. Ia hampir tak percaya, kalau istri keduanya sudah berada didep

  • Karma(penyesalan)   Menghancurkan Perlahan

    "Amira...aku tak suka kau begini!!" Herman mengacak kasar rambutnya. Ia memukul mukul dinding dikamar mandi. Untung saja, ruangan itu kedap suara, sehingga tak ada yang bisa mendengar teriakan Herman. Ia jatuhkan dirinya di atas lantai. Entah mengapa, ia sangat hancur."Kau tak bisa melakukan ini padaku Amira." Herman berbicara pada dirinya sendiri. Dia merutuki nasibnya saay ini. Disandarkannya kepalanya ke belakang. Ia sangat hancur sehancurnya. "Apa aku harus mati saja?" Herman mulai melantur. Ia mulai tak bisa berfikir jernih. Mungkin baginya, dunia sangat kejam padanya. Tega mengambil Amira dan semua rasa cintanya untuk Herman, dan berhasil membuatnya terpuruk. Dia menangis sejadinya. Histeris, seperti seorang anak kecil yang kehilangan ibunya. Adinda yang merasa Herman terlalu lama berada di kamar mandi, segera menyusulnya. Kakinya berjalan dengan cepat. Ia takut kalau suaminya sampai nekad, melakukan hal yang diluar batas. Ia langsung masuk begitu sampai di kama

Latest chapter

  • Karma(penyesalan)   Akhir Kisah Amira dan Herman

    Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.

  • Karma(penyesalan)   Nyatakah Ini?

    Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri

  • Karma(penyesalan)   Berkabung

    "Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya

  • Karma(penyesalan)   Selamat Jalan Adinda

    "Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay

  • Karma(penyesalan)   Menyesal

    Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka

  • Karma(penyesalan)   Adinda Koma

    Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.

  • Karma(penyesalan)   Menyambut Adinda

    Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"

  • Karma(penyesalan)   Welcome Adinda

    Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal

  • Karma(penyesalan)   Ikhlas Walaupun Berat

    "Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang

DMCA.com Protection Status